Kebangkitan Kembali Nasionalisme

Oleh: I Gusti Nyoman Aryana

Maraknya kembali semangat nasionalisme dewasa ini, erat kaitannya dengan keruntuhan sistem" sosialisme - negara " , beberapa tahun lalu. Minimal , pola pikir politik yang berwawasan kebangsaan (nation) kembali mendapat tempat `' terhormat `' diberbagai media massa. Diskursus mengenai nation hadir dimana-mana. Apakah gejala ini merupakan renaissance nasionalisme ? Tak ada kepastian. Namun yang jelas nasionalisme adalah sebuah konsep politik. Di samping itu nasionalisme juga merupakan ideologi pemersatu bangsa, dan ideologi pada dasarnya merupakan fenomena intelektual dan bukan tema sakral. Artinya patut didiskusikan secara terbuka.

Analisis ini hendaknya dipandang sebagai sebuah usaha untuk ikut menyemarakkan diskursus mengenai nation, yaitu bagaimana cara `' terbaik `' menyikapi kebangkitan kembali nasionalisme menjelang abad ke-21.

Persamaan Persepsi

Nation adalah apa yang telah menjadi plebisit nation tersebut ( Ernest Renan 1882:27 ). Jadi, menurut definisi Renan, secara teoritis seandainya cukup banyak penduduk Pulau Nusa Penida secara peblisit menyatakan bahwa mereka adalah nation Nusa Penida, tentu saja bangsa tersebut eksis. Namun ternyata tidak demikian. Sebab, hanya berdasarkan faktor subjektif sebuah nation tak mungkin bisa terbentuk. Demikian juga, hanya berdasarkan faktor objektif etnis-religius, seperti persamaan bahasa atau kultur, sebuah komunitas masih belum memenuhi syarat untuk layak menjadi sebuah nation. Jika demikian, tak seorang pakar pun secara ilmiah, dapat menyebut batasan yang jelas, apa sebenarnya yang disebut nation atau bangsa. Walaupun begitu, nation itu eksis dan ini adalah satu realitas. Apa sebenarnya yang kita maksud dengan kosa kata seperti bangsa, negara-bangsa atau nasionalisme ( nation, nation-state atau nasionalism )? Kita sendiri tidak perduli. Namun anehnya, kita gemar dan sering kali memakainya, tanpa pernah memikirkan apa arti

istilah-istilah tersebut. Tiap negara kita anggap saja sebagai nationstate. Begitu pula penggunaan kata-kata ini sering keliru dan nysris tanpa makna. Akan tetapi, ini tak berlaku untuk para pakar dari berbagai disiplin keilmuan.

Dalam perdebatan konsepsi, baik sejarawan, ilmuwan maupun antropolog, sependapat bahwa nation adalah sebuah fenomena modern. Adanya modernitas ini hendaknya dilihat dalam konteks terbentuknya lapisan masyarakat borjuis dibawah bendera revolusi Prancis 1789 serta dikondisikan oleh Zeitgeist liberalisme abad ke-19. Semua ini terjadi sebagai konsekuensi logis revolusi industri. Dengan bahasa lain, yakni sebab akibat yang kait-mengkait antara dimensi politis, ekonomis \ teknis dan perubahan sosial. Jadi nasionalisme hendaknya dilihat dalam konteks ini, dan bukan dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Nation atau nationalisme memang merupakan fenomena modern. Walaupun demikian, modernitas tak identik denagn nation. Namun berbeda dengan konsepsi nation yang dimotori revolusi Prancis, konsepsi berdasarkan trah atau persamaan darah/keturunan, bahasa, agama dan sebagainya adalah `' penemuan `' para filosof dan teolog Jerman akhir abad ke-19. Menurut Johann Gottfried Herder, tiap nation memiliki perbedaan geografi, klima, ras dan sejarah masing-masing; perbedaan yang merupakan karunis Tuhan. Oleh sebab itu tiap nation mengemban tugas suci yang berbeda pula. Hanya lewat karunia Tuhan inilah manusia dapat mencapai tingkat humanisme yang lebih tinggi. ( Lemberg 1950; 198u - 200 ). Dengan katsa lain, nation telah bangkit dari altar religiusitas. Tanpa melihat akar regiulitas argumen Herder, Tak mungkin rasanya kita dapat mengerti konsepsi nation (Volk )abad ke-19.

Konsepsi Etnis dan "Nation"

Sebelum revolusi Prancis, nation sering dianggap sebagai grup lokal ataupun kelompok kecil orang yang ,menggunakan dialek atau bahasa tertentu, yang berada dalam entitas yang lebih besar. Namun menjelang abad ke-20 ini Nation berarti sekelompok person ( Volk ) yang memiliki tradisi komunikasi saling mengisi, yang kemudian berhasil mengambil alih kendali kontrol beberapa pranata sosial atau kekuasaan, dan akhirnya dapat membentuk sebuah nation-state ( KW Deutsch 1972: 27 ).

Formulasi Deutsch perlu penjelasan lebih lanjut. Kalau das Volk, yang kini lebih populer dengan sebutan etnis ( latin: ethnos ), berarti; sekelompok manusia, yang memiliki kolektifitas serta identitas kultural tertentu, yang hidup didalam sebuah negara, bersama-sama kelompok etnis lainnya ( Heckmann 1992: 57 ). Masalah keetnisan adalah masalah identifikasi diri dan identifikasi oleh erang lain. ( Barth 1981: 200 ). Kelompok etnis dalam suatu negara bisa saja merupakan mayoritas atau minoritas. Kapan dan bilamana etnis dapat disebut nation, tak ada kepastian. Namun, perlakuan kurang adil terhadap minoritas etnis sering pula mengakibatkan konflik berkepanjangan, yang tak jarang menjadi bahan penilaian pihak luar. Dalam hal ini seberapa jauh hak-hak minoritas etnis tersebut diperhatikan atau dilindungi undang-undang suatu negara. Kiranya dua faktor ini dapat membangkitkan sentimen etnis yang suatu saat bisa saja berubah menjadi kesadaran nation baru. Disamping itu ada tiga kriteria yang `' mengizinkan `' sebuah komunitas etnis dapat diklasifikasikan sebagai nation, yang karena besarnya tak gampang dicaplok etnis lain. ( Hosbawm 1996:51 ). Kriteria pertama, adanya hubungan yang jelas dan erat antara satu komunitas dengan negara yang eksis atau dengan negara yang eksis sebelumnya., sehingga dalam hal ini, pembentukan nation-state seperti Inggris, Prancis, Rusia R$aya maupun Polandia merupakan masalah. Kemudian Kriteria kedua, adanya sastra dan bahasa resmi. Kedua faktor inilah yang menyebabkan Italia dan Jerman mengklaim diri sebagai sebuah nation. Walaupun kedua `' bangsa `' tersebut tak dapat mengidentifikasikan diri dengan negara yang ada sebelumnya. Lalu kriteria yang ketiga, imperialisme atau kolonialisme adalah suatu kenyataan sejarah, amat menyedihkan yang mempengaruhi kesadaran manusia abad ke-19. Ini menjadi bukti teori sosial darwinisme, bahwa bangsa-bangsa yang `' lebih kuat `' dapat berlangsung hidup, setelah menaklukan yang lemah.

Walaupun dikalangan pakar telah tercapai kata sepakat mengenai nation, dalam hal metode dan teori, masih ada perbedaan mendasar. Teori mengenai nasionalisme kalangan ilmuan sosial dan antropolog cenderung berangkat dari fakta yang langsung dipetik dari sebuah abstraksi. Kemudian diintergrasikan secara logis dan deduktif ke dalam konstruksi sebuah model. Dengan bahasa lain yang lebih gampang, mereka ini berusaha menyuguhkan satu teori yang tertutup, namun dapat digeneralisasi ( Anderson, Gellner, Kedourie dan Smith ).

Seorang sejarawan dan membentuk satu model-teori, juga mengutamakan pendekatan empirik; dia mengecek fakta dan cenderung induktif. Teorinya sering berbentuk satu jawaban atas pertanyaan konkret seperti what is a nation. Teori seperti ini tidak tertutup melainkan terbuka untuk berbagai perumusan problematik serta analisis yang muncul berikutnya ( Lemberg, Breully dan Hobsbawn ).

Sementara sejarawan dan sosiolog sibuk dengan kejatuhan dan kebangkitan bangsa-bangsa. Dengan kata lain, perubahan bentuk nation nasionalisme, menyebabkan interese kalangan politolog ( sarjana sospol ) terfokus pada peran nation-state pada masa mendatang, terutama dalam konteks politik internasional.

Etnisitas dan Nasionalitas

Seperti yang kita lihat, Masalah etnis--sama halnya dengan masalah nasionalisme--terbentuk dari berbagai faktor, yaitu politik, ekonomi dan perkembangan teknik yang kait-mengait dengan faktor sosiokultural, dan akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur masyarakat. Maka dari itu, masalah etnis hendaknya dipandang berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan bukan hanya dari satu aspek, faktor perbedaan agama, misalnya.

Yang pertama adalah faktor politik, sebab nasionalisme adalah prinsip politik. Setelah berakhirnya Perang Dingin, konstelasi politik internasional cenderung makin rumit dan kabur. Dari situasi ini muncul dua permasalahan.

Pertama adalah akibat makin meluasnya kapitalisme-global, dan globalisasi pada dasarnya hanya menguntungkan yang dalam hidup ini sudah untung, yang kaya makin kaya, rezim otoriter tambah otoriter. Globalisme memang cenderung menjadi legitimasi otoriterisme, dan hal ini akhirnya mengakibatkan perubahan drastis komunikasi politik antar bangsa, kemudian diikuti perubahan tata ekonomi. Dengan sendirinya juga menyentuh aspek sosiokultural. Masalah ini adalah interes bidang ilmu politik, yang secara implisit sudah mencakup pengamatan terhadap munculnya kesadaran etnis atau nation `' baru `' di suatu negara. Kemudian dilain pihak, kita bukan saja telah menyaksikan bubarnya sebuah negara adidaya bernama Uni Sovyet. Bahkan lebih dari itu, kini perkembangan politik dunia mengarah kepada penghancuran kesatuan politik lebih besar yakni nation-state.

Kedua, dalam gejolak nasionalisme-etnis akhir abad ke-20 ini adalah akibat faktor ekonomi, yang kelihatan berperan kurang begitu penting, jika dibanding faktor lain, sosiokultural atau religiusitas. Gejala ini sangat menarik, sebab sejak hancurnya sistem sosialisme, kapitalisme kehilangan satu alternatif paling berarti. Lenyapnya sosialisme bukanlah berarti bahwa kesenjangan sosial juga ikut lenyap dengan sendirinya. Tentu saja tidak, malah sebaliknya. Kesenjangan sosial terdapat dimana-mana. Oleh sebab itu kecenderungan nasionalisme `' baru `' ini henmdaknya dianalisis dalam konteks ini. Maksud saya determinan ekonomi. Logikanya begini. Kenapa banyak orang--terutama laki-laki usia muda--bersedia mati hanya untuk sebuah ide, dan bukan mati demi hal yang lebih `' realistis `', seperti memperjuangkan hak-hak untuk meraih kehidupan material yang lebih baik, misalnya. Jadi motif ekonomi an sich. Dalam diskursus etnisitas dan nasionalö itas ternyata ada satu hal yang sukar diterangkan, kenapa banyak orang bersedia mati hanya demi ide. Teorinya begini, sejak lama pakar biologi-sosial telah mengetahui, kendatipun perilaku manusia berbeda dengan binatang, namun dari sekian banyak perbedaan itu, terselip satu persamaan yakni perilaku altruistis. Artinya, manusia ( begitu juga binatang ), tidak selamanya egois. Pada saat-saat tertentu mereka bersedia mengorbankan diri, demi kepentungan kelompok atau trah mereka. Baik manusia maupun binatang dalam hal mempertahankan domain bukan saja siap membantai musuh, akan tetapi juga bersedia bertarung sampai mati. Jika perilaku berani mati pada binatang dipengaruhi insting, pada manusia ini tak lebih dan tak kurang dipengaruhi milieu (lingkungan), ideologi atau Ersatz-Religion seperti Marxisme atau fasisme. Dalam hal ini agama bukanlah kesadaran sesat seperti yang dikatakan para marxis-ortodoks, melainkan termasuk faktor penting dalam membentuk kesadaran manusia, yaitu kesadaran sebagai motor penggerak demi tercapainya suatu tujuan, terbentuknya sebuah komunitas (etnis) baru. Maka situasi dan kondisi-pun harus menunjang. Persyaratan ini terpenuhi (hanya) apabila kondisi kehidupan dunia nyata jauh lebih buruk dibanding bayangan kebahagian (di sorga) yang akan dicapai setelah mati. Jadi jelas, sementara kondisi sosial-ekonomis rata-rata kehidupan manusia masih berada setingkat diatas utopia (kehidupan yang lebih baik di `'dunia sana'' nanti), selama itu pula korban jiwa tak bakal pernah ada. Jadi untuk apa, kalau kebutuhan hidup semuanya terpenuhi ? Gampangnya begini. Masalah gerakan etnis dengan melihat presentase jumlah pendukung dan para aktivisnya--sering dipandang sebagai fenomena lapisan sosial menengah (bawah), Yang berarti, jika kehidupan lapisan menengah relatif `'makmur'' dan merata, klaim etnis (seperti di Singapura) biasanya lemah. Apalagi penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, dirasa tidak perlu lagi. Kekerasan fisik adalah pencerminan regresi mental dan kontraproduktif. Penggunaan kekerasan dalam pertikaian etnis sering kali mendapat porsi berlebihan di media-massa.

Dalam hal ini pemberitaan media-massa, dalam era high-tech ini merupakan faktor ketiga, yang bukannya tak berpengaruh sama-sekali terhadap proses terbentuknya kesadaran etnis, melainkan justru sebaliknya. Pemberitaan `'miring'' di koran-koran, radio dan terutama TV seringkali bukannya memukau, namun justru meresahkan pemirsa. Media massa cenderung memberitakan peristiwa-peristiwa spektakuler, lebih dari semestinya, sebab ada vested interest dan keperluan untuk itu. Sebagai contoh, ratusan bahkan ribuan orang mati terbunuh dalam ledakan bom, dalam konflik etnis-religius antara Tamil dan Sinhala di Sri Langka, konflik abadi anatara bangsa Palestina dan Israel, IRA-Katolik lawan Protestan di Irlandia Utara, Kurdi di Turki,

Chechnya di Rusia dan lain sebagainya, tanpa lupa menyebut kasus Bosnia maupun kasus Ruwanda di Afrika. Apa yang terjadi terhadap kognisi pemirsa, jika tiap hari di suguhkan seperi itu ? Paling tidak, timbulnya kesadaran baru dalam menghadapi realitas hidup. Jelasnya, lewat siaran TV, Chechnya berperang melawan Rusia misalnya, orang di Aceh dapat merasakan penderitaan orang-orang yang hidup ribuan km jauhnya. Karena kesamaan agama. Namun bagaimana kita dapat mengerti atau menerangkan sebab akibat, kait-mengait semua peristiwa ini ? Tanpa bantuan teori nasionalisme sulit rasanya kita bisa mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi dewasa ini.

Seperti halnya masalah nasionalisme, masalah etnis sedikit-banyak berkaitan juga dengan faktor politik, ekonomi, kemajuan teknik serta perubahan struktur sosial, seperti diuraikan diatas. Oleh sebab itu, masalah ini hendaknya dianalisis dalam konteks tersebut, dan bukan hanya dari satu aspek kultur misalnya. Sebab, agama bukan saja merupakan fenomena sosial, tetapi juga berfungsi sebagai sistem kultural. Artinya sebuah sistem komunitas protonasional, yang dengan kata lain berarti cikal bakal nation atau nasionalisme. Akan tetapi anggapan bahwa persamaan agama-lah yang menjadi faktor penetu etnis dan nation, tak dapat lagi dibenarkan. Agama memang mengakar di masyarakat, tetapi klaim bahwa (institusi) agama mendapat hak privilege dimasyarakat dibanding indtitusi lain, adalh anachronistis dan ilegitim. Artinya ketinggalan zaman dan tidak absah. Agama cenderung menjadi sempit dan nyaris kehilangan makna kebenaran universal, tatkala dipakai hanya untuk mengabsahkan inters partikular (seperti sosialisme-''buddhis'' di Myanmar). Artinya melegitimasi berbagai bentuk paksaan atau kekerasan seperti terorisme dan staterorism, tanpa kecuali.

Munculnya beberapa nation (state) modern bukanlah hanya di-ilhami ide. Buakn pula hanya berdasarkan daya dan karsa segelintir elite politik, akan tetapi ini lebih banyak merupakan perubahan struktural, yang tanpa peran aktiv berbagai lapisan masyarakat (pedagang kecil, buruh dan petani) tak mungkin tercapai. Jelasnya keterlibatan tiap individu membidani kelahiran sebuah bangsa bukanlah hanya dipengaruhi ide, melainkan lebih banyak ditentukan oleh interes yang kongkret (hroch 1991: 40). Jika sebuah nation modern dibentuk, diperlukan (?) elemen-etnis agar tradisi komunikasi saling mengisi, masyarakat berjalan stabil dan berkesinambungan (Smith 1983). Pendapat ini kontan ditolak oleh Ben Andersaon (1983) misalnya. Sebab, menurut dia pada dasarnya semua nations adalah komunitas-imaginer, dimana ideologi dan indoktrinasi berperan sangat dominan, terutama untuk mengatasi perbedaan tingkat dan kondisi sosial para individu. Lebih lanjut, beberapa kelompok individu `'hanya'' lewat pembagian kerja industrial akhirnya suatu saat sanggup membentuk sebuah nation, kata Gellner. Menurut dia, nasionalisme belum dikenal di zaman masyarakat agraris, dan nasionalisme adalah sebuah teori legitimasi politik yang pada hakikatnya mengatur agar batasan etnis/nation persis seperti batasan politik sebuah negara. Denagan demikian, penguasa tak (merasa) terpisah dari rakyatnya(Gellner 1993: 2). Semetara masyarakat industri modern, bukan saja ditandai dengan diferensiasi, akan tetapi juga nivelisasi sosial (penyamaan tingkat), yang sengaja dibentuk berdasarkan mitos. Kemudian apa yang kini sering disebut `'tradisi'' nasional, sebenarnya tak lebih adalah hasil suatu penemuan (Hobsbawm/Ranger 1983). Penemuan atau bukan, tak jadi masalah, karena tiap orang dapat saja `'menemukan'' etnis baru, tetapi tidak `'membuatnya'', dan ini berlaku juga untuk nations dan nation-states.

Kategori Bangsa

Berbeda dengan istilah nation-state yang diilhami revolusi Prancis (1789), istilah nation yang berdasarkan kesamaan etnis dan bahasa atau kombinasi keduanya adalah produk akhir abad ke-19. Untuk `'bangsa'' Indonesia istilah kulturnation (bangsa-budaya) dan staatsnation (bangsa-negara) mempunyai arti yang cukup penting.

Jika kita ingin mengetahui sejarah terbentuknya nation-state, sebaiknyalah kita mengetahui terlebih dahulu perbedaan dan wujud dari pada Nation dan natio-state, serta hubungan kedua istilah tersebut. Syarat utama sebuah nation agar dapat berkembang adalah teritorium (teritorial/wilayah). Dengan kata lain nation harus memiliki tanah air. Kendatipun ada juga nation yang tersebar dibeberapa negara tanpa memiliki tanah air jelas. Namun mereka memiliki ciri khas yang melekat kuat; di mana ciri khas ini bertumbuh dan berkembang. Maka lambat laun, itulah tanah air mereka. Oleh sebab itu kemudian terbentukllah apa yang disebut kulturnation dan staatsnation. Jika batasan pertama mengacu kepada kebersamaan pengalaman kultural, yang kedua terbentuk berkat proses pernyataan kebersamaan nasib, sejarah dan politik (Meinecke1962/1994:10). Definisi ini belum menjawab pertanyaan tuntas. Walaupun demikian, dalam hal ini perlu kiranya diperjelas bahwa istilah (nation) bukanlah merupakan bagian integral dari pada diskursus filosofis yang melayang di udara, melainkan mengakar kuat di masyarakat, sejarah serta geografi, dan ia harus diterangkan dalam konteks realitas tersebut (Hobsbawm 16:20). Begitu banyak pendapat dan posisi, mengenai nasionalisme namun pada hakikatnya semua teori tersebut berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan Ernest Renan: what is a nation?

Sebagai penutup, perlu dipertegas sekali lagi bahwa masa depan nation-state bukan saja merupakan tema menarik buat politolog, melainkan terbuka untuk interes tiap orang, dari berbagai profesi dan strata sosial. Apallagi mahasiswa sebagai generasi pennerus, yang di tuntut lebih peduli atau peka terhadap lingkungan (eksistensi) mereka. Sebab, apa yang terjadi hari ini, akibatnya akan baru dapat dirasakan mereka yang hidup hari esok. Ini berarti, hanya dengan cara lebih concern terhadap masalah nation, kekurangan atau kelemahan kita sebagai `'satu bangsa'' dapat kita perbaiki bersama. Dimasa mendatang nation-state masih bakal tetap eksis, walaupun peranannya tidak sebesar seperti yang kita lihat sekarang ini.


Kembali ke Daftar Isi