MENGAPA PASPOR?

Oleh: Iwan Setiabudi

Semuanya mau dipaksakan. Ya... pakai slogan, ya... pakai idiologi... ya... pakai propaganda... dus... pakai senjata juga akhirnya.

Beberapa waktu yang lalu, gara-gara dianggap membahayakan stabilitas nasional, beberapa Warga Negara Indonesia diperantauan, bisa tidak mendapatkan paspor.

Sepuluh tahun yang lalu, gara-gara dianggap membahayakan kepentingan nasional, beberapa Warga Negara Indonesia, bisa tidak mendapatkan paspornya lagi.

Tiga puluh tahun yang lalu, gara-gara tidak mau memakai topeng "BARU", ratusan Warga Negara Indonesia diperantauan tidak bisa mendapatkan paspornya lagi sampai saat ini.

Mengapa paspor sebagai "senjata"?

Siapa yang tidak dibuat takut di Indonesia? Berawal dari kekuasaan yang tidak ada batasnya. Semakin lama semakin menjadi. Berangkat dari ide pembaharuan, dengan model "BARU" pula, maunya, ... kenyataannya lebih primitif. Penguasa mengatakan "awas komunis baru", tak lama berkumandang diseluruh tanah air, mulai dari koran-koran sampai mulut-mulut masyarakat, yang sekian tahun "dibodohkan". Mungkin memang benar kalau ada yang mengatakan masih sampai segitu pemikiran bangsa kita.

Kenapa? karena sistem yang tercipta dipergunakan penguasa hanya untuk menghindari keruntuhan penguasa. Artinya, penguasa tidak cukup pintar dan jeli untuk memikirkan, memajukan bangsa dan rakyatnya.

Secara gamblang negara yang tidak bersistem pun akan membentuk manusianya juga, sebagaimana tidak berbentuknya sistem tersebut. Di negara kita, apa yang sudah ada ternyata harus dikorbankan dengan kerakusan seorang penguasa yang tanpa disadari memporakporandakan semuanya. Tigapuluh dua tahun berkuasa, kurang lebih, tidak ada satu kekuatan politik pun yang bisa menandingi, seolah-olah. The single Man is the system, orang boleh bilang begitu, itulah kenyataan! sok OTORITER. "Stabilitas Nasional" terus berkumandang, demi "Kepentingan Nasional", yang berhasil menyingkirkan ribuan manusia berpikiran "sehat". Rakyat dicengkeram hawa ketidakpastian, pilihan lain adalah kesadaran semu yang berakhir dengan sebutan penjilat. Sebenarnya kriteria manusia sudah dihilangkan atau hilang, karena memang jiwa dalam kebimbangan dan otak sudah dimatikan, negara dalam kondisi cacat rohani. Dalam kondisi demikian, slogan-slogan semakin bertebaran, sudah tanpa makna lagi, tidak penting. Rakyat sibuk melepaskan diri dari keterjepitan karena injakan sepatu penguasa yang makin besar.

Kapan rakyat berteriak? Pada saat penguasa mempunyai kesadaran ataukah harus menunggu rakyat makin terjepit?. Mengharapkan kebaikan dari penguasa, suatu hal yang mustahil. Penguasa sudah berlumuran darah, terlambat untuk menarik diri, kalaupun itu mampu dilakukan.

Rakyat sendu menangis, sudah lewat waktunya. Mereka sudah beraksi, mereka sudah teriak, mereka sudah berkorban.

Untuk apa? Masing-masing punya jawaban, yang pasti lepas dari ketakutan dulu, bukan untuk takut. Kalau slogan-slogan bertebaran, landasan sudah menjadi idiologi, wibawa penguasa sudah dibesar-besarkan oleh penguasa sendiri, lantas apa yang bisa diharapkan lagi ? Pada saat segala anak-anak muda semacam PRD dijebloskan penjara, pada saat semakin banyak rakyat beraksi, pada saat pengulangan pencabutan paspor terjadi lagi, pada saat semakin banyak korban jatuh dan pada saat yang sama penguasa adalah sebagai kekuatan raksasa tungal, maka penguasa tak lain hanya menggunakan semuanya sebagai senjata, sebagai pertahanan terakhir dirinya. Pada saat itu pula umur penguasa tidak akan bertahan lama lagi. Maka saya setuju dengan istilah "Penguasa, raksasa yang ketakutan".

SEKIAN


Kembali ke Daftar Isi