PASPOR SEBAGAI "SENJATA"

Kini giliran Iwan Setiabudi, mahasiswa TU Berlin, saksi meringankan dalam kasus Sri Bintang Pamungkas ("penghinaan presiden") mengalami kesulitan dalam pengurusan perpanjangan paspor di KJRI Berlin. Walaupun semua persyaratan administrasi dari prosedur perpanjangan paspor bagi WNI, yaitu: mengisi formulir, menyerahkan pasfoto 4x6 berlatar belakang merah dan menyerahkan paspor lama telah dipenuhi, ternyata itu tidak menjamin untuk segera mendapat perpanjangan paspor. Tambahan persyaratan yang tidak berlaku pada umumnya, berupa interogasi lisan dan pertanyaan tertulis yang menyangkut aktifitasnya, mulai dari kesediaan menjadi saksi dalam kasus "ceramah Sri Bintang Pamungkas di TU Berlin tahun 1995" sampai keterkaitan dalam berbagai kegiatan di Jerman, justru dijadikan landasan utama. Namun persyaratan tambahan tersebut ditolak oleh Iwan dengan alasan bahwa prosedur semacam itu adalah ilegal dan mengada-ada. "Itu merupakan tindakan diskriminatif yang tidak bisa dibenarkan dan kalau dibiarkan akan menjadi preseden buruk di kemudian hari" ujar Iwan.

Dari kasus ini kemudian muncul reaksi protes dari berbagai pihak di tanah air yang dialamatkan kepada Menteri Luar Negeri RI dan Konsulat Jenderal RI di Berlin serta pengaduan secara resmi ke Komisi Nasional HAM Indonesia.

Reaksi pertama dari Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas. Dalam surat protesnya (17.02.97) yang ditujukan ke Menteri Luar Negeri RI menyatakan bahwa kesaksian dalam kasus -delik penghinaan Presiden RI-adalah sesuai dengan hak sebagai warganegara, dan tuduhan "memusuhi Republik Indonesia" adalah sangat berlebihan, harus dibuktikan secara prosedur hukum oleh yang berwajib. Selanjutnya Komnas HAM lewat anggotanya, Asmara Nababan, menyatakan bahwa penahanan paspor Iwan oleh KJRI Berlin merupakan pelanggaran HAM. (Kompas, Senin, 24.03.97).

Langkah lebih nyata dilanjutkan dengan menunjuk LBH Jakarta (Lembaga Bantuan Hukum) sebagai kuasa hukum di Indonesia. Dalam surat bernomor 93/SK/LBH/III/1997, 14.03.97, LBH Jakarta mengharapkan Dirjen Protokoler dan Konsuler Departemen Luar Negeri RI, sebagai pihak atasan KJRI Berlin, dapat mengambil tindakan-tindakan yang dapat menyelesaikan proses perpanjangan paspor kliennya, sehingga tidak menyebabkan masalah ini menjadi semakin berlarut-larut serta menimbulkan masalah-masalah hukum di kemudian hari. PROTES KERAS muncul dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia). Secara umum PBHI menyatakan bahwa sama sekali tidak ada kewenangan dari negara untuk memperlakukan dokumen paspor sebagai semacam "senjata" untuk mendikte aktivitas atau mengubah keyakinan dan pandangan politik seseorang. Perilaku semacam ini hanya dikenal bagi negara bersistem politik otoriter.

Dalam surat yang sama pula PBHI menyatakan siap melakukan advokasi kampanye sebagai masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia. PBHI bahkan mendesak agar dilakukan langkah korektif menyeluruh terhadap seluruh aparat KJRI di Berlin dan dimungkinkan tindakan hukum dan administratif terhadap aparat KJRI Berlin yang telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap perpanjangan paspor Warga Negara Indonesia di sana (surat no. 14/EKS/DE-PBHI/III/1997, 19.03.97).

Desakan dari PBHI berlanjut dengan usulan agar segera diambil tindakan tegas "pemberhentian tidak hormat" terhadap aparat yang bertanggung jawab, khususnya Sdr.Indra M. Damanik selaku Konsul Jenderal KJRI di Berlin dan Wakil Konsul KJRI Berlin, Letkol Ariyono, jika ternyata ditemukan motif usaha pembangkangan atas kebijakan Departemen Luar Negeri R.I. Salah satu kebijakan Departemen Luar Negeri, seperti tertera dalam surat no. 201/PK/III/97/38/B, 21.03.1997, antara lain menjelaskan bahwa paspor sdr. Iwan Setiabudi akan segera diberikan setelah semua persyaratan administrasi dipenuhi.

Di Berlin reaksi atas permasalahan paspor Iwan dilakukan oleh Aliansi Pemuda/i Independen Indonesia dengan mendatangi KJRI untuk berdialog dan mengajukan tuntutan a)agar dihapuskannya praktek diluar prosedur resmi dan diskriminatif yang menimbulkan keresahan masyarakat Indonesia di Berlin, b)segera diberikan perpanjangan paspor Iwan Setiabudi. Sayang sekali KJRI tak mau diajak dialog, hanya mau menerima surat pernyataan sikap dan tuntutan dari API Indonesia. Tak ketinggalan pula PPI Pusat Jerman serta PPI Cabang Berlin mempertanyakan hal semacam secara tertulis.

Kasus perpendekan paspor

Akhir Mei, Iwan mendapat-kan kembali paspornya, dengan masa berlaku satu tahun (terhitung sejak 03.02.96). "Masih untung mendapatkan paspor, tidak dicekal, tapi hati-hati ya lain kali!" komentar pertama dari Letkol Ariyono, yang lebih bernada sebagai ancaman.

Tentu saja itu tidak tanpa alasan, apabila kita melihat kasus yang dialami oleh beberapa rekan mahasiswa di rantau, baik di Jerman maupun negara lainnya.

Permasalahan yang berkaitan dengan paspor bagi Warga Negara Indonesia khususnya mahasiswa Indonesia yang kritis bukan merupakan hal baru. Sudah sering kali terjadi praktek-praktek represi dengan salah satunya memakai paspor sebagai "senjata" yang dilakukan aparat birokrasi negara (KJRI) terhadap mereka. Tidak sedikit dari mereka mengalami "perpendekan" masa berlaku paspor. Masa perpendekan bervariasi 3 bulan, 6 bulan atau satu tahun. Bahkan ada juga yang tidak memperoleh kembali paspornya sampai saat ini.

Adalah Pipit Ruchyat, mahasiswa,aktivis PPI periode 1978-1983, sejak tahun 1983 hingga akhir tahun 1986 berturut-turut masa berlaku paspornya diperpendek menjadi enam bulan dari yang normalnya 2 tahun oleh Konsul Letkol Poernomo Joedokoesoemo, dengan alasan bahwa tindakan Pipit selama ini sangat merugikan kepentingan Nasional RI. "Tulisan-tulisan dan tindak-tanduk saya dianggap mempunyai pengaruh negatip," ujar Pipit. Kemudian pada bulan Pebruari 1987, tanpa alasan yang jelas, dia mendapat secarik Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dengan masa berlaku sampai bulan Agustus 1987 dan hanya berlaku untuk perjalanan Berlin Barat-Jakarta, artinya Pipit disuruh pulang. Dan sejak SPLP tak berlaku lagi, praktis dia tak memiliki paspor. Hingga sekarang masih berada di Berlin. Bersamaan dengan Pipit ada 2 aktivis PPI yang terkena pemendekan masa berlaku paspor yaitu Zainal Fatichin mendapat 6 bulan dan Roni Juhfri mendapat 1 tahun. (kompas, 6.05.83)

Akhir tahun 1986 giliran I Gusti Nyoman Aryana, Sekjen P.I (Perhimpunan Indonesia) sekalian anggota PPI, yang beberapa bulan sebelumnya paspornya "disimpan" setelah diinterogasi berkaitan dengan isi dari majalah Berita Tanah Air terbitan P.I, mendapat perpanjangan 2 bulan, setelah dia menyatakan akan pulang ke Indonesia. Dan ternyata akibat lanjutannya dia "dicekal" pergi keluar negeri hingga tahun 1991. (lihat rubrik lika-liku rantau, SD no.IV/peb./97).

Yunus Uranus, Glennharto dan Harsono Yoesoep pada tahun 1987-1989 masing-masing mendapat perpanjangan selama 1 tahun setelah diinterogasi tentang keterlibatan dalam majalah PPI Cabang Berlin-Gotong Royong yang dianggap "berbahaya" bagi pemerintah. Sementara itu masih banyak lagi "korban" dari jurus perpendekan paspor tersebut. Beberapa mahasiswa yang pernah mengalami sengaja tidak mau mempersoalkan lagi, karena menganggap persoalannya selesai dan mereka kebanyakan sekarang hidup ditanah air (lihat tabel).

Dirangkum oleh:
Anthony L. J. Ratag


Kembali ke Daftar Isi