MASALAH-MASALAH SEKITAR PERANAN LSM di INDONESIA

Kastorius Sinaga adalah dosen Pasca Sarjana FISIP UI, Jakarta, diapun sebagai seorang konsultan Bank Dunia dan seorang kolumnis di media massa. Si Bung ini pernah studi di Bielefeld, Jerman. Disertasinya berjudul 'A Study of the Role of Non Governmental Organizations in the Development Process'. Kebetulan Bung Kastor mampir ke Berlin dan ketemu wartawan Suara Demokrasi. Kesempatan ini kami gunakan untuk ngobrol-ngobrol tentang NGO dan LSM-LSM di Indonesia. Di bawah ini kami sajikan obrolan-obrolan kami :

Apa latar belakang lahirnya LSM LSM di dunia ketiga, termasuk di Indonesia?

Secara konsepsional teoritis ketika negara di dunia ketiga tidak dipercayai lagi oleh barat dan lembaga-lembaga bantuan internasional sebagai agen atau sarana untuk membangun masyarakatnya sendiri. Karena apa? Karena pada waktu itu memang ada tendensi di dunia ketiga, negara justru menjadi biang keladi kemelaratan dari masyarakat, mereka korup, dan sangat dihegemoni oleh militer. Bantuan pembangunan waktu itu yang selama akhir tahun 50 sampai akhir 60 an itu seluruhnya disalurkan melalui negara, yang tidak cukup bertanggungjawab untuk memanfaatkan bantuan, baik utang maupun non utang atau bantuan volunteer terhadap pembangunan dunia ketiga. Sehingga mereka mencari jalan lain dimana bisa langsung membantu, istilahnya direct assistant dan di sini dipercayai LSM LSM. Pada waktu itu LSM dipercaya karena waktu itu sangat dekat pada orang miskin, malah mengorganisasikan orang miskin sebagai kelompok sasaran mereka. Nah pada tahun 60an ini memang LSM banyak berkecimpung umumnya bagaimana membantu orang miskin. Saya kategorikan LSM itu sebagai Developmentalist NGO, NGO yang berorientasi pada pembangunan. Lalu setelah itu ada perbagai perubahan pada tingkat internasional di tahun 80an dimana masalah-masalah seperti lingkungan, HAM dan macam-macam itu, isu-isu itu semakin kuat dan ini mempengaruhi juga dalam pergeseran kegiatan NGO dimana mereka sudah mulai menggeser pendekatan mereka, karena mereka lihat kalau mereka bantu masyarakat miskin suatu desa padahal penyebab kemiskinan lebih struktural, artinya akibat dari kebijakan-kebijakan tertentu dari pemerintah. Akibatnya mereka seperti sosialarbeiter biasa. Sebabnya tidak diatasi, hanya akibatnya yang diatasi. Lalu mereka mulai bergerak dengan itu yang disebut NGO yang berorientasi pada advokasi. Maka pada tahun 80an itu seperti WALHI, LBH dan lalu Lembaga Konsumen Indonesia.

Dan beberapa gerakan-gerakan demokrasi mulai muncul dengan berorientasi pada perbaikan kebijakan pemerintah. Kasus Kedung Ombo misalnya, adalah suatu persoalan mikro sebagai akibat suatu kebijakan yang bersifat makro pembangunan infra struktur seperti irigasi, lalu bendungan, jalan, harus memperhitungkan akibat-akibatnya terhadap orang-orang yang dalam struktur masyarakat sendiri sudah termajinalisasi, artinya orang pinggiran. Kasus Kedung Ombo diangkat, dan mereka tidak lagi sekadar membantu petani Kedung Ombo tetapi mencoba mengkritik kebijakan yang mengakibatkan kasus-kasus seperti Kedung Ombo. Na di situ munculnya NGO-NGO advokasi. Mendekati tahun 90-an ini ada NGO generasi ketiga yang kita sebut sebagai NGO transformatif. Dalam arti mereka memang sudah benar-benar ingin mencoba mempertanyakan beberapa hal yang melegitimasi kekuasaan dan bahkan sudah ingin lebih transparan dalam gerakan-gerakan demokratis, kerinduan untuk membentuk partai baru misalnya. Dan NGO-NGO ini banyak dipelopori oleh kelompok kelompok di masyarakat yang cukup progresif, artinya mahasiswa kaum intelektual yang cukup kritis dengan pemerintah dan mencoba koalisi dengan buruh, petani dan segala macam. Yang dikritik bukan lagi kebijakan pemerintah tetapi pemerintah itu sendiri perlu diganti, karena sudah tidak dapat dipercayai lagi. Artinya kalau pemerintahannya demikian maka kebijakannyapun akan terus demikian. Maka pemerintah ini yang harus dikoreksi. Maka arahnya sudah sangat politis. Dan lalu kedua mereka sudah mulai dengan kampanye yang tidak terbatas lagi pada domestik tapi juga internasional dan ketiga mereka juga mencoba ikut menentukan opini publik dengan menggunakan mass media. Dan tiga tahap ini dialami oleh NGO Indonesia.

Jadi menurut Bung Kastor NGO itu mempunyai peran positif?

Jelas positif. Dalam arti sebagai kekuatan alternatif dimana lembaga-lembaga demokrasi semakin lemah akibat kooptasi dan dominasi dari negara. Kalau kita tunggu perubahan dari DPR tak akan jadi jadi karena DPR sebenarnya dibawah dominasi Eksekutif. Atau kita tunggu peradilan yang lebih adil tak akan terjadi karena lembaga lebih merupakan alat dari negara untuk melegimitasi tindak tanduk-nya. Atau kalau kita harapkan demokrati-sasi hanya pada pers, sementara ada lem-baga SIUPP, dimana menpen bisa saja langsung membreidel media massa. Non-govermental Organizations (NGOs)

Itu ditingkat supra struktur politik. Dalam arti fungsi-fungsi lembaga legislatif dan judikatif segala macam relatif sangat berada dibawah hegemoni negara. Masyarakat sendiri terkunci ketat dengan konsep floating mass (massa mengambang). Bahwa masyarakat desa tidak boleh berpolitik dan masyarakat desa semua kepemimpinan diatur oleh birokrasi negara, maupun militer dengan adanya struktur militer sampai kedesa, ini disebut Babinsa. Na dalam kondisi ini di lapisan menengah muncul LSM yang menuntut perubahan demokratisasi, keadilan.

Tetapi LSM juga sering dikritik sebagai sangat tergantung pada dunia barat. Ini bagaimana Bung?

Memang sering dikatakan bahwa secara finansial LSM tergantung pada dunia barat. Dalam artian di sini khusus untuk Indonesia boleh saja NGO-NGO ini mendapatkan dana dari pemerintah, dan itu juga ada, tetapi itu konsekwensinya ada ketergantungan program pada pemerintah. Na sementara ini bahwasanya ada legimitasi NGO Indonesia menerima dana dari NGO di luar karena apa? Karena itu sudah menjadi komitmen internasional bahwa 0,7 % dari GNP negara-negara maju itu harus disumbangkan ke negara-negara miskin sukarela tidak dalam bentuk utang. Na yang 0,7 % ini yang sebenarnya dimanfaatkan oleh NGO-NGO di negara berkembang seperti Indonesia, dan juga negara negara barat. Jadi misalnya biaya ataupun program politische Stiftung dari barat itu memakai dana tersebut, LSM hanya menyalurkan saja tidak lewat negara, namun people to people. Di sini perlu ditekankan, bahwa usulan usulan program atau cara-cara strategis yang menentukan adalah partner yang ada di negara berkembang. Saya kira demikian justru sebaliknya negara yang menjadi underbouw atau menjadi perpanjangan tangan dari barat, karena biar bagaimanapun kalau misalkan hubungan antara Jerman-Indonesia itu sudah jelas intinya adalah hubungan ekonomi dan tidak mungkin kamu harapkan Mercedes misalnya, mau mencoba masyarakat di Indonesia, karena yang penting buat mereka adalah bisnis. Dalam artian disini apalagi kalau pembangunan di negara berkembang itu orientasinya sangat ekonomis dan dalam hal ini justru negara itu sendiri menjadi kaki tangan kapitalis barat. Makanya jangan kita heran dalam hubungan antar negara itu sebenarnya misalkan Amerika, Eropa, atau Jepang malah menginginkan Militer di Indonesia atau Otoriterisme di Indonesia. Mengapa? Karena untuk menjamin keamanan atau sekuritas investasi mereka di sana. Jadi bukan NGO yang menjadi kaki tangan barat, mereka justru sebaliknya sangat dipengaruhi oleh idealisme bahwa pembangunan harus diberikan dan diprioritaskan kepada masya-rakat dengan nilai-nilai keadilan.

Bagaimana jalur aliran dana dari NGO-NGO di Indonesia?

Pemerintah sesuai mekanisme ini dapat dengan ketat mengontrol NGO NGO di Indonesia. Secara prinsip ada dua cara yang dijalankan. Pertama lewat Operational Permit, yang kurang lebih melarang pihak luar mendukung kegiatan politis secara langsung. Ijin ini adalah syarat pencairan dana yang harus terpenuhi. Kontrol lainnya adalah diperlukannya Rekomendasi dari Sekretaris kabinet.

Jadi apakah ada bukti, bahwa NGO itu dikasih uang untuk meniupkan isu isu HAM, atau tuduhan itu hanya reaksi emosional anti barat saja atau justru digembor gemborkan oleh oknum-oknum pemerintah?

Saya kira justru yang terakhir itu karena biasanya persepsi mengatakan bahwasannya NGO ini mengumandangkan HAM oleh pihak barat itu lebih banyak menjadi statement dari birokrasi di Indonesia. Yang mencari kambing hitam tetapi, tidak mencoba mencari akar masalah. Memang lebih gampang, mereka misalnya dalam peristiwa Medan, peristiwa Kedung Ombo, segera menuding pihak ketiga dari pada merefleksikan apa yang salah. Logika seperti itu diikuti mereka yang sangat berpikir status quo, bahwasannya disini tidak siap untuk dikritik dan dia tidak siap untuk menerima kenyataan bahwasannya kebijakan tersebut memang disana sangat memihak dan coba ada pihak pihak atau NGO yang mencoba concern terhadap masalah itu langsung dicap ditunggangi. Ini pikiran yang sangat status quo minded, tidak mau perubahan, sangat anti kritik. Padahal sebenarnya kalau NGO berkumandang tentang HAM ini suatu nilai yang universal, yang dimanapun nilai HAM yang menjadi dasar prinsip demokrasi ini universal dan selalu harus ditegakkan, karena nilai itu sendiri bukan diberikan oleh negara. Itu nilai yang sudah given pada setiap individu dimana saja dia berada dan tidak dapat dikurangi dan ditambahi oleh negara. Nilai HAM ini sangat bersifat individual artinya sewaktu kita dilahirkan sebagai manusia ataupun warga negara nilai nilai itu otomatis sudah melekat. Dan tidak bisa dikurangi ditambahi atau dilanggar oleh siapapun.

Bagaimana komentar Bung mengenai kemenangan "timur" terhadap "barat" di konferensi HAM di Wina, dengan diterimanya konsep relativisme kultural dalam pelaksanaan HAM?

Ada dua persepsi memang disitu. Menurut saya HAM itu sangat individual lalu pemerintah pemerintah di dunia ketiga termasuk pemerintah Indonesia mengata-kan itu relatif, tidak universal, tergantung pada budaya budaya. HAM disini ditak-sirkan secara kolektif, misalkan kalau kita masuk Indonesia, itu masyarakat kita kenal dengan negara integralistik, konsepnya Soepomo, dalam arti di sana terjadi suatu filosofi pendewaan negara. Individu tidak exist, yang ada adalah kolektivitas, kebersamaan. Na sekarang "bersama" ini menurut pemerintah-pemerintah negara berkem-bang, itu dianggap sudah direpresentasikan di dalam negara, padahal di negara sendiri strukturnya ada elitnya. Otomatis di dalam negara-negara dunia ketiga masyarakat itu tidak exist, itu adalah bagian dari negara. Kebalikannya di negara demokratis negara adalah suatu instrumen untuk mencapai tujuan bersama. Kalau di negara negara berkembang justru sebaliknya masyarakat adalah alat negara, sementara negara itu sendiri kumpulan dari sekelompok elit.

Na disini perbedaannya sehingga memang untuk mengcounter nilai nilai yang universal mereka mencoba mencari dengan cara kultural determinasi yang sebenarnya intinya adalah bahwa disana ada filosofi pendewaaan negara yang akibatnya individu itu tidak exist, otomatis hak hak individu itu tidak exist. Yang ada adalah kelompok yang menentukan, kelompok negara, dan negara sendiri ada kelompok elitnya. Itu hanya suatu model dari elit untuk menjustifikasi kekuasaannya sendiri dengan korban pelanggaran dan peniadaan hak azasi individual yang sebenarnya sangat universal.

Na lalu hal yang kedua adalah disamping kita adalah hak azasi yang individual kita ada hak hak azasi yang sifatnya kolektif, yaitu adalah freedom of speech, freedom of organize, ya kebebasan untuk berserikat kebebasan untuk ber bicara dsbnya. Yang sementara di negara-negara yang punya tradisi demokrasi sangat dihargai, dengan cara kamu bisa menyalurkan dengan cara apapun, dengan menulis dengan tidak memilih atau demonstrasi. Atau kamu bisa membentuk organisasi apapun yang kamu maui asal kamu tidak mengganggu ketertiban umum membuat orang lain terganggu. Kalau di negara-negara berkembang seperti di Indonesia dijamin secara tertulis tetapi pelaksanaanya diregulasi oleh negara sendiri. Sehingga misalnya apa lembaga SIUPP bukan lembaga yang menjadi instrumen negara untuk mengatakan kamu bisa bicara tapi bicara ini dong. Dan juga dengan hak hak berserikat sementara dijamin oleh UUD 45 bahwasanya warga negara Indonesia bebas untuk berserikat, tapi sementara negara punya interpretasi yang berbeda, bahwasanya organisasi organisasi yg boleh exist untuk pemuda adalah KNPI, petani adalah HKTI untuk nelayan HNSI yang semua organisasi ini adalah kepanjangan tangan dan buatan negara. Hal hal itu harus dijamin, namun kata mereka kita bukan orang barat dan segala macam argumen lainnya. Sebenarnya hal itu hanya legimitasi cara kekuasaan dari pemerintah.

Tetapi itu semua adalah demi stabilitas yang sebenarnya kita kembali seperti yang saya katakan, bahwasannya pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memelihara stabilitas itu demi kepentingan ekonomi yang sebenarnya sebagian kepentingan barat ada disitu. Barat dalam arti para industrialis barat. Na disini kalau NGO mencoba mempertannyakan perilaku negara yang demikian itu dan lalu kita cap sebagai kaki tangan barat, ini tidak cocok. Justru mereka ingin kembali kepada cara bernegara dan bermasyarakat yang lebih menghargai hak hak manusia sehingga jangan heran NGO banyak muncul pada pemusnahan suatu kultur, misalkan Dayak atau Irian sana. Karena setiap kultur itu berhak hidup dan harus dilindungi. Dan itu harus dilindungi bukan karena kemauan negara tetapi karena dia exist titik! Tidak ada istilahnya karena negara mau begini dan ini lalu ini harus ditiadakan. Saya kira dengan demikian tidak alasan untuk mengatakan mereka jadi kaki tangan dari barat Ini adalah kaki tangan dari nilai nilai universal ya! Benar!

Bagaimana pandangan Bung Kastor dengan makin terspesifikasinya NGO NGO di Indonesia ?

Kalau kita tarik benang merah, memang gejala spesifikasi itu muncul setelah tahun 70 an. Timbul spesifikasi secara sektoral, ada yang menkonsentrasikan diri pada masalah hutan, lingkungan, hukum, hak hak konsumen, tentang hak hak wanita dsbnya. Ini kalau menurut saya hanya entry point, satu titik masuk untuk mengkoreksi dan mengatasi masalah yang sebenarnya sama, yatiu tidak ada suatu sistem suatu pemerintahan yang cukup demokratis yang cukup mempertimbangkan berbagai rasa keadilan. Kita ambil sebagai contoh WALHI. Mereka kan mempertanyakan, mempermasalahkan pada sistem pemerintahan dengan cukup demokratis. Kenapa hutan di Indonesia misalkan rusak, karena ada lisensi HPH yang hanya dinikmati beberapa gelintir entah itu pengusaha pengusaha gede ataupun lisensi yang diberikan pada alat militer. Na cara cara lisensi dalam hal ekonomi demikian justru mengakibatkan rusaknya hutan, dalam arti disini adanya suatu sitem pemerintahan atau birokrasi yang sangat tidak demokratis dalam membagi aset ekonomi yang ada pada masyarakat. Jadi dengan entry point Lingkungan, masuk ke masalah demokrasi.

Atau contoh lain pada hak-hak konsumen. Katakanlah kalau kita membeli Indomi yang harganya Rp 1250 ,- sebenarnya harga yang fair Rp 450 ,- . Tetapi saya sebagai konsumen harus membayar Rp 1250 ,- karena sisanya yang Rp 800 ,- ini merupakan monopoli yang diambil dari atau dibayar konsumen terhadap yang memonopoli itu. Dan monopoli kita tahu antara siapa dengan siapa, antara Bulog dan Indofood. Dan banyak sekali hal hal sebagai konsumen dilanggar sehingga kita sebagai konsumen tidak dilindungi hak kita. Na ini bisa kita persoalkan. Hak hak konsumen bisa kita representasikan pada hal hal yang lebih luas, jadi itu saya kira hanya entry point. Spesifikasi tersebut sebenarnya tidak ada hubunganya dengan seperti di barat misalkan. Justru kita harus mengambil hikmah dari kesalahan Barat. Misalkan tentang lingkungan hidup. Indonesia sekarang tidak menghitung di dalam pertumbuhan ekonominya perusakan lingkungan yang suatu saat harus kita bayar kembali. Itu sudah kita lihat pada contoh Amerika Serikat dan Jerman bahwasannya dalam peraturan lingkungan, akhirnya mereka harus bayar kembali untuk maintenance dan perbaikan lingkungan dan jumlahnya besar sekali. Dalam artian kalau kita bawa ke Indonesia, masalah-masalah lingkungan ini kalau tidak sekarang diperhitungkan, saya kira generasi berikut akan memaki-maki kita, bahwasannya kita merusak dan biayanya ditanggung mereka kemudian. Jadi saya kira ini adalah entry point yang pada intinya bermuara pada satu masalah pokok, yaitu pembangunan yang lebih seimbang dalam beberapa aspek lingkungan, ekonomi dan juga pemerataan dan berbagai hal lainnya.

Dulu sewaktu baru muncul di Indonesia, ada kesan terhadap NGO, bahwa mereka adalah kepanjangan tangan pemerintah, karena sulit untuk secara independen melaksanakan proyek. Kalau sekarang kan kesan yang ada pada LSM oposan.

Sekarang ini dalam melaksanakannya proyek proyeknya halangan-halangan apa yang mereka alami?

Itu banyak sekali. Dan itu mulai dari awal tahun 90an memang banyak peraturan pemerintah yang membatasi ruang gerak NGO di Indonesia, karena berdasarkan anggapan tadi bahwasannya NGO oposan. Sebenarnya oposan disini tidak negatif, oposan untuk tujuan yang baik sangat positif. Artinya NGO juga memberikan jalan keluar. Na karena itu ada banyak Peraturan Pemerintah, termasuk Peraturan Mendagri, dimana antara lain dikatakan NGO harus mendaftar, lalu setelah mendaftar mereka dikoordinasi oleh Bupati atau Gubernur. Kalau mereka punya proyek di desa mereka harus punya persetujuan dari Sekkab di Jakarta, dan dari Bupati di daerah. Dan sampai persetujuan dari kepala desa. Dan kita tahu birokrasi di desa itu adalah birokrasi yang sangat sukar, tidak ada aturanlah kadang-kadang. Artinya dalam mengurusi urusan-urusan administrasi banyak energi yang terbuang. Buang uang, waktu dan segala macam dan belum lagi bagaimana dalam proses itu mereka sebenarnya hanya ingin melihat dan seleksi program NGO mana yang sesuai dengan keinginan mereka. Itu hanya suatu cara dari birokrasi menggiring kegiatan NGO agar hanya menjadi suplement pada program pemerintah.

Padahal kalau satu NGO mencoba membantu petani, katakanlah di Jateng, semacam tebu intensifikasi, petani di sana dipaksakan untuk menanam tebu daripada padi. Padahal kalau sudah dihitung-hitung mereka harus menjual ke KUD kemudian ke pabrik dan lalu hitung hasilnya jauh lebih rugi kalau mereka menanam padi. Na mereka dipaksa utnuk menanam tebu untuk mempertahankan produk gula yang akan menjadi stok untuk produksi-produksi lain atau ekspor . Na dalam persoalan demikian datang NGO untuk menyadarkan petani bahwasannya mereka mempunyai hak. Menurut UUD tentunya NGO ini bekerja tidak dengan memberikan nasi atau beras tetapi mencoba menjelaskan hak hak mereka. Ini disebut semacam enpowering. Hal seperti ini otomatis oleh birokrasi pemerintah tentunya tidak akan dibiarkan. Na memang akhir-akhir ini NGO di Indonesia sangat merasakan kesulitan akibat regulasi dari pihak negara, karena apa? Karena NGO merepotkan negara, tetapi sebenarnya merepotkan dalam arti tujuannya baik.

Ada satu kesan yang agak negatif pada LSM yang diberikan GATRA terbitan beberapa bulan lalu. Dana dari dalam negri itu juga ada, memang nggak banyak. Tapi dikesankan bahwa donatur-donaturnya ini adalah BSH ,Barisan Sakit Hati. Kalau kesan Bung sendiri...

Kalau memang GATRA meliput LSM ini itu pasti miring, artinya dia mau menghantam NGO. Itu kenapa? Itu kita tahu karena Bob Hasan. GATRA kan punyanya Bob Hasan dan Bob Hasan selama ini lawannya kan NGO WALHI. Itu harus kita katakan disini dan ini ada kepentingannya di sini. Yang sebenarnya kalau menurut saya di sini sebaiknya bermacam konglomerat-konglomerat di Indonesia, semacam Bob Hasan juga. Sebaiknya mereka menyisihkan sedikit keuntungan mereka untuk kemakmuran masyarakat entah itu lewat NGO atau tidak. Na kalau GATRA mengatakan, bahwasannya sedikit sekali bantuan dari domestik dan itu dari BSH ini hanya mencerminkan bahwasanya sistem distribusi ekonomi atau distribusi profit yang ada di Indonesia memang tidak jalan. Artinya di negara-negara yang menganut welfare state mereka disini memang ada istilahnya pajak ketat tetapi kalau kita mau menyumbang pada suatu yayasan yang bertujuan sosial gemeinnutzig (untung kepentingan bersama) itu ada Steuerersatz (pergantian pajak). Dalam arti disisni ada fungsi-fungsi mensejahterakan dalam pengertian kalau di Indonesia itu semuanya para pelaku bisinis meraup keuntungan, tetapi tidak pernah berpikir bagaimana mendistribusikan itu untuk kesejahteraan sesama. Tidak ada nilai-nilai, muatan-muatan sosial di dalam perilaku ekonomi di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Sehingga ini rapuh ini akan membuat yang miskin semakin miskin dan berjarak semakin jauh dengan yang kuat dan ini tentunya faktor desintegrasi. Sehingga statement seperti itu sangat tendensius. Dalam pengertian justru karena itu merekflesikan bahwa sistem ekonomi di Indonesia sangat kapitalistik malah kalau kita sebut itu super neoklasik yang hanya mementingkan diri. Padahal kalau mau kita lihat ekonomi dalam suatu sistem itu tidak boleh begitu, karena biar bagaimana petani itu sangat berperan dalam pertumbuhan industri dan itu diatas korban mereka, karena term of trade antara industri dan pertanian tidak seimbang. Dan selalu yang dikalahkan kaum petani.

Kira kira disitu dan kalau lihat lagi secara lebih luas misalkan dalma sektor gemeinnutzig di Indonesia yang disebut sektor yayasan yang tidak mencari laba. Sekarang ini justru di Indonesia malah banyak yayasan yang elit, itu saya hitung ada 21 yang menjadi dan dikuasai oleh konglomerat dan pusat kekuasaanm. Yang sebenarnya melalui yayasan-yayasan mereka, banyak akumulasi modal di sana. Dan kita sudah hitung itu, dari 21 yayasan yang elit ini ada yang dipakai untuk berbisnis. Misalkan bank Duta. Bank duta itu milik yayasan Darmais. Jadi ada satu kontradiksi di Indonesia, kalau di Jerman itu misalkan justru perusahan-perusahaan menciptakan yayasan untuk kepedulian sosial dia. VW misalkan dia mendirikan VW Stiftung dan VW Stiftung dikasih duit untuk memberikan bea siswa bea siswa untuk mengadakan penelitian penelitaian ataupun tujuan tujuan sosial. Sehingga dapat membantu orang lain. Kalau di Indonesia itu justru yang namanya yayasan justru membentuk PT perusahaan. Na ini semua kacau kan sehingga bisa kita katakan yang kaya semakin kaya yang miskin semakin tidak ada chance.

Dalam keadaan seperti itu bagaimana konsep LSM sendiri, seberapa jauh mereka mampu merubah struktur sosial ekonomi yang terpusat ke struktur sosial ekonomi yang lebih merata dan mandiri ?

Saya kira kita juga harus tahu keterbatasn NGO ya . Artinya NGO bukan doktor yang mengobati pasien yang sakit. Tetapi ini ibaratnya dokter ada, pasien ada, dan lalu peran NGO di sini mengatakan pada dokter disana lo ada orang sakit, sakitnya kira kira begini. Atau kalau dokternya tidak mau dia protes dokternya kenapa kamu tidak mau kira-kira demikian. Sehingga tak dapat kita katakan peran NGO ini mengambil alih peran negara sendiri. Dia bisa menjembatani antara masyarakat dan negara dan dia mencoba memproblematisasi keadaan keadaan mikro, keadaan realistis dan mencoba menghubungkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Ini juga sudah cukup baik kalau dijalankan.

Dan lalu tentang hal ini NGO tentu masuk dalam proses politik, dalam arti dia masuk sebagai presure group, kelompok penekan dan dia bisa menjadi kelompok-kelompok yang mencoba menyuarakan aspirasi-aspirasi masyarakt-masyarakat tertentu, misalkan kelompok masyrakat Haur Koneng, Kedung Ombo, masyarakat Irian Timika dan segala macam. Dan dalam hal ini kalau NGO masih tetap dalam fungsi seperti ini maka dia benar-benar NGO tanpa vested interest . Tanpa dia mau menyuarakan itu dengan suatu tujuan kalau dia mau menyuarakan itu untuk mendapatkan semacam bargaining untuk kepentingan dirinya, disitu NGO sudah salah. Makanya dalam artian disini politik NGO disini dia tetap memihak pada kaum yang lemah entah siapaupun itu dimanapun itu dan mencoba menyuarakan kondisi mereka. Na di negara-negara lain sudah ada phase dimana NGO ini sudah menjadi kekuatan politik tertentu. Na kalau di Indonesia saya kira masih belum ada sekalipun mereka berkeinginan untuk itu. Dan kalau mereka mencoba melembagakan diri mereka untuk menjadi kekuatan politik tertentu entah itu dengan menjalin suatu koalisi antar NGO dan membentuk suatu partai itu boleh saja. Tetapi mereka harus mengubah sistem atau wadah organisasi mereka karena itu bukan porsi mereka lagi. Ini batas batas peranan NGO yang harus disadari karena kalau tidak, sama saja. NGO menjadi suatu kendaraan untuk meraih suatu vested interest. Dan disitu batasnya dan dia tidak bisa berpihak misalkan ada suatu kelompok misalkan NGO yang mencoba menyuarakan suatu isu atas order kelompok yang lain. Kalau itu dia benar-benar sudah menjadi kaki tangan dan mengingkari tujuannya sendiri .

Kalau dari sekian banyak NGO yang ada di Indonesia banyak yang melempem padahal kalau kita lihat teorinya Marxis atau apa gitu yang sosialis, salah satu terjadinya revolusi itu rakyat tidak puas terus butuh terjadinya penyaluran. Jadi saya lihat NGO seperti bentuk penyaluran dari rakyat gitu, tetapi kenapa justru disini terletak Widerspruchnya, NGO kan membela rakyat tetapi dimana dukungan rakyat di sini sampai dia itu kok seharusnya secara teoritis bergeraknya maju, makin tumbuh kuat, tapi di sini dia melempem, mana problem yang dia hadapi?

Ya ini problem mayoritas NGO di Indonesia. Artinya ini gejala biasa suatu organisasi dan disitu NGO harus sedikit refleksi diri dalam arti secara makro kalau kita lihat dari teori konfliklah, bukan Marxis, Marxis terlalu jauh. Dalam arti ada suatu situasi kondisi yang sangat menekan dan pengap dan adanya NGO ini semacam katup penyelamat dari kepengapan itu boleh saja. Memang benar ada pandangan seperti itu sementara NGO di pihak lain harus menggalang aspirasi masyarakat dan berjuang untuk masyarakat, tetapi pada akhirnya mereka harus berjuang untuk mereka sendiri. Ini soal yang sangat dilematis bagi NGO di satu pihak organisasi mereka harus survival, di lain pihak mereka harus menyuarakan kepentingan orang lain. Dalam artian di sini saya kira bagi NGO misalnya NGO NGO di Indonesia dia harus dapat memadukan semacam kelanggengan organisasinya dan kelanggengan misi dia. Ketika NGO semakin besar dan stafnya makin banyak, banyak orang sudah mulai hidup dari NGO itu dan itu menimbulkan kecenderungan untuk project hunting saja ya. Memburu proyek dan melupakan misinya. Tetapi kalau NGO ini bukan besar dalam organisasi tetapi besar dalam gerakan dan isunya itu sebenarnya dapat dielakkan .

Dengan istilahnya disitu dengan 5 atau 10 orang itu sebenarnya dapat juga membuat suatu ide yang besar dengan suatu gerakan yang besar, dibanding 100 orang tetapi tidak bisa bergerak karena semakin banyak vested interest di dalamnya. Sudah ada istilahnya kompetisi internal di dalam NGO sendiri untuk menjadi kepalanya atau apa. Ini persoalan yang sangat wajar dihadapi NGO tapi tidak problematis kalau NGO itu tetap reflektif, bahwasanya lho kita semulakan bukan mau mendirikan organisasi dimana kita hidup, justru sebaliknya kita mendirikan organisasi dan organisasi kita hidupi. Artinya mana yang lebih penting idenya atau memang organisasinya. Na kalau organisasinya sudah lebih penting ada tendensi kita menjadi hipokritlah, begitu ya! Disatu pihak dia NGO, tetapi dia memikirkan diri sendiri, karena dia mengutamakan pelembagaan dari organisasinya bukan pelembagaan misinya. Kira-kira di situ mungkin tak ada jawaban yang pasti, tetapi kembali pada NGO nya.

Aktor-aktor NGO di Indonesia ini dari kelompok mana saja ?

Sebenarnya kalau kital lihat NGO di Indonesia sangat banyak dimotivasi kelompok-kelompok agama, religius group lah kita bilang. Na ini juga waktu jamannya perjuangan kemerdekaan cikal bakal gerakan NGO yang sekarang itu sudah ada. Misalkan waktu kita lihat Kebangkitan Nasional itu dipelopori oleh kelompok kultural dan keagamaan itu jelas. Gerakan kultural itu seperti BO yang mencoba membangun kebangkitan masyarakat Jawa. Gerakan keagaman seperti SI untuk menghadapi saingan para pedagang pedagang cina dan arab dan lalu mereka bersatu, ini "NGO" Kebangkitan Nasional. NGO di jaman Orba adalah suatu bentuk Nasionalisme baru dimana pada tahun 60 an, pada saat munculnya NGO generasi pertama justru diawali dari khususnya dan ini agak uniknya justru dari kelompok-kelompok agama. Kita katakan Bina Swadaya itu banyak dipelopori gereja Katolik, YIS Yayasan Indonesia Sejahtera dari Protestan. Lalu Dian Desa oleh Anton Sujarwo ini dipelopori oleh gereja Katolik di Jogjakarta . Dimana memang sikap... karena sifat kesadaran sosialnya cukup tinggi untuk membantu orang lain, ada juga P3M dari NU Pusat Pengembangan Pesantren yang mencoba membangun masyarakat disekitar pesantren. Jadi artinya ini kalau kita buat benang merah kepada masanya BO ada suatu kemiripan ya. Kelompok-kelompok terpanggil dan lalu masuk pada babakan kedua yaitu NGO Advokasi disini mulai masuk kelompok-kelompok profesi.

Untuk LBH misalnya itu dibangun oleh kelompok-kelompok pengacara yang mempunyai idealisme yang tinggi untuk membantu orang yang memang tidak bisa membayar pengacara. Dan lalu disitu juga ada YLKI yaitu para spesialis yang melihat, bahwasannya di dalam produk yang dijual banyak yang merugikan konsumen. Dan lalu yang terakhir ada banyak untuk masyarakat wanita dan pada pertengahan ini banyak kelompok-kelompok yang bersifat profesional. Yang membuat NGO sebagai pengabdian profesinya. Ada juga tentang kesehatan bidang Aids, itu para dokter. Dan untuk generasi terakhir yaitu Transformatif di sini mulai bergabung banyak aktifis-aktifis kampus, dan juga bekas politikus yang mungkin sudah keluar dari panggung formal, bahkan bekas mentri yang sudah tak menjabat lagi, orang banyak katakan BSH. Rudini juga punya NGO sekarang yang disebut dengan LPSI atau orang orang kelompok Fodem (Forum Demokrasi) mereka punya jaringan-jaringan NGO yang sebenarnya lebih mencoba menghidupkan ide ide sosialis. Dengan think tanker beberapa tokoh seperti Rachman Toleng lalu Ridwan Saidi dan lalu Soemitro, serta kelompoknyanya Ali Sadikin banyak chanel yang membangun atau mnendukung NGO NGO yang bersifat transformatif.

Jadi ada etape, pada generasi pertama itu banyak dari kelompok agama, karena memang kepedulian keterpanggilan untuk membantu sesama. Pada generasi kedua banyak kelompok profesi yang disamping mereka mencari duit di profesinya masing masing mencoba membantu sebaik mungkin sesuai dengan keahliannya. Lalu di generasi ketiga ini banyak sudah menjadi suatu ..itu memang terlampau dini ya kalau kita katakan reformasi ideologis ya. Tetapi banyak disitu akktivis-aktivis sangat mencari alternatif-alternatif ideologi atau politik apa yang lebih berguna untuk bangsa ini . Na disitu semua sangat plural.

Dan semua ini tidak muncul secara terputus-putus, tapi koexist. Sekarang ini banyak NGO NGO generasi pertama yang masih bertahan dan mereka tetap lebih developmentalis. Yang satu lebih advokasi, yang satunya lagi politik. Jadi aktornya itu sangat pluralis dan sangat Bhineka Tunggal Ika ya. Jadi tidak ada monopoli dari satu aktor atau basis apapun sehingga bisa kita katakan disinilah mungkin akan muncul suatu nasionalis baru ala Indonesia. Apa lagi kalau kita lihat munculnya NGO dalam sejarah Indonesia baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, hanya pada suatu situasi represif. Ketika Belanda menindas Indonesia muncul gerakan-gerakan seperti ini, ketika masanya Soekarno NGO tidak ada karena waktu itu politk cukup bebas, semua bisa berpolitik dan cukup bangga dengan instrumen politiknya.

Ya memang Soekarno juga ada reperesifnya tetapisecara sistem semuanya cukup mendukung. Dan lalu kita masuk Orde Baru yang cukup represif muncul lagi gejala NGO. Na ini bisa kita katakan perlawanan yang memang cukup legitim, bukan perlawanan lalu angkat senjata, tetapi perlawanan secara intelektual maupun konsensual terhadap suatu situasi yang cukup represif. Untuk membuat sistem itu yang semakin supportif, semakin partisipatif yang ya semakin membela kepentingan semua orang. Semakin memperhatikan hak hak orang. Sehingga NGO ini hampir menjadi milik semua orang, yang memang concern pada suatu cita cita. Disana ada katakanlah Jawanya ada Bataknya ada Cinanya. Dian Desa misalnya, itu bisa kita katakan NGO Cina, karena memang dibentuk Anton Sujarwo yang kebetulan Cina. Dan lalu dia bekas anak tehnik, fakultas tehnik sipil ya saya kira. Dan mencoba dengan sangat concern membantu petani dengan tungku yang sangat sederhana tetapi sangat fungsional, begitu begitu ya. Dan ada juga Irian YPMD mereka. Ada Timtim mereka punya Etadep. Jadi semua suku, agama ya mungkin status masuk situ yang mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia. Dan disitu cukup baik komunikasinya. Katakanlah P3M yang dari NU sangat baik dan bisa bekerja sama dengan kelompok agama lain.* memang terlampau dini ya kalau kita katakan reformasi ideologis ya. Tetapi banyak disitu akktivis-aktivis sangat mencari alternatif-alternatif ideologi atau politik apa yang lebih berguna untuk bangsa ini . Na disitu semua sangat plural.


Kembali ke Daftar Isi