"Momentum Burung Bulbul"

Alias: Pergulatan Menjelang SU-MPR

 

oleh: Pandu Nusantara

 

Krisis ekonomi, pergantian pucuk ABRI dan kerusuhan sosial dan rasial di puluhan kota sejak Januari lalu merupakan tiga peristiwa yang bermakna (significant) untuk merumuskan tantangan tantangan nyata yang dihadapi oleh gerakan gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Pertama, krisis moneter dan ekonomi sejak Juli dan memuncak Oktober 1997 dan pertengahan Januari 1998 itu menunjukkan bahwa Presiden Soeharto dan para crownies (cukong dan konglomerat) di seputarnya, mengalami pukulan hebat. Dampak pukulan itu mengguncang seluruh perekonomian nasional dan beban hidup rakyat, dan, dengan demikian, membuka momentum politik perubahan. Untuk pertama kali sejak Orde Baru berdiri 32 tahun silam, legitimasi kekuasaan Presiden Soeharto mendapat tantangan serius. Kedua, mutasi pimpinan ABRI akhir Februari memperlihatkan, sekali pun terjadi guncangan serius terhadap elit, namun lembaga Negara (State) yang dibangun selama Orde Baru, masih dominan. Sejauh mana tubuh Negara itu kukuh, bisa diperdebatkan, namun tegaknya dominasi dari aparat Negara yang bersenjata, sulit dibantah. Ketiga, pada saat bersamaan, beban ekonomi dan ketidakpuasan politik masyarakat memuncak dan meluas, dan menimbulkan rangkaian ledakan kerusuhan di lebih dari 25 kota kecil, baik yang spontan dan mudah direkayasa elit kuasa, maupun kombinasi keduanya. Kerusuhan tersebut diperkirakan akan berkelanjutan dan tidak mungkin dipadamkan tanpa menuntut beaya politik dan ekonomi dari elit kuasa dan aparat Negara.

 

KRISIS ELIT-KUASA

 

Pada tingkat elit kuasa di pucuk Negara, pertama-tama harus dicatat bahwa rezim Soeharto secara strategis sama sekali tidak siap menghadapi krisis besar ini. Oktober yang lalu, pemerintah Soeharto masih menanggapi teguran IMF dengan setengah hati, resminya menutup 16 bank, namun sebenarnya melakukan tambal sulam. Pada Nopember, Presiden Soeharto dan delegasi perdagangan-nya masih langlang buana ke Afrika Selatan dengan semangat safari-dagang, dan memacu APEC di Kanada dengan semangat "free trade". Akhir 1997, Soeharto masih bermimpi membuka ladang usaha di Afrika untuk mengejar ketinggalan dari ekspansi bisnis Malaysia di Afrika Hitam. Baru pertengahan Januari 1998, Soeharto dipaksa mengakui kenyataan ketika bos IMF Michael Camdessus datang ke Cendana menyusul telepon yang berdering dari berbagai bos dan ibukota dunia. Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya takluk terhadap pasar global melalui 'Kudeta Camdessus' yang memper-malukan Soeharto di rumah Soeharto sendiri. Dalam waktu dua bulan, setengah panik, Soeharto mencari-cari jurus jurus yang tepat, dengan menurunkan orang orang lama (Widjojo, Radius), menyampingkan menteri menterinya (Marie Mohammad, Sudradjad Djiwandono) dan menyewa orang orang luar (Steve Hanke, Peter Gontha), untuk menyela-matkan asset dan harta pribadi para crownies, termasuk keluarga besarnya.

Soeharto yang tidak pernah memperhitungkan krisis yang dihadapinya, terpaksa memodifikasi - bukan mengubah - skenario skenario lama yang disiapkannya. Februari dia mencoba-coba dengan mengisyaratkan naiknya Habibie, dengan akibat rupiah anjlog lagi, tetapi Soeharto pikir, ini hanya reaksi negatif dari luar negeri. Kemudian mencoba-coba dengan gagasaan CBS yang mematokkan nilai 9.500 Rupiah pada Dollar Amerika, dan sekali lagi timbul reaksi reaksi hebat dari luar negeri. Drama kedua setelah 'kudeta Camdessus' hampir terjadi gara gara Soeharto berkeras dengan gagasan CBS, sampai Kohl mengirim Menkeunya Theo Waigel dan Clinton mengirim Walter Mondale. IMF mengancam mencabut bantuan 40an milyar dollar, tapi Soeharto berkelit dan mencoba menyelamatkan wajahnya dengan menampilkan apa yang disebutnya "Solusi IMF-Plus" dalam pidato pada hari pertama

SU-MPR. Sementara itu crownies-nya Soeharto sempat menikmati nilai tukar yang lumayan akibat ketidakjelasan seputar CBS, tapi ini hanya mungkin dinikmati untuk jangka pendek.

Semua ini menunjukkan bahwa Soeharto akan terus berkeras untuk pertama-tama membela dan menyelamatkan kepentingan Keluarga Besar dan para crownies-nya. Tetapi, pada saat bersamaan, Soeharto tidak mungkin mengelakkan desakan IMF karena, bagaimana pun juga, dia membutuhkan pencairan secepatnya dari dana 40an milyar dollar itu. Sebuah tajuk The Washington Post baru baru ini menegaskan kesungguhan ultimatum IMF dengan merumuskan bahwa Soeharto dan (dana IMF untuk) Indonesia itu merupakan problim kedua terbesar bagi Gedung Putih setelah problim Saddam Husein.

Tarik-menarik IMF-Soeharto berarti: Soeharto harus tunduk, atau jatuh. Inilah pesan yang disampaikan oleh Walter Mondale kepada Soeharto yang tidak mau paham bahwa dirinya telah menjadi bagian terpenting dari "problim Indonesia". Bagi situasi politik domestik, ini berarti Soeharto akan terus mencoba-coba mengkompromikan dua hal yang semakin saling berlawanan, yaitu, pencairan dana IMF dan penyelamatan kepentingan kepentingan Keluarga Besar dan crownies-nya, termasuk mempertahankan posisi dirinyaa. Jadi, di bawah tekanan IMF, Dunia Barat dan Jepang, Soeharto akan memilih "Reformasi Seolah-olah".

Singkatnya, pasar dunia telah mengguncang, dan imperialisme Amerika telah menjebak Soeharto memasuki krisis politik yang serius, meski belum menggoyang lembaga State (Negara), c.q. ABRI. Faktor usia dan kesehat-an Soeharto, serta krisis ekonomi yang beru-bah menjadi krisis politik, menuntut jawaban politik yang sama sekali belum pernah disiapkan. Soeharto terjebak waktu. Faktor 'waktu', jelas, telah beralih ke pihak lain: pada jangka pendek, pada elit ABRI dan kekuatan kekuatan lain yang tidak dapat dikuasainya, terutama pasar global dan politik internasio-nal, dan, akhirnya, kelak, pada jangka menengah, pada pihak kekuatan kekuatan pro-perubahan. Tetapi, bagi Soeharto, skenario-skenario lama mendadak harus

disesuaikan, sementara asumsi asumsi dasarnya tetap sama, yaitu, Soeharto ingin memasuki masa bhakti 1998-2003 dan tetap mengatur semuanya sesuai kehendaknya.

Untuk tujuan tujuan dasar itu, Soeharto menghadapi problim problim mendesak. Pertama, harus mengatur elit baru ABRI yang loyal di bawah dirinya dan di bawah calon penggantinya kelak. Kedua, harus menawar-kan wajah baru, yaitu imago reformasi, yang akseptabel ke dalam dan luar negeri. Dan ketiga, harus mampu mengamankan rakyat, artinya, harus meredakan gelombang protes rakyat, kalau perlu dengan dosis kekerasan yang lebih besar lagi ketimbang di masa silam.

 

PENGELOMPOKAN KEMBALI ELIT ABRI

 

Di bawah Pangab Jendral Feisal Tanjung, ABRI terbukti menjadi sosok aparat Negara yang paling patuh terhadap Presiden/Pangti ABRI Soeharto ketimbang rezim-rezim ABRI sebelumnya. Dalam satu dasawarsa, ABRI- nya Feisal menjadi "Satpam Panglima Tertinggi", meski terbelah dalam kelompok "Ijo Royo-Royo" (dekat dengan Islam c.q. ICMI) dan kelompok Merah-Putih (nasionalis-cum-dekat dengan mantan bos intelejens tahunan dan mantan Pangab Benny Moerdani).

Tetapi, sejak bekas ajudan Soeharto, Jendral Wiranto, naik jadi KSAD pertengahan 1997, maka sebagian perwira "Ijo" (Hartono cs) telah digusur. Sesuai skenario lama, bos "Ijo", Feisal, yang menjadi sandaran Habibie, telah digantikan oleh Wiranto.

Faksi politik ABRI yang kedua adalah kelompok seputar Dan Kopassus (setelah SU-MPR menjadi Pangkostrad) Mayjen (Letjen) Prabowo Soebijanto yang bermain sendiri dengan mendekati kelompok Islam dan kelompok kelompok sipil lainnya. Tawar-menawar antara Soeharto dan elit ABRI sampai Desember yang lalu (ketika Soeharto belum menyadari seriusnya krisis) masih lebih menguntungkan kelompok Wiranto ketimbang Prabowo. Ketika itu Soeharto menyadari ulah Prabowo yang sulit dikendalikan dan sering melampaui batas batas etik dalam hirarki kemiliteran. Menurut mingguan-berita Far Eastern Economic Review Desember lalu, Soeharto dan Wiranto masih memperhitungkan untuk "mengaman-kan" Prabowo dengan mutasi yang normal, yaitu menjadikannya Pangdam di salah satu Kodam yang penting di Jawa. Setelah menginsyafi krisis ekonomi, Soeharto tampak-nya berpendapat lebih baik mengawasi Prabowo dengan menjadikannya sebagai perisai untuk mengimbangi kelompok Wiranto, ketimbang membuangnya ke luar ibukota. Di Jakarta, Prabowo yang akan menguasai pasukan pasukan tempur Kostrad dapat menjadi anjing galak yang berguna, dan mudah diawasi dalam upayanya membangun jaringan dan kekuatan tehnokrasi sipil yang dibutuhkan oleh ABRI. Prabowo belakangan beraliansi dengan sebagian sayap ICMI yang paling konservatif yang dulu dekat dengan Hartono, dan mendekati Megawati maupun Amien Rais. Paling menarik adalah kepeloporan ayahnya, Prof. Soemitro Djojo-hadikusumo, dalam membangkitkan dukungan bagi pencalonan Emil Salim - yang disebut "orang suci dari dalam kubu yang busuk" - sebagai Wapres. Menurut George Aditjondro, dinas intelejens Amerika CIA mencoba mendongkel Soeharto melalui jaringan Prabowo, Soemitro (CIA-PRRI) dan Emil (ex Berkeley Mafia).

Dengan upaya itu, Prabowo mencoba menyiapkan jaringan yang dapat dipakainya untuk menjawab dua problim sekaligus: krisis interen ABRI dan krisis ekonomi nasional. Salim Said, pengamat ABRI yang boleh dipercaya sejauh menyangkut persepsi interen ABRI, mengatakan bahwa ABRI diam diam menghadapi krisis kelangkaan kepemimpinan dan sedang mencari format baru dalam menyesuaikan peranannya untuk periode Pasca-Soeharto. ABRI di masa depan tidak akan mampu lagi mewujudkan dominasinya seperti sepanjang dasawarsa 70-80an karena kekurangan pemikiran politik strategis dan ketrampilan profesional (SDM) di bidang bidang sipil.

Justru kelompok Wiranto-lah yang paling menyadari permasalahan ini dan berhasil menempatkan Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono, calon Kassospol sesudah SU-MPR, dalam Komisi GBHN. Begitu Wiranto naik, maka bekas bekas bos Wiranto seperti Rudini dan Benny Moerdani mulai berani buka suara. Kabarnya Kasum Letjen Tarub sempat menghardik Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin, teman Prabowo, yang 'menggertak' Benny Moerdani dengan sengaja menyiarkan desas desus bahwa Benny akan diperiksa menyusul pemeriksaan Sofyan Wanandi. Dengan menempatkan Wiranto dan Prabowo serta masing masing kelompoknya dalam jajaran pimpinan ABRI, Soeharto dapat mengatur "check and balance" selama periode periode rawan mendatang.

Apapun permainan Soeharto, problim-problim obyektif berkembang. Pengelompokan kem-bali elit ABRI akan terkristalisasikan bersama-an dengan tantangan tantangan dari oposisi yang semu dan nyata, serta ditempa oleh ujian ujian keresahan rakyat dan kerusuhan sosial.

 

CITRA REFORMASI

 

Soeharto memerlukan imago baru - citra reformasi - untuk babak baru yang kritis. Wajah ke luar perlu diperbarui karena akan banyak berurusan dengan soal soal urgen, dengan IMF, AS, Jepang, Eropa (ASEM, April) dan soal Tim-Tim. Wajah domestik juga perlu dipoles berkaitan dengan soal soal ekonomi yang urgen. Kabinet Maret y.a.d. diduga akan tampil dengan pameran tekad reformasi: "Kabinet Reformasi" yang mungkin akan menampilkan sebagian oposan semu. Setiap rezim menjelang tumbang akan mencoba memperpanjang umur dengan rujuk dan lunak ke dalam, dan 'kredibel' ke dunia luar. Lihat Mensyewik sebelum Bolsyewik menang, dan Saiful Bachtiar sebelum Khomeiny menang, dsb.

Dengan menaruh Wiranto dan kelompoknya yang paling anti Habibie, di pucuk ABRI, maka Soeharto mendapat peluang memasang BJ Habibie sebagai (calon) wakil presidennya. Dengan begitu, dia tidak perlu memprovokasi elit ABRI yang sudah siap mengoper pimpinan Negara untuk periode pasca-Soeharto nanti. Tinggal problim menghadapi dunia luar - IMF - yang tidak yakin pada Habibie. Ini berarti Soeharto, jikalau perlu, harus menggalang dukungan dengan memancing xenofobi dan nasionalisme yang sekarang sudah muncul di permukaan. Ingat kasus Menteri Belanda Pronk pada 1992. Lagi pula ICMI sendiri bersemangat nasionalistis. Dalam skenario ini, tentu, ICMI bisa masuk kabinet dengan barisan tehnokrat yang disiapkan Adi Sasono, asalkan minus Amien Rais (toh sudah di luar ICMI) yang tidak disukai Soeharto.

Yang menarik diperhatikan di sini adalah babak baru dalam pasang surut dialektika partnership dan perang dingin antara ICMI dan Soeharto. Sejak digembosi ketika Soeharto menendang Amien Rais dari pos Ketua Dewan Pakar ICMI (kasus Busang dan Freeport, awal 1997), ICMI naik daun lagi. Gagal mendubeskan Adi Sasono dan menyingkirkan Amien Rais dari pimpinan Mohammadiyah, Soeharto mempertahankan Habibie.

Silatnas (Silaturahmi Nasional) ICMI di Hotel Indonesia Desember 1997 menjadi titik balik. Silatnas itu menunjukkan bahwa kelompok Habibie-Adi Sasono-lah yang paling siap menghadapi krisis. ICMI menanggapi krisis moneter yang menyudutkan Soeharto, dengan metafora "momentum Burung Bulbul". Salah satu ayat Al-Quran yang banyak dikutip adalah Surat Alfil no. 105 ayat 2 sampai 4. Menurut ayat ayat ini, ketika perjuangan pasukan Gajah melawan Raja Yemen yang feodal, Abrahah, bertahun-tahun tidak membawa hasil, akhirnya datanglah berkah Tuhan dalam bentuk pasukan burung Ababil (di Indonesia disebut "Burung Bulbul") yang menjatuhkan hujan batu terhadap pasukan Abrahah yang mau menghancurkan Batu Ka'-bah.

Konsensus ICMI jelas, yaitu, ICMI amat gembira menyambut dampak politik dari krisis moneter ini. Bagi ICMI, krisis ini ibarat burung-burung Bulbul dan jatuhnya Rupiah bak hujan batu, karena kedua hal itu, bagi ICMI, merupakan picu dan landasan baru, untuk menggantikan rezim 'Soeharto bin Abrahah' dan ABRInya - versi moderen dari perjuangan Islami zaman baheula, dengan rezim reformasi yang pro-ICMI. Di sini Adi Sasono tampaknya ingin maju dengan kompi baru (B.J. Habibie plus ABN/Adnan Buyung Nasution dan Hariman Siregar). Mencangkok-kan ICMI ke dalam babak baru Kabinet Reformasi Soeharto, bagi Adi, problematis, sebab dia bukan ABRI, bukan seorang Harsudiono Hartas, jadi, dia harus puas dengan peran sebagai "King Maker" untuk separo jalan.

Di sini perlu dicatat persamaan dan perbedaan Adi Sasono dan Amien Rais. Kalau Adi - idem dito Habibie dan ABN - memainkan Islam sebagai kuda politik, Amien Rais yang berakar dari Mohammadiyah, memainkan politik dengan kuda Islam - paling tidak, sampai dia memajukan dirinya jadi calon presiden pertengahan 1997. (Adalah Adi Sasono yang pada akhir 1970an mengangkat figur Abdurrachman Wahid, mahasiswa yang ketika itu baru pulang dari studi di Irak, untuk memimpin gerakan pro-demokrasi berdasar-kan kekuatan Muslim. Tapi belakangan Gus Dur, dengan Nadhatul Ulama-nya, berkem-bang sebagai kekuatan sendiri). Namun perbedaan Adi-Amien ini tidak relevan selama Adi cs tidak menjauhi Mohammadiyah dan terutama selama keduanya tetap anti (dominasi) ABRI. Sebab Adi cs maupun Amien bersatu pandang pada keyakinan, bahwa Soeharto untuk jangka pendek, dan Islam untuk jangka panjang, harus dapat menjadi benteng untuk menghadapi ABRI. Bukankah ABRI tidak mungkin membasmi dan membantai Islam seperti membantai komunis?

Kalau Soeharto terjepit, maka demi citra reformasinya, dia bisa memainkan kartu PUDI dan SBSI. Sri Bintang Pamungkas, meski sulit untuk "dibeli", bisa dikeluarkan dari Cipinang, dan Mohtar Pakpahan bisa dibebaskan dari tuduhan. Jagoan SBSI ini belakangan ini dijenguk oleh Prabowo, dan dari rumah sakit melalui Business Week, meminta agar Presiden Soeharto digantikan putrinya, Tutut.

Sementara itu Wiranto cum suis barangkali juga tak akan tinggal diam. Kelompok MP (Merah-Putih) ini barangkali adalah pusat kekuasaan yang mempunyai jaringan paling luas, dari jajaran kabinet, ABRI, pensiunan jendral, LSM, ormas dan oposisi Megawati. Sebagian posnya penting: Susilo Bambang Yudhoyono, calon Kassosspol yang ikut merancang GBHN baru, dan Pangdam Sulsel Agum Gumelar. Lewat Edi Soedradjat, MP punya jalur ke LSM dan melalui LBM menjaring elit ABRI non-formal, dll. Tetapi, untuk rentang waktu yang menentukan kini, kelompok MP kehilangan peran Gus Dur yang harus beristirahat akibat stroke.

Paling sial memang kubu Gus Dur. Di satu pihak dia digembosi oleh barisan kiyayi yang konservatif, termasuk Ro'is Aam N.U Kiyai Ruchiyat, dan di lain pihak, kubu Gus Dur yang telah lama dipupuk oleh Marsilam dan Toleng ini, sekarang ditinggalkan oleh ABN sejak "Pendekar HAM" ABN, pada 1995, menyeberang dari front "Abang" ke pihak "Bapak". Permainan ABN-Adi-Habibie ini potensial untuk merebut kepercayaan Soeharto. Melalui Habibie, Soeharto sadar bahwa ABN sudah bersedia memuluskan reformasi Soeharto dengan memoles tatanan hukum peralihan sejak ABN ikut meramaikan "Pesta" Breidel Tempo dan kemudian menjebloskan Triagus Siswomihardjo (Pijar) ke dalam bui, pada 1995, jadi jauh sebelum krisis moneter (sic!). ABN ketika itu dijanjikan akan memimpin LSN Lembaga Suksesi Nasional yang dananya - konon sebesar Rp. 40 milyar sebelum krisis - akan diupayakan oleh Habibie kepada Soeharto. (Sayang bagi ABN, dana yang dijanjikan Habibie itu tidak kunjung datang, sehingga ABN, akhir-nya, cuma mendarat di kursi pengacara IPTN, yang toh terbukti 'berguna' juga untuk meng-gebrak The Jakarta Post). Sekarang, ketika ketiban krisis, Soeharto dan Habibie tentu ingat lagi gagasan gemilang ABN tentang LSN. Maka "Pendekar HAM" ABN boleh mengincar lagi kursi yang didambakannya sejak Orde Baru lahir (pada saat pelanggaran HAM, pembantaian massaal 1965), yaitu kursi Menkeh. "Abang sekarang ada di dalam. Kita lihat saja nanti," kata ABN ketika di Eropa Februari lalu.

 

PASCA SOEHARTO: HABIBIE TAMAT DAN
REZIM "ABRI-REFORMIS" MUNCUL

 

Problim Soeharto dan problim Orde Baru yang terbesar adalah pada jangka menengah dan panjang, yang, bagi masyarakat, merupakan yang momen momen penting untuk mengupayakan demokratisasi. Yaitu, tantangan-tantangan yang datang dari tengah masyarakat, yang, tentu, tidak akan dengan sendirinya puas atau dapat tertipu oleh retorika dan wajah baru reformasi Soeharto.

Mengingat asumsi para ahli ekonomi bahwa krisis ini akan berkepanjangan selama empat, bahkan tujuh tahun mendatang, maka analisa konyungtur politik harus bertolak dari kerusuhan sosial dan situasi rawan yang berkepanjangan. Ini berarti, ada momentum kemarahan massa yang terus menerus, dengan spektrum mulai dari kerusuhan lokal yang terkendali, amukan massa pada situasi yang kacau balau, sampai pertumpahan darah. Situasi yang demikian membuka pintu bagi berbagai kemungkinan dan jenis perubahan yang bergantung pada tekanan luar negeri, tanggapan elit kuasa dan derajat terorganisasinya perlawanan massa.

 

Elit baru ABRI - Wiranto dan Prabowo - kini tinggal menanti faktor "X", yaitu matinya Soeharto atau letupan sosial-politik yang tak terkendali di ibukota. Selama di bawah Pangab Feisal Tanjung dan selamaa SU-MPR, Wiranto, Prabowo dan elit ABRI bersikap jinak terhadap Presiden Soeharto, tidak merasa perlu bermanuver untuk menjegal terpilihnya kembali Soeharto. Waktu ada pada sisi mereka.

Mundurnya Ginanjar dari pencalonan Wapres, sinisme Try Soetrisno dengan pernyataan Wapres cukup satu masa jabatan dan dukungan tegas yang terselubung dari Menhan Edi Soedradjat pada demo demo UI - semuanya mengisyaratkan elit ABRI paling dekat dengan Soeharto pun sudah kesal, namun memilih sabar menanti momentum mereka. Kenapa harus mengambil risiko maut, misalnya dengan kudeta gaya 11 Maret, apalagi kudeta telanjang, dan bertaruh amat mahal, kalau setelah SU-MPR Soeharto tak lama lagi toh akan dicegat ajal atau diguncang oleh huru hara akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan? Menurut sejumlah pengamat di Jakarta, ini cuma soal waktu bulanan saja, bukan tahunan.

Dengan matinya Soeharto atau terdesaknya dia oleh situasi nasional dan internasional yang gawat, maka Habibie, selaku Wapres, tidak dengan sendirinya akan naik ke kursi RI-Satu. Elit ABRI akan menuntut Sidang Umum Istimewa MPR dan di sana akan unjuk warna yang sebenarnya terhadap Habibie dan ICMI. Habibie akan masuk kotak, tetapi ICMI, kalau pandai bermain, belum tentu bernasib sama; ICMI umumnya dianggap berakar pada lapisan kelas menengah baru dan tidak akan hilang selamanya dari panggung politik karena mempunyai basis yang cukup kuat. Pada zaman Orde Lama, kekuatan kiri meremehkan Masyumi, cikal bakalnya ICMI. PKI tidak melihat basis sosial-ekonomi kelas menengah dan potensi politik pada kaum pedagang santri ini, melainkan memilih PNI yang memakai retorika revolusioner sebagai sekutu. Sekarang, hampir seluruh gerakan pro-demokrasi - dengan spektrum dari PRD (Partai Rakyat Demokratik yang di-PKI-kan oleh Soeharto, sampai Marsilam dan Gus Dur dengan Fordemnya - mengulangi kesalahan strategis PKI tersebut, dengan memusuhi seluruh ICMI an bloc, sampai menunggu Soeharto-lah yang memecahbelah ICMI, padahal sebagian unsur maju ICMI - seperti Sri Bintang Pamungkas, mungkin juga Adi Sasono - bisa menjadi sekutu taktis di tengah perjalanan karamnya Soeharto dan Orde Baru. Ironisnya, ICMI sendiri, sejak berdiri awal 1990an, spiritnya sama dengan PKI pada 1964-65, alias "keblinger" (istilah 1960an untuk hingar bingar dan silau kekuasaan) - seolah-olah kekuasaan sudah di ambang mata. Kalau PKI terjebak petualangan Soeharto dan kolonel kolonel ABRI pada 1965, maka ICMI akan terjerembab dan kehilangan Habibie pada saat faktor "X", matinya Soeharto atau letupan huru hara, muncul.

Singkatnya, "Kabinet Reformasi" Soeharto dengan Habibie c.s. boleh jadi hanyalah suatu peralihan sementara saja, meski ICMI dan oposisi sosdem berjalan terus. Periode pasca-Soeharto akan mengembalikan ABRI ke situasi sejak 1969 - tahun didirikannya Markas Besar ABRI - semasa ABRI pada awal Orde Baru berbenah diri, dan menjadikan ABRI berpolitik tunggal dan secara interen melakukan de-politisasi. Diktatur ABRI sejak 1969 itu pada akhir 1980an beralih menjadi Diktatur Soeharto. Selepas Soeharto nanti, Indonesia akan kembali sepenuhnya ke tangan elit ABRI lagi - kali ini dengan pretensi "reformis".

Masalahnya, kalau menurut ramalan para ekonom, krisis ini amat gawat dan berkepanjangan, ini berarti elit ABRI yang "reformis" pun tidak akan sanggup

menghadapi masalah masalah besar, terutama ekonomi nasional dan keresahan masyarakat yang meluas dan masalah kawasan. Cepat atau lambat, elit ABRI akan menghadapi opsi opsi yang serius: mengambil jalan kekerasan yang drastis, terjebak pertumpahan darah, atau mencari koalisi dengan kekuatan kekuatan sipil, baik para tehnokrat baru dari kalangan LSM maupun kekuatan kekuatan sosial dan religius yang mempunyai akar massa seperti N.U. dan Mohammadiyah.

Meminjam istilah ICMI dalam Silatnas-nya Desember lalu, pada periode "momentum burung Bulbul" itulah, kekuatan kekuatan yang berlandaskan akar dan dukungan massa harus mampu masuk, dan tampil dengan tuntutan tuntutan demokratisasi dan keadilan. Besi baja hanya bisa dibelokkan pada saat besi itu membara, bung! [TAMAT]


Kembali ke Daftar Isi