Wawancara Kdp dengan Xanana Gusmao:

"DALAM INDONESIA YANG DEMOKRATIS, MASALAH TIMOR TIMUR
DAPAT DIBICARAKAN SECARA TERBUKA DAN BEBAS"

Pengantar.
(Dari Suara Demokrasi).

Pada 17 Juli 1996, tepat dua puluh tahun sudah Timor Timur tergabungke dalam wilayah Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1976.

Melalui operasi militer Indonesia pada 7 Desember 1975 ke wilayah seluas 14.615 km2 atau 0,76 persen dari luas Indonesia, dimulailah apa yang dikenal sebagai "masalah Timor Timur" yang sampai saat ini terus berkepanjangan malah dengan kecenderungan makin "panas". Berubah sikapnya sementara tokoh deklarasi Balibo, satu-satunya "dokumen" yang bagi Indonesia merupakan legitimasi penggabungan itu, merupakan indikator kegagalan Indonesia meyakinkan paling tidak sebagian rakyat Timor Timur untuk mengidentikan dirinya dengan term "bangsa Indonesia". Sementara itu laporan lembaga lembaga HAM menyebutkan bahwa 200.000 orang Timor Timur telah tewas karena perang maupun kelaparan. Di pihak ABRI, tak kurang 35.000 orang tewas di sana.

Sehubungan dengan 20 tahun "integrasi" itu, Kabar dari PIJAR mewawancarai anggota CNRM (Conselho Nacional Recistencia Maubere/Dewan Nasional Perlawanan Maubere) merangkap Panglima FALINTIL (Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste), XANANA GUSMAO (50) di Penjara Cipinang, Jakarta. Berikut petikannya.

T (KdP): Pada 20 Juni '96 lalu, kawan-kawan PIJAR dan pro demokrasi lainnya datang ke LP Cipinang untuk merayakan ulang tahun Anda yang ke 50.

J (Xanana Gusmao): Saya berterima kasih kepada kawan-kawan PIJAR dan pro demokrasi Indonesia mengadakan ulang tahun saya di sini. Saya terharu. Meski saya dilarang keluar menemui sahabat-sahabat Indonesia saya, saya dapat merasakan ketulusan dan persahabatan mereka.

T: Tampaknya kini makin banyak orang Indonesia mulai sadar akan perjuangan rakyat Timor Timur.

J: Saya mengharapkan sesuatu yang baru dari perjuangan pro demokrasi Indonesia. Saya percaya, orang yang demokratis punya standar yang sama tentang dunia, hubungan antar bangsa dan hubungan antar rakyat. Jika nanti rezim berganti yang demokratis, tentu akan mempengaruhi perjuangan kami. Saya kira perjuangan pro demokrasi sedang menjalani tugas historis untuk mengubah sistem di Indonesia. Kami senang kini banyak kelompok di Indonesia mulai melihat bahwa masalah Timor Timur adalah masalah internasional, di mana Indonesia melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kedamaian.

T: Tetapi mereka masih minoritas dan belum berani terbuka.

J: Kami tahu itu. Sebab itu kami tak buru-buru. Kami sadar selama ini pandangan rakyat Indonesia selalu didikte pemerintah. Pemerintah selalu mendikte "kebenaran" menurut versinya. Dari kasus Tempo, Sri Bintang, PDI, Adi Andoyo, termasuk juga masalah Timor Timur. Saya kira nanti dalam keadaan demokratis masalah Timor Timur dapat dibicarakan secara bebas, dan pandangan dari pemerintah mudah dieliminir.

T: Jadi perjuangan Anda selain oleh rakyat Timor Timur sendiri, juga mengharapkan dukungan pro demokrasi Indonesia.

J: Kalau dilihat dari sikap Jakarta yang sekarang ini, kami sangat mengharapkan pro demokrasi Indonesia menjadi satu faktor agar perjuangan kami tercapai. Kami realistis, Indonesia dengan kekuatan ekonominya dan secara militer kami lemah, maka kami mengharapkan perubahan politik di Indonesia.

T: Apakah perjuangan Anda realistis?

J: Kalau melihat proses perdamaian di Timur Tengah yang kacau balau itu, apakah Yasser Arafat realistis? Tahun 1983 saya tawarkan kepada Jakarta suatu rencana perdamaian, Benny Moerdani malah mengirim tentara lebih banyak lagi untuk memerangi kami. Tahun '84 saya ketemu Uskup Belo, dia waktu itu sudah punya gagasan dari Vatikan untuk mempengaruhi kami menerima otonomi. Kita lihat sekarang dari Abilio Araujo ada usaha untuk mempengaruhi orang Timor Timur untuk menerima otonomi meski tak dinyatakan sebagai otonomi. Usulan Abilio Araujo yang nampaknya didukung pemerintah adalah "Pembangunan Timor Timur oleh orang Timor Timur". Pemerintah sebenarnya setuju otonomi, tetapi tidak sekarang. Dia perlu orang-orang yang secara ekonomi dan politis berkuasa, itulah sebabnya Jakarta memakai Abilio Araujo.

T: Tetapi Soeharto sendiri pernah menolak gagasan otonomi.

J: Ya, sekarang. Tetapi dia sekarang sedang mempersiapkan Abilio Araujo untuk berkuasa di sana. Saat ini ia tak punya pengaruh di Timor Timur. Kepentingan Abilio Araujo yang terpenting saat ini adalah berbisnis, membuka supermarket di Dili.

T: Bagaimana komentar anda tentang perundingan Tripartit putaran ke delapan dan AETD?

J: AETD bagi kami tak prinsipil, karena tak membicarakan status politik Timor Timur. Kami sebenarnya tak mau ikut, tetapi tiap sikap kami yang keras selalu dipakai Jakarta untuk memojokkan kami, terpaksa kami ikut AETD. Sedangkan pada perundingan Tripartit, dari segi yuridis Portugal mewakili kami. Sampai kini PBB masih menganggap Portugal sebagai Administering Power di Timor Timur. Usulan kami untuk terlibat di perundingan Tripartit juga ditolak Jakarta. Sebenarnya siapa yang keras kepala, kami atau Jakarta?

T: Ali Alatas mengancam jika tidak ada kemajuan, lebih baik masalah Timor Timur dibawa kembali ke sidang umum PBB.

J: Kami melihatnya dari dua segi. Pertama ini merupakan ancaman dari Ali Alatas saja. Untuk siapa? Seperti mengadukan Portugal ke Mahkamah Internasional, itu konyol sekali. Usaha mengelabui rakyat Indonesia, bahwa Indonesia kuat. Ia tak punya argumentasi kuat untuk menjelaskan penundaan-penundaan perundingan. Dia selalu menuduh Portugal yang mengulur-ulur waktu, tetapi dia sendiri tak introspeksi. Pemerintah tak pernah introspeksi mengenai masalah Timor Timur.

T: Portugal masih terus menuntut referendum di Timor Timur?

J: Sampai sekarang rerendum itu sesuatu yang pokok. Kalau tak dibicarakan dalam perundingan berikutnya bukan berarti Portugal mencabut tuntutan itu. Referendum adalah masalah paling mendasar bagi penyelesaian masalah Timor Timur.

T: Bagaimana usulan Menlu Portugal Jaime Gama mengunjungi Anda yang ditolak Ali Alatas?

J: Dengan usulan itu menandakan saya bukan tikus (seperti kata Pangab Try Sutrisno ketika Xanana ditangkap). Jika Ali Alatas menerima usulan itu maka ia mengakui bahwa saya adalah pemimpin perlawanan Timor Timur dan bukan tikus. Pengakuan atas kepemimpinan saya akan memberikan suatu visualisasi baru, yaitu mengakui adanya perjuangan rakyat kami.

T: Apakah Anda mempunyai gagasan baru untuk penyelesaian Timor Timur?

J: Ada. Tapi maaf "off the record" (XG bercerita dan keberatan untuk dipublikasikan sekarang). Usulan ini kami sampaikan karena selalu saja Jakarta menolak usulan kami dan Portugal. Kami melihat orang Indonesia sangat peka terhadap dunia, tetapi sayang karena emosi agama. Orang Indonesia mendukung Palestina dan Bosnia bukan karena kesadaran akan hak rakyat Palestina dan Bosnia yang harus didukung, tetapi karena sentimen persamaan agama. Itulah yang menyulitkan perjuangan rakyat kami.

T: Seperti juga dukungan Indonesia terhadap perundingan antara MNLF dan pemerintah Filipina yang hampir mencapai kesepakatan.

J: Masalah Moro di Mindanao Selatan adalah masalah dalam negeri Filipina, sedangkan Timor Timur adalah masalah internasional di mana hukum internasional telah dilanggar. Karena itu PBB masih tak mengakui aneksasi Indonesia dan tetap menghormati hak kami untuk menentukan nasibnya sendiri.

T: Kalau tak ada perubahan, 17 Juli '96 ini Soeharto akan ke Dili meresmikan patung Yesus Raja tertinggi ke tiga di dunia, sekaligus merayakan 20 tahun 'integrasi'. Komentar Anda?

J: Ini merupakan propaganda Jakarta untuk mengelabui rakyatnya sendiri maupun dunia internasional. Soeharto baik di istana maupun di tempat lain di manapun adalah pemimpin politik. Apa yang uskup Bello tak setujui adalah campur tangan politik ke gereja. Saya tak tahu apakah Uskup akan hadir di acara itu. Mudah-mudahan tidak. Karena hal ini bisa berarti gereja Dili berada di bawah Jakarta, padahal ia langsung di bawah Vatikan.

T: Bagaimana dengan pembangunan di sana selama ini?

J: Kami tak melihat pembangunan sama sekali kecuali jalan aspal. Kami mau tanya pembangunan untuk siapa? Untuk rakyat Timor Timur atau orang Indon esia? Jangan heran jika di sana selalu timbul kerusuhan. Meski Jakarta mengatakan kerusuhan itu karena masalah SARA atau kecemburuan sosial, tetapi intinya adalah masalah politik. Rakyat kami cenderung apatis tak berpartisipasi dalam pembangunan. Mengapa? Karena rakyat kami menghargai kebebasan dan keadilan. Pembangunan selama ini di sana adalah untuk kepentingan politik dan diplomatik. Pembangunan di sana sama sekali menyangkal atau tidak menghargai karakter dan cara hidup kami.

T: Boleh dikatakan Indonesia merasa memiliki Timor Timur, tetapi rakyat Timor Timur tak merasa memiliki Indonesia.

J: Kami dijajah lebih lama dari Indonesia dijajah Belanda. Sebab itu, perjuangan kami lebih lama dari Indonesia. Dari nenek ke bapak sampai ke cucu selalu dikatakan, "ini tanah air kita." Para jenderal Indonesia yang dulu tak percaya, kini tahu persis. Pemuda dan rakyat Timor Timur itu 'perutnya' sama, yaitu menginginkan kebebasan di tanah airnya sendiri. Siapa sebenarnya musuh Indonesia di Timor Timur, sulit rasanya didefinisikan. Kami punya istilah orang yang 'ngomong' integrasi itu seperti pulpen. Kalau masih ada isinya ia mendukung integrasi, kalau sudah habis ia tak mendukung integrasi. Apakah Mario Carascalao, Abilio Araujo atau Abilio Soares, mereka adalah pulpen. Waktu saya diperiksa di BAIS saya ditanya tentang orang-orang itu. Dengan kata lain, tak ada satupun orang Timor Timur yang dipercaya, bahkan terhadap gubernur pilihan Jakarta sendiri.

T: Tapi jangan-jangan istilah pulpen itu untuk mereka yang 'ngomong' anti integrasi.

J: Bisa, bisa juga. Tapi sekarang ini, kalau ada orang yang mendukung hak Timor Timur, dia sembunyi-sembunyi untuk menjelaskannya.

T: George Aditjondro membandingkan perjuangan Anda dari ala Che Guevara di hutan ke ala Nelson Mandela di penjara. Di mana tahun-tahun terakhir di penjara, Mandela diajak kerja sama oleh Rejim Apartheid.

J: Sahabat saya itu terlalu menonjolkan saya. Tentang perjuangan dari hutan ke penjara memang ada persamaannya. Tentang perpektif apakah akan terjadi kontak-kontak dengan saya, saya tidak tahu. Dulu awal-awal dari Laksus sering datang ke sini mengajak kerja sama. Sekarang tidak lagi, karena saya selalu menolak.

T: Bisa jadi nanti yang datang Abilio Araujo.

J: Abilio sudah mengirimkan utusannya ke sini. Minta agar saya bersedia bertemu dengannya. Itu terjadi sebelum dia bertemu Soeharto. Tapi ketika dia ke Jakarta baru-baru ini, dia tak ke sini. Saya kira karena perubahan Abilio yang sangat drastis, dari Marxis menjadi kapitali, menyebabkan Jakarta tak sepenuhnya percaya Abilio. Dia dulu sangat radikal, bahkan yang mengubah ASDT (Partai Sosialis Demokrat Timor) dari Ramos Horta menjadi Fretelin, tiba-tiba bisa bergandengan dengan Mba' Tutut dan mencium tangan Soeharto. Saya kira Abilio ingin ketemu saya tetapi pemerintah melarangnya.

T: Kenapa?

J: Terutama karena mereka kenal baik saya, bahwa saya tak bisa dipengaruhi Abilio, karena Abilio orang yang saya pecat. Kalau saya mau berubah, sejak dulu ketika baru ditangkap. Kedua, mereka tak percaya Abilio. Sebab itu lebih ada kemungkinan saya dibebaskan dari pada diajak kerja sama dengan Indonesia, seperti Mandela. Dalam masalah Timor Timur satu pihak yang tak bisa ditinggalkan adalah Portugal. Jika di Afsel hanya antara rejim Apartheid dengan gerakan anti-Apartheid yang dipimpin Mandela.

T: Melihat Megawati Soekarnoputri akhir-akhir ini, apakah ada kemungkinan perubahan terjadi di Indonesia?

J: Saya melihat Megawati telah menjadi simbol perjuangan. Secara pribadi saya tidak kenal baik dengan dia, tetapi saya bisa menilai dia belum matang. Tetapi dia telah menjadi kekuatan moril perjuangan. Harapan saya dukungan terus mengalir dan seluruh kekuatan pro-demokrasi mendukungnya.

T: Tetapi bukankah Soeharto masih kuat?

J: Soeharto itu pintar. Ia pintar karena pengalamannya selama 30 tahun. Saya kira ia telah menyadari bahwa sesuatu akan terjadi. Dia tentu sudah melihat bahwa tuntutan perubahan tak bisa dibendung lagi. Ia kini sedang dalam dilema. Kalau ia membuat konsesi-konsesi bisa jelek, jika memakai kekerasan itu akan lebih jelek lagi. Saat ini benar-benar suatu situasi pre-revolusioner. Soeharto kini sedang bingung karena tuntutan rakyat, termasuk Dwi Fungsi ABRI, dominasi militer.

T: Anda sudah membaca "Laporan Sherman"?

J: Saya belum membaca secara lengkap. Saya menyesalkan kenapa pemerintah Australia baru sekarang melaporkannya. Jakarta mengatakan penembakan itu dilakukan oleh pasukan UDT, padahal benar-benar dilakukan oleh pasukan Indonesia.

T: Kalau di Bosnia, dua penjahat perang yaitu Ratko Mladic dan Radovan Karadzic yang bertanggung jawab terhadap pembasmian etnis Bosnia diseret ke Pengadilan Penjahat Perang Internasional di Den Haag, Belanda, siapa menurut Anda yang bertanggung jawab dalam genosida di Timor Timur ?

J: Mereka adalah Soeharto, Ali Moertopo tapi sudah meninggal, Benny Moerdani, Sahala Rajaguguk, Dading Kalbuadi dan Prabowo Subianto.

T: Mereka bertanggung jawab terhadap 200.000 orang Timor Timur yang mati?

J: Jumlah itu keseluruhan. Mereka mati dibunuh kelaparan atau sebab lain selama pendudukan tentara Indonesia. Sedangkan yang tewas karena kejahatan orang-orang tadi, lebih dari separuh jumlah keseluruhan. Seandainya Indonesia mengijinkan lembaga internasional independen atau dari PBB untuk menginvestigasi ke sana, akan banyak ditemukan kuburan-kuburan massal tempat pembantaian orang Timor Timur. Masyarakat di sana masih ingat kapan dan siapa jenderal yang bertanggung jawab terhadap pembantaian-pembantaian itu. Jadi pembantaian itu tak hanya di Santa Cruz yang kebetulan ada wartawan asing mengabadikannya.

T: Tetapi malah Ali Alatas dan Abilio Soares merekayasa rakyat di sana untuk menuntut Portugal ke Mahkamah Internasional atas penjajahan selama 450 tahun.

J: Ini merupakan sesuatu yang konyol. Mereka tak menyadari bahwa tak ada penjajahan yang bagus, apakah itu Portugal, Jepang atau Indonesia. Kalau Ali Alatas merekayasa seperti ini saya pun bisa menuntut Indonesia, ke Mahkamah Internasional yang menyebabkan 200.000 orang Timor Timur tewas hanya selama 20 tahun, sedangkan Portugal selama 450 tahun korbannya tak sebesar itu. Mengapa Indonesia tidak menuntut Belanda yang telah menjajah selama 350 tahun, bahkan meminta Belanda untuk minta maaf saja tak dilakukan.

T: Tentang pembukaan Komnas HAM di Dili, komentar Anda?

J: Saya kecewa sekali pernyataan Lopa karena katanya kehadiran Komnas HAM di sana bukan untuk membela manusia tetapi untuk menjelaskan ke luar negeri bahwa ada cerita-cerita buruk tentang Indonesia. Yang penting itu untuk membela HAM bukan membuat cerita. Dan Komnas HAM harus independen, jangan bekerja sama dengan militer. Kalau Komnas HAM tak independen saya yakin orang Timor Timur lebih percaya dengan ICRC (Palang Merah Internasional) dan gereja.***


Kembali ke Daftar Isi