Konflik Pasca-Soeharto:

Wiranto, Prabowo dan Para Kolonel

 

Oleh: Ben Soeperman (Singapura)

 

Pengantar: ABRI di bawah Pangab (lama) jenderal Feisal Tanjung dikenal sebagai rezim ABRI paling jinak sepanjang zaman. Kerjanya nuruuut terus kepada Pangti Jenderal Bintang Lima purn. Soeharto. Maka tak perlu mengherankan Soeharto baru minggu terkhir menjelang SU MPR mencopoti rezim Feisal dan menggantikannya dengan rezim Wiranto/Prabowo. Begitu singkat waktu peralihan (bahkan baru Pangab yang diganti, sedangkan Pangkostrad dan Dan Kopassus baru diganti setelah SU MPR), sehingga orang-orang baru tidak sempat menyusun gerak-geriknya untuk mencubit dan mendongkel Soeharto-Habibie. Jadi SU MPR boleh diduga bakal lancar, tapi jangan kira Soeharto-Habibie bakal mulus teruuuus. Nah, di sini lah tulisan berikut yang disusun oleh Ben Soeperman dari Singapura mencoba melayangkan pandangan menerobos ke depan. Nama-nama to be watched: Wiranto, Prabowo, Yudhoyono dan Letkol Letkol di daerah!

 

 

Titik tolak dalam mengamati gerak-gerik militer ada lah sifat organisasinya yang top-down. Karena sifat itu, maka untuk bisa menguasai militer dibutuhkan semacam klik atau kelompok inti yang anggotanya cukup 15 orang saja. Saat ini ada dua klik dalam Angkatan Darat: Kelompok Wiranto yang ingin reformasi atau perubahan yang bertahap, pelan-pelan; dan Kelompok Prabowo yang juga berbicara ingin melaksanakan perubahan, tetapi di balik itu Prabowo tetap bertekad melindungi kepentingan Keluarga Besar Cendana. Mesti kita ingat, Keluarga Cendana ada lah keluarga yang paling kaya di dunia. Tidak mengherankan, kalau kelompok Prabowo memiliki dana yang tidak terbatas!

 

Kedua kelompok ini aktif sekali mencari dukungan sipil untuk memperkuat posisi mereka dalam pertarungan kekuasaan internal Angkatan Darat ini. Prabowo bertandang ke mana-mana dan mengundang orang-orang untuk mendengarkan pembicaraannya. Begitu juga Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap sebagai juru bicara Kelompok Wiranto. Seperti Prabowo, Bambang juga menyatakan ingin berbicara dengan semua orang yang bersedia bertemu dengannya.

 

Ada sembilan jabatan paling penting di lingkungan Angkatan Darat. Mutasi paling akhir ada lah sebagai berikut:

 

1. PANGAB (Wiranto, Akabri 69)

2. KSAD (Subagyo, 70)

3. PANGKOSTRAD (Prabowo, 74)

4. DANJEN KOPASSUS

(Muchdi, 70)

5. PANGDAM JAYA

(Sjafrie Syamsudin, 74)

6. KASUM (Fachrul Razi, 70)

7. KASSOSPOL

(Susilo Bambang Yudhoyono, 73)

8. PANGLIMA DIVISI-1 KOSTRAD (?, markasnya di Jakarta)

9. KEPALA BIA

(Zacky Anwar Makarim, 71)

 

JENDERAL-JENDERAL

 

Kelompok Wiranto (PANGAB) dan Susilo Bambang Yudhoyono (KASSOSPOL) akan menguasai Mabes ABRI di Cilangkap. Sedangkan Kelompok Prabowo (Subagyo, Prabowo, Muchdi, Shafrie dan Zacky) akan menguasai Mabes Angkatan Darat di Merdeka Barat. Selain jabatan di Mabes ABRI dan Mabes Angkatan Darat itu, posisi paling penting ada lah Pangdam di Jawa: Siliwangi, Diponegoro dan Brawijaya. Sekarang ini, ketiga Pangdam itu dianggap termasuk kelompoknya Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pangdam-Pangdam di luar Jawa tidak menentukan kalau terjadi perebutan kekuasaan di Jakarta.

 

Dengan komposisi sekarang, Kelompok Prabowo mengauasi Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan Kelompok Wiranto berpengaruh di luar Jawa. Kondisi seperti ini menguntungkan Suharto, karena tidak ada satu kelompok pun yang cukup kuat untuk bisa memaksakan Supersemar versi 1998. Kemungkinan kudeta versi Jawa itu bisa diperkecil. Kelompok Prabowo bisa menguasai Jakarta. Tapi lalu bisa apa kalau daerah di luar Jakarta kemudian bergolak? Kelompok Wiranto tidak menguasai Jakarta. Pada hal Supersemar hanya mungkin kalau mereka dapat persetujuan militer di Jakarta. Tanpa itu tidak mungkin!

 

Yang belum bisa dipastikan ada lah posisi Sugiyono, bekas Pangkostrad yang dijadikan Wakasad, dan Shafrie Syamsudin, Pangdam Jaya. Dengan mengangkat Subagyo menjadi KSAD, berarti Sugiyono yang semestinya menduduki jabatan ini (kalau melihat karir Suharto, Wismoyo, dan Wiranto sendiri yang semuanya naik dari Pangkostrad langsung menjadi KSAD) tidak sepenuhnya dipercaya oleh Suharto.Sugiyono pernah menjadi ajudan Suharto (1993-95) setelah Wiranto (1989-93). Bisa dipertanyakan, cukup lama kah jabatan ajudan 2,5 tahun itu? Ternyata tidak, karena Sugiyono tidak diangkat sehingga bisa dianggap cukup menjamin dia bakalan setia. Sedangkan Wiranto, ynag jadi ajudan hampir 5 tahun itu, dianggap cukup setia pada Suharto. Mungkin kesetiaan Sugiyono sedang diuji oleh Suharto?

 

Dengan mengangkat Sugiyono sebagai Wakasad, mungkin itu berarti dia ditugaskan oleh Suharto sendiri untuk memata-matai gerak-gerik kelompok Prabowo. Seperti halnya waktu Wiranto jadi Kasad, maka Subagyo (sebagai Wakasad) yang disuruh memata-matai Kelompok Wiranto. Atau waktu Hartono jadi Kasad, mata-matanya Suharto ada lah FX Sujasmin.

 

Syafrie ada lah lulusan terbaik Akabri Angkatan 74 yang karirnya paling cepat menanjak di samping Prabowo, teman seangkatan dia. Syafrie sangat dipercaya Suharto, karena pernah jadi Danrem di Bogor, lalu jadi Paswalpres atau Bodyguard, termasuk dalam perjalanan kenegaraan ke Jerman. Syafrie dikenal dekat secara pribadi dengan Suharto. Mungkin loyalitas Syafrie ini langsung ke Suharto sendiri, bukan ke Prabowo. Jadi, kalau Suharto pergi, bisa jadi Syafrie akan ganti posisi.

 

SEJARAH NAIKNYA SUHARTO

TAHUN 1965-1966:

 

Setelah menumpas G-30-S, sebagai Pangkostrad, Suharto menggerakkan RPKAD (sekarang Kopassus) dan Batalyon-batalyon Kostrad untuk menguasai Jakarta. Setelah menguasai Jakarta. dia membunuh ratusan ribu orang-orang PKI di Jateng, Jatim, Bali dan Sumut, mulai akhir Oktober sampai Desember 1965. Dia hancurkan kekuatan yang mendukung Bung Karno. Setelah mengadakan pembunuhan itu, tanggal 10 Januari 1996, Suharto bikin Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), lalu menggerakkan KAMI, KAPI, KAPPI dan sebagainya. Artinya, dia mulai konfrontasi langsung melawan Bung Karno. Sementara itu, secara berangsur-angsur, dia menempatkan orang-orang yang lebih dekat dengan dia di Kodam-Kodam di Jawa sambil menggeser orang-orang yang setia pada Bung Karno.

 

Dua jenderal dipakai untuk mengepung istana tanggal 11 Maret: Kemal Idris (Pangkostrad) dan Sarwo Edhie Wibowo (Dan Kopassus). Tiga jenderal yang diutus Suharto ke Bogor untuk mendapatkan Supersemar (Surat Perin-tah Sebelas Maret) ada lah Amir Machmud (Pangdam Jaya), Basuki Rachmat (Pangdam Brawijaya) dan Yusuf (Jenderal luar Jawa).

 

Kemudian Suharto, sebagai pengemban Supersemar, mengganti semua Pangdam Jawa, yang sedikit banyak toh masih mendukung Sukarno, dengan jenderal-jenderal yang masuk kelompoknya: Ibarhim Adjie dari Siliwangi diganti Dharsono, Suryo Sumpeno dari Diponegoro diganti Surono, Pangdam Brawijaya diganti Sumitro. Setelah menguasai Jawa, baru Suharto berani jadi Presiden.

 

Ada kemungkinan kelompok Prabowo akan menjalankan strategi seperti itu. Subagyo yang cukup senior (Angkatan 70) akan membuka jalan untuk menaikkan Kelompok Prabowo (Angkatan 74 dan yang lebih muda) dengan mengganti Pangdam-Pangdam di Jawa. Tapi ini sukar terjadi tanpa bentrokan intern yang keras. Hanya kalau PANGAB dan KSAD kompak, maka pergantian Pangdam bisa lancar. Pangti (Panglima Tertinggi), yaitu Suharto, bisa ikut campur. Tapi ini bisa bikin banyak jenderal sakit hati. Jaman Benny Mur-dani (Pangab) dan Try Sutrisno (Kasad) begitu juga pada jaman Tri (Pangab) dan Edi Su-dradjat (Kasad) itu pergantian lancar. Karena Pangab dan Kasad pikirannya sama, mereka mengangkat orang-orang yang se-ide. Jaman Feisal (Pangab) dan Wismoyo (Kasad) dan juga Hartono (Kasad pengganti Wismoyo) mutasi agak lancar.

 

PARA LETKOL

 

Ada kemungkinan, dinamika yang sama sekali berbeda akan muncul dari kelompok perwira menengah yang sekarang Letkol dan Kolonel (Akabri angkatan 76, 77 dan 78). Para Letkol ini sekarang menjadi Dan Yon (atau Dandim di Kodam) dan yang Kolonel menjadi Dan Brigif (atau Danrem). Umur mereka awal 40an. Ini umur yang berbahaya karena masih berani ambil resiko dan punya pasukan yang mereka pimpin langsung. Dalam G-30-S tahun 1965 kita tahu komandannya, Letkol Untung ada lah Dan Yon-1 Cakrabirawa dan orang keduanya ada lah Kolonel Latief, Dan Brigif-1 Jaya. Yang menyediakan Halim sebagai markas G-30-S ada lah Mayor Suyono, Komandan Pangkalan Halim. Yang masuk ke dalam gang Untung hampir semua pangkatnya Kolonel, Letkol atau Mayor di Kodam Diponegoro.

 

Data lulusan AKABRI menurut angkatannya:

 

1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978

 

437 orang 329 389 436 434 304 85 79 93

 

(Jurnal Indonesia, Cornell University No. 63, April 1997)

 

Sejak 1976, jumlah lulusan AKABRI itu cuma 85 orang. Dalam situasi normal, ekonomi lancar dan sebagainya, kelompok perwira lulusan 76, 77 dan 78 itu akan menunggu dengan sabar. Hampir semua pasti bisa jadi jenderal (artinya Brigjen ke atas) di KODAM. Karena ada 10 Kodam di Indonesia, setiap KODAM dipimpin Mayjen dan butuh 4 - 5 Brigjen. Atau jadi jenderal di KOSTRAD yang punya dua divisi (Divisi-1 di Jakarta dan Divisi-2 di Malang), setiap divisi dipimpin Mayjen, dan butuh sekitar 4-5 Brigjen sebagai stafnya. Sebagian bisa naik terus jadi Letjen di Mabes ABRI atau Mabes Angkatan Darat.

 

Jadi, para lulusan AKABRI setelah 1976 itu nggak usah "macem-macem" untuk bisa jadi jenderal. Beda dengan senior-seniornya yang satu angkatan 400 orang. Kalau nggak macem-macem, lulusan setelah 76 itu, 5-6 tahun mendatang pasti akan jadi jenderal. Setelah itu bisa hidup enak dengan program kekaryaan Angkatan Darat yang punya banyak yayasan. Keluarga terjamin, rumah bagus, anak bisa sekolah di luar negeri dan sebagainya. Tapi akibat krisis ekonomi ini, situasinya jadi berubah sama sekali!

 

Sekarang kelompok perwira menengah itu umumnya belum sempat kaya, walau pun istrinya, anak-anaknya, saudaranya, atau orang tuanya mengeluh soal Sembako, para perwira menengah ini masih bisa bersimpati, dan merasakan kesedihan. Mereka juga belum sempat jadi ajudan Suharto, belum sempat dilatih setia pada Keluarga Cendana.

 

Kalau keresahan akibat krisis ekonomi ini berlangsung beberapa minggu, ada kemung-kinan para perwira menengah ini akan bergerak sendiri, secara independen, dan ini sangat membahayakan elite Angkatan Darat (contoh lain selain G-30-S ada lah pembang-kangan para kolonel luar Jawa dalam PRRI/ Permesta tahun 1958). Kemungkinan lain: mereka akan mendesak Kelompok Wiranto untuk memimpin perubahan. Kalau sebelum krisis ekonomi ini mereka bisa sabar menung-gu 5-6 tahun lagi, maka setelah krisis terjadi, menunggu 5-6 tahun belum tentu strategi yang baik untuk kepentingan mereka sendiri.

 

Beda dengan gerak-geriknya para jenderal (Kelompok Wiranto mau pun Kelompok Prabowo), apa yang dipikirkan oleh para Letkol dan Kolonel itu sukar sekali ditebak. Sukar juga ditebak oleh komandannya. Yang pasti, diem-diem mereka ngomong-ngomong dengan sesamanya. Topiknya bukan Sapta Marga, tetapi "Gimana nasib kita?".

Singkat kata, dari sudut militer, situasi sekarang ini sangat kritis. Para jenderal, baik kelompok Wiranto mau pun kelompok Prabowo nggak bisa bikin kudeta gaya Jawa (Dapat surat perintah dan Mikul dhuwur mendhem jero). Karena Letkol dan Kolonel, yang betul-betul memimpin pasukan di lapangan, bakal marah, mungkin akan bergerak sendiri kalau jenderal-jenderalnya loyo.

 

 

UNTUNG YANG SIAL

 

Kalau Letkol Untung masih hidup, ini sepele saja. Jenderal-jenderal yang loyo itu dia cemplungin ke sumur saja. Salahnya, dia terlalu percaya Suharto, bekas komandannya di Diponegoro yang tahun 1965 jadi Pang-kostrad. Dia laporkan semua rencana G-30-S kepada Suharto. Bahkan sampai detik terakhir, waktu jenderal-jenderal Mabes itu sedang diculik, Suharto mendapat briefing langsung dari Kolonel Latief, wakil komandan G-30-S. Latief dekat dengan Suharto sejak revolusi 45. Mereka sama-sama ngerjain Serangan Umum di Yogyakarta. Baik Latief mau pun Untung pikir, Suharto berada di pihaknya.

Eee, ternyata.........![*****]


Kembali ke Daftar Isi