WAWANCARA DENGAN
NYOMAN ARYANA

T : Setelah membaca tulisan anda di SUARA DEMOKRASI (No.IV.Februari 1997) kami ingin mengetahui bagaimana perasaan anda ketika dicekal. Dan tak boleh keluar dari Bali?

J : Mula mula saya bingung. Ah, lama kelamaan jadi biasa. Cuma saya heran karena banyak 'teman' yang takut bertemu dengan saya. Barangkali mereka pikir, kalau bertemu dengan saya nanti mereka bisa mendapat kesulitan dari pemerintah.

T: Sebagai seorang politilog, apa saran anda kepada pemerintah agar hal tersebut tak terulang lagi?

J: Pertanyaan ini aneh. Kedengaran seolah olah saya ini orang penting. Yang bisa memberi saran kepada pemerintah. Kendati demikian agar lain kali dipikirkan terlebih dahulu sebelum menindak seorang warga negara. Artinya harus ada alasan yang jelas. Kenapa seseorang ditindak. Begitu juga kalau seseorang itu, setelah ditindak, kemudian dibebaskan misalnya. Jadi saran saya: pemerintah jangan keseringan dan seenaknya berbuat begitu.

T: 'kan tak tertutup kemungkinan hal itu dapat terjadi lagi terhadap warga lain.

J: Memang benar. Apalagi kalau tak ada orang yang protes. Dan pemerintah harus tahu bahwa generasi muda sekarang - saya kira - lebih lugas dan berani. Walaupun tak semuanya begitu. Artinya ada juga yang mikir, untuk apa ikut ikutan politik, kalau nanti hanya dapat susah saja. Itu wajar. Aktif politik memang tak dapat untung seperti berdagang. Tapi dapat sesuatu yang tak bisa diukur dengan uang. Itu kebahagiaan tersendiri. Dan ini akan lebih terasa apalagi kalau kita sudah pernah dicekal atau masuk penjara.

T: Walaupun anda dibebaskan (1992) ketika presiden Suharto berkunjung ke Berlin, tapi kenapa hal tersebut tak muncul kepermukaan?

J: Waduh saya tidak tahu, kenapa ya? Wah, mungkin saja media massa tak tertarik. Dan, saya juga tak ada kepentingan untuk menyaingi kepopuleran Michael Jackson. Saya sudah senang karena diperbolehkan pergi keluar negeri. Saya dengar kabar, masih banyak nasib orang yang lebih jelek dari saya. Dan buat orang awam di Indonesia paspor dicabut itu adalah fenomena orang kaya. Karena mereka pikir cuma orang kaya yang bisa pergi keluar negeri. Tetangga saya (petani) di Bali mikirnya begitu. Tapi kalau hidup diluar negeri tanpa paspor itu masalah lain. Setahu saya sih diantara negara-negara demokratis, cuma pemerintah Indonesia yang tega 'membuang' warga negaranya. Kebiasaan membuang warga negara ini cuma ada di sistim totaliter. Zaman Sukarno mana ada orang dibuang. Barangkali dia pikir, biar 'jelek' kan namanya juga bangsa sendiri. Pemerintah sekarang ini memang rada aneh, cuma bisa menindak tapi tak bisa memberikan alasan. Sepertinya kekuasaan itu anonim. Kekuasaan dalam pengertian negara moderen (menurut Max Weber) kan tidak anonim, maksudnya engga seperti Mafia gitu. Melainkan makin impersonal, artinya makin lama makin terinstitusionalisasi atau melembaga serta makin transparan. Di Indonesia malah sebaliknya. Kekuasaan makin lama makin cenderung terpusat ditangan satu orang saja. Sehingga institusi kehilangan fungsi serta makna. Contoh, kasus (paspor) saya misalnya, yang ditangani militer, kemudian dibebaskan oleh presiden. Apa gunanya kita punya DEPLU, KBRI, KONJEN atau KONSULAT?

T: Apa sebenarnya tujuan pemerintah, mencabut paspor warga yang dianggap vokal?

J: Waduh maaf saya tidak tahu. Sebaiknya saudara tanyakan saja langsung ke KJRI.

T: Bagaimana sebaiknya - menurut anda - perwakilan kita di luar negeri?

J: Tampil lebih profesional. Artinya agar dimata negara tuan rumah kita tampak sebagai bangsa yang civilized. Sebagai contoh, ketika saya kuliah di FU dulu, kami sering berdiskusi dengan Konsul KorSel, diplomat Thailand, Jepang, Filipina, Malaysia serta Brunei bahkan dengan seorang diplomat RRC. Saya ingin melihat diplomat (konsul) kita tampil sejajar dengan diplomat negara lain. Cuma itu.

Pewawancara:
Toni L.J. Ratag


Kembali ke Daftar Isi