Mengeritik Tidak Sama Dengan Menghina

Studi Kasus Unjuk Rasa Front Aksi Mahasiswa Indonesia

Oleh : Gunanto Daud

Belum lekang dari ingatan kita tentang kasus unjuk rasa yang dilakukan oleh Front Aksi Mahasiswa Indonesia di Gedung DPR/MPR RI pada tanggal 14 Desember 1993, yang mana berakibat dipidananya 21 mahasiswa. Ke dua puluh satu mahasiswa tersebut secara bersama sama didakwa dan diputus bersalah melanggar pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden. Pada saat itu, hampir setiap hari pers nasional maupun lokal memuat berita tentang proses penangkapan, pengadilan dan pemidanaannya. Polemik terjadi dimana mana, ada yang pro maupun yang kontra dan tak kurang mulai dari rakyat awam sampai Profesor angkat bicara. Semua jadi bertanya tanya; Apakah kriteria dari unsur penghinaan terhadap Presiden itu, tepatkah pasal tersebut dikenakan terhadap mahasiswa yang notabene sedang menjalankan fungsi partisipasi politiknya,bagaimana sejarah keberadaan pasal tersebut dalam rumusan KUHP, Apakah itu bukan upaya menghambat demokratisasi,dst. Dengan diputus bersalah oleh Pengadilan, orang semakin bertanya-tanya; Apa dasar pertimbangan Hakim memutus mereka bersalah? Jawab atas pertanyaan tersebut sampai kini belumlah tuntas, artinya setiap saat sangat dimungkinkan untuk terjadi lagi polemik mengenai masalah penghinaan presiden.

Sekarang ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat - tempat dan dengan dakwaan pasal yang sama seperti kasus 21 mahasiswa - Dr.Ir. Sri Bintang Pamungkas sedang diadili. Pengajar Fakultas Teknik Universitas Indonesia ni didakwa oleh tim jaksa telah menghina Presiden saat memberi ceramah di hadapan mahasiswa Indonesia di Berlin. Benarkah Sri Bintang Pamungkas telah melanggar pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden? Apa definisi penghinaan presiden itu, kriteria dan unsur unsurnya? Tulisan ini disadur dari karya skripsi seorang pegiat politik dengan harapan agar sidang pembaca bisa memperoleh gambaran singkat mengenai persoalan unjuk rasa dan delik penghinaan presiden, dipandang dari kacamata sosiojuridis.

Definisi dan Pendapat Para Saksi Ahli

Penghinaan merupakan titel dari Bab XVI Buku II KUHPidana, yang termuat didalam pasal 310 sampai dengan pasal 321. Penghinaan dalam pasal-pasal tersebut diikuti dengan penegasan, apa yang benar-benar diartikan dengan kata 'penghinaan'. Ada dua pembedaan berdasarkan sifatnya yaitu secara subyektif dan obyektif. Subyektif artinya berupa menyerang kehormatan orang lain atau lebih konkritnya menyinggung rasa kehormatan dan secara Obyektif artinya bersifat menyerang nama baik orang.

Secara tegas yang namanya penghinaan yaitu segala penyerangan kehormatan dan nama baik orang seseorang dengan tidak memuat suatu tuduhan melakukan perbuatan tertentu atau tidak ditujukan untuk menyiarkan kepada khalayak ramai, dapat dihukum, tetapi terbatas pada cara-cara melakukannya, yaitu; dimuka dengan lisan; dimuka umum dengan surat; dimuka orang itu sendiri dengan lisan; dimuka orang itu sendiri dengan perbuatan; dengan surat yang dikirim atau diterimakan kepadanya. Perbuatan penghinaan yang ditujukan kepada setiap orang dapat dibedakan kedalam beberapa jenis perbuatan yaitu; menista, menista dengan tulisan, memfitnah dan penghinaan biasa.

Rumusan penghinaan terhadap kepala negara sebagaimana diatur dalam pasal 134 KUHPidana mempunyai arti yang sama dengan penghinaan pada umumnya, yakni perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, hanya tanpa syarat-syarat lain seperti diatur dalam pasal 315 KUJPidana. Salah satu unsur dalam pasal 134 KUHPidana adalah 'sengaja', yang menurut Majelis Hakim saat itu, terdakwa (21 mahasiswa) terbukti mengetahui isi spanduk ( 'seret presiden ke sidang istimewa MPR' ) dan tetap membentangkannya di halaman parkir gedung DPR/MPR RI dan di lobby Lokawirashaba., sehingga menghendaki perbuatan dan tujuan dari perbuatan.

Menurut hemat penulis skripsi ini, Majelis Hakim hanya melihat isi spanduk tapi tanpa melihat secara kontekstual maupun latar belakang penulisan spanduk tersebut. Konteks dari tulisan 'seret Presiden....' itu sebenarnya ditujukan kepada anggota MPR. Artinya kedatangan para terdakwa adalah dalam rangka menyampaikan aspirasi politik, meminta dan mendesak agar MPR sebagai lembaga tertinggi pemegang mandat kedaulatan rakyat, melakukan sesuatu guna meminta pertanggungjawaban presiden. Sabam Sirait, yang juga anggota dewan dan kebetulan juga sebagai saksi, membenarkan hal tersebut. Sasaran mahasiswa adalah anggota DPR/MPR RI, bukan Presiden. DPR/MPR RI adalah memang satu lembaga penyaluran aspirasi rakyat dan yang menurut saksi ahli lain yaitu Prof.Dr. Franz Magnis Suseno, bukan merupakan tempat umum sebagaimana dimaksud oleh pasal 134 KUHPidana. Adanya penghinaan, sebagaimana dimaksud pasal 134 KUHP, disamping dilakukan ditempat umum juga haruslah semata-mata dengan maksud menghina Presiden.

Tulisan spanduk 'Seret Presiden ke Sidang Istimewa..' mengandung muatan politis dan setiap kata kata politis, menurut Dr.Ir. Sri Bintang Pamungkas yang juga menjadi saksi, merupakan kritik bukan penghinaan. Makna hukum kalimat tersebut menurut pakar hukum pidana Prof.Dr. J:E Sahetapy adalah konstitusional.

Guna mengetahui apakah perbuatan tersebut masuk kedalam rumusan penghinaan atau bukan, musti dipahami dulu isi maupun konteksnya. Secara faktual, mahasiswa datang dengan membawa poster, spanduk, puisi, ungkapan baik lisan maupun tulisan sebagimana dalam dakwaan dapat dikatakan bahwa itu merupakan ungkapan tidak langsung dari satu perasaan ketidakpuasan dan ingin perubahan ke arah yang lebih baik. Ungkapan ketidakpuasan atau kritik itu juga harus dilihat dari persepsi masyarakat, dalam hal ini mahasiswa. Mengapa dalam menghadapi situasi seperti ini dimana banyak terjadi kasus yang merugikan rakyat, DPR/MPR RI hanya diam?

Latar belakang penilaian atau persepsi masyarakat merupakan politik yang wajar. Sebagaimana Franz Magnis Suseno katakan dihadapan sidang ; Apa yang dilakukan mahasiswa tersebut masih dalam kerangka, baik secara philosopis dalam arti demokrasi maupun secara hukum positip sebagaimana pasal 28 UUD 1945 dan kritik merupakan salah satu cara merealisasikan pendapat masyarakat terhadap apa yang terjadi di negara ini.

Mengapa kritik harus disampaikan dengan kata kata menggigit ? Agar orang yang membaca dapat mengetahui maknanya, ujar Prof. Dr. JE Sahetapy di hadapan sidang, sebagaiamana kalimat 'Subandrio anjung Peking' yang mengandung makna kedekatan Subandrio dengan Pemerintah Cina saat itu. Dalam sidang yang sama, saksi lainnya Ali Sadikin juga mengatakan itu bukan penghinaan tapi kritik. Jadi kesemuanya berpendapat bahwa hal yang melatarbelakangi adanya kata-kata tersebut adalah peristiwa politik, sehingga tidak ada sanksi hukumnya. Dipertegas dengan kesaksian KH: Abdurrachman Wachid yang mengatakan bahwa;...perilaku mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa tanggal 14 Desember 1993 adalah merupakan partisipasi politik yang merupakan bagian dari proses timbal balik, jadi ada sebab-sebab di luar terdakwa yang membuat mereka bereaksi terhadap keadaan tersebut, sehingga mereka mengambil langkah-langkah tertentu yaitu unjuk rasa.

Dalam memberi putusan terhadap para terdakwa 21 mahasiswa itu tampak adanya pengabaian substansi dari persoalan unjuk rasa. Artinya putusan bersalah melanggar pasal 134 KUHP hanya dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam suatu pasal guna memasukkan tindakan yang didakwakan itu kedalam kwalifikasi sebuah delik dalam undang undang. Cara berpikir yang yuridis dogmatis semacam putusan itu, melaksanakan hukum hanya dilihat melulu dari isi aturan semata, dalam perspektif perkembangan hukum akan merugikan dan cenderung terjadinya stagnasi pemikiran dalam dunia hukum. Guna mencapai kebenaran substantif dan materiil, azas hukum pidana universal, sebagaimana diinginkan oleh segenap masyarakat tentulah memang tidak mudah. Namun hal tersebut tidaklah mustahil, sebab sistem hukum memungkinkan pencaharian kebenaran jauh melampaui batas batas peraturan formal. Sebagaimana dimaksud oleh pasal 23 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang mengatakan bahwa tiap tiap kejadian yang berimplikasi hukum hampir selalu terdapat unsur kepentingan yang kompleks seperti faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat yang potensial membawa perubahan.

Jelas bahwa penjatuhan pidana terhadap ke-21 mahasiwa itu lebih bertujuan sebagai alat represi negara daripada usaha penegakan hukum. Padahal, kewajiban hakim sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970, ' Sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat'. Maka hendaknya seorang hakim dalam menangani satu perkara harus selalu berusaha membuktikan; Apakah betul peristiwa itu terjadi, Apakah betul peristiwa itu merupakan tindak pidana, apakah sebab-sebab peristiwa itu terjadi dan siapakah orang orang yang bersalah melakukan peristiwa tersebut. Upaya tersebut guna mendekati keadilan substantif sebagaimana diinginkan oleh pencari keadilan.

Hukum Represif dan Hukum Responsif

Dari putusan tingkat pertama, pertimbangan yang dijadikan dasar pengambilan putusan tidak mencerminkan nilai obyektifitas dengan tidak menempatkan FAMI ke dalam perspektif kesejarahan yang tepat dan proporsional. Pertama; Sebagai bagian dari gerakan mahasiswa Indonesia yang lahir dari kuatnya arus demokratisasi , yang selalu mencoba menawarkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan bernegara, mencoba melihat tatanan kenegaraan secara rasional sehingga dianggapnya tidak ada satu kekuasaan dalam tatanan kemasyarakatan yang sakral. Kedua; 21 mahasiswa anggota FAMI merupakan generasi muda yang gelisah dan resah melihat realitas sosial dan realitas politik sehingga mengambil reaksi berupa aksi unjuk rasa. Juga dengan nada yang sama dikatakan oleh Prof. James Perkins, mantan Rektor Cornell University, Ketidakpuasan dikalangan mahasiswa adalah indikasi ketidakpuasan masyarakat pada umumnya. Ketidakpuasan dikalangan mahasiswa merupakan early warning bagi pemerintah. Dalam bahasa Frank A. Pinner, mahasiswa dikatakan sebagai orang yang terpanggil dan pelopor gagasan-gagasan baru ke arah perombakan susunan kemasyarakatan, yaitu golongan mahasiswa transgresif, yaitu golongan yang bercita-cita ke arah perubahan tata susunan sosial politik, sehingga terbentuk masyarakat yang lebih memenuhi rasa keadilan. Ketiga; Kesaksian para ahli yang dijadikan pertimbangan hakim hanyalah diambil sepenggal sepenggal atau tidak utuh. Menurut Saiful Bahri, SH, anggota tim pengacara, keterangan dari terdakwa; saksi ahli maupun pembela sangat dikesampingkan. Hal itu dapat dilihat dari amar putusan yang cenderung bersifat formal dengan tanpa melihat realitas yang terjadi di masyarakat.

Pada putusan pengadilan tingkat banding, pidananya diperberat dengan dasar pertimbangan bahwa persidangan dijadikan ajang propaganda politik oleh terdakwa. Hal ini merupakan pemaksaan hukum menngingat dasar pertimbangan tersebut hanya didasarkan pada opini dalam mass media. Keadaan yang demikian itu, menurut Nonet dan Selznick adalah mencirikan kondisi hukum yang berciri quasi hukum represif dan hukum otonom.. Dalam hukum otonom yang dipersoalkan adalah legitimasi daripada mempermasalahkan tertib sosial. Legitimasi ini didasarkan atas ide bahwa tata tertib sosial dapat dibuat sah apabila penggunaan kekuasaan diletakkan dibawah pengawasan dari prinsip prinsip konstitusional, prosedur prosedur formal dan institusi institusi yang bebas. Sedangkan dalam hukum responsif pada akhirnya yang dipermasalahkan adalah tujuan tertib sosial, yang mana tipe ini berasal dari suatu hasrat untuk membuat hukum lebih bertujuan didalam rangka melayani manusia dan institusi untuk mencapai tidak hanya keadilan formal tetapi keadilan substantif.

Hukum represif sendiri adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tertib sosial yang represif. Mengenai rejim yang represif, lebih lanjut dijelaskan oleh Nonet dan Selznick, sebagai berikut; suatu rejim yang menempatkan semua kepentingan didalam keadaan yang sangat tidak menentu dan terutama kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem privilise dan kekuasaan yang ada. Tetapi setiap tata politik adalah represif dalam beberapa hal dan sampai taraf tertentu. Dalam hal ini represif bukanlah terlalu disebabkan oleh tidak adanya kompetisi melainkan juga oleh pengerahan kebijakan kepada tujuan tunggal. Tujuan dan kepentingan yang beragam akan dikebiri apabila program umum mulai membentuk cetakan yang uni-dimensional.

Tujuan utama dari hukum pidana adalah mengembalikan ketertiban dalam masyarakat yang telah mengalami kegoncangan akibat dari adanya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih. Dalam hal ini, peran hakim sangat menentukan. terutama melalui putusan putusannya sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 8 dan ayat 9 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kewajiban atau tugas hakim ini hanya dapat terwujud apabila para hakim selain memiliki kemampuan dan menguasai ilmu hukum juga bisa mengetahui perkembangan dinamika sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Dengan kemampuan tersebut, kiranya dapat dicapai satu pendekatan terhadap nilai-nilai keadilan substantif melalui putusannya. Jika hakim hanya berpikir yuridis dogmatis justru akan menempatkan hukum dalam posisi yang menjauh dari realitas yang pada akhirnya terjadi stagnasi dalam perkembangan pemikiran hukum.

Dalam putusan terhadap ke-21 mahasiswa yang tergabung dalam FAMI, hakim telah menyatakan bahwa mereka telah secara sah dan terbukti bersalah, yang dilakukan secara bersama sama sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 134 jo pasal 55 KUHPidana. Dalam pertimbangannya dikatakan bahwa unsur unsur tindak pidana penghinaan Presiden telah terpenuhi yakni dengan adanya spanduk dan gubahan lagu Nona Manis Siapa yang Punya...yang mana walaupun para terdakwa mengetahui isi spanduk ternyata masih membentangkannya di halaman parkir gedung DPR/MPR RI. Sedangkan terpenuhinya unsur unsur pasal 55 ayat 1 KUHPidana yaitu dengan adanya kerjasama yang diinsyafi oleh ke-21 mahasiswa dan mereka telah melakukan perbuatan pelaksanaan. Dengan demikian syarat penyertaan telah terpenuhi dan masuk kwalifikasi 'orang yang melakukan' sebagaimana dimaksud pasal 55 (1) KUHPidana.

Dengan telah terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka majekis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pidana kepada 21 mahasiswa dengan masa hukuman variatif antara 6 sampai dengan 8 bulan. Pada Pengadilan tingkat banding, di Pengadilan Tinggi Jakarta, hukumannya diperberat secara variatif antara 8 bulan sampai dengan 14 bulan.. Hal pemberatan itu didasarkan pada pertimbangan 'bahwa sidang pengadilan telah dijadikan ajang propaganda politik oleh para terdakwa'.

Penjatuhan pidana yang didasarkan atas terpenuhinya unsur unsur sebagaimana dimaksud oleh undang undang dengan tanpa melihat perbuatan unjuk rasa dalam perspektif sosial politik merupakan cerminan adanya pemaksaan penerapan hukum pidana. Hukum pidana sekedar berfungsi sebagai alat represi oleh penguasa terhadap aspirasi rakyat sebagaiamana teorinya Nonet dan Selzsick. Hukum represif adalah hukum yang hanya mengabdi pada kekuasaan. Dalam konteks ini, pendekatan secara pemidanaan jelas tidak tepat, bukannya menyelesaikan malahan menimbulkan persoalan baru yang lebik kompleks.

Kesimpulan dan Saran

Masalah unjuk rasa dilihat baik dari kacamata filosofis yuridis maupun sosio politis adalah sah dan bagian yang wajar dari kehidupan bernegara yang demokratis. Pendapat para saksi ahli dihadapan persidangan semakin menguatkan kenyataan tersebut. Oleh karenai tu, hendaknya dalam masalah unjuk rasa (cat.FAMI), dilihat terlebih dahulu konteks sosial politik serta realitas yang melingkupinya. Upaya pemidanaan lewat perangkap yuridis sama maknanya dengan pemaksaan terhadap keberlakuan hukum pidana dan jelas tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Unjuk rasa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dinamika negara demokrasi, hendaknya disikapi melalui jalan :

  1. Pendekatan dialogis, dengan cara membuka saluran komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat.
  2. Mencari serta berusaha memecahkan akar permasalahan yang melatarbelakangi adanya unjuk rasa.
  3. Agar ada kepastian hukum, hendaknya segera dibentuk peraturan perundangan tentang unjuk rasa yang mengacu pada Pasal 28 UUD 1945 dan nilai nilai demokrasi.

Catatan :
Tulisan ini dicuplik dari karya skripsi saudara Joko Gundul yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pemidanaan Aksi Unjuk Rasa Di Gedung DPR/MPR RI (Studi Kasus Aksi Unjuk Rasa Front Mahasiswa Indonesia), dan telah dinyatakan lulus dihadapan sidang dewan penguji Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. .


Kembali ke Daftar Isi