Kedaulatan Rakyat, Mimpi Yang Tak Kunjung Datang

Sebuah Pendekatan Juridis Ketatanegaraan
Terhadap Kelembagaan Negara

Oleh : Gunanto Daud

Kedaulatan Rakyat atau demokrasi adalah sebuah kata magis yang mampu membius berjuta manusia di belahan dunia manapun dengan tanpa mempedulikan sekat sekat konvensional. Sepertinya kata itu menjadi sejenius obat mujarab bagi rakyat, apalagi tertindas. Semua perjuangan demi perbaikan nasib rakyat selalu mengatasnamakannya dan pada dasarnya adalah sebuah upaya mengejawantahkan kata itu kedalam keseharian. Tetapi disisi lain ada usaha yang menghalangi, terutama dari pihak yang berkuasa, dan tak jarang ditebus dengan harga yang amat mahal. Sebab seiring dengan menguatnya posisi kata itu maka semakin melemah pula posisi kekuasaan dalam masyarakat. Sangat tampak sekali dalam usaha menjabarkan makna kata itu penuh dengan konflik kepentingan antara pihak yang berkuasa dengan rakyat.

Sesungguhnya memperbincangkan konsep kedaulatan rakyat itu adalah berbicara tentang keberadaan jaminan akan hak hak rakyat, baik yang tertuang dalam konstitusi maupun dalam penegakan hukumnya (law enforcement). Pernyataan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan rakyat tentunya akan melahirkan sistem kekuasaan yang akan menguntungkan mayoritas. Rakyat-lah yang menjadi sumber dan soko guru utama kekuasaan. Negara sebagai lembaga baru ada setelah rakyat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu membuat satu perikatan atau kontrak sosial. Dalam hal kepengurusan negara, rakyat kemudian mendelegasikan kepada institusi pemerintah. Pemerintahan satu negara baru ada kemudian setelah rakyat membentuknya lewat mekanisme ketatanegaran. Dari proses perkembangan negara dikemudian hari ternyata banyak ditemukan fakta adanya pemutar balikan makna hubungan antara negara dengan rakyat/masyarakat sipil. Seringkali pemerintah dengan mengatasnamakan negara membuat satu kebijakan yang justru merugikan rakyat. Hak rakyat diabaikan bahkan tidak jarang tidak diakui keberadaannya dalam sistem konstitusi.. Sampai sejauh mana ancaman terhadap hak hak rakyat tergantung atas sejauh mana konstitusi menjamin hak tersebut dan membatasi kekuasaan dalam bertindak. Sebab perbuatan penyalahgunaan kekuasaan adalah kecenderungan umum yang berlaku bagi semua tipe kekuasaan. Kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak pasti-lah disalahgunakan. Kesadaran akan bahayanya jika kekuasaan tidak terbatas/absolutisme itulah motiv awal yang memunculkan konsep kedaulatan rakyat. Jika kekuasaan tidak dibatasi pastilah terjadi pelanggaran hak, penyalahgunaan kekuasaan dan kehancuran negara.

Contoh kasus absolutisme yang berakhir dengan kehancuran terjadi pada tahun 1793 di Perancis. Era pemerintahan Raja Louis XVI adalah suatu jaman dimana kemiskinan, kelaparan, dan pajak yang tinggi bisa berdampingan dengan kenyataan tentang Raja korup yang hidup dalam istana mewah. Ratu Maria Antoinette yang gemar mengadakan pesta yang dibiayai kas negara. Pada situsi seperti itu, yang namanya rakyat hanyalah sekedar pelengkap penderita. Kebijakan publik diputuskan sepihak tanpa mengindahkan kebutuhan rakyat. Parlemen diadakan hanyalah untuk melegitimasikan segala keinginan penguasa, yang seringkali kelewat batas dan irrasional. Aku adalah negara dan negara adalah aku, ujar raja.

Lama kelamaan situasi yang mencekik seperti itu pastilah tak tertahankan oleh siapapun. Segelintir bangsawan dan mayoritas rakyat ingin perubahan. Titik kulminasinya saat rakyat bergerak ingin membatasi kekuasaan dengan menarik garis lurus tepat lewat leher raja, ratu beserta para bangsawannya. Kesemuanya mati dengan leher terpenggal di tiang guillotine. Saat kepala raja jatuh masuk kedalam keranjang algojo, dengan gemetar rakyat menyaksikan bahwa yang namanya 'Putera Matahari' itu juga manusia biasa, terdiri darah dan daging yang sama dengan orang kebanyakan. Kekuasaannya bukanlah sakral berasal dari sorga, melainkan tergantung pada kemauan rakyat. Kemauan atau kehendak rakyat ini kemudian oleh para pemikir diformulasikan kedalam tataran filosofis teoritik dengan diberi nama teori kedaulatan rakyat. Gema dari lonceng jaman baru inilah yang kemudian dijadikan azas kehidupan bernegara modern dan diteriakkan dengan lantang di mimbar parlemen,' Kami berkumpul disini atas nama rakyat dan bubar atas perintah rakyat'.

Kini, konsep kedaulatan rakyat sebagai ide tentang pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat, sudah diterima dan menjadi kecenderungan umum. Cita pembatasan kekuasaan negara melalui penerapan secara nyata gagasan demokrasi dalam praktek ketatanegaraan diikuti dengan konsekuensi adanya dua prinsip dasar yakni kesamaan dan kebebasan politik yang dijamin secara tegas oleh hukum positif, khususnya peraturan perundangan tentang jaminan hak-hak rakyat. Dalam bukunya An Introductions to democratic theory, Henry Mayo menjelaskan bahwa yang namanya sistem demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan pemilihan yang berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana kebebasan politik. Secara kelembagaan kemudian diterjemahkan dalam bentuk lembaga pemilihan umum, partai politik, dan parlemen. Secara berkala diadakan pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat pemilih, aspirasi dan sikap politik rakyat dinyatakan secara tegas lewat partai politik guna memilih para wakil yang akan mengawasi jalannya pemerintahan melalui lembaga parlemen. Prinsip prinsip pokok yang ada dalam sistem demokrasi ini kemudian mewabah , terutama era pasca perang dunia II, ke negara negara baru di wilayah Asia dan Afrika dan Indonesia termasuk didalamnya.

Negara Indonesia yang lahir dari rahim peradaban modern juga telah mengenal kata Kedaulatan Rakyat. Sejak saat pendiriannya telah dinyatakan secara tegas lewat rumusan konstitusinya, sistem demokrasi dan berbentuk republik. Tipe negara yang telah dicanangkan melalui konstitusi ini mengandung konsekuensi konsekuensi adanya kelembagaan parlemen (cat.DPR/MPR), pemilihan umum, partai politik (ingat: Maklumat Wakil Presiden No. X Thn.1946), dan lembaga Presiden . Namun perlu dicatat bahwa saat penyusunan prinsip dasar negara Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, dinyatakan bersifat sementara. Kelak kalau sudah siap akan disusun lagi UUD baru, yang lebih lengkap. Tugas membentuk UUD baru ini kemudian dibebankan kepada lembaga Konstituante. Dalam rentang waktu 15 tahun sejak proklamasi, Indonesia telah mengalami 3 kali perubahan UUD sekaligus perubahan kelembagan ketatanegaran. Dari UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUD Sementara dan terakhir kembali pada UUD 1945.

Pada tanggal 5 Juli 1959, dengan alasan lembaga Konstituante tidak mampu bekerja membuat UUD yang baru, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah Dekrit yang berisi ajakan untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit Presiden 5 Juli membawa akibat hukum secara struktural kenegaran berupa perubahan kelembagaan dan prinsip prinsip dasar kenegaraan. Kabinet parlementer diganti dengan model kabinet presidensiil. Dari Demokrasi Parlementer berubah menjadi demokrasi Terpimpin. Dengan jatuhnya rejim Sukarno maka berakhirlah era Demokrasi Terpimpin. Didasarkan atas motiv politis dalam rangka mengkoreksi kesalahan rejim lama dan keinginan melaksanakan UUD 1945 dengan murni dan konsekuen, maka rejim baru yang dipimpin Jenderal Suharto mencanangkan sistem Demokrasi Pancasila. Sistem baru ini melakukan perombakan besar besaran atas warisan rejim lama, terutama yang berkaitan dengan penataan infra dan suprastruktur politik. Perampingan partai politik/fusi partai, azas tunggal, depolitisasi, kebijakan massa mengambang, ideologi pembangunan ekonomi, dst. yang dijalankan sampai kini. Apakah dengan melakukan perombakan total atas warisan rejim Orde Lama itu dengan sendirinya mampu memenuhi kebutuhan rakyat?

Realitas kekinian ternyata banyak ditemukan fakta adanya ketegangan antara rakyat dengan pemerintah terutama mengenai wujud perlindungan hak hak konstitusionil rakyat. Rakyat banyak yang protes dan ingin wujud yang nyata atas pengakuan hak tetapi disisi lain pemerintah sering gembar gembor dan merasa sudah melaksanakannya. Beragam argumen saling dilontarkan oleh para pihak yang berhadapan. Saking riuh rendahnya pertengkaran hingga terkadang malah mengaburkan persoalan dasarnya. Persoalan menjadi bergeser ketitik terminologi ekstrim kanan, kiri, komunis, liberalis, cekal, dan bui. Nampaknya obat mujarab ini semakin jarang ada di puskesmas puskesmas desa kalaupun ada harganya amat mahal dan tak terjangkau oleh isi dompet rakyat kebanyakan. Sebenarnya jenis obat apakah kedaulatan rakyat itu sehingga kini banyak dicari orang dikolong-kolong peradaban Indonesia modern, dan ironinya tak satupun yang menemukannya . Apakah ini bukan jenis obat baru hasil impor akibat adanya deregulasi ekonomi. Ataukah memang apa yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila itu adalah sistem yang menghendaki pereduksian hak hak rakyat.

Dari catatan sejarah tentang para Bapak Pendiri republik dapat diketahui bahwa sebenarnya ide tentang kebebasan dan persamaan, sebagai bagian integral dari konsep kedaulatan rakyat, bukanlah barang asing. Bahkan bisa dikatakan keberadaannya sama tua dengan ide negara Indonesia (staatsidee). Kenyataan tersebut bisa dilihat dari mewabahnya semangat negara nasional dan demokrasi yang melanda para pemuda terpelajar pada jaman itu. Salah satunya bernama Sukarno, dengan mengutip teorinya Ernest Renan, beliau selalu menekankan masalah persamaan nasib dan persamaaan cita cita sebagai syarat terbentuknya sebuah bangsa. Nasibnya sama yaitu dalam keadaan sama ditindas oleh kolonial Belanda dan cita citanya sama yaitu terwujudnya Indonesia yang merdeka dan berdaulat di atas wilayah bekas jajahan kolonial Belanda ( cat. Sabah, Serawak, Papua Nugini dan Timor Timur tidak termasuk.). Jauh sebelum tahun 1945, beliau pernah menulis dalam pidato pembelaan dihadapan sidang pengadilan kolonial, 'Toh...diberi hak atau tidak diberi hak; diberi pegangan hidup atau tidak diberi pegangan; Diberi penguat atau tidak diberi penguat; tiap tiap makhluk, tiap tiap umat, tiap tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya dari teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa, walau cacingpun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit. Seluruh riwayat golongan golongan manusia atau bangsa bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka'. Perjuangan bagi rakyat tertindas adalah satu kewajaran yang musti diupayakan kemenangannya dalam suatu pengakuan yang riil terhadap hak hak dasarnya.

Terlepas dari adanya perdebatan di PPKI mengenai perlu atau tidaknya hak hak rakyat dicantumkan dalam konstitusi, para Pendiri Republik telah bersepakat tentang Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Berkaitan dengan masalah jaminan hak hak rakyat, Hatta dengan nada kuatir beragumen tentang perlunya jaminan terhadap hak hak warganegara. Konstitusi sebagai hukum dasar haruslah memuat secara tegas jaminan hak-hak warganegara. '.....akan tetapi kita mendirikan negara yang baru hendaklah kita memperhatikan syarat syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasarkan kepada gotong royong, usaha bersama; tujuan kita adalah memperbarui masyarakat, tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan diatas negara baru itu suatu negara kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal mengenai warganegara disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya, Tiap tiap warganegara rakyat Indonesia, supaya tiap tiap warganegara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain lain'.(Naskah Persiapan UUD 1945).

Berangkat dari sejarah mengenai ide terbentuknya negara beserta konstitusinya, akan didapat satu gambaran yang terang mengenai tujuan didirikannya negara. Ide pembentukan negara mengandung sistem nilai yang memenuhi ruang kelembagaan negara, memberi makna dan arah bagi tujuan berdirinya sebuah negara. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 dapat ditemukan kata kata......Kedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada:.....'dan pada Pasal 1 Ayat 2 Batang Tubuh UUD 1945 dikatakan bahwa Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Rumusan ini semakin memberi gambaran yang terang bahwa Indonesia yang dimaksud para pendiri dahulu adalah Indonesia yang menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat. Artinya, Rakyat benar benar berdaulat, ikut serta merumuskan kebijakan publik, mengawasi jalannya pemerintahan, melalui para wakil wakilnya di parlemen yang diawasi secara efektif lewat pemilihan umum yang didasarkan atas prinsip kebebasan dan persamaan politik. Klausul partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta jaminan atas hak merupakan satu satunya alat penjelas yang logis dan masuk akal guna menerangkan makna kedaulatan dalam rumusan konstitusi.

Penjabaran lebih detail mengenai jaminan akan hak hak rakyat dituangkan kedalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 Batang Tubuh UUD 1945. Disitu diatur tentang jaminan mulai dari hak persamaan kedudukan didepan hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berserikat,berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (hak politik), Hak memeluk agama dan beribadat, Hak bela negara, Hak mendapat pengajaran (pendidikan), Hak ekonomi dan juga Hak jaminan pemeliharaan dari negara bagi fakir miskin dan anak terlantar.

Memang ada persoalan juridis manakala konstitusi sebagai produk hukum tertinggi dan berkedudukan sebagai hukum dasar dalam kehidupan bernegara itu tidak segera dijabarkan kedalam aturan hukum operasional. Sebab konstitusi hanya memuat aturan dasar, prinsip prinsip dasar bernegara, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dengan negara, kelembagaan negara dan hak hak warganegara. Guna operasionalisasinya dibutuhkan perangkat hukum yang kedudukannya lebih rendah, yakni Ketetapan MMPR, Undang Undang, Peraturan Pemerintah , dan seterusnya sesuai dengan hirarki perundang undangan seperti diatur dalam Tap. MPR No. XX Tahun1966. Dalam Hal ini Konstitusi berkedudukan sebagai hukum dasar yang mana berfungsi sebagai acuan bagi produk hukum lainnya (cat. Asas hukum universal). Jikalau aturan perundang undangan dibawahnya tidak sesuai dengan konstitusi maka dengan sendirinya aturan tersebut batal demi hukum. Ada azas hukum yang mengatakan bahwa undang undang yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang undang yang lebih tinggi. Apabila hal itu terjadi maka undang undang yang derajatnya lebih rendah harus mengalah terhadap undang undang yang lebih tinggi (lex superior derogad lex inferior). Lantas siapa yang berhak menguji apakah suatu produk hukum itu sesuai atau tidak dengan konstitusi? Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal adanya lembaga judicial review, Mahkamah Agung hanya mempunyai hak uji materiil terhadap peraturan di bawah undang undang, harus melalui kasasi, Mahkamah Agung hanya berwenang menyatakan bahwa peraturan itu tidak sah dan untuk pencabutan peraturan yang dinyatakan tidak sah dilakukan oleh instansi yang mengeluarkannya. Hal ini merupakan permasalahan juridis ketatanegaran yang harus segera dicarikan pemecahannya agar tertutup peluang penyelewengan konstitusi melalui perangkat undang undang. Mengingat sifat UUD 1945 yang teramat singkat, bahkan merupakan konstitusi tersingkat di dunia, yang butuh penjabaran lebih lanjut melalui perangkat hukum lain. Sudah saatnya dipikirkan mengenai kemungkinan mengenai peningkatan fungsi Mahkamah Agung sebagai Mahkamah Konstitusi yang berhak menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar. Hal ini mungkin sebab ketentuan seperti dalam UUDS 1950 yang menyatakan bahwa undang undang tidak dapat diganggu gugat tidak terdapat dalam UUD 1945. Mekanismenya bisa melalui lembaga amandemen atau dengan cara MPR sebagai lembaga tertinggi memberikan wewenang itu lewat sebuah Ketetapan MPR:

Sekarang bagaimana dengan realitas hukum yang ada, apakah sudah sesuai dengan semangat kedaulatan rakyat yang tercantum dalam konstitusi atau belum? Sudahkah amanat UUD1945 dijalankan? Nampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan ini sebab yang namanya demokrasi itu tidak cuma ditentukan oleh keberadaan lembaga konstitusionil atau badan badan resmi menurut rujukan sistem demokrasi universal. Adanya pemilihan umum berkala bukan sekaligus adanya jaminan kebebasan dan persamaan politik. Adanya DPR bukan langsung berarti berfungsinya sistem perwakilan/checks and balances. Adanya MPR belum tentu berarti rakyat sudah berdaulat. Adanya pers belum tentu ada kontrol sosial. Ada lembaga peradilan belum memastikan keadilan. Adanya Komnas HAM bukan berarti pelanggaran HAM sudah berhenti. Keberadaan lembaga lembaga tersebut hanyalah sebagai indikator demokrasi formal semata sedangkan hakekat kedaulatan rakyat itu menuntut terwujudnya jaminan akan hak hak secara riil / nyata bisa dirasakan oleh yang empunya hak (demokrasi materiil)

Aspirasi rakyat adalah kehendak jaman yang tak terbantah dan tidak bisa dibendung, apalagi oleh kekuatan anasir-anasir primitif. Kini sudah saatnya diagendakan, guna menyambut datangnya abad baru, mengenai betapa pentingnya ada gerakan pemberdayaan masyarakat sipil, reformasi struktural, dan pembaharuan kepemimpinan nasional sebagai syarat pertama terciptanya suasana yang kondusif bagi terwujudnya cita kedaulatan rakyat. Satu kedaan dimana martabat manusia mendapat tempat yang layak dan segala kebijakan publik bisa dipertanggungjawabkan baik secara etis, moral dan rasional.

Pemberdayaan masyarakat sipil atau upaya menciptakan masyarakat sipil yang tangguh adalah syarat pertama dan utama. Berangkat dengan asumsi mengenai kekuasaan yang cenderung korup, kiranya mustahil dengan hanya melalui perangkat hukum dan jaminan perundangan terhadap hak hak rakyat maka dengan sendirinya akan tercipta situasi yang tanpa pelanggaran. Mekanisme kontrol serta fungsi partisipatif yang memadai bisa berjalan dengan semestinya, meski dalam situasi yang terburuk, jika kesadaran kritis rakyat sudah terbentu dan merata kesemua lapisan. Situasi terburuk bagi rakyat adalah sebuah keadaan dimana hukum tidak memberi jaminan secara layak terhadap hak hak rakyat. Hukum selain berfungsi sebagai alat rekayasa perubahan sosial, juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Dalam lingkup fungsi yang kedua inilah seringkali dilontarkan suatu dalih demi stabilitas dan terciptanya ketertiban sosial yang mantap, dengan tanpa mempedulikan azas azas hukum, aturan perundang undangan disiasati dengan melakukan manipulasi juridis. Upaya pensiasatan akan semakin gampang manakala dalam satu sistem hukum terdapat rechtvacum atau kekosongan hukum. Sebagai misal, kita tidak ingin mendengar lagi adanya alasan kekanak kanakan yang mengatakan bahwa pasal 28 UUD 1945 tidak lengkap memuat jaminan hak politik, karena ada kalimat .....ditetapkan dengan undang undang atau alasan bahwa pasal 5 UUD 1945 tidak memuat secara tegas pembatasan masa jabatan presiden kemudian hak hak tersebut dan pentingnya makna pembatasan jabatan presiden lantas diabaikan.

Agenda reformasi struktural, sebagai satu definisi yang terbatas ruang lingkupnya,, menuntut adanya pembaharuan kelembagaan negara. Redefinisi mengenai fungsi kelembagaan negara merupakan konsekuensi logis. Artinya, kesemuanya diupayakan penempatannya secara proporsional sesuai dengan semangat konstitusi modern yang menuntut adanya jaminan yang tegas terhadap hak hak rakyat dan pembatasan kekuasaan. Menertibkan kembali lembaga lembaga ekstra judisiil, mengembalikan fungsi partai politik, pemberdayaan lembaga perwakilan, peningkatan fungsi Mahkamah Agung, redefinisi pemilihan umum serta pembatasan masa jabatan presiden adalah contoh contoh agenda nasional yang strategis. (ingat. Lembaga Presiden adalah satu satunya lembaga tinggi negara yang belum diatur oleh undang undang).

Kiranya dengan melakukan upaya perbaikan tatanan sistem politik seperti apa yang dikehendaki konstitusi dan semangat demokrasi ini, kita akan terhindar dari kemungkinan luka luka struktural yang sudah ada meningkat menjadi borok yang menyakitkan semua pihak. Semoga tidak lama lagi kita semua juga akan mendengar suara merdu yang pernah terucap bertahun tahun yang lalu, 'Sekarang terjadilah jaman baru dan saudara saudara adalah saksinya',kata Goethe dalam rangka menyambut kemenangan rakyat Perancis di Valmy.

Berlin, Maret 1996.


Kembali ke Daftar Isi