Sepenggal pandangan politik Pipiet Ruchyat.

Menurut saya, penguasa memandang oposisi sebagai musuh, bukan lawan politik, yang berlawanan pandangan. Karena musuh, maka yang namanya oposisi harus dibinasakan habis.

Mau kita apa?

1. Sulitnya, kita telah memilih bentuk negara Republik, komplit dengan Undang Undang Dasar. Bentuk negara ini bukan kerajaan, ini harus digaris-bawahi. Bisanya kita memilih republik tentu ada lah produk kolonialisme. Tanpa ada kolonialisme, mana mungkin ada negara Republik Indonesia. Karena itu, secara objektif negara kita terdiri dari berbagai ragam sukubangsa, kepulowan, adat-istiadat, agama (istilahnya: sarap: suku, agama, ras dan pribadi). Belon lagi perbedaan generasi. Dus tidak sama dan tidak bisa dipaksakan sama macam tangsi tentara. Untuk mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan masing-masing kubu, tentu lah mesti disadari, bahwa perbedaan itu lumrah-lumrah saja. Makanya itu, di UUD pun diijinkan. Atow sebaliknya, karena UUD mengijinkan, maka perbedaan pendapat boleh hidup. Historis pula, negara Indonesia itu terbentuk dari perbedaan pendapat - entah yang namanya Boedi Oetomo, SI, PKI, NU, PNI, PSI, Murba dan laen-laennya. Bukan hasil karya seorang Raja atow Pahlawan. Karena itu selaen dipandang dari sisi obyektif yang saya katakan di atas, secara dialektis pun perbedaan pendapat ada lah lumrah-lumrah saja. Sebab, setiap aktivitas sekecil apa pun, selalu menimbulkan reaksi. Dan reaksi ini harus dinilai sebagai sesuatu yang positif.

2. Bentuk negara kita ini persis sebuah organisasi, yang dilengkapi dengan aturan maen. Kita ini seperti anggota buah organisasi, yang punya hak dan kewajiban yang sama - tanpa memandang bulu tengkuk. Karena itu lah, kita ini semua ada lah warganegara. Dan istilah warganegara ada lah politis sifatnya. Yang paling berabe, Orde Baru memaksakan untuk menggunakan istilah kawula. Kawula itu balatentara, pengikut, kacung, yang cuma menjalankan perentah, tanpa hak. Dan ini keliru besar, sebab ia bertentangan dengan bentuk negara kita yang Republik itu. Maka, kalow hak dan kewajiban sama, wajar lah ada perbedaan pendapat.

3. Orde Baru selalu mengatakan, bahwa praktek-praktek demokrasi parlemen atow demokrasi terpimpin dengan banyak partai mengganggu stabilitas. Selaen kabinet di jaman demokrasi parlemen jatuh bangun, rakyat terlibat banyak gontok-gontokan secara emosional. Kalow saya lihat kerusuhan selama Pemilu 97 antara PPP dan GOLKAR, ya apa bedanya dengan gontok-gontokan antara PKI dan kelompok non-komunis dulu? Jadi, apa yang disebut dengan pendidikan politik Orde Baru, agar 'rakyat' menjadi 'dewasa' itu tokh tak membawa hasil. Yang ada malahan macam api dalam sekam (Catatan: penggunaan istilah 'rakyat' dan bukan warganegara, menurut saya sangat mengganggu. Sebab menurut kamus Indonesia, rakyat itu bisa berarti pengikut, balatentara. Ya, kawula).

Demokrasi memang harus belajar. Tapi kalow banyak kengkangan, kapan belajarnya? Lihat contoh-contoh bagaimana negara-negara demokrasi di Barat ini ditegakan. Orde Baru seharusnya berterima kasih, justru dalam saat-saat 'tidur politik' begini, ada generasi muda macam PRD yang mau tanggap terhadap keadaan tanah aernya. Anak-anak muda ini seharusnya tidak diperlakukan sebagai musuh.

Dirangkum oleh:

Deny Tjakra


Kembali ke Daftar Isi