PLTN Muria

Simbol Arogansi Konspirasi Teknolog-Teknokrat

oleh : Pinky Lunantasari

Tak lama lagi Indonesia akan menambah satu lagi koleksi monumen 'pembangunan'nya, menyusul monumen-monumen yang sudah ada sebelumnya : Waduk Kedung Ombo, Lapangan-lapangan golf, Taman Mini Indonesia Indah, Waduk Nipah, Jalan-jalan tol, Mobil Nasional ( Sold by Indonesia, but made by Korea ? ) dan lain sebagainya. Kandidat koleksi baru ini dinamakan PLTN. Sinyalemen ini sudah diberikan oleh Dirjen BATAN Dr. Djali Ahimsa sendiri, yang menyatakan bahwa PLTN dipastikan dibangun di Indonesia awal tahun 2000. Menurut alasan resmi, PLTN diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat.

Peningkatan energi listrik ini dapat dipandang sebagai suatu konsekuensi logis suatu politik pembangunan ekonomi industri berat yang berbasis pada produksi dan konsumsi masif materi-energi. Pada saat tahap Pelita I dan II sumber pendanaan pelaksanaan pembangunan didapatkan dari hasil minyak bumi, yang pada waktu itu harganya di pasaran internasional meningkat tajam.

Peranan minyak bumi dalam ekspor maupun sumbangannya pada penerimaan negara mencapai 60% dari semua sumber pendapatan nasional.

Awal tahun 1983 merupakan titik balik dari masa keemasan itu. Minyak bumi mengalami kemerosotan harga dan penurunan produksi serta kurang

dimanfaatkannya masa-masa booming untuk sektor-sektor produktif karena mungkin memang lebih menarik bagi para elit sipil dan militer yang berkuasa atau memiliki akses kekuasaan untuk mengelola minyak bumi tersebut menjadikan masa-masa booming sebagai tambang emas perilaku koruptif. Kondisi ini tentu saja pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan secara tajam dari sektor ekspor minyak, dan tentu saja hal ini sangat mempengaruhi stabilitas anggaran negara. Menggalakan produksi non-migas ditempuh bukan sebagai suatu langkah karena kemampuan berpikir strategis dan visioner, melainkan lebih kepada untuk menutup pendapatan negara. Ini berarti akan lebih banyak dibutuhkan energi listrik untuk menggerakkan mesin-mesin dalam proses produksi. Diramalkan, pulau Jawa pada tahun 2015 membutuhkan listrik sekitar 27.000 MW, dan PLTN diharapkan dapat menyumbang 7000 MW. PLTN yang akan dibangun ini direncanakan memasok energi listrik bagi deretan industri yang memenuhi belahan Utara Jawa.

Jelas tampak disini, bahwa permintaan energi listrik yang terus meningkat untuk memutar roda raksasa industrialisasi guna mempertahankan dan memacu pertumbuhan ekonomi inilah yang dijadikan raison d'etre oleh pemerintah dalam membangun PLTN.

Beban Ekonomi

Menurut studi bank Dunia ternyata biaya per-satuan daya PLTN paling tinggi dibandingkan PLTU bahan bakar gas/minyak ataupun PLTU bahan bakar batubara ( secara ranking, 71,95 mills/kwh : 46,06 mills/kwh : 34,40 mills/kwh).

Menurut perkiraan, studi kelayakan suatu PLTN membutuhkan dana sebesar 11 juta dollar AS, sedangkan studi perekayasaan, penyusunan dokumen lelang dan pengawasan pembangunan memerlukan dana 40-50 juta dollar AS. Biaya pemeliharaannya pun amat tinggi. Jika PLTN sudah tak terpakai lagi (dalam jangka waktu 25 - 30 tahun ) biaya penutupannya bisa mencapai 30% dari keseluruhan pembiayaan, dan angka itu akan semakin membengkak jika alasan penutupan itu karena kecelakaan.

Kalau sumber pembiayaan pembangunan dan operasionalisasi PLTN ini berasal dari PKLN ( Pinjaman Komersial Luar Negeri )tentu akan menghadapkan

Indonesia sebagai suatu negara dengan catatan total utang luar negri sebesar 100 milyar dollar AS pada situasi yang makin sulit. Akankah Habibie mengeluarkan lagi jurus pamungkasnya, berteriak-teriak mengkambing-hitamkan suku bunga bank yang makin meningkat, seperti yang telah dikeluarkannya baru-baru ini ketika tanda-tanda kemorosotan ekonomis IPTN mulai tampak. Import Uranium sebagai bahan baku utama PLTN juga tentu akan semakin menguras devisa negara.

Andaikan Indonesia jadi membangun PLTN, tentu harga rupiah per-kwh listrik

yang dibayar konsumen non-industri akan lebih tinggi dibandingkan jenis pembangkit lain, padahal misi PLN tentu tidak terlepas dari apa yang diamanatkan oleh GBHN, yaitu untuk menyediakan energi listrik dengan mutu baik, dapat diandalkan serta harga yang terjangkau. Haruskah dengan alasan nasionalisme rakyat harus membeli sesuatu yang pada dasarnya merupakan suatu kebutuhan vital diluar kemampuan daya belinya ? Padahal pada awal tahun 1993 sekitar 82% penduduk Indonesia pengeluaran per kapitanya hanya berkemampuan kurang dari 2000 rupiah per-harinya.

Jelas dari perspektif ekonomi, pembangunan PLTN hanya membebani perekonomian negara saja serta inkonsisten dengan niat negara yang katanya hendak mengentas kemiskinan sebagai agenda utama pembangunan.

Keterbatasan Teknologi

Apakah dengan membangun PLTN prestise bangsa akan terangkat ataukah dengan membangun PLTN kita secara otomatis akan dianggap sebagai bangsa yang

menguasai teknologi mutakhir ? Sungguh naif sekali jika selalu mengidentikkan teknologi mutakhir dengan teknologi yang bersifat keras. Teknogi bersifat lunak disini diartikan sebagi teknologi pengembangan energi terbarukan yang ditopang oleh angin, matahari, panas bumi dan air.

Teknologi ini lebih murah daripada minyak dan gas bumi, sehingga dapat berarti penghematan bagi konsumen. Sebaliknya teknologi energi keras terlihat sekali menitik beratkan pada konsentrasi kapital untuk pertumbuhan ekonomi yang bersifat kapitalistik, menindas dan eksploitatif. Sementara teknologi energi lunak bersifat murah, terjangkau, merakyat, padat karya, manusiawi, menumbuhkan sumber daya lokal dan mengurangi konflik.

Kecelakaan di Chernobyl bukanlah persoalan nasional belaka, melainkan juga menjadi isu regional dan internasional, karena pencemaran radioaktif dapat mengkontaminasi suatu daerah teramat luas sekali - bahkan mungkin sampai

wilayah negara tetangga. Tercatat 20 negara terkontaminasi efek radiasi akibat kecelakaan Chernobyl tersebut ( Bulletin of Atomic Scientist, 1993).

Ada satu sifat yang tak boleh diabaikan karena selalu melekat dalam produk teknologi semacam PLTN ini, yaitu sifat-sifat di luar batas kemampuan teknologi (transaintifik). Artinya ada faktor-faktor alam dan manusia. Kecelakaan reaktor nuklir bisa disebabkan oleh faktor alam, misal gempa, seperti yang terjadi pada PLTN Wylfa-Irlandia (1979). Yang lebih sering disebabkan karena faktor manusia seperti musibah Three Miles Island dan Chernobyl. Sifat transaintifik inilah yang sulit diprediksikan maupun dimodel matematiskan. Oleh sebab itu tak ada jaminan dimasa mendatang, tak akan ada lagi kecelakaan nuklir secanggih apapun sistem pengamanan dapat diterapkan.

PLTN dan Ketergantungan

Sebetulnya Jawa memiliki potensi panas bumi sebesar 15.000 MW (Samaun Samadikun, 1993). Jika kita konversikan potensi ini, setara dengan 15 kali PLTN yang kapasitas per unitnya 1000 MW. Itu saja dana pengembangannya relatif kecil dan dapat disediakan sendiri di dalam negeri. Lagi pula kalau pemerintah Indonesia konsisten dengan skenario pemenuhan kebutuhan listrik di masa mendatang berdasarkan data dibawah ini, tidak tampak adanya rencana pembangunan PLTN sampai akhir Repelita VIII (2008/09). Sungguh mengejutkan bila tiba-tiba muncul rencana pembangunan PLTN awal tahun 2000.

Proyeksi Kebutuhan Pembangkit Listrik (MW)

Pembangkit 1993/94 1998/99 2003/04 2008/09
PLTA 2.365 4.331 6.269 8.964
PLTU Batubara 2.195 11.403 18.566 31.059
PLTGU (Gas) 2.388 4.557 6.090 7.342
PLTU (Minyak/Gas) 2.210 2.085 1.860 1.090
PLT Panas Bumi 273 688 714 714
PLT Gas 1.414 678 5.602 6.901
PLTD 1.735 2.113 1.809 2.000

Sumber : Rencana Pengembangan Ketenagakerjaan sebagai Bagian dari Pembangunan Nasional, Dr. Ir. Zuhal MSc (Dirut PLN).

Ada apakah ini ? Mungkinkah hal ini tidak terlepas dari keberhasilan lobi kelompok dagang industri nuklir. Pasca perang dingin yang diwarnai berbagai pelucutan senjata nuklir serta perjanjian antar negara untuk tidak mengembangkan persentaan nuklir telah memaksa kelompok dagang industri nuklir --jika tak mau gulung tikar--- merubah strateginya mengarah kepengembangan PLTN. Di negara-negara berkembang dimana industrialisasi tengah gencar-gencarnya dilaksanakan tentu pasar yang empuk bagi usaha dagang PLTN, mengingat hampir semua pembangunan PLTN di Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang sendiri diprotes secara besar-besaran. PLTN di negara asalnya sendiripun telah kehilangan pembeli.

Indonesia, sebagai negara yang mengambil kebijakan industrialisasi sebagai motor utama penggerak roda perekonomian, perlu mempelajari kasus Mexico sebagai bahan pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan pengadaan energi listrik agar tidak mengambil langkah-langkah yang justru akan men"subsidi" negara maju. Mexico tahun 1970-an, saat industrialisasi begitu gencar dilakukan, telah terlena dan tidak sadar bahwa gerakan industrialisasinya telah diboncengi kepentingan relokasi industri dari negara maju. Misalnya industri aluminium yang rakus energi listrik dan sangat polutan serta ketatnya peraturan lingkungan di AS, telah membuat industri aluminium AS dipindahkan ke Mexico. Akhirnya, Mexico harus menanggung kerusakan lingkungan dan kewajiban menyediakan energi listrik dalam skala besar. Dan kewajiban Indonesia dalam memenuhi kebutuhan listrik semakin membesar jika industri tidak mampu memangkas pemborosan energi listrik yang telah mencapai 30 % (Dirjen Listrik dan Pertambangan Energi, 1993)

Dari segi penguasaan teknologi tipis kemungkinannya negara-negara maju membiarkan Indonesia menguasai teknologi PLTN di sepanjang daur hidup bahan bakarnya, pembangunan reaktor, pendauran ulang bekas dan pengolahan limbah. Negara-negara maju tentu ingin Indonesia tetap tergantung pada mereka.

Tentu saja hal-hal semacam diatas tidak mencerminkan asas kemandirian seperti yang di amanatkan oleh GBHN.

PLTN, RUU Ketenaga Nukliran, dan Kedaulatan Rakyat

Jelas dari uraian diatas PLTN bukanlah diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan listrik tukang-tukang ojek, mbok-mbok bakul, petani, nelayan, dan buruh, melainkan untuk kepentingan kelompok pemodal. Tetapi ironisnya bukan hanya kelompok industri sajalah yang menanggung beban dan akibat yang dapat di timbulkan dari pembangunan suatu PLTN, tetapi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu pembangunan PLTN pada dasarnya adalah inkonstitusional jika hanya ditentukan oleh segelintir orang yang kebetulan memliki weweang, kekuasaan dan otoritas, sementara itu di lain pihak hak rakyat untuk memiliki akses informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan PLTN, hak rakyat untuk menyatakan pendapat dan opininya mengenai PLTN dan hak rakyat untuk menolak PLTN dinafikkan begitu saja.

Pilihan penerapan teknologi bukanlah otoritas tunggal para teknolog, karena tanggung jawab bangsa ini bukan hanya berada dipundak para teknolog. Atau mungkinkah kasus Indonesia dan PLTN ini merupakan contoh pembangunan yang dikendalikan oleh "arogansi" konspirasi para teknolog dan teknokrat ?

Sementara rakyat masih bergulat dengan persoalan keseharian yang kian hari kian menyesakkan, RUU Ketenaga Nukliran - buah keintiman gelap teknolog dan teknokrat - sebagai alat legitimator pembangunan PLTN Muria saat ini sedang pada tahap pembahasan di tingkatan Pansus. RUU ini tampak sangat optimistik, tak peduli bahwa rakyat punya pikiran lain, rakyat punya kekhawatiran lain. Pikiran dan kekhawatiran rakyat itulah seharusnya yang menjadi perhatian utama dalam menentukan pilihan-pilihan pembangunan.


Kembali ke Daftar Isi