POLITIK MORAL INTELEKTUAL

(Nyoman Aryana)

SATU

Situasi politik ditanah air arahnya makin tak menentu! kata seorang teman. Namun bukan satu alasan untuk pesimis. Mungkin masih ada harapan. Jika kita tidak cuma memikirkan tindakan atau prilaku orang perorang saja - etika individual. Melainkan, kita hendaknya memikirkan masalah norma yang dapat dijadikan pedoman bersama - baik dalam kehidupan politik yang menyangkut kenegaraan maupun kemasyarakatan. Disamping itu, negara sebaiknya tidak dipandang sebagai satu lembaga yang sanggup mengantarkan setiap individu atau kelompok kedepan pintu gerbang kemakmuran. Kita hendaknya puas, tatkala negara sanggup menghindari bencana atau malapetaka. Mengurangi kerugian - yang bisa muncul setiap saat. Lalu, mengenai masalah cara meraih keberuntungan pribadi, bagaimana? Ya, itu menjadi urusan tiap individu - sesuai dengan kapasitas serta lingkungan masing-masing. Kenapa demikian? Karena setiap eksprimen yang bermaksud membangun sorga didunia pasti gagal. Dan kenyataannya selalu memproduksi hal yang sebaliknya; neraka. Begitu pula, adalah mimpi kalau kita mengartikan demokrasi sebagai >> kekuasaan berada ditangan rakyat <<. Walaupun begitu, demokrasi memungkinkan satu pemerintahan - melalui pemilihan umum - dapat diganti oleh pemerintahan yang lain, tanpa kekerasan. Akan tetapi kalau ternyata pemilu - disuatu negara - justru diwarnai kekerasan, kerusuhan, korban ratusan jiwa manusia? Apakah tujuan selalu menghalalkan (segala) cara? Dengan kata lain, apakah ini lalu berarti, tujuan lebih penting dari pada cara? Kalau begitu, apa arti kebahagiaan bagi orang banyak? Apakah sekedar napsu ingin menang; mengalahkan yang lain - kenikmatan? Korban berjatuhan, kok malah pesta - merayakan kemenangan. Kemenangan macam apa? Sungguh ironis memang. Bagaimana kiranya dengan masalah moral para pemenang ? Anggapan bahwa politik tak ada hubungan dengan moral ternyata keliru dan harus segera dikoreksi. Politik yang culas hanya dapat dilawan dengan politik (moral) kebajikan. Ide mempertemukan politik dan moral memang merupakan satu keharusan, walaupun berbahaya.

DUA

Politik adalah doktrin. Ilmu. Tehknik. Bahkan sekedar cara. Cara untuk menerapkan nilai-nilai moral kebajikan. Tujuan politik yaitu untuk menemukan suatu bentuk kehidupan bersama yang lebih baik. Peraturan yang adil. Undang undang yang lebih sempurna dan seterusnya. Sedangkan etika, mencakup ajaran moral - yang bisa mempengaruhi pikiran, prilaku serta tindakan manusia sehari hari - tatkala ia bergelut menaklukkan alam. Wacana moral dan politik bukan fenomena baru. Walaupun etika dan politik (juga ekonomi) sesungguhnya merupakan satu bangunan yang tak mungkin dapat dipisahkan, namun dalam realpolitik, malah sering dipertanyakan. Misalnya, Niccoló Machiavelli mempersoalkan masalah keabsahan moral dalam politik. Politik - kata dia tentunya - tak lebih dari pada urusan tekhnis, demi meraih serta mempertahankan kekuasaan belaka. Sedangkan moral, itu lain soal. Urusan belakangan. Kendati demikian kaitan antara etika dan politik tak dapat diabaikan begitu saja. Masalah etika politik ini - sebenarnya - lebih ditentukan oleh pola kehidupan para aktor politik itu sendiri, yang hidup disuatu tempat (negara), dalam kurun waktu tertentu, yang juga mengabdi demi kepentingan (rezim) tertentu tertentu pula (Hegel). Diktum inilah yang kemudian diklaim pemerintah - atau cendekiawan pro pemerintah - sebagai legitimasi kebijakan resmi negara-nasional - baik itu menyangkut HAM, demokrasi, ekologi, kemiskinan, maupun masalah konflik etnis-religus atau SARA. Dengan kata lain, kepentingan negara nasional harus diutamakan. Berbeda dengan itu, interpretasi marxisme-leninisme, tidak berkaitan (langsung) dengan negara-nasional. Melainkan, etika politik dipakai untuk mengabsahkan perjuangan kelas buruh/tani, untuk mencapai masyarakat makmur, sama rata sama rasa, tanpa kelas. Dengan kata lain, ini berarti bahwa moral politik (ideologi!) marxis-leninis dilihat hanya dari kepentingan satu kelas saja - yakni kelas proletar. Sehingga ditingkat praksis, realisasinya tidak pernah dapat melenyapkan kontradiksi yang ada di masyarakat. Bahkan sebaliknya. Penyebab utama diduga, terletak pada etika marxis-leninis yang diidentikkan dengan etika partai. Partai, adalah segala galanya. Posisi ketua partai sangat kokoh. Selanjutnya, etika marxis-leninis ini - diklaim - berlaku universal. Paling tidak hingga - sosialisme totaliter tumbang - akhir tahun delapan puluhan. Sampai saat ini kita kenal dua bentuk negara totaliter (komunis atau fasis). Hitler telah mengubur ide-ide luhur mengenai nilai-nilai kebersamaan, famili, komunitas dan multikulturalisme - dengan ideologi fasisme; satu bangsa, satu negara, satu Führer (pemimpin). Dipihak lain, Stalin telah meracuni kolektivisme yakni prinsip-prinsip persaudaraan dan keadilan dengan komunisme. Kendatipun kedua faham ini, baik fasisme maupun koumunisme sama sama totaliter namun tidak fair rasanya kalau kita tidak sanggup menerangkan perbedaan mendasar kedua faham yang bertentangan tersebut.

TIGA

Setelah konflik ideologi berakhir, kemudian muncul era baru dengan problem baru. Debat kontroversi sosialisme vs. kapitalisme telah lenyap. Suasana berubah. Sehingga wacana mengenai moral dan politik pun juga ikut berubah. Dengan kata lain, perhatian orang kini bukan lagi terpusat pada ideologi, melainkan pada prioritas serta kausalitas. Kendati demikian ini bukan pertanda bahwa humanisme universal sudah mati. Tentu saja tidak demikian. Walaupun tetap abstrak, namun ia hidup disepanjang zaman. Humanisme universal dapat dilihat sebagai antitesis komunisme internasional.

Artikel ini bukanlah konsep paten. Melainkan (hanya) sebuah topik belaka. Dengan kata lain yakni sumbangan pikiran - dialektis-argumentatif - yang selalu dapat dikembangkan, yang pada garis besarnya mencakup ide kemahardikaan berpikir. Terutama - kemerdekaan berpikir - dalam suasana kebebasan yang semakin terbatas dan tak menentu. Menjelang abad kedua puluh satu ini. Himbauan (moral) ini hendak mengajak setiap orang agar prihatin serta untuk menumbuh-kembangkan rasa pengertian, demi tercapainya suatu bentuk kehidupan bersama yang relatif lebih baik. Tatkala kita memikirkan kembali wacana etika dan politik, paling tidak ada empat tema - yakni ekses kekerasan militer, kelaparan massal, tantangan ekologis, HAM - yang hendak kita prioritaskan, yang dapat kita gunakan sebagai dasar-dasar legitimasi pemikiran (humanisme-universal) kita.

Apakah ekses kekerasan militer (diberbagai belahan planet kita ini) merupakan akibat atau sebab dari munculnya fanatisme religius, neo-nasionalisme, kerusuhan etnis etc. Kiranya tidak terlalu penting untuk dibahas disini. Yang lebih penting adalah, pertama (bagaimana cara) menghindari serta menolak penggunaan kekerasan militeris. Menghentikan konflik - dibawah pengawasan badan-badan internasional - dengan jalan damai. Yang kedua yaitu mengatasi masalah kelaparan, sebagai akibat dari berbagai macam bentuk ketidak adilan, diperlukan solidaritas internasional. Kemudian hak-hak individu dan sosial yang mendasar juga perlu mendapat perhatian. Disamping itu solidaritas untuk kelompok marginal, baik didalam maupun diluar negeri perlu dikembangkan - demi kelangsungan dan perbaikan hidup generasi berikutnya. Lalu yang ketiga; munculnya tantangan ekologis sebagai akibat dari industrialisasi serta pesatnya pertambahan penduduk - terutama dinegara-negara miskin - saat ini juga merupakan prioritas. Disamping itu, bukan hanya harkat, toleransi agama, budaya atau cara hidup masing masing manusia yang harus diperhatikan, akan tetapi juga harkat natur (flora dan fauna) serta menjaga kelestariannya, merupakan sendi sendi kehidupan yang alami. Singkat: sehingga dengan demikian, dasar-dasar legitimasi (baik/buruk, absah atau tidak) politik suatu negara, dapat diukur dari kondisi HAM negara bersangkutan. Kenapa demikian? Sebab tantangan etis-politis yang ngetrend didunia saat ini adalah masalah HAM. Yang akhirnya mengakibatkan HAM diangkat menjadi standar atau ukuran negara hukum (Rechtstaat) yang demokratis. Disamping masalah lingkungan hidup tentunya.

Universalitas HAM harus tetap dapat dijaga dan dihargai. Oleh karena itu tak satu negara atau kelompokpun berhak mengklaim HAM hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Memang benar, tatkala kita mulai membicarakan dasar-dasar etika politik - diberbagai negara - maka kita juga akan terbentur dengan berbagai macam masalah, yaitu perbedaan persepsi, perbedaan prioritas, singkat perbedaan latar belakang sejarah dan budaya. Namun yang penting sekarang ini yalah menemukan jawaban justru pada benturan atau titik silang berbagai budaya yang ada. Dan cara berpikir ini (harus) dapat dikembangkan serta diperkuat terus menerus. Dalam hal ini - dilihat dari latar belakang sejarahnya - agama-agama dunia telah berusaha memberikan kontribusi, yang dalam agama (kristen) sering disebut sebagai overlapping consensus. Agama buddha juga begitu. Hindu sedang kearah situ. Islam masih mikir-mikir. Disini pasti banyak orang yang cenderung cepat atau terburu buru mengambil sebuah kesimpulan yang gampang. Bahwasanya kalau begitu agama kristen lebih toleran, dibanding agama lain - islam misalnya. Ternyata tidak demikian. Yang benar justru kebalikannya. Dalam sejarah, kristen barangkali tidak kalah brutal dengan pengikut agama lainnya. Akan tetapi keadaan ini berubah, terutama setelah pengaruh filosofi yunani mulai berkembang, kemudian muncul kritik agama, lalu menyebarnya ide-ide Aufklärung, berkobarnya revolusi prancis, lahirnya liberalisme, sosialisme dan seterusnya. Sehingga proses sakularisasi (terutama di Eropa) bergulir terus menerus sesuai dengan semangat zaman, yang juga selalu berubah ubah, hingga saat ini. Berbagai faktor inilah kiranya yang memungkinkan cerdik cendekiawan (humanis), dapat berpikir bebas hingga jauh melampaui tapal batas Kulturkreis (lingkar budaya), bahasa, agama atau bahkan negara mereka. Singkat kata, untuk menggairahkan kehidupan berpolitik yang berwawasan kebangsaan, seorang (kiri) liberal harus bisa mengerti perasaan seorang fundamentalis . Seorang fundamentalis perlu membaca kembali dengan seksama, sejarah munculnya ide liberalisme di Eropa (terutama mengenai timbulnya nasion) dua abad yang lalu. Karena, mengingat saat ini begitu banyak muncul cendekiawan yang bangun kesiangan - sadar atau tidak - mereka ngomong agama maksudnya politik. Tapi belum ada yang ngomong politik maksudnya agama.

EMPAT

Setiap orang - begitu pula cendekiawan - pasti dilahirkan disuatu negara tertentu, dibesarkan di lingkungan budaya tertentu serta menggunakan bahasa ibu tertentu pula. Sehingga dengan demikian, terjalinlah satu ikatan batin - bahkan keyakinan - yang korporatif dengan negara kelahirannya. Jika keyakinan itu berjalan konform dengan kekuasaan, maka ini berarti, keyakinan orang tersebut telah dapat disuap atau dibeli. Yang membedakan seorang intelektual dan bukan intelektual yalah konsepsi kebebasan berpikir mereka. Cara berpikir bebas (baca mandiri) biasanya terbentuk lewat proses atau latihan yang diperolah lewat lembaga-lembaga pendidikan formal (Universitas). Seorang sarjana belum tentu seorang intelektual. Apalagi mengingat sejak tiga puluh tahun belakangan ini, kwalitas sarjana dinegara kita makin merosot. Berbeda dengan intelektual dari negara negara maju, intelektual dari negara berkembang dihadapkan pada persoalan-persoalan lain, yakni bagaimana memberi masukan untuk pembangunan, berbakti kepada negara, berjuang demi perbaikan kehidupan lapisan kelas bawah, begitu misalnya. Sehingga dengan demikian proses demokratisasi dapat berjalan lancar. Disamping itu demokrasi hendaknya dapat memberi kesempatan yang sama kepada setiap lapisan masyarakat - termasuk juga kepada intelektual.

Oleh karena itu, sudah merupakan satu kewajiban (moral) bahwa para cerdik cendekiawan menara gading, untuk turun gunung, membela lapisan orang-orang tertindas atau orang orang terdesak, yang dirugikan terus menerus. Dan bukan cuma itu. Lebih jelas lagi, seorang intelektual tak layak menyembunyikan >>obyektivitas<< sekecil apapun. Nilai nilai kebenaran orang-orang tertindas juga merupakan nilai kebenaran (baca commonsense) kaum intelektual. Keterlibatan kaum intelektual dengan kelas tertindas adalah tekad bersama untuk menuju perubahan, yakni situasi kehidupan (politis dan ekonomis) yang lebih baik. Dengan kata lain, seorang intelektual hendaknya juga seorang moralis. Seandainya ia seorang sejarawan, bukannya peristiwa historis, melainkan keadilan moral-lah yang dia utamakan. Begitu juga jika ia seorang politolog, misalnya. Omongannya barangkali tidak mesti (selalu) sama dengan logika oposisi, yaitu partai yang sudah pasti ingin meraih kekuasaan. Melainkan ia selalu mengutamakan nilai-nilai kebenaran. Lebih jelas lagi, apakah suatu tindakan benar atau tidak. >>Apakah membunuh orang termasuk tindakan yang baik atau buruk << Apakah membakar milik orang lain dapat dibenarkan? Perlu diketahui bahwa moral (politik) hanya kenal dua tipe manusia, yaitu orang-orang yang bilang ya dan orang-orang yang bilang tidak; dengan kata lain yaitu tipe penurut atau pembangkang. Tak ada perkecualian untuk orang orang - yang sering menyebut diri mereka - netral . Tak ada intelektual yang bisu. Kalau begitu, dimana posisi seorang intelektual yang sesungguhnya? Edward Said memberikan jawaban yang sangat pendek: Exile! Baik eksil dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu hidup dipengasingan, atau eksil dalam pengertian metaporis yakni hidup didalam penjara. Sama saja. Seorang intelektual, ibarat seorang anak kapal yang terdampar disebuah pulau. Dia hidup bukan diatas, melainkan bersama penghuni pulau tersebut. Demikian menurut Profesor Edward W. Said, kelahiran Jerusalem 1935, yang kini mengajar di Columbia University, New York, USA. Said membantu kita untuk mengerti, siapa kita dan apa yang harus kita lakukan, artinya kalau kita bertindak moralis dan tidak mau melacurkan diri kepada kekuasaan.

LIMA

Mula mula hanya ada seorang saja didunia ini yang bisa membaca dan menulis. Kemudian ada dua, tiga, empat, atau lima orang. Dan akhirnya, seluruh penduduk suatu desa atau kota melek aksara. Dan begitu pula dengan teori terbentuknya negara. Pertama tama hanya ada satu negara, kemudian menyusul berdiri negara negara berikutnya. Akhirnya, kini semua orang memiliki negara masing masing. Memang sudah menjadi kenyataan bahwa kini tak ada seorangpun yang tidak dapat kita identifikasikan dengan negara - tempat kelahirannya. Paling tidak untuk kepentingan administrasi. Singkat kata, akhir abad keduapuluh ini, tak ada satupun masyarakat yang tidak memiliki institusi, yang namanya negara. Begitu pula, tak ada politik tanpa akseptansi interes yang berlawanan; Dan tidak ada moral sosial, yang tidak mengakui adanya kemampuan daya pikir intelektual. Problemnya cuma satu, yakni tatkala universalitas moral politik intelektual, dikaitkan dengan eksistensi dan interes negara nasional. Maka seorang intelektual bisa dianggap sebagai pengganggu stabilitas, separatis atau bahkan penjual bangsa. Yang sering menjadi pertanyaan adalah: haruskah seorang intelektual itu identik dengan orang kiri atau liberal? Jawabnya barangkali: ya! Karena keduanya mempertanyakan otoritas atau legitimasi kekuasaan.



Kembali ke Daftar Isi