Kontroversi Pembangunan Orde Baru

I. Pembangunan dibidang politik.

Dalam sejarah pemerintahan orde baru, sampai saat ini Indonesia telah mengalami 6 kali pemilihan umum. Pemerintah menganggap pemilu2 tsb. sebagai salah satu unsur penting dalam pembangunan nasional di bidang politik dalam rangka memperlancar lajunya proses demokratisasi di Indonesia, sehingga sampai keluar istilah pesta demokrasi. Pemilu 1971 masih diikuti oleh 10 kontestan. Penyelenggaraan Pemilu ketika itu relatif baik dan berita tentang pertentangan fisik antar pengikut kontestan hampir tidak terdengar. Tahun berikutnya dengan dalih pencapaian konsensus nasional1 untuk kestabilan politik diadakan fusi partai politik sehingga pada pemilu 1977 kontestan yang ikut ambil bagian hanya tinggal 3 saja. Protes dan demonstrasi dari gerakan2 mahasiswa sebagai manifestasi dari ketidak puasan rakyat kembali muncul. Berbeda dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya, penyelenggaraan pemilu 1977 sampai sidang umum MPR 1978 diwarnai dengan protes gerakan mahasiswa dan konflik fisik antar kontestan pemilu. Korban mulai berjatuhan dan gerakan protes mahasiswa di jawab dengan tindakan2 kekerasan militer. Padahal mitra politik pemerintah orde baru 1965/1966 dalam menjatuhkan presiden Sukarno adalah mahasiswa dan pelajar. Pada penyelenggaraan2 Pemilu berikutnya, konflik fisik antar para kontestan makin meningkat. Pada tahun 1985 dengan dalih untuk memantapkan kestabilan politik agar mempercepat lajunya pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan undang2 yang mengatur tentang Pemilu, ormas dan kompososi MPR/DPR2. Pada kenyataannya, penyelenggaraan2 pemilu setelah disyahkannya UU tsb. makin ditandai dengan konfrontasi fisik antar pengikut2 kontestan yang meminta korban jiwa dan materi yang terlalu banyak. Pemilu 1997 yang sebetulnya sudah diketahui pemenangnya, memakan tidak kurang dari 300 korban jiwa (terutama konfrontasi fisik di Banjarmasin) dan banyak kerugian materil lainnya. Kebijaksanaan2 pemerintah dibidang politik yang dimaksudkan untuk menstabilkan keadaan politik ternyata malah mendestabilisasi keadaan politik (kontroversi pembangunan politik masa orba). Bandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu 1955 yang diikuti oleh 34 kontestan tapi tidak diwarnai dengan konfrontasi fisik antar para pengikut parpol peserta pemilu dan tidak memakan korban jiwa dan materiel serta hampir tidak ada indikasi pelecehan2 azas luber. Ada usaha2 manipulasi dan pelecahan azas luber (langsung, umum, bebas & rahasia) akan tetapi oknum pelakunya ditangkap petugas keamanan (bukan tentara!). Sejumlah 43.104.464 penduduk mendaftarkan diri sebagai pemilih yang dilangsungkan antara bulan Mei hingga November 1954. Pemilihan anggota parlemen diadakan pada 29 September 1955 dan untuk anggota dewan Konstituante (dewan yang akan membuat UUD) pada 15 Desember 1955. Lebih dari 39 juta atau 91,54% menggunakan hak pilih mereka. Hanya 3,89% atau tidak lebih dari 153.000 suara dinyatakan tidak syah3. Bandingkan dengan pemilu 1997 dimana menurut pemerintah tidak kurang dari 14 juta suara atau sekitar 11% dinyatakan tidak syah (golput)4. Pada 10 November 1956 anggota parlemen/konstituante hasil pemilu 1955 mengadakan sidang pertama dan memilih Wilopo (PNI) sebagai ketua dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI) dan Hidayat Ratu Aminah (IPKI) masing2 sebagai wakil ketua (perhatikan kemajemukan komposisi pemimpinan dewan ini!). Hasil terpenting dari dewan ini adalah keputusan No.26/K/PK/1958 yaitu 35 pasal mengenai Hak2 Azasi Manusia5. Dalam UUD 45 hanya terdapat 5 pasal (§ 27, § 28, §29 & § 31) mengenai HAM. Perlu dicatat bahwa: (1) Tingkat melek huruf di tahun 1955 jauh lebih rendah dari melek huruf ditahun 1997; (2) Jumlah kelas menengah/orang berpendidikan tinggi ketika itu jauh lebih rendah dari sekarang, disamping itu (3) pertumbuhan ekonomi di tahun 50an jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi tahun 90an. Fakta ini membuktikan kemampuan bangsa Indonesia untuk berbeda haluan politik antar sesama mereka dengan tidak mengurangi respek terhadap sesamanya. Tinggi-rendahnya pertumbuhan ekonomi, tinggi-rendahnya tingkat pendidikan dan banyaknya kelas menengah atau banyaknya orang yang berpendidikan tinggi bukanlah faktor yang menentukan berhasil-tidaknya manifestasi proses demokratisasi.

II. Pembangunan dibidang ekonomi dan sosial.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 30 tahun sangat pesat dan konstant. Pendapatan perkapita 1967: AS $ 80,- 1997 AS$ 990,- atau rata-rata 7% pertahun. Ekspot meningkat dari AS $ 665 juta,- 1967 menjadi AS $ 52 Milyard AS$ 1997 atau tumbuh rata rata 9% pertahun. Investasi modal asing maupun dalam negri juga meningkat pesat. Pendek kata pertumbuhan materiel meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang sedemikian pesat mengakibatkan pemerintah RI di tahun 90an mendapat pujian dari WB, IMF,OECD, UNCTAD, berbagai institusi & media internasional dan dari banyak negara maju maupun berkembang. Tahun 1985 organisasi PBB yang bergerak dibidang pangan FAO memberi penghargaan pada Presd. RI. atas pencapaian swasembada pangan di Indonesia. Laporan ekonom profesional dari World Bank 19 Juni 1997 mengatakan bahwa awal milenium yang akan datang Indonesia akan menjadi salah satu dari 20 negara yang ekonominya terbesar/terkuat didunia. Pada 8 September 1997 presiden Suharto kembali mendapat penghargaan, kali ini dari UNDP atas keberhasilannya dalam mengentaskan kemiskinan.

Fakta yang kontroversil dengan penghargaan & pujian diatas adalah bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak mampu mengatasi masalah pengadaan pangan minimum untuk menghindari terjadinya kelaparan. Sejak Juli 1997 sedikitnya 500 orang di 5 kabupaten di Irian Jaya meninggal karena kekurangan pangan. Selain itu di Sumsel, NTT, Kalteng bahkan Jateng diberitakan bahwa didaerah tsb terdapat banyak orang yang menderita kelaparan. Tragisnya DPR yang baru dilantik awal Oktober 1997 tidak mengajukan pertanyaan kepada pihak pemerintah mengenai tragedi tsb. apalagi menyatakan bencana kelaparan tsb. sebagai bencana nasional. Sekalipun demikian FAO dan UNDP tidak mau mencabut penghargaan mereka.

Pertumbuhan ekonomi yang dipuji lembaga2 ekonomi internasional bukannya tidak memakan ongkos atau bahkan korban pembangunan. Hutang LN RI 1967 berjumlah AS$ 2,3 milyard sedangkan di tahun 1997 berjumlah AS$ 145 milyard6. Hutang LN RI tumbuh rata rata 14% pertahun atau 2 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Padahal Indonesia selama 30 tahun ini mengekspor banyak hasil bumi. Lebih dari separuh ekspor Indonesia terdiri dari hasil bumi: migas, barang2 tambang, karet, kopi teh dan hasil2 hutan seperti kayu lapis, rotan, serta kayu olahan lainnya yang proses eksploitasi dan pengolahannya menyebabkan kerusakan lingkungan (sebagian besar diakibatkan oleh praktek bisnis konglomerat pemegang Hak Pengusahaan Hutan7) yaitu kebakaran diatas hampir 1 juta ha. hutan (tidak kurang dari 10 orang telah meninggal dunia karena sesak napas dan sekitar 22 juta orang mengalami gangguan saluran pernapasan). Kerugian langsung maupun tidak langsung dari kerusakan lingkungan dan terancamnya jiwa pddk demi lajunya deru pembangunan sebenarnya mengurangi angka pertumbuhan ekonomi tetapi kerugian2 tsb. tidak dimasukkan dalam hitungan neraca pembangunan ekonomi.

Desember 1967 nilai tukar Rp-AS$ 235. Bulan September 1997 nilai tukar tsb pernah mencapai angka Rp. 4000,-. Kamis tgl 6 Nov tercatat Kurs AS$ = Rp. 3440,- Dengan perkataan lain selama 30 th terakhir nilai Rp turun sampai 1602% atau rata rata turun 31% pertahun8 sehingga IMF, World Bank dan pemerintah AS turun tangan dan membantu dengan rescue package program plus dana segar AS$ 30 milyard (jauh lebih banyak dari perkiraan para ahli!!).

Proses peningkatan peran sektor industri yang menggantikan sektor pertanian dalam proses pembangunan menyebabkan terusirnya petani kecil dari desa dan berkurangnya lahan pertanian sampai 1 juta ha (untuk membangun pabrik demi industrialisasi dan westernisasi gaya hidup; mis. pembangunan real estate, super markt, mall, villa, hotel dan lapangan golf bergaya "barat")9. Kebijaksanaan pembangunan yang sedemikian, dimana kegiatan investasi banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan Jawa (lebih dari separuh terkonsentrasi di Jabotabek)10 menimbulkan kesenjangan kota-desa, Jawa-luar Jawa, sektor industri vs. pertanian dan konglomerat11 vs. pengusaha kecil. Bapenas pernah mengumumkan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di tahun 1993 menurun menjadi hanya 27 juta jiwa atau hanya 14% saja. Kedengarannya hebat tetapi sayang tolok ukur garis kemiskinan yang diambil sangat rendah, yaitu penduduk dengan tingkat konsumsi tidak lebih dari Rp. 20.000/bulan. Jika batas garis kemiskinan diambil dari Kebutuhan Fisik Minimum yang dikeluarkan oleh Depnaker 1993, yaitu Rp.80.000,-/bulan, maka tidak kurang dari 90% atau sekitar 180 juta jiwa masih hidup dibawah garis kemiskinan12. Termasuk kategori ini adalah nelayan kecil, buruh tani, petani gurem, buruh kasar, pedagang asongan dan para penganggur.

Penduduk yang terkena program pendidikan pemerintah juga masih sedikit. Tidak kurang dari 70% dari orang yang bekerja berpendidikan paling tinggi tamat Sekolah Dasar dan hanya 4% berpendidikan universitas atau akademi13. Perhatian pemerintah untuk bidang kesehatan juga sangat minim. Mentri negara untuk urusan wanita Mien Sugandhi awal November 1997 menyatakan bahwa tingkat kematian ibu dan bayi saat melahirkan di Indonesia mencapai angka 390 per 100.000 atau tertinggi di Asia14. Pantaskah pemerintah RI menerima pujian2 atas prestasi pembangunannya? Sekian (Priyanto).



Klik nomer dicatatan kaki untuk kembali ke teks

1. Konsensus ini sebenarnya bukan konsensus nasional melainkan konsensus antar elit politik Indoinesia ketika itu.
2. Undang undang yang langsung disyahkan oleh DPR (tanpa menggunakan hak tanya dan amandemen mereka), dikenal dengan 5 paket UU Politik 1985. Yang terpenting dari UU tsb. adalah: Peserta pemilu terbatas pada PPP, Golkar dan PDI, ketua penyelengara pemilu adalah Mendagri yang dibantu oleh gubernur dan bupati; calon anggota DPR dari setiap kontestan harus lulus dari penelitian khusus yang dilakukan oleh pemerintah, komposisi MPR/DPR (utusan daerah, golongan dan unsur2 MPR lain selain DPR ditentukan lewat Kepres); peraturan mengenai perubahan UU lewat referandum (menurut UUD 45 perubahan UUD dapat melalui persetujuan 2/3 anggota MPR!!), dan semua ormas harus berazas tunggal Pancasila. Sebelum itu ada UU No.3 Tahun 1975 yang hanya membatasi operasi PPP&PDI hanya sampai ibukota Dati I & II saja, sebaliknya hanya Golkar yang boleh beroperasi sampai tingkat pedesaan.
3. Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955. Ithaca: Cornell University Press, 1962.
4. Hasil pemilu 15 Desember 1955 adalah sbb:dari total 514 kursi, PNI mendapat 119 (23,2%), Masyumi 112(21,8%), NU 91(17,7%), PKI 60 (11,7%) dan yang lainnya masing2 kurang dari 20 kursi (lihat: Konstitusi dan Konstituante Indonesia, jilid I, 1958).
5. Lihat: A.B. Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia. A socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, Utrecht: 1992, 531).
6. Dr. Jeffrie Winters seorang ahli ekonomi yang pernah bekerja untuk World Bank di Indonesia mengatakan bahwa korupsi dana hutang yang diberikan World Bank pada pemerintah RI mencapai 30%.
7. Mentri Lingkungan hidup Sarwono Kusumaatmadja mengatakan bahwa 81% terbakarnya hutan diakibatkan oleh perusahaan2 kehutanan besar milik swasta dan para pemegang HPH.
8. Kenaikan harga AS$ ini juga disebabkan oleh membengkaknya defisit transaksi barang dan jasa dengan luar negri; kedua hal ini menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa dari luar negri yang mendorong kenaikan harga barang dan jasa dalam negri (imported inflation).
9. 1983-1993 lahan persawahan dan ladang yang diolah petani berkurang sebanyak hampir 1 juta ha dari 6,7 juta ha menjadi 5,8 juta ha (BPS, Statistik 50 Tahun Indonesia Merdeka, buku II, Jakarta:1995, h.206).
10. Terkonsentrasinya lokasi industri di kota kota besar juga menimbulkan persoalan2 urbanisasi, kriminalitas, pemukiman, penyediaan air bersih, polusi udara, kemacetan lalulintas dan masalah2 lingkungan.
11. Pada tahun 1993 perusahaan yang total assetnya berjumlah lebih dari Rp. 1 triliun,- berjumlah 24 sedangkan tahun 1995 jumlah tsb. meningkat hampir 3 kali lipat menjadi 67 perusahaan. Nilai asset mereka dalam waktu hanya 2 tahun meningkat hampir 4 kali lipat dari Rp. 72 triliun,- (26% dari Pendapatan Nasional) pada tahun 1993 menjadi pada tahun 1995 nilai asset tsb berjumlah Rp. 272,8 triliun,- atau 83% dari Pendapatan Nasional (lihat: Pusat Data Bisnis Indonesia, Conglomeration Indonesia, Jakarta:1997).
12. Lihat: Biro Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1995, Jakarta:1996, h.540.
13. Opcit.,h.60.
14. Di daerah tertentu misalnya Jawa Barat angka kematian ibu dan bayi saat melahirkan bahkan mencapai 400 per 100.000 kelahiran (Tempo Interaksi. 10 November 1997).



Kembali ke Daftar Isi