PEMUDA INDONESIA, QUO VADIS ?

oleh : Ignas Iryanto

Dalam rangka 50 tahun Indonesia merdeka, banyak sekali tulisan, ceramah ataupun artikel di mass media yang mencoba meneropong kembali perjalanan bangsa dan negara Indonesia modern selam 50 tahun kemerdekaan ini. Meneropong perjalanan Indonesia modern sebenarnya identik dengan meneropong sejarah perjuangan pemuda Indonesia dari masa ke masa. Tulisan ini tidak bermaksud mengulang ulang nostalgia dan kias balik di atas. Namun pertanyaan yang selalu muncul setelah kias balik, kurang lebih: Sekarang kita mau kemana?

Yaa, kemana kita sekarang ? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab, jika dua pertanyaan penting lebih dahulu dijawab, yaitu : Apa tujuan kita sebagai bangsa dan dimana sekarang kita, sebagai bangsa, berada. Dalam menjawab pertanyaan pertama, mau tak mau kita kembali kepada konsep konsep para bapak bangsa yang memformulasikan tujuan Indonesia modern ini. Kita kembali pada even sumpah pemuda 28 Oktober 1928, kita kembali pada proklamasi 17 Agustus 1945 dan cita cita yang tertuang dalam Mukadimah UUD ' 45. Dan ditemukan nilai nilai / cita cita seperti membentuk masyarakat adil, makmur merata disegala aspek, dus prinsip keadilan sosial, meletakkan kedaulatan rakyat sebagai prinsip utama negara Indonesia modern (dus negara yang demokratis ), serta mengakui sebagai warga dunia aktif bersama seluruh umat manusia membangun suatu dunia bersama yang aman, damai dan juga adil, dus kita menerima pula nilai nilai universal yang disepakati oleh seluruh bangsa dunia sebagai nilai nilai luhur kemanusiaan (HAM ). Itulah cita cita kita sebagai bangsa, dan kearah sanalah perjalanan panjang kita dilanjutkan.

Namun pertanyaan kedua, dimanakah kita sekarang berada ? Jawaban klise yang sering kita terima, adalah bahwa kita sekarang berada dalam jaman Orde Baru, Orde Pembangunan. Dan lalu ditambahkan lagi : Orde Baru telah berhasil melaksanakan pembangunan yang berkesinambungan, sehingga kita sekarang sebagai bangsa telah siap tinggal landas menuju masyarakat adil dan makmur. Jawaban klise ini, memenuhi seluruh mass media di tanah air, hampir hampir berupa sebuah Indoktrinasi. Namun, mari kita sebagai pemuda pemudi membuka mata lebar lebar untuk dengan jujur dan tidak tergantung pada siapapun atau apapun menilai dan menjawab pertanyaan di atas, dimanakah kita sekarang ?

Kita mulai dengan lebih dahulu bertanya : apa itu Orde Baru ? Orde Baru lahir dari tragedi 65. Keterangan resmi menyebutkan bahwa tragedi 65 adalah usaha kudeta oleh PKI terhadap pemerintahan yang sah yang telah membawa korban 7 jendral Angkatan Darat. Namun , harus diakui bahwa masih banyak pertanyaan pertanyaan yang belum dapat dijawab menyangkut misteri 30 September 1965 tersebut. Banyak buku seputar peristiwa tersebut yang terbit di tanah air telah dilarang dengan alasan meracuni pikiran generasi muda. Isi buku buku tersebut jelas berbeda dengan keterangan resmi yang ada. Dan ini belum tentu salah. Yang salah adalah buku buku yang meracuni kebenaran itu sendiri. Dan kebenaran ini, akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk " hadir " di bumi ini. Sejarah nanti akan membuktikan, mana yang menjadi racun kebenaran. Setiap pelarangan buku buku yang "meracuni" akan selalu menimbulkan tanda-tanya dan rasa ingin tahu dari generasi muda. Apa sebenarnya yang terjadi ? Dan ini membuat makin banyak orang yang menyadari bahwa sebenarnya kelahiran Orde Baru ini masih menyimpan beberapa misteri yang oleh beberapa pihak dalam dan luar negeri berusaha dikuak secara bertahap. Sebagai bangsa kita memang berhak atas suatu sejarah yang jujur yang akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Walaupun terlahir misteri namun wujud Orba secara konsepsional, memberi harapan. Dalam memperkenalkan Orde Baru di tahun 1967, pejabat Presiden Soeharto menggambarkan Orba sebagai reaksi atas segala penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Lama dan oleh karena itu harus dilakukan koreksi total. Apa yang harus dikoreksi dirinci dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1967, di mana dikatakannya: Penyelewengan serius terhadap UUD 1945 terjadi dengan memusatnya kekuasaan secara mutlak pada satu tangan, yaitu kepala negara. Asas dan sendi negara hukum lambat laun ditinggalkan, sehingga akhirnya menjadi negara yang berdasarkan kekuasaan. Asas dan sendi sistem konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat absolutisme. Kekuasaan tertinggi bukan lagi ditangan MPR(S), melainkan ditangan Pemimpin Besar Revolusi. Presiden bukannya tunduk pada MPR(S), bahkan sebaliknya MPR(S) yang ditundukkan di bawah Presiden". "Sila peri-kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan; hak-hak asasi manusia hampir hampir lenyap sebab semuanya ditentukan oleh kemauan penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada". "Sila kedaulatan rakyat menjadi kabur; yang ada adalah kedaulatan pemimpin". "Sila keadilan sosial semakin jauh, sebab kekayaan negara dipakai untuk kepentingan pribadi..." "Sistem ekonomi terpimpin dalam praktek menjadi sistem lisensi yang hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat penguasa". Dus Orde Baru ini memproklamir dirinya sebagai wujud pelurusan kembali perjalanan bangsa menuju cita cita bangsa, dengan " melaksanakan Pancasila & UUD ' 45 secara murni dan konsekwen ".

Cita cita Orde Baru kelihatan merupakan suatu formulasi baru, suatu penyegaran dari cita cita bangsa. Namun kemudian, format politik yang diambil, sejak awal sekali telah menimbulkan tandatanya besar ?

Pendewaan Stabilitas telah membunuh dengan sadar prinsip prinsip kedaulatan rakyat yang sebenarnya merupakan cita cita bangsa. Kita dapat menyusun daftar panjang dari kebijaksanaan kebijaksanaan yang jelas jelas merupakan pemerkosaan terhadap cita cita bangsa sendiri, mulai dari adanya Litsus, 60% MPR diangkat langsung, posisi ABRI dan KORPRI yang monoloyal terhadap GOLKAR, pewadah-tunggalan setiap ormas yang kemudian hanya merupakan perpanjangan kepentingan Golkar, konsep massa mengambang yang miring, UU Pemilu,NKK, dll dll. Jawaban yang selalu diberikan, jika hal hal tersebut dipertanyakan adalah bahwa : kita membutuhkan stabilitas politik untuk mengejar perbaikan ekonomi.

Alasan ini pada saat saat awal ORBA, dengan agak terpaksa, mungkin dapat diterima. Dipertimbangkan, bahwa kita membutuhkan masa transisi dari suasana chaos secara politik maupun ekonomi menuju ke suasana normal, dus keadaan semi darurat. Dengan pertimbangan inilah, kiranya pemerkosaan demokrasi secara sementara dengan sangat berat hati diterima.

Namun, kini telah 30 tahun waktu berlalu. Situasi sebenarnya sudah sangat "normal" namun segala kebijaksanaan yang dulunya dimengerti sebagai kebijaksanaan transisi, kini dipertahankan terus, malah di lembagakan. Disinilah problemnya, kita berada dalam suatu orde yang terlahir secara misteri dan menerapkan suatu format politik yang memperkosa asas kedaulatan rakyat dengan cara melembagakan kondisi semi darurat. Orde Baru juga mengklaim dirinya sebagai Orde pembaharu ekonomi bangsa (dan karenanya stabilitas diperlukan ). PJPT I telah dilewati dan kini kita memasuki PJPT II. Dan hasilnya kini ? Banyak, banyak sekali. Dalam angka dan kurva kita benar benar maju. Selama periode 1969 - 1983 pertumbuhan ekonomi rata rata 7,25 % pertahun dan dalam periode 1983 - 1993 rata-rata 6.60 % pertahun. Ini jelas adalah sebuah prestasi. Mungkin dapat pula kita buatkan sebuah daftar panjang dari kemajuan kemajuan fisik yang telah dicapai. Kelompok Kritis yang jujur mestinya juga mengakui hal ini.

Namun, pendewaan pertumbuhan ekonomi yang berlebihan juga membawa dampak dampak negatip. Pada awal periode ini, dengan bermodalkan tenaga kerja murah dan melimpahnya bahan mentah, kita membuka pintu yang seluas luasnya pada modal asing. Modal asing mengalir masuk, bumi kita habis habisan dieksplorasi. Namun ketika itu, hanya sekelompok kecil saja dari bangsa ini yang siap memanfaatkan kesempatan mengalirnya investasi asing tersebut. Kesiapan kelompok kecil ini lantas didukung oleh pemerintah dengan berbagai kemudahan dan fasilitas khusus. Alasannya jelas: kita memang dituntut untuk segera memperbaiki ekonomi kita yang morat marit waktu itu. Jadi yaa sebagian kecil yang siap tersebut harus didorong. Sebagian besar rakyat hanya siap menjadi buruh murah, atau bahkan tidak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Pulau Jawa yang relatip lebih siap dari pulau pulau lainnya, menjadi ajang tumbuhnya industri industri dengan modal asing. Sedangkan pulau pulau lain dengan bahan mentah yang kaya, menjadi ajang eksplorasi besar-besaran.Kawasan kawasan eksplorasi ini menjadi pusat pusat pertumbuhan di pulau pulau yang, sekali lagi karena ketidaksiapan masyarakat setempat menyambut hadirnya pusat pertumbuhan tersebut, menjadi kawasan asing bagi penduduk asli pemilik kawasan tersebut. Sebagian besar rakyat hanya menjadi modal pembangunan, sebagian lagi menjadi penonton pembangunan, tidak terlibat karena tidak dilibatkan dan atau memang belum siap terlibat, sedangkan sebagian lagi tidak tahu apa itu pembangunan dan masih hidup di jaman neolitikum. Penyiapan sumber daya manusia yang merata di wilayah wilayah Indonesia belum menjadi faktor utama.

Skenario inilah yang selain memberikan pertumbuhan , juga menghasilkan banyak sekali bentuk bentuk kesenjangan sosial dan ekonomi. Kesenjangan antara sekelompok kecil bangsa yang lebih siap dengan mayoritas bangsa lainnya, kesenjangan antara IBT dan IBB, kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, kesenjangan antara kota dan desa, dan lain lain. Sama seperti format politik, format kebijaksanaan ekonomi juga menunjukkan gejala yang sama. Kebutuhan yang mendesak akan perbaikan ekonomi pada masa transisi tersebut telah menghadirkan berbagai kepincangan, yang sebenarnya juga bertentangan dengan cita-cita kebangsaan kita. Dan format itu, seperti pemberian fasilitas fasilitas khusus kepada sekelompok kecil, sampai saat ini masih terus dipertahankan. Menyimak pidato pejabat presiden tanggal 16/8/67 di atas, sebenarnya kesalahan Orde lama diulang lagi, malah dengan kondisi yang lebih buruk. Dus penolakan praktek praktek yang dijalankan Orde baru sekarang ini sebenarnya hanyalah konsekwensi dari cita cita Orde Baru sendiri.

Sebagai warga dunia, Indonesia ikut dipengaruhi oleh berbagai gejolak atau trend yang kini melanda dunia. Menurut Hutington ada dua gelombang besar yang dapat diamati sekarang yaitu: demokratisasi dan liberalisasi. Demokratisasi ditandai dengan pergeseran dari sistem pemerintah yang otoriter ke sistem pemerintahan demokratis sedangkan liberalisasi, per definisi, menghadirkan suatu sistem ekonomi yang semakin tergantung pada mekanisme pasar dan persaingan bebas. Dua gelombang ini dengan cepat melanda dunia disebabkan oleh globalisasi informasi yang didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Adalah bukan kebetulan bahwa dua trend global di atas kelihatannya sekaligus merupakan antitese dari kebijakan kebijakan politik ekonomi masa transisi yang kini masih dipertahankan.

Disinilah kita sekarang berada, sebagai bangsa dan sebagai pemuda bangsa. Kilas balik sejarah yang mewarnai peringatan 50 tahun kemerdekaan kita telah mengajarkan betapa pemuda Indonesia selalu berada pada titik sentral setiap perubahan yang dialami oleh bangsa kita. Pemuda selalu menjadi pelopor di barisan depan dan karena itu pasti selalu berhadapan dengan kelompok yang mengharamkan perubahan dan mendewakan kemapanan. Itu cumalah suatu konsekwensi logis dari idealisme pemuda. Tidak lebih dari itu. Namun sebenarnya mau kemanakah kita ?? Quo Vadis ??

Kesadaran akan cita-cita kebangsaan dan kesadaran akan situasi yang sekarang ada, jelas akan mengantarkan kita pada pedoman langkah langkah yang harus kita ambil agar langkah kita itu jelas menuju realisasi cita cita tersebut.

Pertama, kita menuntut akan kejujuran sejarah bangsa, termasuk kejujuran dalam mengungkapkan segala yang masih menjadi misteri ketika Orde baru ini lahir dari rahim bangsa. Untuk itu kita menghendaki diperlakukan sebagai bangsa yang dewasa, yang berhak atas informasi informasi lain yang berbeda dengan informasi informasi resmi dan kemudian secara dewasa menyaring informasi informasi itu. Jika informasi yang diberikan dianggap sebagai pemutar-balikan fakta atau fitnah dll, maka sumber informasi tersebut harus diproses sesuai hukum yang berlaku, digugat dan diadli secara fair sehingga pihak tersebut mendapat kesempatan membela pendapat pendapatnya, membuktikan versinya. Langkah pelarangan yang semena-mena malah menimbulkan tanda-tanya sekaligus kecurigaan.

Kedua, secara terpadu mendorong adanya reformasi sistem politik di tanah air dengan langkah langkah a.l.

Ketiga, reformasi politik di atas harus bermuara pada reformasi ekonomi yang diwujudkan dengan langkah langkah a. l. :

Keempat, reformasi politik dan ekonomi di atas secara bersama-sama diarahkan kepada realisasi suatu negara kesatuan yang benar benar dirasakan sebagai milik seluruh suku bangsa dari Sabang sampai Merauke, di mana setiap unsur wilayah diperhatikan perkembangannya, dus tak ada pengertian wilayah utama, setiap unsur budaya sama sama dihornati sebagai bagian dari budaya nasional, dus tak ada hegemoni budaya, di mana setiap unsur agama dan kepercayaan dihargai dan dihormati secara seimbang, dikaitkan dengan kekhasan daerah setempat. Pengembangan otonomi daerah yang mendorong pemerataan kesempatan berusaha di seluruh wilayah tanah air. Otonomi daerah juga harus dikaitkan dengan kekhasan sosbud setempat.

Kelima, keyakinan bahwa untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dunia, sumber daya manusia Indonesia perlu dikembangkan sejalan dengan kebutuhan dalam bidang Iptek dan management modern. Penguasaan teknologi menuju pembentukan suatu negara industri tak dapat dipungkiri adalah modal utama dalam menghadapi era abab 21. Namun penerapannya tetap harus memperhatikan potensi potensi yang ada, aspek keseimbangan perkembangan antar wilayah, aspek transparansi dan menjunjung tinggi asas kedaulatan rakyat. Rakyat dilibatkan dengan diyakinkan akan arah yang tepat dari kebijakan tersebut, rakyat, lewat transparasi proyek , diijinkan untuk memperoleh informasi yang jujur tentang proyek proyek teknologi tinggi tersebut. Pada prinsipnya industrialisasi yang didorong adalah industrialisasi yang demokratis, bukan industrialisasi yang didasarkan pada vested interested berbasiskan kekuasaan. Atau boleh saja awalnya adalah vested interested namun kemudian itu harus disepakati bersama, sebagai program bersama dan karena itu resiko yang ada adalah resiko bersama. Dan oleh karena itu pula, pengertian sumber daya manusia yang dibutuhkan, selain SDM yang menguasai Iptek dan management modern juga SDM yang menghormati asas kedaulatan rakyat, dus demokratis. Kesanalah kita seyogyanya melangkah.

Kelima point di atas hanyalah pedoman yang harus dituangkan dalam langkah langkah konkret sehari-hari. Langkah langkah konkret tersebut mesti disesuaikan dengan tempat dan fungsi kita masing masing dalam lapangan pengabdian kita masing yang sangat boleh jadi akan berbenturan dengan kemapanan yang ada. Kita sebagai pemuda hendaknya tidak mundur menghadapi tantangan itu. Dorongan perubahan di atas didasarkan pada kemauan baik , cinta tanah air dan kesetiaan pada cita cita nasional, tidak didasarkan pada kebencian atau sakit hati pada suatu pribadi maupun golongan. Dan karena itu sikap sikap anarkhis hendaknya ditolak.

Propaganda tahun tahun terakhir diarahkan seolah-olah setiap pemuda Indonesia kini harus mengembangkan dirinya menguasai Iptek dalam menyongsong kebangkitan nasional kedua. Jika memang ada kebangkitan nasional kedua, yang sebenarnya sejarah masa depanlah yang akan menentukan dan bukannya ditentukan oleh ambisi suatu generasi apalagi ambisi kelompok, apalagi ambisi pribadi, maka unsur Iptek hanya merupakan satu unsur saja dari banyak unsur lainnya. Dalam melegitimasi praktek praktek yang non demokratis, sering dikemukakan istilah istilah atau teori teori seperti, demokrasi timur, demokrasi Asia, atau juga istilah neo otoritarianisme dan terakhir muncul pula istilah demokrasi yang tak lazim. Bahkan ada pula kelompok yang tegas tegas menolak demokrasi dengan alasan klasik yang muncul awal orde baru bahwa demokrasi bakal menghambat pertumbuhan. Contoh yang sering diambil adalah negara negara asia timur, khususnya Singapura. lewat pernyataan Lee Kuan Yew bahwa mereka (Singapura) dapat tumbuh tanpa demokrasi. Kelompok yang menyitir Lee lupa bahwa Singapura memiliki kerangka budaya yang berbeda dengan Indonesia, mereka juga lupa atau sengaja tidak menyebutkan bahwa pemerintahan Singapura adalah pemerintahan yang bersih, non korup dan benar benar mengabdi pada kepentingan bangsa dan negaranya...... sesuatu yang sangat berbeda dengan yang terjadi di tanah air, kelompok ini juga tidak menyebutkan bahwa tokoh yang sama ini juga pernah meramal bahwa dalam tempo 20 tahun Indonesia akan menjadi negara termiskin di kawasan ini, kalah dari Vietnam Cs, jika "kondisi" yang ada sekarang tidak cepat cepat diperbaiki.

Masih ada propaganda propaganda yang lain yang tujuannya jelas adalah mempertahankan status quo, anti pembaharuan yang dalam kondisi sekarang sama dengan anti demokrasi. Sebagai generasi muda yang bertanggung-jawab, kita hendaknya waspada dan tidak terjebak dalam fanatisme sempit kelompok sehingga kita menjadi bagian dari kelompok kelompok yang anti perubahan. Apalagi jika fanatisme sempit yang dikembangkan untuk mempertahankan status quo tersebut dapat menjadi benih yang dapat merobek robek persatuan negara kebangsaan kita.

Editorial ini muncul sebagai editorial pertama majalah kelompok Aliansi Pemuda/i Independen Indonesia (API INDONESIA) di Berlin, yang diterbitkan bertepatan dengan hari ulang tahun sumpah pemuda 67 tahun yang lalu, sebagai bahan renungan dalam mencari jawaban bagi panggilan zaman pemuda masa kini. Sumpah pemuda..sumpah yang mempersatukan kita, sumpah yang merupakan bukti keinginan kita bersama untuk hidup sebagai bangsa memang patut menjadi sumber inspirasi dalam menemukan jawaban di atas.

Kita selalu takut akan provokasi pihak luar yang dapat merobek-robek persatuan kita namun kita lupa bahwa jika kondisi kita di dalam kokoh, pihak luar tidak dapat berbuat apa-apa. Ketakutan yang berlebihan pada pihak luar sering membuat kita lupa, bahwa kita dan tindakan kita sendirilah yang dapat menjadi sumber perpecahan.

Selamat merayakan ulang tahun sumpah pemuda. 67 tahun lalu, mereka tahu mereka ingin kemana. 67 tahun setelah itu, kitapun tahu kita ingin kemana Selamat mengucapkan sumpah kita dalam hati kita masing masing.


Kembali ke Daftar Isi