SUSUNAN SISTIM POLITIK DI JEPANG

 

Diterjemahkan dari: Patrick Köllner,

Informationen zur politischen Bildung Nr. 225/1997

oleh Deni

 

PARTAI - PARTAI

 

Setelah perang dunia ke-2, pemerintahn di Jepang pernah di pegang oleh partai-partai yang konservativ. Partai Liberal Demokrat (PLD) yang terbentuk dari gabungan partai liberal dan partai demokrat pernah memegang pemerintahan yang cukup lama - dari tahun 1955 sampai kalah di pemilu tahun 1993 - hampir 40 tahun. Banyak orang berkesimpulan dan dengan tegas menyatakan bahwa, PLD adalah satu partai yang tidak liberal dan juga tidak demokratis.

Yang benar adalah, bahwa PLD mewakili lebih dahulu posisi yang konservativ daripada posisi yang liberal, dengan contoh dalam kebijaksanaan politiknya dan politik hukumnya. PLD lebih banyak menunjukkan suatu gabungan kelompok-kelompok (yang disebut faksi-faksi) yang konsentrasi politiknya tergantung pada gaya pimpinan tertentu. Jadi, orientasi PLD bukan pada idealisme partai. Ia berwatak agak kebarat-baratan. Disini ada satu kelanjutannya yang antara lain bahwa, keputusan-keputusan politik dan keputusan-keputusan intern partai berjalan tidak selalu transparan, melainkan lebih sering memuaskan atau menyenangkan pentolan-pentolan partai. Pentolan-pentolan partai ini dalam banyak hal adalah mantan pemimpin-pemimpin dari faksi-faksi yang bersifat intern partai.

Faksi-faksi yang pertama telah terbentuk pada waktu dari pembentukan partai sebagai kelompok-kelompok penyokong dari masing-masing kandidat untuk pimpinan partai. Tugas-tugas pemimpin faksi itu dahulu masih sederhana yaitu mengurus pengikut-pengikutnya dengan jabatan-jabatan

 

partai atau kabinet dan membantu dalam masalah keuangan. Daya tarik dari setiap faksi-faksi banyak hubungannya dengan beberapa hal yang penting, seperti prinsip dasar politik, karisma dan kemampuan mengumpulkan dana dari setiap pimpinan faksi-faksi.

 

PARTAI LIBERAL DEMOKRAT (P L D)

 

Politik pemerintahannya PLD sejak tahu 50-an menggambarkan satu orientasi ekonomi yang jelas dan satu persahabatan politik luar-negeri yang begitu erat dengan USA. Dalam kerangka politik ekonominya, PLD dalam masa jabatannya selalu lebih menekankan pada kepentingan investor-investor kakap. Tentu saja, itu juga berarti untuk merangkul kelompok-kelompok pemilih yang penting untuknya. Seperti, para petani dan pengusaha-pengusaha kelas menengah dan kecil. Caranya: melalui bantuan dan perlindungan politik. Tugas utamanya para politisi PLD dalam peraturan dulu adalah, memelihara hubungan yang baik dengan pusat kekuasaan di Tokyo, yang disebut "Pipelines". Maksudnya, amal-amal baik yang bersifat materiel, seperti proyek-proyek infrastruktur, dikemudikan kearah distrik-distrik pemilihannya.

Keharusan dari kegiatan yang bersifat sebagai perantara ini adalah satu akibat dari sistim politik di Jepang yang terlalu sentralistis. Sampai saat kini sang pemegang mandat hanya lah corong kepentingan belaka. Karenanya, reformasi politik dapat diharapkan (dalam artian kemandirian sang pemegang mandat untuk bisa memformulasikan tujuan politiknya), jika desentralissi dan federalisasi di Jepang berhasil dilaksanakan. Maksudnya: Kepada distrik dan daerah dihibahkan otonomi di bidang politik dan fiskal yang lebih luas.

 

PARTAI SOSIAL DEMOKRAT (P S D)

 

Partai sosialis Jepang yang didirikan dalam tahun 1955 menunjukakan suatu partai oposisi yang terpenting, dimana dalam tahun 1955 secara resmi merubah nama menjadi Partai Sosial Demokrat (PSD). Berdasarkan posisi-posisinya yang ideal dan sebagian besar yang begitu asing terhadap realitas (terutama tentang penolakkan perjanjian pertahanan dan keamanan antara Jepang dan USA dan tidak melegitimasi pasukan pertahanan dan keamanan Jepang sendiri) seperti juga kelemahannya yang relativ didaerah-daerah, maka PSD tidak akan bisa mempunyai gambaran untuk mengambil alih kekuasaan. Dasar keyakinan yang kaku ideologi itu menghalangi jalannya partai untuk menyusun sebuah program politik yang sebenarnya, dimana PSD bisa saja dibiarkan menjadi satu partai rakyat yang nyata dan benar.

Sampai awal tahun 90-an di Jepang bisa dibicarakan tentang sebuah "satu setengah sistim partai" dari liberal demokrat dan sosialis. Dulu ini sering sekali terjadi di Jepang, bahwa suatu jangka-waktu mati yang begitu lama dalam pemerintahan bisa menimbulkan hubungan-hubungan korupsi dan kekacauan antara negara dan ekonomi. Demikian diakhir-akhir tahun 80-an membanyaknya skandal-skandal korupsi yang didalamnya banyak sekali rentetan nama-nama politikus-politikus PLD yang terlibat. Ini disebabkan karena beaya yang begitu besar untuk kampanye pemilu dan beaya pendidikan untuk para pemilih selama berlangsungnya pemilu. Demikian seperti biasanya selalu ada yang ditunggu-tunggu oleh para politikus Jepang secara tradisionel, yaitu bingkisan kecil dalam bentuk uang untuk berpesta pora dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu sampai tahun 1955 tidak ada lagi dana dari pemerintah untuk partai, dimana partai-partai harus membeayai program-programnya dengan cara mengumpulkan dana dari beberapa donatur-donatur yaitu dari para pengusaha.

Kecakapan untuk mengumpulkan dana yang besar maknanya itu akan menjadi suatu tugas yang penting untuk para politikus dan sekretaris-sekretaris pribadinya mereka.

 

PERKEMBANGAN TERAKHIR

 

"Politik moneternya" PLD membosankan, akhirnya rakyat Jepang pada tahun 1993 memutuskan untuk memilih suatu koalisi yang terdiri dari 8 partai. Semuanya berada dibawah panji reformasi politik. Partai-partai ini sebenarnya menggambarkan sebagian besar hasil-hasil perpecahan dari PLD. Satu situasi kacau yang begitu kompleks dari berbagai motiv yang didasarkan dari perpecahan-perpecahan ini adalah: begitu besar peranannya para politikus yang konservativ dalam keinginan untuk membatasi hubungan-hubungan kacau yang berskandal besar dari PLD dan ketidakpuasan terhadap keengganan bereformasi, dimana mereka untuk berpaling dari partainya masing-masing, tapi juga perebutan kekuasaan didalam faksi PLD yang terbesar ini, seperti pemikiran-pemikiran mengenai taktik pemilu untuk pembentukan partai-partai baru.

Lebih jelas lagi sebagai kekuatan yang sentral disitu akan ada sebuah pembaruan partai yang konservativ, dimana yang pada akhir tahun 1994 bergabung dengan beberapa partai kecil seperti "Komeito" dari orang-orang Budha dan "Partai Sosial Demokrat" (PSD) menjadi "Partai Modern Baru" (PMB).

Dalam program-programnya yang resmi PMB mempunyai tuntutan-tuntutan inti, yaitu pembendungan kekuasaan birokrasi, suatu pertanggung-jawaban sendiri yang begitu kuat dari masyarakat dan sebuah profil yang jelas dalam politik luar-negerinya dan politik pertahanan dan keamanan nasional Jepang. Tapi banyak dari program partai yang tidak bisa direalisasikan selama masa jabatannya sebagai bagian dari koalisi pemerintahan yang baru, karena itu di tahun 1994 sudah pernah hancur (lagi) berantakan dan juga karena pernah diganti dari suatu koalisi antara PLD, PSD dan "Partai Herold Baru" yang kecil. Pemilu 1996 akhirnya membawa hasil yang sementara dalam jangka waktu yang pendek tentang koalisi pemerintahan di Jepang; dalam kerangka sebuah pemerintahan minoritas PLD bisa mengambil alih kekuasaan politik secara utuh.

Sejak awal tahun 90-an orang-orang sosialis adalah sebagai satu kelompok yang kalah paling besar dalam proses restrukturisasi politik. Diantara tahun 1993 dan 1996 mereka pernah - dengan sebuah gangguan kecil - ikut serta diantara tahun 1993 dan 1996 bersama-sama dengan Partai Herold Baru dalam koalisi pemerintahan PSD pernah bereaksi terhadap peranan baru ini dalam hal tanggung-jawab pemerintahan seperti juga terhadap tuntutan-tuntutan politik yang baru untuk partai-partai yang dulunya muncul akibat berakhirnya perang dingin, dan reaksinya demikian: PSD pernah melontarkan posisi-posisi dasar yang politis dan sentralis mengenai kerangka seperti tuntutan mengenai peleburan perjanjian pertahanan dan keamanan dengan USA, seperti tidak mengakui pasukan pertahanan dan keamanan nasional Jepang atau penolakkan pembuatan pembangkit tenaga nuklir. Dengan begitu tentunya partai membuat bingung banyak pemilihnya yang tradisionil itu.

Mereka beralih haluan terutama pada "Partai Demokrasi Jepang" (PDJ) yang dibentuk dalam bulan September 1996 dari beberapa wakil-wakil dari PSD demikian juga dari Partai Herold Baru, pada sebuah pecahan lagi dari PLD, dan pada "Partai Komunis Jepang" (PKJ) yang bertambah moderat. Dari pemilu tahun 1996 dulu muncul partai Jepang yang pada waktu itu adalah partai kedua terbesar di Jepang yang hanya bisa menjadi partai yang terkuat kelima setelah PLD, PMB, PDJ dan PKJ.

Proses restrukturisasi ditahun 1993 dari spektrum partai tidak bisa lagi disebut sebagai mengakhiri. Itu masih kuat hubungannya dengan partai-partai baru yang berdiri dengan ikatan-ikatan yang hampa lebih dahulu disekitar beberapa kepribadian-kepribadian pemimpinannya saja. Perpecahan-perpecahan selanjutnya, peleburan-peleburan partai dan gabungan-gabungan partai itu dari pertimbangan taktik pemilu memang sudah ditunggu-tunggu. Sebuah konstelasi yang jelas dari Partai-partai konservativ, liberal dan partai-partai politik lainnya, kemungkinan dalam bentuk dari sebuah sistim dua partai yang kuat dan berbau Angel Saxon, bisa diharapkan secepat mungkin sampai awal abad ke-21.

 

SISTIM PEMILU

 

Orang-orang yang berhak milih di Jepang (usia pemilih mulai 20 tahun) ikut serta dalam berbagai kegiatan yang besar dari pemilu ditingkat propinsi, regional dan tingkat nasional. Walikota dan wakil-wakilnya dipilih didalam pertemuan-pertemuan dari daerah kotapraja melalui pemilihan terbuka, seperti juga gubernur dan wakil-wakilnya dalam parlemen dari 47 pejabat tinggi daerah, yang tentu saja menentukan dalam pertanyaan-pertanyaan yang penting seperti politik moneter atau kebijaksanaan politik, hanya tentang sebuah otonomi politik yang terbatas. Disamping itu setiap 3 tahun sekali, setengah dari 252 anggota Majelis Perwakilan Tinggi (setara MPR) harus dipilih dalam pemilu. Yang paling penting ada lah pemilihan untuk parlemen nasional (setara DPR).

Sebelum reformasi pemilu tahun 1994 pernah ada 129 distrik pemilihan yang sedang (tidak besar dan tidak kecil), yang didalamnya dulu banyak mandat-mandat yang dioper untuk DPR. Tiga sampai lima kandidat dari setiap distrik-distrik pemilu ini (sejak 1986 dalam kasus tersendiri juga 2 atau 6 kandidat), yang paling banyak mendapatkan suara, dikirim ke DPR.

Walaupun sampai 6 pembawa mandat terpilih didalam sebuah wilayah tertentu, setiap pemilih hanya mempunyai satu suara. Karena suara-suara yang tersendiri tidak dapat diperhitungkan diantara kandidat-kandidat dari partai yang sama ("suara-suara tak jelas yang terpisah tidak bisa dipindahkan"). Ini artinya bahwa, dulu banyak kandidat-kandidat yang berbeda masuk dan terjadi suatu konflik dalam satu partai yang sama. Dalam banyak hal keputusan-keputusan pemilu yang berorientasi program partai adalah suatu hasil dari pada perorangan. Disamping itu sistim pemilu dulu memperkuat faksi-faksi didalam satu partai, karena dulu dalam peraturan anggota-anggota dari bermacam-macam faksi didalam satu partai harus mengambil alih dalam hal begitu banyaknya kandidat-kandidat dari satu partai.

Juga artinya didalam politik dana ditransfer melalui sistim pemilu, karena dulu kampanye pemilu yang memenuhi syarat sangat mahal sekali. Tujuan dari reformasi pemilu 1994 pada waktu itu adalah sebagai akibat dari pada itu, mengusahakan perbaikan keadaan. Akhirnya untuk keberhasilan pemilu pada waktu itu secara tradisionil disebut juga tiga "BAN" yaitu : satu daerah kekuatan yang lokal (JIBAN), satu wajah yang dikenal (KANBAN) dan satu bursa bagus untuk pertolongan dana secara materi (KABAN). Namun dalam mobilisasi suara di Jepang yang berperan penting adalah kelompok-kelompok penyokong yang bersifat perorangan dari kandidat-kandidat sendiri disatu pihak dan di lain pihak adalah organisasi-organisasi amatir yang budistis "Soka Gakkai".

Fakta mendorong timbulnya dinasti-dinasti politikus, bahwa tiga faktor keberhasilan yang inti dalam pemilu-pemilu dapat diwariskan. Dari banyaknya pemegang mandat yang muncul dari pemilihan-pemilihan untuk DPR 1996 sebagai contoh adalah seperempat dari politikus warisan atau politikus yang masih memegang jabatan. Eksistensi dinasti-dinasti politikus tidak dijadikan permasalahan oleh pemilih-pemilih di Jepang, karena seperti diketahui, sebuah tugas penting politikus-politikus secara tradisionel terletak diperwakilan yang berhasil dari kepentingan-kepentingan materi setiap distrik pemilu di Tokyo. Kontak-kontak yang perlu untuk itu dapat diturunkan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, apa yang paling penting adalah pemilih dari daerah-daerah pedalaman atau pedesaan diberi bayaran/honor.

 

SEDIKITNYA ANDIL PEREMPUAN

 

Setelah menjadi politikus yang memulai kariernya dulu ditingkat lokal, mantan pegawai kementrian meminta pertanggungan jawab kepada kelompok kedua terbesar dari wakil-wakil didalam DPR. Untuk fenomena ini dicari sebab-sebabnya dalam politisasi dari posis-posisi pimpinan didalam kementrian dan didalam usia pensiun yang muda dari pegawai-pegawai kementrian di Jepang (55 Tahun), karier kedua dimana sebagai politikus membuat sesuatu menjadi sebuah keinginan yang menarik. Perempuan dalam jabatan-jabatan politik di Jepang dulu dan sekarang memang jarang: 1996 - 4,6 % dari pejabat-pejabat DPR terdiri dari perempuan. Dengan itu Jepang tidak begitu berhasil seperti kelompok kekuatan yang ke-eropa-an dengan dominannya laki-laki didalam politik seperti Perancis dan Yunani.

Ketidakseimbangan antara distrik-distrik pemilu didaerah-daerah dan kota-kota itu adalah suatu keuntungan untuk partai pemerintah PLD yang bertahun-tahun lamanya berkuasa. Kira-kira pertengahan 80-an 111.000 suara mencukupi dalam hal-hal ekstrem pada pemilu disatu distrik pemilihan daerah, sedangkan disatu distrik pemilihan yang berpenduduk padat disuatu kota besar bisa mencapai lima kali lipat angka suaranya. Ketidakseimbangan suara ini berasal dari akibatnya penarikan perbatasan distrik-distrik pemilihan ditahun 1947. Namun perpindahan- perpindahan berikutnya ke kota-kota menjadi-kan suatu pergeseran perbandingan demografi, tanpa adanya kelanjutan untuk sebuah klasifikasi baru untuk distrik-distrik pemilihan. Sebagai partai yang pernah memperoleh kesuksesan yang besar didaerah, PLD pernah sebagai partai penguasa tidak berkesempatan untuk membentuk satu klasifikasi baru.

Baru dalam konsep reformasi dari sistim pemilu 1994 dibentuknya garis-garis baru yang menjadi batasan-batasan distrik pemilihan dan ketidakseimbangannya suara dari distrik-distrik pemilihan dengan (garis-garis baru tersebut) itu bisa dilihat dengan jelas berkurang.

Dibawah sistim pemilu yang berlaku sejak 1996 terpilih 300 dari 500 anggota DPR dalam satu distrik pemilihan. Sisa kursi 200 di DPR dialihkan keperbandingan hak dipilih. Sesuai dengan itu pemilih memberikan dua suara dalam pemilihan DPR sejak itu; satu untuk satu kandidat di distrik pemilihannya dan satu lagi untuk daftar partai di salah satu dari 11 distrik pemilihan regional ("blok- blok") yang dari situ dikirim, siapa yang mempunyai pemegang mandat yang banyak-nya 7 sampai 33. Lain tidak seperti di Jerman, suara kedua tidak memutuskan tentang angka dari keseluruhan kursi dari partai-partai di parlemen, melainkan hanya memutuskan ten-tang andilnya kepada 200 kursi yang dialihkan ke daftar-daftar regional. Sistim pemilu tidak lagi dipermasalahkan; kurangnya pengertian terlihat banyak sekali tentang itu, bahwa kandidat-kandidat yang tidak berhasil dalam satu distrik pemilihan untuk masuk ke DPR, namun demikian masih bisa mencari satu tempat yang pasti dari daftar-daftar distrik. Perubahan pertama sistim pemilu di Jepang dalam 70 tahun lagi tidak ada yang diam, kalau kritik ini berlangsung terus.

 

PARLEMEN

 

Organ-organ pemerintah dari daerah- daerah lain sering membedakan susunan dan operasi pemerintahannya. Selama parlemen dua kubu Jepang, "Kokkai" (pertemuan nasional) mempunyai banyak imbangannya dibanding dengan negra lain dimana saja didunia, dan itu juga menyimbolkan melalui satu rentetan dari ciri khasnya. Anggota- anggota parlemen kelihatannya lebih tidak kolektiv sebagai kekuasaan politik yang paling tinggi didalam negara, seperti ini adalah tipikal untuk sistim-sistim parlemen lainnya. Kekuasaan politik di Jepang banyak terbagi antara parlemen disatu pihak dan dilain pihak pemerintahan - kabinet - dan birokrasi yang begitu kuat.

Parlemen seperti juga parlemen- parlemen di negara-negara demokrasi barat, hanya berperan terbatas dalam proses perun-dangan-undangan. Sebagian mayoritas dari rancangan Undang-Undang (UU) itu bukan berasal dari parlemen, melainkan dari pemerintah, dimana birokrasi negara secara tradisionel dihampiri sebuah faktor yang sentral dalam persiapan - dan penerapannya. Begitu banyaknya rancangan UU dalam waktu lampau berasal dari birokrasi ministerial, yang dibawa secara formal dari pemerintah ke parlemen. Tentu saja bisa salah, untuk menyimbolkan Kokkai sebagai "parlemen teruji". Proses tawar menawar dalam setiap komite mengurus dengan sendirinya dalam waktu-waktu dari mayoritas yang absolut dari sebuah partai, bahwa kebanyakkan tidak ada dari partai-partai yang besar harus merasa begitu dibatasi. Penerimaan rancangan UU yang tidak kompromis menggambarkan lebih dulu pengecualian dari peraturan; sebagai penggantinya mencari konsensus-konsensus antara partai-partai yang berpengaruh. Proses legislatif di Jepang adalah keseluruhan dari arti yang agak politis, terutama dalam hubungan dengan peranannya sebagai fokus diskusi yang terbuka dan cara pengambilan pendapat seperti juga dengan fungsinya untuk memelihara persetujuan secara terbuka menuju proses pemerintahan keseluruhan.

 

DPR DAN MPR

 

Seperti diketahui parlemen Jepang teridiri dari dua kubu, dimana - seperti dibanyak negara demokratis lainnya - kekuasaan paling banyak terletak di tangan DPR dan MPR. Rumah penasehat adalah satu pengganti dari ruangannya orang-orang terhormat (bangsawan), yang pernah eksis diantara akhir abad ke-19 dan perang dunia ke-2. Akibat penghapusan dari warisan aristokrat setelah perang, MPR sekarang ini bukan forum yang parlementaris dari orang-orang terhormat seperti di Britania Raya dan juga bukan seperti Perwakilan Negara-Negara Bagian di Jerman.

MPR bisa menolak peraturan-peratur-an yang harus disepakati, tapi itu jarang terjadi, karena dalam peraturan sudah ada pro-ses tawar-menawar yang harus untuk menye-lamatkan satu mayoritas sebelum rancangan UU dibawa ke parlemen. Tendensi ini untuk perundingan dibelakang kulise antara lain pernah dijalankan, bahwa proses perantara yang formal dalam ketidakcocokan antara DPR dan MPR sudah puluhan tahun tidak digunakan lagi.

Anggaran belanja dan perjanjian internasional, yang otomatis berlaku sebulan setelah keputusan melalui DPR, itu termasuk dalam UU yang tidak disepakati. Suara-suara yang dianggap MPR sebagai berkelebihan dari waktu ke waktu akan selalu terjadi. Tugasnya parlemen secara keseluruhan adalah memutus-kan UU dan anggaran belanja, menyetujui perjanjian-perjanjian, memilih perdana menteri dan mengeluarkan keputusan-keputusan tam-bahan untuk UUD. Disamping itu setiap dari dua lembaga ini bisa mengatur komisi pencari fakta, bisa menasehati petisi-petisi, bisa memilih juru bicaranya sendiri dan bisa memilih pemimpin-pemimpin dari panitia- panitia yang tetap, seperti juga bisa memilih pembawa-pembawa fungsi yang lainnya.

Walaupun panitia-panitia parlemen Jepang tidak mempunyai pengaruh seperti misalnya, pasangannya di USA yang diambil sebagai contoh yang baik untuk mereka, panitia kerja menggambarkan satu persyaratan untuk sebuah karier yang sukses. Mengenai keanggotaan dalam kepanitiaan bisa dibangun kontak-kontak yang penting ke birokrasi kementrian dan ke kelompok-kelompok yang berkepentingan. Itu bukan suatu kebetulan, bahwa umpamanya Partai Liberal Demokrat berniat memutarbalikkan prinsip senioritas pembagian jabatan kepanitiaan: pejabat- pejabat muda lebih suka menerima jabatan dalam kepanitiaan penting yang politis seperti dalam pertanian dan peternakkan, dengan itu mereka dapat membangun jaringan baru kepa-da kelompok-kelompok penyokong yang sebelumnya sudah ada jaringan itu yang begitu luas dari pembawa-pembawa mandat yang terdahulu.

Periode rapat yang teratur dari kedua badan parlemen ini dimulai dalam bulan Januari dan berlangsung selama 150 hari. Disamping itu kabinet bisa mengadakan rapat-rapat periode yang luar biasa, dimana dalam UU juga tertera satu sampai dua kali dimusim panas dan musim gugur setiap tahun. DPR harus dipilih baru selambat-lambatnya 4 tahun. Namun Perdana Menteri menentukan keadilan seperti di Britania Raya, membubarkan DPR sebelumnya. Sejak 1949 Perdana Menteri yang menjabat senantiasa juga melakukan sesuatu keperluan dari instrumen ini sampai ada suatu pengecualian [TAMAT].


Kembali ke Daftar Isi