NYOMAN DAN PRESIDEN

I Gusti Nyoman Aryana

Saya ingin menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Dalam hal ini orang lain adalah tetangga saya, keluarga saya, rakyat negeri saya, penduduk diseluruh dunia. Saya ingin berguna bagi orang lain dan tentu juga berguna bagi diri saya. Kalau saya bisa berguna bagi orang lain, itu juga saya rasa; diri saya berguna. Untuk berguna itu bisa bermacam macam caranya, ujar tetangga saya: Putu Wijaya. Saya pun ingin juga menjadi orang yang berguna bagi orang lain.

Kisah ini saya awali ketika perang dingin masih berkecamuk sekitar dua puluh tahun yang lalu. Tepatnya menjelang musim dingin 1975. Sore itu udara terasa dingin sekali. Pesawat Aeroflot yang membawa saya dari Jakarta mendarat di bandara Schönefeld Berlin (Timur). Kesan saya waktu itu, Jerman adalah negeri yang sama sekali tak menarik. Soalnya semua rumah berwarna abu-abu. Apalagi cuaca musim dingin yang berkabut menambah suramnya suasana. Disamping itu uniform petugas bandara pun berwarna abu-abu juga. Orang Jerman (di Berlin Timur) mukanya cemberut semua. Tak satupun saya lihat ada orang yang tersenyum apalagi tertawa, ceria. Betapa anehnya negeri ini, komentar saya dalam hati saja. Setelah melewati pemeriksaan paspor dan beacukai, kemudian saya duduk sembari menunggu jemputan. Saya menoleh kekanan dan kekiri. Tak ada satupun terlihat orang - yang bertampang - Indonesia. Ada kira kira sejam lamanya saya menunggu. Namun terasa lama sekali. Kemudian ditengah hiruk pikuknya suasana bandara, muncul seorang laki-laki berkulit sawomatang yang berusia kira kira empat puluhan. Laki laki berkumis kecil itu kelihatan sedang mencari cari seseorang. Saya rasa ini pasti orang Indonesia. Kemudian saya bangkit dari tempat duduk dan bergerak mendekati laki laki tersebut. Dia menyapa saya sambil tersenyum ramah;

-Nyoman? Nyoman dari Bali? sapa laki laki itu, seraya mengulurkan tangan kanannya.

-Ya pak, selamat sore pak, jawab saya. Kami pun berjabatan tangan.

-Eh, sudah lama menunggu?

-O tidak.

-Wah nggak kedinginan nih? Mari kita pergi ke mobil saja, katanya pendek.

-Ah lumayan. Jawab saya berpura pura sambil berjalan mengikuti laki-laki itu ketempat parkir.

Dalam perjalanan dari bandara menuju perbatasan antara Berlin-barat dan Berlin-timur di mobil pun terjadi small talk. Dengan demikian akhirnya saya tahu bahwa orang yang menjemput saya itu bukan seorang driver KBRI, melainkan seorang diplomat. Soalnya saya pikir mana ada diplomat mau menjemput seorang calon pembantu rumah tangga? Singkat cerita, kami telah tiba diperbatasan. Mobil pun berjalan pelan pelan. Mobil berplat CD mendapat perlakuan khusus. Sehingga kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyeberangi perbatasan Checkpoint Charly. Sektor Amerika. Kami memasuki jantung kota Berlin barat. Disepanjang jalan utama (Ku´damm) mobil bergerak lamban. Malah sebentar sebentar berhenti. Sehingga saya leluasa memperhatikan keramaian suasana kota Berlin barat. Wah jauh berbeda dengan Berlin (Timur) yang saya lihat sebelumnya, kata hati kecil saya.

Lalu sekitar tiga puluh menit kemudian mobilpun berhenti didepan sebuah villa di Grunewald. Yang ternyata rumah dinas Konsul kita - waktu itu. Wah! Saya terkejut. Kenapa sih rumah konsul mesti berada didalam hutan? pikir saya. Belakangan baru saya diberitahu bahwa hutan dipinggir kota itu adalah kawasan elit Berlin. Tempat tinggal orang-orang super kaya, macam Axel Cesar Springer. Mulai hari itu saya bekerja sebagai pelayan, pesuruh dan merangkap tukang kebun. Bekerja dirumah kepala perwakilan banyak suka dukanya. Begitu juga kalau kita bekerja ditempat lain. Untungnya, saya banyak kenal orang-orang penting. Jeleknya, banyak. Walaupun pekerjaan tak begitu berat, tapi jam kerja hampir tak kenal batas. Disamping itu, kalau saya keluar rumah harus ada izin dari boss. Dan pergaulan saya pun sangat terbatas. Saya hidup terisolir dari 'masyarakat' Indonesia di Berlin. Dengan masyarakat Jerman saya tidak mempunyai hubungan sama sekali. Saya tak terbiasa hidup seperti itu. Buat saya kehidupan seperti itu tak lebih dari pada kehidupan seorang nara pidana. Walaupun demikian disini ada sedikit kelebihan. Disamping uang saku yang saya terima lebih dari cukup, saya juga mendapat kesempatan untuk melihat orang-orang penting dari dekat seperti; menteri ini, Jenderal itu atau pejabat anu dan orang orang penting lainnya. Diam-diam dalam hati saya bangga, entah kenapa. Setelah dua tahun saya bekerja sebagai pesuruh konsul, lalu timbul niat saya untuk melanjutkan studi. Saya sibuk mencari informasi untuk mendaftarkan diri di perguruan tinggi. Dari mahasiswa - yang sebagian besar anggota PPI-Cabe itu - saya memperoleh informasi bahwa sekolah di Jerman tak seberapa sulit. Soalnya disamping kuliah kita juga diperbolehkan bekerja. Bekerja di pabrik, di kebun, dikantor, direstoran, pendeknya dimana saja. Nah ini adalah kesempatan emas yang tak boleh terlewatkan, kata hati kecil saya. Kesempatan tak bakal datang duakali, saya pikir. Desember 1977 bos saya pulang, karena masa kerjanya sudah berakhir. Saya pun kemudian mengajukan permohonan untuk berhenti berkerja. Saya harus cepat mengambil keputusan. Keputusan yang paling berarti dalam hidup saya. Kemudian saya giat belajar bahasa Jerman. Soalnya dua tahun tinggal di Berlin saya tak pernah berbicara dalam bahasa Jerman. Dengan tamu-tamu asing dirumah konsul saya selalu menggunakan bahasa Inggris. Sehingga, walaupun dua tahun tinggal di Berlin saya sama sekali tak bisa berkomunikasi dalam bahasa Jerman.

Disamping itu, saya rasa, bahasa bukanlah bidang saya. Tapi agar diterima di perguruan tinggi - paling tidak saya harus mengantongi sertifikat G. Zwei. Ini kendala besar pertama buat saya. Sebab uang simpanan di bank sudah mulai tipis; Untuk makan sehari hari, sewa apartement dan beaya mobil BMW butut. Pengeluaran uang samasekali tak terkontrol. Ini merupakan kelemahan saya. Kemudian masalah izin tinggal? Masalah ansuransi kesehatan? Wah kepala saya pening. Saya stres berat. Rupanya sekolah di Jerman tak segampang yang dibilang orang. Saya belum terbiasa hidup teratur; Bagaimana membagi waktu. Bagaimana caranya mengatur uang. Begitu pula mengurus keperluan lain yang kelihatannya sepele. Tapi kenyataannya tak pernah klop. Saya rasa hidup waktu itu sangat sulit. Karena saya tak terbiasa mengurus diri sendiri. Alias saya belum bisa mandiri. Kuliah sambil kerja kedengarannya sih memang enteng. Tapi kenyataannya tidak demikian. Walaupun begitu dengan susah payah akhirnya masa studienkolleg (pra-universitas) bisa saya lewati.

Musim dingin 1981 saya mulai kuliah di Freie Universität Berlin. Saya ambil jurusan ilmu politik. Jurusan yang kurang diminati mahasiswa Indonesia. Menurut saya sendiri jurusan ini memang menarik, tapi sulit. Karena jauh berbeda dengan di studienkolleg tempo hari, di universitas profesor ngoceh seenak perutnya. Tanpa peduli apakah pendengar mahasiswa asing atau bukan. Semester satu dan dua saya tak mengerti apa yang disampaikan profesor-profesor tersebut. Problem lagi, saya pikir. Saya ingin berhenti kuliah. Menyerah sebelum berlaga. Atau pindah jurusan. Seni rupa misalnya. Lalu tiba tiba: "Ah kau belum coba sudah mundur", kata seorang sahabat dari Iran, ketika kami makan siang di mensa (kantin). Mensa sering menjadi tempat 'konferensi' para mahasiswa dari berbagai negara, seperti Iran, Turki, Jepang, Somalia atau Afghanistan. Kami sering ngobrol, sambil tukar menukar pengalaman. Problem kami rata-rata sama; bahasa. Disamping uang tentunya. Sebagai mahasiswa asing kami merasa perlu banyak belajar dari mahasiswa Jerman. Bukan saja masalah bahasa tapi lebih dari itu. Pengetahuan mengenai ideologi misalnya. Karena kami mahasiswa jurusan ilmu politik, ideologi merupakan topik menarik dan penting. Ternyata mahasiswa 'kiri' jauh lebih ramah dibanding yang 'kanan'. Walaupun tak semuanya demikian. Dari mahasiswa yang lebih senior kami sering dengar nama-nama profesor yang berkaliber. Disamping orangnya baik, ramah, simpatik, mereka ini dikenal deket dengan mahasiswa. Disini saya dapat pelajaran yang amat menarik. Profesor yang top sudah pasti digandrungi mahasiswa. Dan - yang penting - mereka tak pernah mau menciutkan nyali mahasiswa. Bahkan sebaliknya. Mereka selalu membesarkan hati kami. Mereka sangat simpatik. Apalagi terhadap mahasiswa asing. Pelajaran menarik yang saya dapat; Orang yang punya nama besar tak bakal meremehkan orang lain. Prof yang top biasanya seorang (neo)- marxist. Oleh sebab itu kampus kami (Otto Suhr Institut) sempat dijuluki sebagai tempat orang-orang 'kiri', atau sarang komunis. Dan pendapat ini tidak (100%) benar. Yang benar - tak banyak orang yang mengetahui - adalah untuk membendung bangkitnya kembali bahaya Fasisme atau Nasionalsosialisme (Nazi) di Jerman. Disamping itu DAS KAPITAL sepertinya sudah menjadi 'buku suci' para mahasiswa. Mulai semester satu hingga semester tiga - walau kemampuan bahasa masih belum mencukupi - saya tetap menghadiri setiap mata kuliah. Lalu - sementara kuliah berlangsung - ada kejadian menarik yang saya saksikan. Begini. Jika prof. kiri memberikan kuliah, maka banyak sekali mahasiswa yang hadir. Ruangan penuh sesak. Yang datang terlambat tak kebagian kursi. Mereka terpaksa berdiri dibelakang atau bahkan duduk dilantai. Semua mahasiswa dengan tenang dan antusias mendengarkan ocehan sang profesor. Tapi jika prof. yang bukan marxis apalagi yang dirasa dekat dengan partai konservatif (CDU), kuliah mereka sering dikacau oleh kelompok MG (Marxistische Gruppe). Bahkan suatu saat, saya lihat sendiri bagaimana seminar - seorang profesor dari partai sosial demokrat - diobrak abrik oleh MG sehingga pihak kampus terpaksa mendatangkan polisi untuk menenangkan keadaan. Saya anggap prilaku (MG) itu bukan revolusioner, melainkan reaksioner. Soalnya tak memberi kesempatan 'lawan' untuk buka mulut. Artinya tak demokratis. Dari kejadian tersebut saya mendapat pelajaran yang amat menarik; "Kita harus bisa menghargai pendapat orang lain".

Suatu saat saya mengikuti mata kuliah wajib; Sosiologi politik (Max Weber). Menurut seorang rekan neo-marxist, Weber adalah seorang nasionalis yang sakit ingatan, reaksioner, katanya sinis. Walaupun demikian, saya tetap ingin mengenal siapa Weber. Dan, terutama karya dia dibidang sosiologi agama. Peranan etik protestan calvinis dalam semangat kapitalisme. Disamping teori dia mengenai rasionalitas. Negara oksiden dan orien. Politik sebagai pekerjaan. Ilmu pengetahuan sebagai pekerjaan. Dan sebagainya. Ah masih banyak lagi. Nanti dilain kesempatan akan saya ceritakan lebih detail lagi. Tapi, apa yang saya peroleh dari Weber? Tak bisa saya simpulkan dalam hanya beberapa kalimat disini. Karena rumitnya minta ampun. Yang jelas saya telah menemukan cara untuk menganalisa sesuatu; Dimana Marx mentok, disitu saya pakai Weber. Demikian juga sebaliknya. Jika Weber - saya rasa - kurang pas, gampang, saya pergunakan saja Marx. Dengan bahasa lain yang lebih gamlang, ini biasa disebut metoda analitis kritis. Seorang rekan politolog di Cornell University - dengan nada setengah mengejek - menyebut saya sebagai seorang post-marxist. Mungkin karena saya keseringan mengutip Habermas. Menurut Habermas - kalau saya tak salah baca - gerakan mahasiswa berpotensi untuk melakukan perubahan sosial. Maka dari itu - seperti juga mahasiswa lain - selain kuliah, saya mulai ikut-ikutan aktif berorganisasi. Saya masuk anggota PPI, kalau engga salah 1979. Organisasi mahasiswa ini memang menarik. Tapi sering tak efisien. Dan saya tak mau banyak buang waktu untuk itu. Hal-hal yang tidak prinsipiil sering dibahas berlarut larut. Masalah yang penting dan mendesak (misalnya solidaritas politik) mereka kesampingkan. "Kendatipun demikian, kalau kita mau berpolitik kita harus tahu dong watak orang Indonesia yang sebenarnya". Demikian seorang rekan 'ekspert' PPI menasehati saya. Buat saya pribadi, masyarakat Indonesia diluar negeri adalah sebuah artificial society. Sebuah masyarakat semu. Dan bukan merupakan gambaran masyarakat Indonesia yang sebenarnya. Kendatipun demikian, situasi dan kondisi 'masyarakat' Indonesia di Berlin-barat ketika itu memaksa PPI tahun 80an menjadi semakin aktif. Barangkali berbeda dengan PPI-Cabe yang ada sekarang. Saya tidak tahu persis. Misal ini terbukti dari majalah ''Gotong Royong'' yang terbit lancar. Malah sering dicetak edisi ekstra. Begitu juga PPI Cabe sering kali menyelenggarakan malam kesenian. Mengundang tokoh masyarakat, baik ilmuwan maupun pejabat (KBRI). Menyelenggarakan pertandingan olah raga, pesta bakar sate, rally sepeda, dan sebagainya. Walaupun begitu toh beberapa orang masih menganggap PPI - yang konon mempunyai fungsi sosial kontrol ini - ternyata tak lebih dari pada organisasi hura-hura belaka. Artinya kurang berani alias politis selalu mendua. Tidak konsekuen. Plin plan. Bukan ini berarti sama sekali tak kritis. Lalu karena PPI dianggap tak mampu menampung aspirasi mahasiswa - paling tidak di Berlin-barat - maka bermunculanlah beberapa organisasi. Tapi PPI masih tetap merupakan titik sentral atau pusat dari organisasi-organisasi yang baru berdiri tersebut. Artinya tanpa PPI samasekali organisasi-organisasi tersebut tak bakal jalan juga. Kalau tak salah saat itu ada sekitar dua belas organisasi dan 'organisasi'. Bahkan ada 'organisasi' yang beranggotakan hanya satu orang saja. Ketua merangkap sekretaris sekaligus bendahara. Kedengarannnya memang lucu. Tapi itu realitas. Dan realitas selamanya menarik untuk dibicarakan. Diantara sekian banyak organisasi, perhimpunan-indonesia (p.i)adalah salah satu diantaranya. P.i. yang didirikan 28 oktober 1982 secara dinamis-dialektis dapat dilihat sebagai reaksi atas ketidakjelasan sikap politik (ketua) PPI saat itu. Perlu juga saya sebutkan disini bahwasanya keanggotaan p.i boleh dibilang sebagian besar terdiri dari anggota PPI juga. Termasuk saya sendiri misalnya. Kalau istilah abri-nya mungkin dwifungsi. Bahkan banyak orang yang menjadi anggota dari berbagai organisasi sekaligus. Tak ada masalah sama sekali. Sebagai contoh - tak perlu saya sebut nama- seorang rekan disamping sebagai aktifis berat PPI, organisasi keagamaan, dia juga anggota (presidium) p.i. Disamping itu, dari aktifitas sportpun bisa juga bermetamorfosa menjadi organisasi yang sifatnya politis. Last but not least, rekan-rekan wanita juga tak mau ketinggalan. Mereka mendirikan organisasi - yang tentu saja - sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Wah, kalau semua organisasi saya sebutkan satu persatu disini, mungkin tak bakal pernah habis. Singkat, kendatipun demikian, pada hakekatnya semua organisasi dibentuk berdasarkan kebutuhan masing-masing. Bahkan ada yang sebelum resmi berdiri sudah buyar. Barangkali karena kurang peminat alias tak ada kebutuhan untuk itu. Yang penting semuanya tumbuh dari bawah. Situasi ini mirip Indonesia zaman demokrasi parlementer.

Perlu juga saya tambahkan disini bahwa suasana politik dalam negeri Jerman (atau Eropa barat) tahun 80an sedikit banyak juga mempengaruhi pandangan politik mahasiswa Indonesia saat itu. Misal masuknya partai hijau (DIE GRÜNER) kedalam parlemen. Gerakan anti nuklir. Demo pro-perdamaian. Aksi sepihak kelompok otonom. Yang mengambil alih secara paksa rumah-rumah tua dibeberapa bagian kota. Aksi jalanan, bakar mobil, pelemparan kaca etalase Bank disepanjang jalan utama Ku-damm. Sepertinya sedang terjadi perang rakyat. Dan media massa sangat getol meliput peristiwa tsb. Jadi, saya berani berasumsi disini bahwa faktor tersebut juga mempengaruh kognisi dan pandangan politik generasi muda yang tinggal di Berlin saat itu. Kalau dibandingkan dengan kejadian politik aktual di Jerman saat ini (NeoNazi, Skinhead, rasisme atau sikap anti orang asing) lalu apanya yang perlu ditiru? Kecuali dihindari - kalau tak bisa melawannya. Disamping itu, pengaruh pemberitaan media massa dari negeri kita Indonesia, saya rasa, juga tak kalah penting dalam membentuk visi politik mahasiswa Indonesia lima belas tahun yang lalu. Tahun delapan puluhan suasana politik dinegara kita boleh dibilang sangat mencekam. Menakutkan. Mengerikan. Konspiratif. Sulit sekali ditebak. Lalu ini bukan berarti suasana politik sekarang sudah lebih bagus. Tentu saja tidak. Misal kita ambil beberapa contoh. Kasus tanjung priuk. Pemboman BCA. Penembak misterius. Semua ini - saya rasa - juga mempengaruhi sikap politik anak-anak muda saat itu. Tak terkecuali kami di Berlin. Dengan singkat kalau boleh saya asumsikan disni bahwa kesadaran politik (mahasiswa zaman saya di Berlin dulu) di bentuk oleh tiga elemen yakni dunia akademik, lingkungan sehari hari dimana kita hidup dan berita dari mana kita berasal. Saya anggap saja ini sebagai dinamika dan dialektika kehidupan. Artinya paling tidak apa yang saya alami sendiri. Singkat. Seandainya sikap politik kebanyakan mahasiswa di Berlin saat ini terasa kurang kritis, ini hendaknya dilihat dalam konteks tiga elemen tersebut. Dan bukan sebagai akibat dari (keberhasilan) penetrasi kelas penguasa (baca Konsulat). Soalnya saya cukup yakin bahwa kebebasan berpendapat dalam negara demokratis tak bisa dibelenggu - untuk selamanya.

Perlu saya sebutkan secara singkat apa sebenarnya yang dinamakan perhimpunan indonesia. Saya masih ingat betul perdebatan 'ideologi' dalam rapat dua belas tahun yang lalu. p.i terdiri dari faksi-faksi. Faksi sayap 'kiri' menghendaki jalan sosialisme. Yang lain menganggap paham sosialdemokrasi lebih cocok untuk negeri (sedang berkembang) seperti Indonesia. Kelompok sayap 'kanan' (nasionalis) bicara soal neo-sukarnoisme. Saya diam. Soalnya tak tahu harus bilang apa. Tapi saya tahu sedikit-sedikit tentang perhimpunan Indonesia zaman Hatta cs. di negeri Belanda dulu. Artinya p.i saya anggap bukan sebuah partai melainkan sekedar forum. Karena saya ditunjuk menjadi sekjen maka saya diharapkan untuk berkomentar juga. Saya harus. Rekan-rekan ingin mengetahui pendapat saya. Aduh, betapa sulitnya keluh saya dalam hati. Karena kepepet akhirnya saya memberanikan diri untuk angkat bicara. "Perhimpunan Indonesia bukanlah satu tujuan melainkan satu proses kearah itu". demikian tutur saya sambil gemetar, karena tak terbiasa berbicara didepan orang banyak. Wah, kok seperti Mao komentar seorang rekan. Belakangan baru saya tahu selain Mao, konon Willy Brandt dan Gandhi juga bilang begitu. Rupanya ini adalah satu kebenaran dan kebenaran bukan milik pribadi. Lalu ibarat gaya seorang funktioner partai beneran saya lanjutkan; "Dan didalam p.i hendaknya setiap orang bukan saja merasa betah, akan tetapi juga merasa berguna". "Baik berguna bagi dirinya sendiri, maupun berguna bagi orang lain". "Artinya sistim kolektif menuntut kesadaran yang lumayan tinggi". "Jadi perlu adanya semacam usaha penyadaran baik untuk diri kita sendiri maupun masyarakat luas, di Berlin, di Indonesia pendeknya diseluruh dunia", tutur saya untuk meyakinkan rekan-rekan saya. "Caranya, kita harus punya alat untuk kepentingan tersebut; artinya kita harus membuat majalah, pamflet, selebaran etc". Maka rapat menyetujui agar secepatnya kita membuat selebaran dan majalah, baik dalam bahasa Jerman maupun Indonesia. Majalah edisi bahasa Jerman terbit tiga kali. Bangkrut. Langsung diikuti oleh edisi bahasa Indonesia. Yang tinggal akhirnya hanya selebaran. Berita Tanah Air. Disingkat BTA. Agar adil setiap anggota - termasuk saya - diharuskan menulis (artikel) di BTA. yang terbit seminggu sekali, kemudian dua minggu sekali, lalu sebulan sekali. Yang sekarang tidak pernah terbit lagi. Kendatipun demikian selebaran inilah yang akhirnya menyadarkan saya. Maksud saya melengkapi pelajaran (teori) yang saya peroleh di bangku kuliah. Dan semua ini, bukan sama sekali tanpa resiko. Begini ceritanya, mudah-mudah tidak membosankan.

Kami menganggap diri lebih hebat dari kelompok-kelompok lain yang ada di Berlin saat itu - termasuk PPI. Maka kita harus berada di barisan paling depan. Ini berarti kita harus bisa menjadi avantgarde. Demikian kata seorang rekan yang mempunyai jam terbang puluhan tahun di pergerakan politik. Pendeknya paling berani begitulah. Apa yang dilarang terbit di negeri kita malah kita sebarkan di Berlin. Tentu saja tak semuanya. Itu menandakan bahwa kita selektif juga. Saya masih ingat satu kasus menarik. Kasus buku putih Dharsono yang disangkut pautkan -oleh regim penguasa - dengan kasus tanjung periuk, pemboman BCA dll. Kasus petrus atau penembakan misterius. Kasus kantor redaksi koran yang menerima kiriman kantong plastik yang berisikan penggalan kepala manusia tak dikenal. Demikian juga berita mengenai berita orang terkaya dan mencari orang termiskin di Indonesia - yang di Indonesia dilarang - tapi semuanya kita muat. Disamping itu tak terkecuali kejadian-kejadian di Berlin; misal kericuhan pemilihan ketua PPI. juga kita muat. Ah, rasanya tak mungkin saya sebutkan satu persatu berita atau ulasan yang kita muat dalam BTA. Tapi yang jelas - karena nama saya tercantum disitu - saya sering dipanggil pihak perwakilan. Untuk mempertanggung jawabkan isi selebaran kami. Saya sering dinasehati. Dihimbau. Bahkan diancam. dsb. Namun saya tetap pada pendirian saya. Kebenaran harus dipertahankan kata hati kecil saya. Wah apa perlunya kejadian dua belas tahun yang lalu saya ceriterakan kembali disini? Sebab ini merupakan esensi dari pada lika-liku rantau. Yang -menurut saya - penting juga diketahui oleh orang lain. Artinya paling tidak oleh generasi muda 'angkatan sembilan puluhan' ini. Begini awal kisah tersebut.

Selain kuliah dan mencari nafkah saya juga ikut menyemarakkan Ketoprak-Berlin (sebuah parodi - yang diberikan oleh seorang rekan Indonesianis - tentang aktivitas mahasiswa Indonesia di Berlin tahun delapan puluhan). Saya bukannya disini hendak mengklaim diri sebagai sutradara. Bahwa semua ini hasil kerja saya. Sudah pasti tidak demikian. Tapi kalau saya sebut bahwa saya pernah ikut didalamnya, mungkin tidak ada orang yang bakal membantahnya. Bahasa ilmiahnya ini biasa disebut ethno methodology. Bahasa awamnya berarti pengamat dan pemain. Singkatnya begini. Memang - kalau kita sibuk - tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Setelah sepuluh semester kuliah, saya pun akhirnya tamat juga. Dan resmi menyandang gelar Diplom Politologe. Tapi what next? Pak profesor menganjurkan saya untuk menulis disertasi. Disamping itu seorang rekan - yang kini namanya sangat populer di negara kita - juga menganjurkan hal yang sama. Malah dia berjanji bersedia membantu saya. Dan memang benar-benar dia lakukan. Tapi sial, rupanya Yang Maha Penguasa (pemerintah) menghendaki lain. Bersamaan dengan itu (1986) izin tinggal saya habis. Paralel dengan masa berlaku paspor. Saya harus pergi mondar mandir ke kantor polisi urusan orang asing dan ke Konsulat. Dikantor polisi - untuk keperluan promosi - saya dimintai surat keterangan dari universitas dan surat izin dari pemerintah republik Indonesia. Yang pertama bukan masalah. Tapi surat izin dari pemerintah untuk disertasi? Saya samasekali tak mengerti. Saya sempat debat dikantor polisi.

"Sejak kapan orang asing perlu izin pemerintah negerinya untuk meraih gelar doktor? Dan apakah ini hanya berlaku untuk saya seorang saja?, tanya saya ketus.

"Tidak!" jawab polisi itu sambil menggelengkan kepalanya. Ini peraturan baru (1986), katanya singkat".

Wah, mati! Sialan betul nasib saya, gumam saya dalam hati. Singkat cerita. Setelah saya mondar mandir, dari rumah ke konsulat, dari sana ke kantor polisi dan dari situ ke Konsulat lagi, ternyata surat izin tersebut tak bisa dikeluarkan.

"Soalnya harus ada persetujuan dari Jakarta", kata konsul muda yang sarjana hukum itu.

"Ya, saya paham" jawab saya pendek.

"Tapi yang saya perlukan adalah sepucuk surat yang menerangkan bahwa surat izin itu harus dikeluarkan dari Jakarta. Bukan dari perwakilan kita di Berlin", saya memelas. Lalu saya diberi surat (dalam bahasa Inggris), yang menyatakan bahwa izin promosi saya sedang dalam proses. Dengan berbekal surat tersebut saya pergi ke kantor polisi. Polisi Jerman tak mau banyak cincong ketika surat tersebut saya sodorkan. Sekitar setengah jam kemudian saya memperoleh izin tinggal: selama dua tahun. Oh, saya bersyukur. Namun dengan catatan saya harus memperpanjang masa berlaku paspor saya. Yang masa berlakunya sudah habis. Lalu apa yang terjadi? What's the next problem? Aneh bin ajaib. Saya mendapat izin tinggal selama dua tahun, sedangkan paspor saya sudah habis masa berlakunya. Sialan. Betul betul saya lagi apes. Perlu diketahui memang - sebelumnya - paspor saya hanya diperpamjang cuma setahun. Normal dua tahun. Sebagai alasan - saya kira dan saya hanya bisa mengira ngira saja - isi BTA. Saya berdebat cukup lama dengan konsul muda yang sarjana hukum itu. Apa ada alasan. Kenapa paspor saya tidak diperpanjang masa berlakunya? Yang menurut dia, itu adalah perintah atasan. Satu alasan untuk lepas dari tanggung jawab.

"Sebenarnya saya hanya ingin tahu persisnya apa yang boleh dan tidak boleh kami muat - di BTA?" Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Malah dia balik bertanya.

"Situ kan bukan orang islam. Untuk apa ikut-ikutan menyuarakan kasus tanjung priuk? Kalau 'mereka' berhasil nasib kamu gimana?" kata Konsul muda itu. Kemudian saya jawab;

"Kalau di negeri kita ada orang diperlakukan tidak adil (apalagi dibunuh) saya merasa perlu untuk memberitakan, menyebarluaskan dan mempermasalahkannya. Agar peristiwa sejenis tak terulang kembali. Apalagi korban begitu banyak berjatuhan. Dan ini terlepas apa agama orang-orang yang menjadi korban itu. Apalagi sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam. Apa salah saya? Kemudian saya lanjutkan; bapak kan orang Islam, kenapa peduli nasib saya? Kalau mereka (Islam) menang bapak kan bisa naik pangkat jadi dubes atau apalah, saya tak tahu - kata saya kesal. Lha saya pikir, paspor saya akan diperpanjang 'normal'. Eh, malah paspor saya 'disimpan'. Waktu itu hidup di Berlin - yang dikelilingi tembok - terasa lebih tidak enak kalau tanpa memiliki paspor. Praktis kita tak bisa pergi kemana mana. Menjadi tahanan kota.

Masih soal birokrasi. Setelah exposé (ringkasan disertasi) saya serahkan ke promotor (Konsulat minta terjemahannya dalam bahasa Indonesia) - saya kira semuanya akan beres. Ternyata tidak juga. Urusan administrasi dengan universitas, masalah beasiswa dan izin tinggal sudah semuanya beres. Tapi dengan konsulat? Apa yang saya bisa lakukan? Nothing. Nichts! Lalu - sambil menunggu kasus paspor selesai - sayapun bekerja di pabrik. Mengumpulkan uang. Uang cukup. Kemudian saya beli tiket di Garuda. Saya hendak pulang. Kepulangan saya mempunyai dua maksud. (Saya pikir, dari pada hidup tanpa paspor di Berlin). Pertama menengok kampung halaman. Kedua saya hendak melakukan riset untuk disertasi saya. Untuk maksud ini lalu saya telpon perwakilan. Bahwa saya sudah membeli (return) tiket untuk pulang ke tanah-air. Kemudian saya disuruh datang ke Konsulat dengan menunjukkan tiket tersebut - dengan jam, hari, tanggal, bulan serta tahun keberangkatan yang pasti. Rupanya penguasa tak mau kecolongan! Hanya dengan menunjukkan tiket tersebut, kemudian saya memperoleh paspor kembali. Paspor saya saya ambil. Pelan pelan saya buka halaman demi halaman, kemudian saya lihat; berlaku hanya untuk dua bulan! Wah, saya betul betul terkejut. Akhirnya saya pikir-pikir, ah, masih jauh lebih bagus ketimbang sama sekali tak punya paspor, seperti yang dialami rekan-rekan-rekan kami yang lain.

Seperti kepulangan sebelumnya saya terbang langsung dari Berlin menuju Bali. Ketika mendarat di bandara Ngurah Rai saya merasa ada sesuatu yang tak beres. Firasat buruk. Mengingat apa yang telah saya alami di Berlin. Ah saya pikir itu hanya ilusi belaka. Hampir sebulan lamanya saya merasakan hidup bebas. Seperti layaknya orang lain. Yang bisa pergi kemana mereka suka, tanpa harus merasa takut atau canggung. Di Bali saya bertemu dengan saudara, tetangga, orang sekampung dan teman-teman se SMA dulu. Dan saya gembira sekali. Maklum setelah lima tahun berpisah baru bisa ketemu mereka lagi. Memang sejak akhir tujupuluhan hingga akhir delapan puluhan Bali berubah dahsyat. Maka banyak hal yang saya ingin lihat. Saya pergi ke Ubud, melihat lihat lukisan di Galery. Mau beli sayang uang tak punya. Berenang di pantai Kuta. Mengendarai mobil (sewaan) dan sekali sekali naik motor keliling desa sungguh menyenangkan. Makan babi guling di pinggir jalan kota seni Gianyar. Menyaksikan sabungan ayam di desa Satrya dekat Klungkung. Malam hari menonton kecak, barong atau legong. Singkat saya menikmati betul hidup itu. Saya betul-betul enjoy. Dan saya happy sekali. Saya rasa saya telah menjadi tourist domestic. Bukan saja karena saya sudah selesai kuliah dan kandidat doktor, akan tetapi juga karena saya punya pacar bulé. Tanpa sadar saya bangga. Saya pikir diantara teman-teman lama status sosial dan gengsi saya agak naik. Saya kira malah banyak temen yang ngiri sama saya. Beberapa teman malah ingin juga ikut pergi ke Jerman. Pendeknya saya bahagia. Kebahagiaan ini saya sempat nikmati hanya sebulan.

Sekitar jam tiga sore, saya lupa harinya, awal tahun 1987 saya dijemput oleh seorang berseragam tentara (Kodim) dan lima orang (intel dan sopir) berpakaian sipil. Saya benar-benar terkejut ketika itu. Mereka tidak menyebutkan siapa mereka itu. Yang jelas saya harus ikut mereka. Hari itu juga. Saya sanggupi. Karena badan saya berkeringat saya ingin mandi. Wah saya dibuntuti sampai kekamar mandi. Saya pikir apa-apaan ini. Mungkin mereka pikir saya bakal melarikan diri. Soalnya saya lihat orang yang membuntuti saya hingga kekamar mandi itu, disamping dia menggenggam Walky Talky di tangan kiri, tangan kanan pegang beceng. Tak sampai sepuluh menit saya keluar dari kamar mandi. Saya lihat mereka bertubuh atletis dan cukuran cepak semua. Sepatu hitam mengkilap. Mereka menyebar. Sepertinya mereka mau menangkap teroris saja. Lalu saya diantar kemobil. Landrover hijau tua sudah menunggu dipinggir jalan. Di dalam mobil suasana aneh. Tegang. Mereka hanya memelototi saya. Bisa dibayangkan. Tiba-tiba saya ingat orang-orang yang dijemput oleh 'orang tak dikenal' yang tidak pernah kembali lagi kerumah. Yang tahun delapan puluhan bukan hal aneh. Dan bisa terjadi menimpa siapa saja. Walaupun demikian saya memberanikan diri untuk bertanya. Kemana kita hendak pergi. Tak ada jawaban. Saya pikir ini teror mental. saya tanyakan surat perintah penangkapan yang sebelumnya juga saya sudah tanyakan, malah mereka balik bertanya untuk apa? Waduh sialan. Perjalanan dari rumah sampai ketempat tujuan makan waktu kira-kira tiga puluh menit. Dimobil saya lebih banyak diam. Lalu landrover itu masuk pekarangan asrama tentara di Kuta, yang dipintu masuk dijaga oleh dua orang tentara. Turun dari mobil saya langsung digiring menuju ruangan khusus. Disitu duduk seorang laki-laki berpakaian sipil, yang belakangan saya tahu seorang letnan AD. Saya dipersilahkan duduk dikursi. Lagi-lagi saya tanya surat perintah.

-Ini bukan interogasi. Saudara cuma dimintai keterangan, katanya.

-Walaupun begitu kan ada prosedurnya, jadi harus jelas ada surat perintah, saya kesal. Kemudian saya dibentak:

-Perintah lisan sama saja dengan surat perintah. Saya lihat mukanya merah, dia mulai marah sama saya. Kemudian dia tanya lagi:

-Siapa nama ayah, ibu kakak dan adik Saudara?

-Apakah mereka ikut partai terlarang (PKI)?

-Siapa nama saudara ayah dan saudara ibu Saudara?

-Siapa pula nama kakek dan nenek Saudara?.

-Apakah mereka pernah menjadi anggota atau simpatisan PKI?

Semua saya jawab tidak. Kakek sudah meninggal sebelum G30S meletus. Ayah anak tunggal. Ibu punya saudara laki-laki hanya satu yang kebetulan Abri dan sebagai Babinsa. Lalu pertanyaan berikut;

-Apakah benar Saudara sekolah di Berlin? Berlin barat atau timur?

-Berlin barat? Disini sempat terjadi ketegangan sedikit. Rupanya pak letnan tidak tahu Eropa. Soalnya dia pikir, Berlin terletak tepat digaris perbatasan antara Jerman barat (FRG) dan Jerman timur (GDR). Dia ngotot. Saya sarankan agar dia tak usah keras kepala, karena saya yang tinggal selama dua belas tahun di Berlin, tak mungkin keliru. Wah betapa malunya dia. Saya lihat mukanya merah padam. Karena selain dia ada banyak orang diruangan itu yang mendengarkan interogasi tersebut. Satu nol, saya pikir. Kali ini dia lebih berhati hati. Nada suaranya kini lebih lunak. Tidak kencang seperti sebelumnya. Lalu dia tanya apakah saya kenal dengan orang-orang anggota PKI di Berlin atau Eropa? Wah banyak sekali pertanyaan yang tak masuk akal. Kira-kira lima jam berlalu, diluar sudah gelap. Interogasi untuk hari itu berakhir. Paspor saya diambil, dan tak dikembalikan ketika saya pulang. Saya kira sudah beres. Rupanya ini baru tahap permulaan.

Interogasi pertama itu membuat saya benar-benar kesal. Untuk mengurangi rasa kesal tersebut saya bersama pacar bule saya tinggal di sebuah bungalow ditepi pantai Kuta. Menjadi tourist. Saya nikmati hari demi hari dengan perasaan tak menentu. Lima hari berikutnya sayapun dicari intel. Karena dirumah orang tua saya, saya tak ada, mereka pikir saya sembunyi. Kodim yang datang kerumah - karena tak menemui saya - mengambil ayah saya sebagai pengganti saya. Ketika ayah sedang berganti pakaian, Tiba-tiba muncul abang saya. Dialah yang kemudian memberitahu petugas kodim itu bahwa saya tidak bersembunyi, melainkan tinggal di Kuta di hotel BB. Saya kemudian dicari petugas kehotel tesebut. Sayang tak berhasil. Saya sedang keluar. Petugas rupanya bingung. Mereka menunggu saya di hotel. Manager hotel pun terkejut melihat tentara masuk kehotelnya. Maksud kedatangan mereka itu hanyalah untuk menyampaikan pesan agar keesokan harinya saya datang menghadap ke Kodam. Demikian menurut manager hotel tempat kami menginap. Tanpa banyak cingcong saya sanggupi.

Dengan berpakaian cukup rapi, kemeja putih dan celana berwarna krem dan berewok belum sempat dicukur, saya menghadap. Temen kumpul kebo saya ingin ikut menemani saya. Saya tak setuju. Dia tak mau mengalah. Namun setelah berdebat sebentar, saya mengalah. Dia ikut. Pagi itu kami berdua berangkat dengan perasaan was-was. Bimbang. Kacau. Kami takut, karena tak tahu apa yang bakal terjadi. Soalnya saya punya rencana besar: program disertasi. Singkat ceritra saya tiba di tempat tujuan. Partner saya tak diperkenankan ikut masuk. Dia hanya boleh menunggu di dalam mobil ditempat parkir. Saya kira interogasi cuma sebentar. Eh tahu tahu mulai jam delapan sampai jam dua. Saya disodori setumpuk kertas oleh seorang petugas (mayor M) berpakaian sipil. Banyak sekali pertanyaan - kali ini tertulis - yang harus saya jawab. Saya harus! Saya lihat pada kop kertas pertanyaan itu tertera: BAIS. MABES ABRI. Sehingga barulah saya sadar, dengan siapa sebenarnya saya berurusan kali ini. Dari sekian banyak pertanyaan itu - tentu saja tak semuanya saya ingat - misal kenapa saya mendirikan pi, kan sudah ada ppi? apakah di pi ada orang-orang pki? apa saja aktivitas orang-orang lama (pki)? di Berlin atau Eropa? Apa saja peran anggota-anggota pi? maksudnya siapa bikin apa. Semuanya saya jawab berdasarkan apa yang saya ketahui. Kemudian sebagai 'sekjen' p.i. saya mempunyai tugas dan peran apa? masak! saya jawab. Soalnya rumah saya besar, jika dibandingin apartement mahasiswa lain. Mungkin sepuluh kali lebih besar dibanding kamar-kamar yang ditempati mahasiswa kita. Jadi saking besar dan strategisnya, rumah saya sering dipakai untuk rapat-rapat atau pertemuan. Dan saya sendiri dapat tugas masak. Jangan berpura-pura disini, kata petugas itu. Tiba-tiba dia keluarkan segepok kertas: Berita Tanah Air. Lengkap. Dari edisi perdana hingga terakhir. Wah mati saya. Satu persatu selebaran (BTA) itu diperlihatkan kepada saya. Ada tiga edisi yang - saya rasa - memberatkan saya disitu. Yang pertama soal tanjung priuk itulah. Itu masalah SARA kata pak mayor M. Sedangkan menurut saya pelanggaran HAM. Brutal. Yang kedua: artikel saya tentang dwi fungsi Abri. Menurut saya pemerintah sipil dan militer sama baiknya dan sama korupnya. Tapi semakin lama dwi fungsi Abri diberlakukan semakin banyak pranata sipil yang bakal terlibas (kasus PDI!). Sehingga cita-cita untuk membentuk negara demokratis (tanpa pranata sipil) akan terhambat dengan sendirinya. Paling tidak dengan demikian situasi politik akan secara artificial dibuat tegang terus menerus. Agar kehadiran militer menjadi satu keharusan. Konon, untuk menjaga 'stabilitas'. Kemudian artikel yang terakhir. Sebenarnya ini merupakan kutipan atas tulisan seorang sejarawan jerman Benhard Dham; Kenapa BK tak membubarkan PKI setelah peristiwa enam lima? Seperti misal PSI dan Masyumi? Barangkali Sukarno takut (begitu Dham) kalau PKI dia bubarkan, justru bakal tambah sulit lagi. Karena kita harus selalu waspada. Waspada terhadap sesuatu yang tak terujud. Seperti yang kita saksikan hari ini. Dan yang paling gawat, setiap orang dapat saja dituduh atau dicap komunis. Tanpa harus pernah menjadi anggota atau simpatisan partai tersebut. Lalu - saya kasih - argumen, kenapa justru di negara-negara kapitalis (Itali, perancis dan Jerman) masih ada partai komunis? Saya bukan penganut paham komunisme, tapi apa yang saya tulis di BTA itu adalah fakta. Kenyataan. Kemudian tiba-tiba; "Kita takut sama bahaya komunisme, sama Anda ini kita lebih takut lagi", kata mayor M. yang menginterogasi saya itu. Akhirnya pertanyaan berkisar soal sistim kepartaian di negara kita. "Bagaimana, menurut anda partai mana yang terbaik: Golkar, PDI atau PPP? Kalau pe-tiga rasanya tak mungkin". kata sang interogator. Golkar? rasanya juga tidak. Saya rasa anda ini cocok untuk menjadi fungsionaris PDI" - katanya. Saya jawab: Partai-partai tersebut semuanya baik. Tapi...kalau tak bisa bikin apa-apa, lalu apa gunanya? Partai koalisi bukan apalagi oposisi. "Tapi dari prototip anda ini, anda pantas menjadi fungsionaris PDI", katanya lagi. Yah, terserah bapak sajalah. Saya pasrah. Menurut anda apa yang tak berkenan dihati anda di negara kita Indonesia ini? tanya pak mayor. Negara kita baik-baik saja saya rasa, jawab saya diplomatis. Tapi ada suatu keanehan. Dan ini bukan tipikal Indonesia atau Jawa misalnya. Melainkan hal ini banyak terdapat dinegara berkembang. Yaitu dimana seorang penguasa ingin berkuasa semumur hidup. Tanpa mau memperhatikan aspek-aspek lainnya. Seperti perubahan sosial dan kemajuan tekno-ekonomis. Begitu juga masalah moral (agama). Lebih jelasnya begini. Jika di negara-negara barat seorang presiden, perdana mentri atau kanselir habis masa jabatannya, maka mereka bebas kembali lagi kekehidupan mereka semula. Artinya setelah pensiun mereka kembali menjadi warga negara biasa; Menjadi petani (Jimmy Carter), menjadi publisis (Helmut Schmidt) atau menjadi apa saja seperti layaknya manusia lain. Dan bukan menjadi seorang koruptor , maling yang haus darah yang harus diburu atau dibunuh. Dikejar kejar atau diusir keluar negeri dan mati dipengasingan seperti misal Shah, Marcos, Baby Doc, Idi Amin atau Bokassa. Dan Sukarno tak termasuk kedalam kategori ini.

Kemudian saya ditanya mengenai ideologi. Apa yang saya ketahui mengenai marxisme-leninisme? Saya bukan pakar dibidang ini. Setahu saya sih itu ideologi negara negara 'sosialis' seperti Uni soviet, Eropa timur atau negara ketiga, Asia, Afrika dan Amerika latin. Lalu apakah saya setuju misal sosialisme diterapkan dinegara kita? (catatan: pertanyaan ini dilontarkan 1987, sebelum sosialisme hancur). Saya pikir; bagaimana kita mau bilang, apakah kita mau membuat ikan bakar, ikan goreng atau pepes, sementara ikan masih berada dilaut. Begini pak; seandainya Jerman dianggap sebuah negara yang hebat, dimana kemakmuran masyarakat bawah relatif merata (sebelum 1989). Maka saya ingin negara kita melebihi Jerman. Sebab saya ingat sosialisme berangkat dari kapitalisme. Dan bukan dari zaman batu. Disamping itu saya ingat juga debat antara Marx dan seorang anarkhis, Bakunin mengenai masalah perubahan yang revolusioner. Menurut Bakunin (dan ini kemudian ternyata tak meleset) berbeda dengan Marx bahwa pergerakan sosial (revolusi) akan terjadi bukan di negeri-negeri kapitalis, seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis atau Inggris) melainkan negeri-negeri yang tatanan sosialnya semi kapitalis. Artinya setengah feodal dan setengah kapitalis. Ya seperti indonesia. Kemudian saya ditanya tentang sosialisme, komunisme dan anarkhisme. Saya jawab - tertulis - singkat saja, karena tempat dan waktu yang tersedia sangat terbatas. sosialisme berarti dimana alat-alat produksi (kapital) dikuasai negara. kalau sosialisme berarti die Verstaatlichung des Produktionsmittel, Komunisme menghendaki die Vergesellschaftlichung des produktionsmittels. Artinya memasyarakatkan kapital. Dan semua ini - biasanya - lewat jalan perubahan revolusi sosial. Kalau sosialisme pakai jalan bertahap (lewat kapitalisme dulu), anarkhisme menghendaki jalan pintas. Singkat cerita, tak terasa jam dinding telah mengisyaratkan hari telah siang. jam 12.30 waktu makan siang. Saya - dan partner saya yang sedari tadi menunuggu di mobil - disuguhi hidangan; Nasi pecel plus ikan goreng sebesar ibu jari yang dibungkus dengan daun pisang dan kertas koran. Satu gelas teh manis yang tidak dingin dan tidak panas. Saya samasekali tak ada nafsu makan. Maaf bukan karena hidangannya kurang lezat, melainkan karena konsentrasi pikiran saya saat itu bukan pada perut lapar. Otak saya terasa berat. Saya minta izin sebentar untuk menemui partner saya dihalaman parkir. dia mogok makan sembari menangis. Setelah itu saya kembali masuk keruangan interogasi. Saya setengah dipaksa untuk makan siang. Mungkin mereka takut kalau-kalau saya jatuh pingsan. Lalu saya makan sedikit saja. Saya pikir biar sang mayor senang. Demikian juga saya pura-pura minum seteguk teh manis yang ada diatas meja. Siang itu terasa begitu panas. Pikiran kalut. Lalu saya mohon untuk pergi ke wc sebentar. Didalam kamar kecil itu saya sempat bepikir; apa yang telah saya lakukan dalam hidup ini sebenarnya? Soalnya buat saya pribadi berurusan dengan kekuasaan sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Tapi saya tak tahu bagaimana buat orang lain. Llalu saya keluar dari wc saya hampir bertubrukan dengan seorang tentara. Rupanya sedari tadi dia berdiri didepan pintu. Mengintai saya. Waduh saya pikir ini keterlaluan. Masak sih sampai ke kakus pun saya tetap dibuntuti. Saya menjadi bertambah grogi. Saya gemetar. Mungkin karena saya haus dan lapar. Tapi yang jelas saya diperlakukan 'correct'.

Sidang tanya jawab untuk hari itu diakhiri kira-kira jam dua lebih sedikit. Dengan catatan akan dilanjutkan keesokan harinya lagi. Dan saya harus datang sendirian saja. Artinya tanpa ditemani partner bule. Dengan perasaan cemas, kesal dan curiga kami - saya dan calon istri saya - tinggalkan tempat tersebut. Mulai hari itu secara psychologis saya sudah merasakan adanya perubahan dalam diri saya. Saya selalu merasa dibuntuti, diawasi atau diperhatikan orang. Ini juga dialami oleh partner saya - katanya. Sehingga suasana ini membuat masa liburan kami dan rencana riset untuk disertasi menjadi berantakan. Lebih lebih lagi saya merasa seolah olah saya hidup dialam yang lain. Tanya jawab dihari berikutnya tidak begitu luar biasa, karena hanya merupakan kelanjutan dari yang sebelumnya. Walaupun demikian cukup membuat kepala saya pusing. Soalnya setiap orang yang datang ke Berlin - mulai dari Arief Budiman hingga Rendra atau mulai dari Ben Anderson sampai ke Buyung Nasution - harus saya terangkan. Artinya apa saja yang mereka bicarakan. Aah mati aku. Kalau Arief sih jelas; Sosialisme. Rendra ya begitulah Sastra dan ada politik sedikit. Dan Ben Anderson dengan analisa politik aktual ilmiah. Saya mengalami sedikit kesulitan untuk menerangkan pikiran - yang disampaikan - Abang Buyung. Kemudian saya ingat. Seperti biasa - setelah dia mengkritik BK, PKI dan juga pemerintah Orba - biasanya dia bilang begini. Kita harus bisa menjadi patriot, menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan siap membantu setiap orang yang sedang mengalami kesusahan. Siapapun dia. Saya pikir apa yang dibilang Buyung tak jelek. Tapi posisi politik seperti ini bukan saja sering kontroversial tapi juga sulit dimengerti orang banyak.

Tanpa dirasa waktu berjalan amat cepat. Sekedar tambahan saja. Agar saya dikira orang normal dan supaya saya bisa diterima keluarga besar dan masyarakat Bali 1989 saya menikahi teman kumpul kebo saya. Lima tahun sejak kepulangan saya, saya mendapat kabar yang mengembirakan. Kalau lima tahun yang lalu saya dijemput 'sepasukan' tentara kali ini saya didatangi oleh dua orang jawa suami istri yang sudah lama tinggal di Bali. Apa pekerjaan sang suami saya tidak tahu. Tapi sang istri adalah seorang sarjana hukum, tepatnya notaris. Dan salah satu saudaranya bekerja pada bagian humas di setneg, Jakarta. Sebut saja pak S. Menurut pengakuan ibu notaris itu, dia disuruh pak S. untuk menemui saya langsung. Saya kaget. Kemudian masih menurut ibu itu, saya diminta untuk berbicara langsung dengan pak S. lewat telpon tentunya. Untuk menceritrakan kasus (cekal) saya itu. Saat itu saya masih ragu. Soalnya hampir setiap bulan - dari 1987 sampai1992 - berbagai upaya untuk mendapat paspor kembali telah saya lakukan. Begitu juga tak ketinggalan teman-teman (termasuk beberapa profesor di FU) berusaha membantu saya. Agar saya bisa pergi keluar negeri - untuk merampungkan disertasi saya. Tanpa hasil sama sekali. Tapi kabar yang baru saya terima ini membuat saya betul-betul bengong. Saya hampir tak percaya. Kendatipun demikian saya turuti juga kemauan ibu notaris itu. Kira-kira jam sebelas siang saya datang kekantornya di kota Denpasar. Tanpa basa basi saya dipersilahkannya duduk. Lalu saya lihat ibu itu menelpon seseorang. Kemudian dia memberikan gagang telpon itu kepada saya. Ini pak S. abang saya yang di setneg ingin bicara dengan anda, katanya ramah. Kemudian pak S. tanya kasus saya. Apakah saya mengalami kesulitan uang untuk beli tiket, sehingga saya tak bisa pergi keluar negeri atau bagaimana? Wah aneh betul saya pikir. Sebelum menjawab pertanyaannya saya malah bertanya, kenapa dia tiba-tiba ingin mengetahui kasus saya. Begini pengakuan dia; ketika presiden berkunjung ke Berlin, beliau mendapat surat yang disampai oleh Burgermeister dari seorang profesor - yang mengaku teman anda. Profesor itu mohon agar presiden mengijinkan anda untuk pergi ke luar negeri (Berlin) untuk merampungkan studi anda. Dan bapak menteri (Moerdiono) menugaskan saya untuk menangani kasus (cekal) anda. begitu kata pak S. lugas. dalam hati saya berpikir bahwa orang itu hanya ingin mempermainkan saya. Ternyata tidak demikian.

Singkatnya begini. Saya disarankan untuk menulis surat permohonan untuk mendapat paspor kembali ke Menteri Kehakiman. Surat permohonan itu juga dikirimkan ke Mensekneg. Departemen ini akan menyelesaikan kasus saya itu. Dengan demikian imigrasi di Denpasar akan mengeluarkan paspor secepat mungkin untuk saya. Di Denpasar saya banyak dibantu oleh seorang kenalan yang pernah menjadi diplomat di Bonn. Kita sebut saja pak X. Dan dia banyak menasihati saya. Bahwasanya orang tak puas di negara kita sih jumlahnya cukup banyak. Tapi low profile sajalah. Tidak usah overacting katanya menasehati saya. Saya tak begitu mengerti dengan low profile yang dia maksud. Cara untuk mengutarakan rasa ketidakpuasan itu bermacam macam. katanya pelan. Begitu pula untuk menjadi orang berguna itu ada macam macam caranya.Kemudian dia sebut beberapa nama tokoh. Seperti nama-nama yang juga saya sebutkan diatas. Teman saya yang satu ini memang menarik. Walaupun dia seorang pejabat tinggi tapi bahasanya sangat enak di dengar. Dan saya baru tahu tak semua pejabat itu - seperti yang saya kira sebelumnya. Hampir seminggu sekali saya berkunjung kekantor 'teman' saya itu. Untuk menanyakan perkembangan kasus saya selanjutnya. Kurang lebih empat minggu, setelah berita yang menggembirakan itu saya terima, akhirnya saya diizinkan oleh negara (baca pemerintah) untuk mendapat paspor kembali. Tapi sebelum itu saya diminta untuk pergi ke Jakarta terlebih dahulu. Begitu kata pak X. Ke Jakarta kemana? Jakarta itu kan luas sekali (saya belum pernah ke Jakarta) kata saya kesal. Ke Cendana katanya pendek. Wah yang berkepentingan suruh datang kesini jawab saya. Waduh, apa yang saya bilang tadi; low profile kan? Artinya ya merendah sedikit kan tidak apa-apa. Situ kan pingin dapat paspor? Tapi kalau cuma ingin dapat paspor harus pergi ke Jakarta segala yah...tak usahlah. Repot. Saya engga senang. Kemudian saya bilang; Presiden kan banyak kerjaan, lalu untuk apa ngurusin saya yang satu orang ini. Saya sama sekali bukan orang penting. Jauh lebih penting nasib sekian ratus juta rakyat indonesia. Sekian ribu tahanan politik dan sebagainya. Ya...sudah sudah cukup, kata pak X. 'teman' saya itu. Kalau engga mau ya sudahlah. Begini saja, ini kan cuman saran. katanya. Kan tidak semua saran harus saya penuhi? jawab saya. Singkat cerita saya memperoleh paspor kembali. Lalu langsung saya pesan tiket di garuda. Desember 1992 saya tiba di Berlin. Banyak orang kaget. Termasuk seorang rekan yang merasa sangat yakin bahwa saya tak bakal bisa pergi keluar negeri lagi. Sepuluh tahun kasus paspor ini berlalu, tapi saya dengar, beberapa orang rekan bahwa kasus ini muncul kembali di Berlin. Saya tidak mengerti untuk apa? Yang jelas...tidak ada gunanya.



Kembali ke
Daftar Isi

Kembali ke
API Indonesia Homepage