Nyamanan dan Nyam-Nyaman Presiden

Oleh: Pipiet Kartawiharja

Hatta, menjelang akhir tahun 1982, iklim pergaulan masyarakat melayu di BerBar (Berlin Barat) mendadak berubah menyeramkan. Musim gugur yang kelam nan pelit sinar matahari, dan kemudian langsung digulung musim dingin yang musuh besar bangsa sawo matang itu, bahkan menambah ketegangan batin. Apalagi di selasela kresekkresek daun berguguran, terbetik swaraswara ssst...sst yang aneh dan membikin bulu roma bergidik.

Percaya atow tidak, memang begitu lah keadaannya, jika hendak dituangkan ke atas kertas. Dengan didongkelnya Kanselir Helmut Schmidt oleh Helmut Kohl di tahun yang sama, maka berakhirlah pemerintahan koalisi SosialdemokratLiberal di JerBar (Jerman Barat). Bersamaan itu pula, kegiatan perwakilan RI BerBar mendadak menjadi sunyi senyap, seolah hendak menegaskan kekelabuan iklim yang serba suram. Sassus yang biasanya lancar merembes kluwar, yang kemudian menjadi hiburan dalam perkongkowan studenstuden sebagai selingan di tengahtengah kesibukan kuliah dan mencari nafkah, kala itu, mendadak seret sama sekali. Bahkan, nadi darah para pakar penyadap sassus pun tertotok lumpuh. Sungguh menyeramkan.

Memang lah, suasana kelabu berhantu yang berlangsung berbulanbulan itu, mengiringi proses alih generator terpenting yang sempat tercatat dalam agenda PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Cabe (Cabang BerBar).

Alih Generator

PPI Cabe mencatat, bahwa dalam musim gugur 1982 itu, kantor perwakilan RI BerBar berpindah lokasi: mulamula di Jalan Lietzenbuerger, terletak di jantung kota, kemudian ke Rudeloffweg, terletak di daerah elite (BerBar Selatan). Perpindahan kantor perwakilan ini, tentulah tak memuaskan sebagian masyarakat melayu BerBar. Mayoritas anggota laskar buaya darat tentu lah kecewa berat.

Maklum lah, lokasi perwakilan lama di Jalan Lietzenbuerger itu memang lubang buayanya buaya darat. Masuk dari jantung kota, Ku'damm Eck alias Ku'dam Mojok, banting ke arah Selatan menelusuri toko pakaian C&A, dan persis diperempatan, di depan Restoran Yunani, lantas banting ke kanan. Setelah berjalan beberapa langkah, jago kita, tanpa dieluselus pun, bisa berdenyutdenyut tegang. Maklum lah, di sebelah kanan, tampak bangunan seronok menyala. Ialah Lady Nina Office, alias kantor perwakilan RI alias Rerumpun Intimitiman.

Tak sedikit orang yang kecele, mengira Lady Nina ini memang gedung perwakilan RI alias Republik Indonesia kita. Pasalnya, di antara sedapnya bau wewangian para cabo, terkadang terendus pula bau rokok kretek, yang kala itu masih sangat langka ditemukan di BerBar. Namun, walow pun begitu, orang tak perlu kecewa. Soalnya, Lady Nina yang harus dilewati itu pun merupakan satu isyarat, bahwa kita akan segera tiba di gedung perwakilan kita. Memang, Lady Nina dan gedung perwakilan, lantaran begitu akrabnya berdampingan, kerap saling mengisi. Coba saja dengar percakapan laskar buaya darat melayu kala itu:

"Di mana sih letak konsul kita?", tanya pendatang baru.

"Wah gampang sekali. Kalow sudah sampai di Jalan Lietzenbuerger, jantung terasa kepelet terkena santet. Itu tandanya kita udah nyampe ke istana rerumpun intimintiman. Di sebelahnya itu lah gedung Konsulat".

Sebaliknya, laskar buaya yang haus lubang buaya pun bakal memperoleh keterangan yang gamblang terang benderang. "Oooh, di sebelah Konsulat RI", adalah jawabannya, bila mereka bertanya "di mana sih Lady Nina?".

Bukan cuma kepindahan lokasi perwakilan RI itu saja yang mengecewakan sebagian masyarakat, namun bersamaan itu pula, kepala perwakilan RI di BerBar pun berubah total. Pasalnya, sejak akhir tahun 1982, Bos di BerBar ada lah seorang jagoan tulen. Selain permen (perwira menengah) AD, berpangkat Letkol atow sering juga dipanggil Let Call, dan waow, juga dari BAKIN yang kesohor menyeramkan; dari Konsulat menjadi Kong Fu Lat.

Maka, dengan perpindahan lokasi kantor dan revolusi jabatan kepala perwakilan, berakhirlah masa keemasan diplomat dari DepLu, dan dimulailah masa kecemasan di kalangan melayu BerBar terutama para oknum dan GPK yang banyak berkeliaran di PPI Cabe.

Berbulanbulan lamanya, hampir tiada tercium kegiatan pihak perwakilan. Hanya asap rokok kretek yang kadangkadang tercium di luar. Semuanya tampak serba tiarap. Dari selasela cerobong dapur Kongfulat, akhirnya terbetiklah berita, bahwa bos "baru" itu sedang mengadakan "konsolidasi ke dalam".

Di manamana melayumelayu pada berbisikbisik, mencium sepak terjangan serba misterius. Maklum lah, berita bahwa sang Gembong Kongfulat itu permen AD dan BAKIN, justru diperoleh dari 'sonosono' juga. Dalam setiap kesempatan, sang Gembong ini secara terangterangan mengatakan identitas dirinya. Ya, hati siapa tidak menjadi ciut menghadapi makhluk siluman dari BAKIN? Apalagi kalow beliow menyeringai tanpa sopansantun Timur. Wajar lah, bila Konsulat yang semula cuma dikatakan Kondisi Susah Langsung Tombok; kini berubah statusnya menjadi Kondisi Susah Langsung Tembak.

Kesan keadaan seram ini diperkuat oleh lokasi kantor perwakilan baru itu sendiri. Ke sana, orang macam awak, perlu lah menumpang bus bertingkat nomor 48 (kini 148 atow 248). Mau ngecek, duduklah di tingkat atas. Sesampai di stasion bis tujuan, terasa benar, betapa kita seolaholah berdiri di atas tebing. Pandangan lepas ke bawah, cukup membikin bulu roma merinding, oleh karena jalan raya padat lalu lintas itu bak gelombang Segara Kidul yang dapat menyeret penyeberang jalan yang ceroboh ke terowongan angker pembelah jalan yang terletak di sebelah kanan pemberhentian bus.

Memasuki mulut way mungil bersih Rudeloff, jantung bisa langsung berdegup. Soalnya, dari rumahrumah orangorang yang berpendapatan aduhai, kerap terdengar lolongan anjing, seolah ikut mewaspadai lalulalang manusia yang hendak menuju ke gedung perwakilan RI. Dan memang, di antara pondok indah pondok indah itu, ada terselip gedung perwakilan RI nan anggun dan elok yang cantik dan menurut ssst...ssst telah menghibahi rejeki 'siluman' kepada Gembong baru pewakilan, lantaran ada permainan sihir 'to take and to give' di seputar harga gedung itu, yang mantan pemiliknya ada lah seorang makelar rumah berkebangsaan melayu. Tentu, bisa lah dibayangkan, bagaimana perasaan saya, masih batangan, untuk pertama kalinya harus ke gedung baru, oleh sebab masa berlakunya paspor saya habis bulan Februari 1983. Sudah jantung terasa mau copot karena akan berhadapan dengan makhluk siluman menyeramkan; mana dingin pula, dan telinga dibikin congek sama gongongan anjing. Mau lari, takut dikepung penduduk, nanti dikiranya maling.

Akhirnya, langkah saya pun saya percepat sebisabisanya. Pilihannya waktu itu cuma ada dua: digigit anjing atow menjadi anjing rezim kurapan. Saya selalu melirik ke pagarpagar rumah kaum elite yang berlogokan "Awas Ada Anjing".

Hanya, beberapa saat kemudian, mata saya rada tertegun, oleh sebab di depan pagar salah satu villa, tak ada terpajang logo anjing menyeringai. Yang ada malahan logo Garuda Menengok Ke Kanan, seolah acuh terhadap keadaan di sekitarnya. Tadinya, saya kaget berat. Tapi, setelah mata saya ucekucek, eee ternyata, saya sudah tiba di depan gerbang gedung Kongfulat kita. Karena sebelumnya terbiasa dengan gedung perwakilan yang berbilateralan dengan gedung perusilan, tentu mata saya usil ngecek ke kiri dan ke kanan, kalowkalow tokh di sebelah villa perwakilan kita itu ada terdapat penggantinya Lady Nina. Saya kecewa berat, oleh sebab saya tak menemukan halhal yang mencurigakan jago saya.

"Eheeem", saya pikir. "Bisa dimengerti kalow Kepala Perwakilan sekarang alim", kata saya berguman sendirian. "Maklumlah beliow orang, itu orang dari BAKIN, jadi selalu punya alasan buat melanglangbuwana".

Agaknya, oleh karena saya telah berprasangka buruk, maka saya pun memperoleh karmanya pula. Baru pertama kalinya saya menginjak gedung perwakilan kita, dan pada saat itu pula lah saya memperoleh paspor bantingan, alias usia paspor saya diperpendek menjadi enam bulan. Senasib dengan saya, dua anggota PPI Cabe laennya, masingmasing usia paspornya diperpanjang enam dan duabelas bulan. Bebarengan dengan itu, seorang kawan yang penanggungjawab penerbitan PI (Perhimpunan Indonesia), Berita Tanah Aer, mendapat panggilan keras dari pihak perwakilan garagara tulisantulisan di situ hanya memuat Derita Tanah Aer melulu. Cuma, tiga surat yang datang beruntun itu, oleh calon GPK, dianggap entengenteng saja.

Adapun alasan pemendekan paspor saya adalah a.l.: "(....) 2. Fungsi Perwakilan RI diluar negeri termasuk Perwakilan RI di Berlin Barat, selain melayani keperluan/kebutuhan warganegaranya diluar negeri, juga berfungsi memberikan pengawasan serta penilaian kepada anggauta warganegaranya. 3. Dalam hal ini Perwakilan RI di Berlin Barat memberikan penilaian bahwa tindakan Saudara selama ini sangat merugikan kepentingan nasional RI (...)" (Konsulat RI BerBar, Nomor 147/KD52/1983, 07 Maret 1983). Suratnya sungguh menyeramkan, sebab, di situ tak disebutkan sama sekali landasan hukumnya. Ketika secara isengiseng per surat saya kemudian menanyakan landasan hukumnya, saya memperoleh jawaban yang membikin jantung langsung terasa nyut mau copot.

"Menunjuk kepada Surat Saudara tanggal 8 Maret 1983 bersama ini saya beritahukan bahwa pertanyaanpertanyaan Saudara tidak dapat kami jelaskan secara tertulis. Apabila Saudara ingin menanyakan sejelasjelasnya, kami persilahkan Saudara menghubungi kami di Kantor Konsulat RI pada jam harihari kerja" (Konsulat RI Berlin, Nr.: 184/KD72/83, 16 Maret 1983), tulis sang Konsul enteng.

Beliow boleh saja entengenteng menjawab. Pasalnya, kondisinya amat mendukung. Wakil Kongfulat pernah sesumbar, bahwa karena sekarang yang berkuasa Partai CDU/CSUnya Kanselir Ngemut Kol, maka Kongfulat bisa bermaen kongfu seenak jidat. Langsung saya terhempas, tubuh gemetaran, dan selingannya, keringat dingin pun menetes. Wah, waah, bisa menggebuk paspor, tapi tak bisa mengemukakan alasannya secara tertulis. Katanya, negara kita adalah negara hukum, tapi, tindakannya kok kebalikannya. Lagi pula, haraplah maklum, pada waktu itu saya menjabat sebagai Sekretaris II PPI Pusat JerBar. Dus, semuanya, begitu menurut aturan maen PPI JerBar, harus lah tertulis seperti halnya kalow PPI saling bersurat resmi. Dan sialnya, sebelum paspor saya digebug, saya tak pernah diperingati atow diinterogasi terkecuali berulang kali digerogoti.

Maka, ketika saya diterima Gembong Kongfulat tanggal 24 Maret di kantor, saya baru mendengar alasan sesungguhnya. Landasan hukumnya tetap 'rahasia', yang boleh tahu cuma siluman belaka. Kedua, sang mahkluk menyeramkan ini menawarkan kerjasama lahir batin. Ketiga, beliow ini meminta saya, agar saya diam dan mbok jangan nulisnulis, kalow saya tidak setuju dengan kebijaksanaan kebijaksanaan Eyang Presiden. Soalnya, caracara saya itu, weleh...., weleeeeh ......, kata beliow, memecah belah persatuan dan kesatuan nasional.

Maka, dengan dikemplangnya tiga anggota PPI Cabe awal tahun 1983, iklim di PPI Cabe pun berubah total. Sirna sudah iklim liberal penuh bralbrol seperti tahuntahun sebelumnya. Hubungan PPI Cabe dengan Kongfulat yang selama ini akrab, mendadak menjadi tegang. Apalagi, sejak itu, Kongfulat bersikap tertutup. Acara dialog dengan PPI Cabe seperti tradisi sebelonsebelonnya pun ditolak mentahmentah oleh mahkluk menyeramkan ini. Beliow bisanya cuma menyeringai dan nggereng.

Ini terasa sekali dalam pemilihan Ketua PPI Cabe beberapa bulan kemudian. Kongfulat terangterangan ikut campur. Calon Ketua PPI Cabe 1983 pun dengan bangga mengatakan, bahwa ia didukung Kongfulat. Selain itu, segelintir GPK diangkat menjadi staf lokal Konsulat. Tentu, ini satu jurus yang lihai untuk memeras informasi tentang GPK. Sementara itu, para GPK diancam satu persatu, terutama yang lemah, yakni yang berasal dari etnis Cina.

Kendati demikian, calon ketua katrolan Kongfulat keok dengan perbandingan suara sangat tipis, yakni 72 lawan 74. Ini tentu membikin Kongfulat semakin sewot dan uringuringan. Bludreknya kabarnya naek berat. Susahsusah dipasang seorang perwira menengah militer, dan dari gua hantu pula, eeee, calonnya keteter dan beliow jadi terengah-engah pula. Sesungguhnya lah, mulai awal tahun 1981, kilakila ke arah gebrakan terhadap para GPK sudah mulai nampak. Terutama Atase Pendidikan dan Kebudayaan dari KBRI Bonn sangat gencar memojokkan PPI Cabe yang di seantero JerBar terkenal dan tercemar sebagai PPI 'kiri' atow 'komunis'. Dan sejak awal tahun 1981 pulalah, Menteri Muda Urusan Pemuda alias Menmudurmud, Abdul Gafur, menurunkan laskarnya ke JerBar dan BerBar.

Saya sangat kagum sama petinggipetinggi melayu ini, apalagi staf akhlinya Menmudurmud, yang bahkan menyediakan waktu untuk berkunjung ke rumah saya. Dalam soal kebaikan dan keramahan, wah, saya memang harus banyak berguru dari mereka. Mereka, begitu juga pejabatpejabat dari Bonn, ratarata buaiiiiiiiiik sekali. Bahkan, Bapak Atase Pendidikan dan Kebudayaan demen sekali megangmegang paha saya, kalow beliow lagi merayu, sampai saya salah tingkah. Saya pikir, intel-intelnya ngasih kepada beliow laporan yang salah. Masak, paha saya diraba-raba. Memangnya bencong apa?

Tidak sedikit laskar GPK yang terjerumus lantaran kebaekan beliow-beliow itu. Pikiran jadi serba gelap. Garis pemisah antara tindakan pribadi seorang pejabat dengan kebijaksanaan penguasa sangat lah tipis sekali. Habis ditraktir, beban di hati jadi tambah berat, bahkan waktu berak pun selalu teringat akan traktiran beliow-beliow. Ya, melayu mana yang tak terjungkal kebulatan tekadnya, kalow para pejabat di samping itu juga bertutur-kata sangat halus dan dengan nada yang mengenaskan. Misalnya: "Kalian jangan membuat saya susah dong, saya kan sebentar lagi mau pensiun", atow "Tega benar kalian-kalian ini menyusahkan karir saya". Kalow mendengar rintihan mereka, sementara mulut kita melahap barang traktiran yang biasanya nikmat itu, ya, hati siapa yang tak runtuh.

Maka, susah lah untuk menolak kerjasama. Yang paling kerap membikin mata buta, adalah pengakuan luar biasa beliow-beliow itu. Bahwa, beliow-beliow sebetulnya setuju dengan kita-kita, cuma caranya laen. Bahwa, seperti staf akhlinya Menmunurmud pernah bilang, tuntutan-tuntutan gerakan mahasiswa taon 1977-1978 itu dibkin di rumah dia. Bahwa, seperti yang Kongsul BAKIN taon 1983 bilang-bilang, Hariman Siregar, dedengkot Malari itu teman baek beliow, dan sering ke rumah beliow.

Mendengar pengakuan begini, mata GPK mana yang nggak jadi sepet? Apalagi, beliow selalu membubuhi akhir ceritanya: "Jangan bilang siapa-siapa ya. Ini rahasia untuk sowdara sendiri. Kalow ketahuan, nanti saya menerima resiko jabatan". Wajarlah, kalow kemudian banyak yang lalu bilang, "ternyata, lawan kita itu sesungguhnya teman kita-kita juga". Alamaaaaaak.........

Bagi masyarakat migran di tanah sabrang macam saya begini, rayuan gombal yang termasuk ampuh ada lah penggugahan rasa kebangsaan. "Kita ini satu bangsa lho, mbok kita bersatu dong, jangan ribut-ribut sendiri. Nanti kan malu, kalow ketahuan tuan rumah". Cuma, kalow ditembak balik, "lho bersatu ya bersatu, cuma kalow kita ada kesulitan dengan pihak tuan rumah, misalnya masalah ijin tinggal atow kesulitan mencari rumah, kok bapak-bapak pada tunggang langgang?", biasanya beliow-beliow skak maat. Dan pada kenyataannya memang begitu, beliow-beliow itu ogah mengurusi studen-studen yang kesulitan. Malah, kalow bisa, kelompok-kelompok begini disuruh cepat-cepat tiarap, agar mereka tak tercoreng mukanya di hadapan tuan rumah.

Kepala saya sendiri pun pernah dibikin pusing. Soalnya, taon 1986, selama setaon, Kepala Perwakilan BerBar adalah pamannya saya punya bini. Wah. wah, ketiwasaan.... ketiwasan. Lantaran kluwarga sendiri, ini Oom sering mondar-mandir ke rumah saya, dan eeeee.... sayanya dicurigai sama para GPK yang laen. Akhirnya, dari jurus-jurus pendekatan berbau porno itu lah, kluwar lah semboyan, lebih baek berkhianat terhadap 'perjuwangan' daripada menyusahkan 'peruwangan' bapak-bapak itu.

Dalam soal kebaekan, tentu saja kocek beliow-beliow itu sangat tebal dan lancar. Maklumlah, dokunya pun doku negara. Bahkan, dari kebiasaan nraktirnraktir itu, mereka pun memetik rejeki sampingan (Lha kalow makan di restoran tertentu, beliow-beliow kan memperoleh komisi dari restoran. Saya, yang lebih dari sepuluh tahun pernah menjabat pelayan restoran, tahu dong rahasia dapur ini). Tapi, sayang seribu sayang, di balik kebuaiiiiiiikan itu, ada baubau buayanya.

Soalnya, rayuan di depan saya berbeda sekali dengan rayuan di depan para gembong PPIPPI Cabang di Jerman Barat, yang jumlahnya mencapai sampai 30 biji. Tentu saja beliow-beliow ada sewot sama saya, sebab tawaran untuk bergabung dengan mereka, saya tolak setengah mentah. Artinya setelah perut saya kenyang diisi santapan traktiran dan rokok kretek, baru saya bilang: "go to hell with your aids".

Soalnya, usulan agar saya sudi beroposisi dari dalam, menurut feeling saya bisa masuk di akal, cuma susah dicerna. Di dalam sono, bisabisa saya disihir jadi Opor Ayam. Apalagi kalow saya ingat akan rabaan nakal di paha saya. Wouwwww......... !

Agaknya, Menmudurmud itu perlu menurunkan laskarlaskarnya ke JerBar, oleh sebab ikhtiarnya membentuk KNPI sejagat raya ditolak oleh PPI Belanda dan diterima setengah hati oleh PPI JerBar tahun 1979. Itu lah pasalnya, karena Menmudurmud berada di bawah Kementerian P&K, maka pada akhir tahun 70an dan awal tahun 80an, pihak Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Bonn paling giat melakukan aksi pendudukan dan pembuayaan di PPI JerBar.

Di samping ikhtiarikhtiar pendekatan persuasif alias perek suapin nasi dan fuyonghay, di sayap laen, terasa benar kegencaran serangan umum dalam bentuk teror telepon. Dan tak ketulungan pula: mulai tengah malam sampai pagi. Ini berlangsung sampai akhir tahun 1989. Maklum, salah seorang penerornya ketangkap basah, setelah teleponnya berbulan disadap. Setelah itu, BerBar dan Berlin termasuk daerah aman. Teroris telepon mendadak menjadi pada alim. Yang juga menarik adalah peranan KBRI di ibukota Jerman Timur, Berlin Timur, di mana sekarang Konjen RI Berlin berlokasi. Di sana pekerjaan ya tak banyak, tapi staf lokalnya berjubel. Maklum, hubungan RI dengan negaranegara Eropa Timur kurang begitu akrab. Karena itu, kegiatan mereka yang menyolok terdengar adalah mencari kuda putih di padang rumput Berlin Timur dan penyelundupan rokok. Di antara mereka banyak berkeliaran makhlukmakhluk siluman, yang cuma terdeteksi klebatan gerakannya dan hawa pengap bau keringatnya. Dan makhluk menyeramkan inilah yang kerap melakukan operasinya di BerBar. Karena itulah, mereka sulit dijangkow oleh hukum JerBar. Tahun 1978, salah seorang aktivis di luar PPI Cabe pernah merasakan rabaan mesra mereka.

Seusai reunifikasi, mana kala KBRI di Berlin Timur gulung tikar, pihak perwakilan menerapkan kebijaksanaan baru. Konjen tidak lagi seorang permen BAKIN, melaenkan diplomat dari Deplu. Cuma, Konsul bagian sapujagat adalah tetap permen dari gua hantu. Beliow itu pula lah yang memegang kekuasaan di Konjen. Konjen jebolan Deplu itu dipasang sebagai pesolek wajah perwakilan Indonesia di mancanegara, apalagi setelah palu arit di Eropa Timur melempem kayak krupuk kecemplung aer dan persoalan HAM menjadi tanggungan negaranegara donator Indonesia. Hanya, terhadap mahasiswa-mahasiswa yang nakal, kebijaksanaan asal maen kemplang itu tokh tetap dimaenkan. Walow pun rejim komunis telah runtuh, namun semangat seenak jidatnya ngemplang rejim ini, seolah menitis ke pihak perwakilan RI. Maklumlah, gedung perwakilan RI berdiri di atas kuburan komunis. Dan di Indonesia sendiri kita tahu, betapa berbahayanya berlokasi di kuburan. Sebab kita bisa berurusan dengan segala jenis peri: kuntilanak, jerangkong, setan, wewe-gombel, awe-awe gombal, demit dan sebagainya.

Terdampar Di Jerman Barat

Seusai menghabiskan Studienkolleg di Universitaet Hamburg, tahun 1972 saya masuk ke BerBar. Entah kenapa kok saya punya firasat harus ke Berlin Barat. Yang jelas, di Hamburg saya kerasan juga. Di sana banyak pelaut Indonesia yang banyak bercokol di St. Pauli. Mereka membuka warung murah, meriah dan nikmat.

Mungkin Panca hal yang menarik saya untuk hijrah ke Berlin. Pertama, Technische Universitaet, tak di dapatkan di Hamburg. Pada hal, saya musti jadi Insinyur. Kedua, saya punya sahabat karib sudah ngedon di BerBar, jadi saya punya pangkalan. Ketiga, ketika masih di Studienkolleg di Hamburg dan sempat ke Berlin Timur dalam rangka wisata karya, saya sempat berkenalan dengan tiga cewek dari dusun Neustadt an der Oder, yang berada di kawasan JerTim. Dari Berlin Barat, saya bercitacita untuk bikin date dengan mereka. Wanita JerTim sangat berbeda dari wanita JerBar. Mungkin di JerBar bangsa kulit berwarna macam saya sudah menjubeli jalanan, maka kita dianggap bukan barang aneh. Sedangkan di JerTim? Bukan kita yang meliriklirik, akan tetapi, kita yang jadi serba sibuk sisiran terus, oleh sebab kita yang dilirik-lirik dan diajak tersenyum-senyum. Waowwww....., puber siapa yang nggak tergoda?. Dan memboyong cewek bule ke Melayu, termasuk ke dalam semboyan "gantungkan lah cita-citamu setinggi langit". Keempat, beberapa kawan Studienkolleg saya dari Hamburg, bertekad pada mau hijrah ke BerBar. Kelima, menurut informasi sahabat karib saya, BerBar ada lah kota murah dan kemungkinan kerja sambil studi lebih luas.

Panca hal tersebut di atas tentulah kembangannya beberapa alasan kenapa saya hengkang ke Jerman Barat. Seusai Orde-Lama tumbang, studi di luar negeri menjadi harapan tunas bangsa. Dan kalow bisa ya ke negerinegeri Barat. Terutama bagi generasi seperti saya, peserta pesta pora pengganyangan Gay30S dan penggondol beberapa surat penghargaan tidak terlibat Gay30S, antiCina totok, Barat itu memang nirwana. Maklum lah, di jamannya Bung Karno, semua yang berbau Barat kena ganyang dan retool. Bahkan, musik The Beatles atow The Beeges, dituding sebagai musik ngakngikngok, dus antirevolusioner. Makanya, pas pahlawan kita, Pak Harto, berkuasa, setiap ada kesempatan, saya menonton pilempilem Amerika dan kongkalikongnya seperti pilem Koboi (yang terkenal waktu itu Jango) atow Jim Bon.

Maklum lah, sebelumsebelumnya kita cuma boleh menonton pilempilem dari Eropa Timur, yang isinya cuma perang melulu, sehingga membosankan. Hiburan satusatunya ya pilempilem dari India yang beriramakan penuh dangdut. Jadi Insinyur lulusan negaranegara Barat tentulah menjadi anganangan para pemuda bangsa kita. Yang dikejar tentunya pangkat yahut dan doku kenceng. Membangun bangsa dan negara bukanlah soal penting, apalagi pada awal tahun 70an sudah tampak, bahwa studi di dalam negeri yang menguntungkan dan bakalan memproleh jabatanjabatan penting cuma dari AKABRI alias Akademi ABRI.

JerBar dipilih oleh karena beberapa alasan. Yakni, bangsa Indonesia tak perlu visa masuk ke negara itu. Dengan alasan melancong, kemudian kita bisa mendaftarkan sekolah. Kemudian, studi di JerBar gratis, dan bahkan kalow kepepet, bisa kerja sambilan. Selaen itu, saya termasuk mahasiswa bego ketika kuliah di ITB. Makanya, semboyannya waktu itu, yang bego kabur ke luar negeri.

Mengendusi Dunia Hitam

Tahuntahun pertama di Jerman Barat, saya masih termasuk anak baekbaek, tapi kurang begitu alim dan sholeh. Artinya, pagi siang sore yang saya pegang cuma barangbarang yang halalnya seratus persen. Yaitu: bukubuku kuliah dan kadangkadang majalah Playboy (Dalam Bhs. Jawa: Joko Ngluyur Dulin). Tentu saja, perpustakaan di Technische Universitaet Berlin atow ruang gambar di Hauptgebaeude TU Berlin BerBar adalah tempat ngedon saya. Selaen membaca dan meminjam buku, tentu saja saya kadangkala nilep buku yang tak terjangkow. Malam Sabtu dan Malam Minggu kerap saya habiskan bersama sahabat karib saya di diskodisko seperti Big Eden atow River Boat. Cuma, harapan memperoleh pacar dari disko lamalama punah juga. Habis, di sana itu banyak juga melayumelayu dan orangorang asing lainnya. Setiap kali ada peluang, eee selalu kecolongan. Kacow juga. Saingannya berat: permintaan lebih tinggi ketimbang penawaran. Alias cewek bule segelintir dirubung sama segudang semut.

Kemudian, datanglah malapetaka itu. Teroris Arab ngedorin olahragawan olahragawan Israel di Oliampiade. Ini tentunya jurus serangkaian perjuangan mereka membebaskan Palestina. Ditambah pula, umpamanya satronan antara laskar melayu dengan pasukanpasukan Inggeris di disko Big Eden. Dulu kita pernah ribut garagara rempahrempah, kini garagara empekempek. Melayumelayu generasi saya itu, memang punya tabiat sangar. Mungkin orangtua mereka bahagia, lantaran anakanak mereka pada kabur ke BerBar, oleh sebab di kandang sendiri, mereka sering bikin susah keluarga. Belum lagi melayumelayu yang tinggal gelap, yang masuk dari bandara Schoenefeld, Berlin Timur. Dari BerTim ke BerBar praktis tak ada pemeriksaan sama sekali. Akibat perebutan empekempek dan bombom GPK Arab, maka sukarlah bagi orang macam saya buat masuk ke diskodisko pangkalan. Kalow nggak garagara jadi melayu, eee karena tampang, saya kerap dikira orang Arab.

Makanya, saya kesalnya bukan maen sama ArabArab dan bulebule. Di Jerman, barulah terasa, bagaimana rendahnya nilai saya sebagai bangsa Indonesia. Pada hal, kalow mendengar omongan pejabatpejabat perwakilan, nama bangsa kita itu termasuk buesaaaaar dan huaruuuuum. Ternyata omongan mereka ini berbobot kosong. Ya, apanya yang harum dan besar, kalow kebanyakan Jerman seringkali mengatakan Indonesia itu Bali. Di tempattempat kerja, umpamanya di pelabuhan Hamburg atow di pabrik-pabrik BerBar, saya sering dilecehkan sebagai pendatang dari negara kere. Di sana kata, mereka mengejek, orang berak masih di kali, dan taeknya pun harus ngeblung kalow nyemplung ke aer. Di sana, masih menurut mereka, kalow makan, orang masih pakai tangan. Pendeknya primitif lah.

Mau didebat, bahwa cebok pakai aer itu lebih bersih, ya susah. Gimana mau ngasih contoh? Masakan harus ngajak bule-bule itu ke pinggir kali, lantas menjelaskan secara rinci proses buang aer besar? Mau didebat, bahwa makanan Indonesia lebih enak ketimbang Eisbein, nggak gampang. Soalnya, setiap ngomong, saya musti mikirin Grammatik Jerman yang susahnya serba enggak ketulungan. Jadi, sebelon argumen saya ngerocos kluwar, saya sudah diberondong dengan alasan laen plus senyuman sinis. Kontan, saya sering panasan. Lantas saya tantang mereka berkelahi, cuma bulebule itu pengecut. Pada hal, saya ini pemuda kerempeng dan tepos pula. Potong saya bukan cocok buat body-guard, tapi body-guak. Mungkin mereka menyadari kenekatan saya, yang dalam saatsaat seperti bisa kemasukan roh revolusi 45. Sama revolusi, bule-bule JerBar takut sekali, maklum, mereka pernah membaca kesadisan revolusi Perancis dan Revolusi Oktober. Cuma, lama kelamaan tokh saya menyadari, bahwa tidak ada gunanya lah berpanas hati. Saya bisa jantungan.

Kemudian saya mulai merubah taktik. Umpamanya, kalow saya dikatakan bangsa biadab, ya saya bilang, bahwa bapak saya itu ketua suku, dan tinggalnya di hutan belukar. Lantas, kita sekeluarga doyan makan orang, apalagi, kata saya, "bulebule macam kow ini tentu lah lezat dagingnya". Kalow saya dibegobegoin lantaran saya kurang trampil menggunakan mesin, maka saya bilang, bahwa sebagai orang biadab, mesinmesin modern ini baru pertama kali saya lihat. Di hutan belukat, begitu saya katakan, mesinmesin yang aneh begini sering disembah, kayak orang menyembah Pohon Beringin (Catatan saja: Karena ibu saya dulu sering saya lihat membakar kemenyan di bawah pohon beringin, sebetulnya saya ini termasuk keluarga pendukung GOLKAR juga!).

Kalow saya memberikan jawabanjawaban yang begitu, bulebule itu sering berkerut, dan tak sedikit yang marah terprovokasi. Yang penting, saya sudah berperang mulut dan hati puwaaaaaas. Tapi, yang jelas, kehidupan di JerBar itu tokh menyadarkan saya, bahwa saya ini tokh termasuk bangsa klas paria, yang cocoknya diperagakan di kebun binatang 'Zoologischer Garten'. Saya meresa dilecehkan berat, oleh sebab sayakan termasuk bangsa yang besar (Bukan kah pemeo bangsa kita berkata, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasajasa pahlawannya, dan setiap harihari besar saya selalu mengheningkan cipta mengenangkan para pahlawan kita yang telah dut, termasuk yang kepergok korupsi segala dan Pandawa, Gatotkaca, Abimanyu - terkecuali Cak Sakerah dan Mat Item).

Siapa yang nggak sewot? Saya, bangsa Indonesia, bangsa yang besar, walow pun pernah dijajah konon 350 taon, kok dicaci sebagai 'Ausländer'. Bukankah dulu, nenek moyang kita, sebagai turis sudah sampai ke Madagaskar segala? Cuma, orangorang Inngeris, Perancis dan Amerika Sarekat yang kala itu banyak berkeliaran di Berlin Barat, tak disebut sebagai Auslaender. Mereka termasuk bangsa istimewa. Yang menghargai saya ternyata cuma lontelonte doang. Tekad untuk menaekkan pamor bangsa kita adalah tekad yang pertama muncul di hati nurani. Cuma bagaimana cara menaekkan pamor bangsa saya? Lewat amor (cinta) tak mungkin, harga lonte bisa menguras kocek. Baru di luar negeri, saya memimpikan, betapa enaknya hidup di negeri sendiri. Tapi ini berlaku cuma buat saya, kata temanteman belajar saya dari kelompok etnis Cina. "Di Indonesia kita didiskriminasi, di Jerman juga begitu", kata mereka. "Masih mending di Jerman, sebab di sini hukumnya serba jelas". Cinacina bangsat juga, saya pikir, tapi rasanya betul mereka didiskriminasi. Sialan, omongan mereka mempengaruhi saya. Pada hal, saya ini tetap ingin peribumi murni.

Di samping itu saya menemukan konflik yang tak tertuntaskan. Disamping bulebule bangsat itu, saya heran, di negara Barat yang katanya berengsek ini, perlakuan majikan di tempat bekreja yang berbedabeda (di pabrikpabrik atow tempattempat minum milik kapitalis sebagai buruh atow tukang cuci gelas dan di kantorkantor orangorang kiri) sangat manusiawi. Ini sangat kontras dengan perlakuan pelayan kantor di negeri berpancasila dengan yang saya alami sebagai pelayan di negeri Barat yang berengsek. Mereka punya aturan maen yang jelas. Selaen itu, eee ternyata, profesorprofesor di Universitas sangat baek. Sebagai mahasiswa, saya tidak dilarang ke luar masuk ke kantornya, bila otak saya nggak jalan. Guruguru besar ini ngaku pula, kalow misalnya mereka tidak tahu persoalan. Dan ini jauh berbeda dengan di negeri kita, yang tampaknya asal njawab, soalnya mereka terperangkap oleh nilainilai yang mengatakan, bahwa seorang guru besar harus tahu semuanya.

Yang mengherankan saya, di antara bulebule berengsek itu, tokh saya menemukan beberapa kawan studi bule yang hatinya baeknya bukan maen. Dibandingkan dengan orangorang kita, tentu dari pandangan pertama, mereka tidak ramah. Kita selalu tersenyumsenyum, sedangkan mereka kelihatan cemberut melulu. Akhirnya, setelah berkelana sampai ke Italia Selatan segala, saya baru tahu, bahwa ini semua tergantung pada letak geografis. Orangorang di negerinegeri Utara, sikapnya lebih dingin ketimbang orangorang Selatan. Keramahan melayu yang bisa ditemukan di Eropa, justru di Italia Selatan. Bahwa di antara manusiamanusia itu ada yang mbajing segala, ini juga nggak berbeda dengan di kita.

Jadi, praktis saya banyak ketabrak. Cina yang bangsat itu, setelah mendengar sendiri dari mereka, ternyata punya hokiu kurang mujur. Apalgi, mereka yang nggak bisa nentuin mau lahir di mana. Nasib mereka tokh cocok benar dengan nasib saya sebagai orang asing di JerBar. Memang aneh, karena cocok sama saya, pendapat saya tentang mereka jadi mudah berubah. Di laen pihak, mau membabi buta sama semua bule, kok rasanya aneh, oleh sebab banyak bule yang berpihak pada orang asing. Memang, terlalu kerap saya menilai bangsa dan etnik laen, tanpa mencoba mencari tahu tentang mereka. Lha gimana ya? Wong saya, umpamanya tentang Cina begitu, banyak mendengarnya juga dari suku bangsa sendiri, yang selalu menceritakan pengalaman-pengalaman buruknya.

Yang bikin saya kaget justru ketika saya sudah masuk PPI Cabe, kemudian masalah ras diungkit-ungkit buat pemilihan ketua, ada fungsionaris PPI yang keturunan Arab lantas mengajak kita-kita, bahwa kita harus menghancurkan dominasi Cina di BerBar. Kontan saja, kawan saya, Jawa totok, langsung nembak dia: "Betul, betul...! Sekarang kita hajar dulu singkek-singkek itu, setelah bersih, lalu giliran lu!".

Di samping itu, sejak dari melayunya, saya membawa satu beban yang terselesaikan. Dalam salah satu keluarga saya, ada yang beragama katolik, sedangkan mayoritasnya, 99 persen beragama islam. Celakanya, ada sebagian anggota keluarga yang islam ini, entah karena fanatiknya, merasa perlu merecokin anggota keluarga yang katolik. Saya pikir, kalow agama asal Timur Tengah ini sama-sama mengakui adanya keesaan Tuhan, knapa harus diributkan? Sampai-sampai hubungan kluwarga jadi memanas suhunya. Lalu, keluwarga saya adalah campuran. Dari bokap darah Sunda, dari mokap Jawa Tengah tulen. Wah, kalow Sunda-Sunda itu ngomongin Jawa, berabe..., berabe laaaah. Jawa dibilangnya miskin, cari makan saja ngladrah ke mana-mana, maka panteslah jadi transmigran. Makanya, nini (nenek) saya suka nanyaknya rada-rada aneh, kalow kita sekluwarga mau mudik ke Jawa Timor, tempat bokap bekerja. "Mau pulang ke Jawa?", tanyanya selalu. "Ngapain jauh-jauh pergi, di Sunda teh loba kadaharan (di Sunda itu banyak makanan)", katanya. Iyah, emangnya Sunda terletak di planet apa? Mencoba mencari jawaban memang tidak gampang. Apalagi, selaen studi, saya harus mencari nafkah sendiri. Mengatur uang dan merubah kebiasaan menjadi lebih 'pelit' memang satu hal yang tidak mudah bagi saya.

Saya beruntung, karena kawankawan bule saya bersedia mengantarkan saya mencari jawaban lewat diskusidiskusi dan menunjukan buku-buku - yang tak berkaitan dengan Elektroteknik, jurusan kuliah yang saya tempuh. Selaen itu, saya sering diajak ke rumah orang tuanya di kotakota JerBar, untuk lebih mngenal adat istiadat bangsa Aria ini. Saya termasuk bernasib mujur. Sebab, jaman itu adalah jamannya mahasiswa turun ke dunia politik, sebagai sempalannya Gerakan Mahasiswa Jerman menjelang akhir tahun 1960an. Ini tentu berbeda jauh misalnya dengan mahasiswa-mahasiswa bule pra reunifikasi. Apalagi bule-bule yang dari JerTim, yang serba acuh sama politik.

Akhirnya, saran beberapa kawan bule, agar saya mau meluangkan waktu untuk mendengarkan kuliah di jurusan non-eksakta, yakni Sosiologi di Freie Universität Berlin, akhirnya saya turuti. Dus, saya sudah terhasut dan ditunggani. Sebagai mahasiswa jurusan teknik, bagi saya, mengikuti kuliah mata pelajaran noneksakta merupakan sesuatu yang luar biasa. Sebelon mendengarkan kuliah ini, terutama ketika masih berada di tanah aer, saya sangat lah merendahkan jurusan noneksakta. Saya pernah beranggapan, laskar jurusan noneksakta ini tidak menghasilkan sesuatu, berpikir tak eksak dan banyak ngoceh. Cuma, ketika mulai berkuliah, barulah saya sadari, bahwa anggapan saya itu tidak benar - terutama, ketika jurusan eksakta macet menjawab konflik pribadi dan tak bisa memberikan jawaban secara memuaskan. Justru jurusan noneksakta yang mampu memberikan penerangan.

Ternyata, salah satu rahasia hidup ada lah 'meragukan' sesuatu. Bertanya dan sekali lagi bertanya ada lah kunci utama, dan yang penting bisa punya pendapat sendiri dan tak terseret arus. Dan celakanya, meskipun saya dulu adalah anggota laskar pengganyangan Gay-30-S, saya akhirnya meragukan keabsahan pembunuhan-pembunuhan secara brutal itu. Keraguan di alam pikiran saya itu, akhirnya dibenarkan dengan realitas yang saya temukan di Tanah Jawa, ketika saya berlibur tahun 1975 dan 1979. Saya merasakan getaran gerakangerakan mahasiswa di kampuskampus. Saya mencoba berdiskusi dengan apaapa yang saya petik dari kuliah sampingan saya itu. Cuma, bangsa kita kerap diam, ogah diajak bicara politik. Trauma era Orde Lama, di mana politik masih panglima, agaknya masih menghantui alam pikiran bangsa kita. Ya, politik menjadi dunia hitam.

Terpeleset Di Dunia Hitam

Itulah pasalnya, sahabat karib melayu saya, lantas mengajak turun ke dunia hitam. Mulamula saya diajak mengikuti diskusi di KII alias Keluarga Islam Indonesia Cabang BerBar - yang nantinya berubah menjadi PPME alias Persatuan Pemuda Muslim se Eropah. Kemudian, akhir tahun 1976, saya ikut nimbrung kegiatan berdiskusi di PPI. Kala itu, diskusi di PPI, dan seperti yang saya harapkan, cukup seru, dan kadang-kadang saru. Soalnya, Konsul kita yang masih jebolan Deplu itu, sering ikut berpartisipayi, dan di laen pihak, sering tampak nongol pula lah 'bapakbapak tua' kita yang jebolan dari Eropa Timur (kita menyebut mereka sebagai 'orangorang komunis').

Maklumlah, kala itu, 'orangorang komunis' melayu punya organisasi kuat dan menggetarkan dunia hitam. Pasalnya, orang cuma tahu nama organisasi, tapi anggotaanggotanya kayak siluman. Dari bisikbisik itu lah, akhirnya saya ketahui, bahwa Mabes mereka yang mempunyai jalur langsung ke mahasiswa terletak di asrama mahasiswa Siegmundshof. Khusus tentang ´bapak-bapak tua´ ini memang gerak-geriknya, menurut perasaan saya dan beberapa sekongkolan, laen sekali dengan generasi Orde Baru. Saya membandingkan mereka persis kalow saya, sekarang memisahkan antara makhluk-makhluk mantan Jerman Timur alias ´die Ossi´ dari makhluk-makhluk mantan Jerman Barat alias ´die Wessi´. Salah satunya adalah: Die Ossi itu kulitnya tampak lebih pucat ketimbang die Wessi. Kebuleannya tak bersinar gemerlapan, sedangkan yang die Wessi, kebuleannya lebih cemerlang dan segar. Kulit die Ossi kayak orang Polandia yang mereka dongkolin itu. Nah, ´bapak-bapak tua´ itu menurut perasaan saya, sawo matangnya lebih gelap - satu keajaiban, sebab mereka lebih lama mangkal di Eropa. Sudah itu, gerak-geriknya pun sangat non-Orba.

Karena saya sering muncul dan banyak ngoceh dalam diskusidiskusi PPI Cabe kala itu, saya akhirnya diajak untuk menggarap majalah Gotong Royong. Di sanalah, saya ditatar kilat tentang penggarapan majalah. Pada musim semi tahun 1997, saya diajak oleh seorang tokoh pendiri PPME untuk menjadi pengurus PPI, oleh sebab ia akan menjadi calon ketuanya.

Tak dinyana, ia memenang dalam Pemilu Ketua PPI Cabe itu. Maklumlah, kala itu polarisasinya adalah Pribumi dan Cina alias NonPri (Catatan: istilah nonpri sengaja saya tolak, karena nonpri yang dimaksud hanya lah ditujukan buat Cina, pada hal orangorang Arab pun termasuk nonpri juga). Calon ketua lawan memperoleh dukungan dari kelompok etnisnya banyak bergabung dalam KMKI atow Organisasi Mahasiswa Sipil, dan sialnya, calon ini adalah juga pegawai di kantor pembagi pekerjaan TUSMA alias Telefoniere und Studenten Machen Alles (yang kemudian menjadi Tunjangan Untuk Semua Mahasiswa Asing) jadi praktis, masanya berjubel. Sedangkan calon ketua yang saya coblos memperoleh dukungan dari PPME dan pribumi yang kesel sama calon lawan, yang selaen karena etnisnya, juga karena sering nggak kebagian pekerjaan (misalnya jaga sepak bola untuk klab Herta BSC yang kala itu masuh termasuk dalam Bundesliga Divisi Pertama di Olympia Stadion). Yang menguntungkan calon coblosan saya adalah dukungan diamdiam para mahasiswa yang politis, oleh sebab calon lawan ternyata banci juga dalam soal dunia hitam itu.

Maklum, gaung gerakan mahasiswa di Indonesia kala itu, mulai menunggangi sebagian mahasiswa di Berlin Barat. Pemilihan PPI Cabe kala itu sangat hiruk-pikuk bak pasar malam saja, seperti halnya PemiluPemilu Ketua selanjutnya. Menariknya, setiap calon pada tahuntahun selanjutnya kerap turun berkampanye seperti di Amerika Serikat, maka caloncalon ketua keraplah mentraktir calon pencoblos dengan berbagai imingiming: mulai dari minuman gratis CocaCola sampai ke bakar sate. Oleh karena itulah, ruanganruangan yang dipakai PPI untuk pemilihanpemilihan ketua sering mbludak. Pada pemilihan tahun 1977, lebih dari seratus orang memadati ruang kecil di Hauptgebäude Tingkat satu, dan puncaknya ada lah tahun 1983. ketika hampir 250 melayu memadati ruang utama di jurusan Arsitektur TU Berlin.

Kesengsem Asmara Di Dunia Hitam

Dengan terpilihnya calon coblosan saya itu, maka, tanpa saya sadari, kebijaksanaan PPI BerBar berubah total. Selain menjadi politis, ia pun kerap mencubiti bol Garuda kendati demikian, masih sesuai peranan 'sosialkontrol' dalam AD/ART PPI dan KeputusanKeputusan SPA (Sidang Perwakilan Anggota) PPI JerBar. Kebijaksanaan ini jelas sesuatu yang 'baru', dan kebetulan pasarnya kosong dan permintaan cukup tinggi. Maklum lah, kebijaksanaan PPI Cabe selama ini cuma 'ngenger' sama pemerintah, dan tentu saja membikin empet sebagian anggotanya, yang sudah terbiasa budaya 'demokrasi' ala JerBar.

Sebagai Ketua Dewan Redaksi majalah Gotong Royong, praktis saya adalah penyalur suarasuara PPI Cabe. Dalam tempo sekejap saja, PPI Cabe menjadi cemar di JerBar, apalagi di sana pasaran 'pro penguasa' pun sudah terlampow jenuh. PPI Cabe yang menjadi politis itu, tentu saja membikin suka cita merekamereka yang tadinya puasa politik. Mereka inilah yang kemudian menjadi pendukung utama dalam setiap pemilu-pemilu PPI. Di laen pihak, PPI yang sering dicap masih hijow itu, akhirnya menjadi mangsa 'bapakbapak tua'. Mereka sering mencoba melakukan pendekatanpendekatan persuasif, yang oleh PPI Cabe tak pernah ditolak. Oleh sebab PPI Cabe selalu menerapkan kebijaksanaan keterbukaan. Ini terlihat dari isi majalahnya yang memuat berbagai ragam tulisan. (Catatan: sejak tahun 1977, PPI Cabe tak pernah melakukan sensor terhadap tulisantulisan yang masuk. Semboyannya: biarlah para penulis mengemukakan pendapatnya sebisabisanya. Alasannya: sudah untung ada yang mau terangterangan bicara, peduli bahasanya 'tidak benar' atow 'tidak sopan'. Hanya pihak KBRI kerap menghimbow-himbow, kerap kali via telepon, umpamanya Pengurus PPI Pusat, untuk menyensor sendiri). Akibat pendekatan persuasif 'bapak-bapak tua' itu lah, akhirnya, PPI Cabe mau tak mau harus kewalahan menangkal dakwaan 'ditunggangi' komunis atow kiri. Walow pun demikian, saya merasa menemukan satu kebahagiaan dalam dunia hitam ini.

Kendati PPI Cabe itu politis, namun sampai akhir tahun 1980a, Konsul BerBar tak pernah mencampuri urusan PPI. Seorang Konsul yang saya sangat hargai adalah orang Bali, diplomat tulen dan menjabat sampai tahun 1978. Kendati garis politik kita bertentangan, namun ia tidak pernah menutup pintu rumahnya yang kala itu masih berlokasi di Jalan Bernadotte, daerah elit Gruenewald, untuk mengundang pengurus PPI Cabe makan dan berdiskusi. Bahkan, perayaan Tahun Baru akhir tahun 1978, di rumahnya, PPI Cabe diperkenankan merayakan dan berjualan makanan untuk pengisi kas. KonsulKonsul asal Deplu pra 1980 memang terbuka dan memandang para mahasiswa yang kritis itu bukan sebagai musuh Republik. Dengan menyerongnya akal budi saya di dunia hitam itu, tentu kluwarga saya yang a-politis ada mencak-mencak berat. Waktu saya berlibur taon 1979, paman saya yang Jendral Polisi dan Kadapol Jawa Barat bahkan harus mencoba ´meluruskan´ saya kembali. Saya telah ditunggangi katanya. Saya telah terpengaruh, ucapnya. Saya harus kembali berpikir ´murni´, sarannya.

"Weleh, weleeeeeeh, ....... emangnya sejak kecil, apa saya enggak ditunggangi", tutur saya kepada kakak saya kemudian. Oleh mokap, saya dilarang membantah Oom Jenderal itu.

Semaraknya Ketoprak Politik

Kendati anggotaanggotanya bukan cerminan penuh masyarakat Indonesia, apalagi sekitar 95 persen mahasiswa Indonesia berasal dari kelompok ras Cina, namun, sebagai pengurus, saya termasuk ditantang untuk menghadapi insaninsan tersebut apalagi memang materi yang dimiliki PPI, ya hanya itu saja. Ia adalah organisasi yang bhineka tunggal ika: artinya, soal sara bukan merupakan masalah. Ini jelas berbeda dengan organisasi keagamaan: mulamula KMKI alias Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia, dan sebagai reaksinya PPME alias Persatuan Pemuda Muslim se Eropa. Lantas menyusul Organisasi Jurusan Sipil, Elektro atow Arsitek yang berdiri pada pertengahan tahun 70an.

Pendirian organisasiorganisasi itu bisa dipahami sebagai tak terjamahnya kebutuhan sebagian mahasiswa oleh PPI Cabe. Umpamanya di sektor agama, kejuruan dan bahkan politik. Di celahcelah itu, persoalan antiras memang mendominir, oleh sebab bisa diduga, di bawah payung jenis tertentu, pribumi dan cina paling betah bernaung. Walow pun demikian, para aktivis kedua kelompok itu, yang secara politis tak tertampungkan di sana, akhirnya giat di PPI. Bahwa PPI tokh birokratis dan menampung terlampow banyak kebutuhan (umumnya di bidang sosial seperti penerbangan murah atow kesejahteraan dan kursuskursus seperti matematika, fisika, bahasa Jerman dsb.), maka sejak tahun 1982 berdirilah banyak organisasi 'ketoprak' (mencuri istilah I Gusti Nyoman Aryana) politik, seperti PI, IPMI, Suara Wanita atow Forum Komunikasi.

Walow pun saya ikut dalam salah satu organisasi 'ketoprak' ini, di PPI Cabe lah saya paling betah. Sebabnya, sebagai masyarakat migran sesaat dan sesat, PPI Cabe memberikan peluang kepada saya untuk memperluas pergaulan di kalangan masyarakat berbagai generasi - dan juga dengan pihak perwakilan. Menurut kebutuhan pribadi saya, PPI Cabe ada lah 'Ersatz' Melayu di BerBar.

Dari aktivitas PPI Cabe, saya banyak memperoleh pelajaran menarik, yang tak mungkin saya peroleh dari buku. Antara laen: ketika saya mulai aktiv, usia saya kala itu sudah 27 tahun, saya dicibir sebagai 'greenhorn' alias masih ijow dalam soal politik. Alasan bapakbapak pencibir itu ada lah: mereka lebih tua dan lebih berpengalaman. Justru dengan kegiatankegiatan di PPI, terbuktilah, bahwa yang lebih tua belum tentu lebih matang. Usia dan pengalaman dapat disusul oleh segudang kegiatan bikinan sendiri. Artinya, PPI Cabe di bawah pimpinan tokoh PPME itu, saya didorong untuk tidak takut membikin banyak kegiatan dan menghadapi berbagai jenis konflik. Makin banyak konflik yang dihadapi, makin banyaklah pelajaran yang bisa ditarik. Betul atow salah, kata Ketua saya, baru kita ketahui setelah itu. Yang penting, tindakan itu berasal dari hati nurani kita.

Karena itu pulalah, saya mendukung penuh kebijaksanaan Ketua PPI Cabe 1977-1978 yang menolak ikut merayakan Hari Kesaktian Pancasila tahun 1978. Dukungan saya kepada Ketua saya itu bukan lantaran karena dia lah yang mengajak saya menjadi pengurusnya saja, tapi dari dia, yang tokoh PPME (Persatuan Pemuda Muslim se Eropa) BerBar, saya banyak belajar. Sikap dia yang amat terbuka, dan amat toleran terhadap berbagai macam pendapat, sungguh mengesankan hati saya. Maka, terbuktilah, bahwa dari 'masih ijow', beberapa rekan saya kemudian sering membikin pihak 'lawan' kerap mengajowajow. Cuma, ketika Konsul dan Konjen dipegang oleh Lalat Ijow, saya dan rekanrekan sayalah yang kini sering mengajowajow, dan mata menjadi sering ijow menghadapi kebijaksanaan lalat ijow.

Yang mengenaskan tentunya adalah nasib segelintir GPK yang direkrut. Mula-mula kita di'jual'nya habis-habisan, tapi, beberapa tahun kemudian, alamaaaak, mereka dipecat begitu saja. Habis manis, sepah dibuang. Ini merupakan pelajaran elok, bagi yang ngebet menjilat. Susahsusah menjilat, eee akhirnya mencelat juga. Pelajaran laen adalah: karena PPI itu politis, maka masalah SARA, demikian kesimpulan kitakita, dianggap sebagai masalah kekeliruan sistem Orde Baru. Itulah pasalnya, ketika PPI Cabe berpolitik, soal SARA hampir tak terdengar sama sekali.

Ini tentu berbeda dengan PPI Cabe tahun 90an, di mana PPI Cabe praktis takut berpolitik, namun soal Sara malah ngetop kembali. Ini tentu saja membikin saya, mantan GPK PPI Cabe, cukup sewot. Pertama, masalah ras adalah ciptaan pemerintah kolonial kumpeni yang dijiplak oleh Orde Baru. Kedua, ia hanya lah menguntungkan status quo penguasa sekarang. Ketiga, sebagai migran sesaat di Jerman, kita bisa banyak belajar dari bangsa itu, bagaimana mereka menanggulangi masalah peka ini.

Tapi yang juga menarik adalah sikap anggotaanggota PPI kala itu sendiri: ratarata mereka berpikir secara korps, secara geng. Berdirinya organisasiorganisasi di luar PPI kerap dianggap sebagai ancaman, tapi bukan sebagai sesuatu hal yang lumrah, sebagai salah satu dinamikan kehidupan. Secara dialektis, berdirinya organisasiorganisasi di luar PPI itu boleh dianggap sebagai 'kritik' terhadap PPI sendiri. Pendirian organisasi-organisasi di luar PPI, membuktikan, bahwa konsep wadah tunggal tak mungkin terlaksana. Penguasa menghendaki, agar studen-studen Indonesia di JerBar bergabung dalam PPI.

Antara Gembong Perwakilan Deplu Dan Lalat Ijow

Sejak saya terkena kasus perpendekan paspor awal tahun 1983, sikap Gembong Perwakilan RI terhadap mahasiwa yang berpikiran laen berubah haluan. Para GPK cecungukdemokrasi diperlakukan sebagai musuh. Tindakan tegas terhadap saya tahun 1983, agaknya merupakan peringatan kepada yang lain. Memang, penguasa kita biasanya memukul dulu satudua orang, agar barisan GPK kocarkacir.

Namun, taon 1983, perhitungan mereka keliru. Bukannya para GPK yang kocarkacir, akan tetapi syaraf kepala perwakilan yang kececer. Di manamana, kalow sang Gembong Perwakilan itu turun ke bawah, beliow selalu mengatakan bahwa beliow siluman dari BAKIN. Agaknya, agar seluruh masyarakat Melayu jadi keder dan ciut nyali. Cuma, "Dari BAKIN?", para GPK BerBar malahan terbahakbahak. "Nggak percaya ah", olokolok mereka. Alasan? "Masak dari BAKIN nggak punya gigi".

Dan memang, siluman BAKIN ini sesungguhnya perkasa dan singkangnya hebat. Cuma bila menganga, mulut beliow sering dipergoki, beliow ada gigi ada ompong. Betul. Ompong. Sehingga mulutnya itu melompong bak Sundel bolong. Agaknya sang siluman BAKIN ini tak menyangka sama sekali bakal mendapat tamparan jarak jauh berisikan tenaga singkang yang berhawa singkong. Beberapa bulan, beliow 'menghilang'. Baru setelah itu, beliow menampakkan diri kembali, dan selalu dengan senyum mengurai. Beliow ada gigi tibatiba komplit dan putih mengkilat, bak habis disemir. Dan memang, beliow ada memasang gigi Aspal (Asal Palsu).

Menyaksikan kenekatan para GPK, akhirnya gebrakan sang siluman itu kian keras. Lewat penggantinya, juga sekandang, beberapa GPK lantas digebukin paspornya satu persatu. Tahun 1987 paspor saya dicabut. Saya lantas berstatuskan Warganegara Indonesia tanpa dokumen.

"Dan kesalahan saya?"

"Sowdara sudah dewasa, sowdara mesti mengetahui sendiri", kata Wakil Konjen kala itu, tatkala saya menanyakan landasan hukumnya.

Beberapa kawan diperpendek paspornya. Dua GPK BerBar yang kebetulan berlibur, akhirnya kena cekal, dan terpaksa ngedon di Indonesia bertahuntahun. Dari laskar GPK PPI CaBe generasi saya, yakni tahun 1976/1977, akhirnya saya sendirianlah yang tertinggal, sedangkan yang lain sudah mudik kembali. Saya tahu, sejak paspor saya diperpendek, pihak perwakilan selalu mewantiwanti para mahasiwa baru untuk tidak berhubungan dengan saya. Ini namanya jurus intel untuk mengisolasikan saya. Kebijaksanaan yang diterapkan untuk mengisolir kelompok 'palu arit' itu akhirnya diberlakukan juga kepada saya.

Alasan pencabutan paspor saya yang tidak pernah disebutkan landasan hukumnya, akhirnya disihir oleh mereka menjadi alasan pribadi. Pihak perwakilan selalu mengumbar ke manamana, bahwa saya sendiri yang tidak mau pulang. Caracara intel ini memang pengaruhnya hebat bagi para mahasiswa baru. Mereka lekas percaya, oleh sebab Pihak Perwakilan ya selalu baek hati. Setelah diundang makan, siapa yang tak merasa berhutang budi kepada 'sono'? Padahal uang negara yang tak keruan itu bisa dibagikan untuk beasiswa bagi para mahasiswa yang berprestasi atow kecekik doku. Menghadapi musuh, mereka memakai jurus pendekatan persuasif, tetapi bukan mendidik. Memang, pendekatan persuasif itu tak laen dan tak bukan pendekatan perek suka akan sifilis. Sebetulnya, seperti impian semula para pembaharu politik di BerBar, di dalam PPI CaBe diharapkan terjadinya kompetisi pemikiran. Silahkan saja pihak perwakilan mempertahankan pendiriannya sebagai wakil pemerintah, dan biarkan lah para mahasiswa berpendapat seperti yang dia pikirkan, seperti yang dilakukan oleh Konsul jebolan Deplu tahun 1970.

Sebelum reunifikasi, para permen BAKIN yang menjadi KONJEN itu, selalu menghembus hembuskan para GPK dengan semboyansemboyan 'kiri', 'komunis', 'ditunggangi komunis'. Namun, setelah reunifikasi, tatkala palu arit yang menakutkan itu loyo macam krupuk kesiram aer, semboyansemboyannya pun mendadak beralih. Para GPK tidak lagi dikomuniskomuniskan, melaenkan dituduh sebagai oknum separatis, pemecah belah persatuan bangsa. Disebut menggelikan ya tidak. Kebijaksanaan ini merupakan kebijaksanaan 'pembodohan'. Namun, di lihat dari sisi kekuasaan, 'pembodohan'ini memang perlu, agar kekuasaan yang sekarang ada tetap lestari adanya. Agaknya, komunis atow kini separatis, dianggap membahayakan status quo.

Hanya, orang menjadi buta, bahwa misalnya kesenjangan sosial, korupsi dan kolusi lebih berbahaya ketimbang semuanya itu. Bukankah korupsi, kolusi atow kemelaratan itu sumbernya komunis dan separatis? Dan yang menanam subur justru beliow-beliow itulah. Yang justru menggelikan ada lah 'over-acting'nya seorang pejabat Konsul yang BAKIN menindak saksi yang meringankan Sri Bintang Pamungkas. Kenapa saya katakan 'over-acting'? Beliow adalah pewira salah satu angkatan, yang pada tahun 1965 termasuk simpatisannya Gay-30S. Agaknya, beliow perlu mencuci bersih 'dosa lama'.

Maka, kebijaksanaan pelestarian kekuasaan ini bisalah disebut dengan kebijaksanaan 'Nyamanan Presiden' agar, `NyamNyamnya Presiden' beserta kluwarga tetap aman dan langgeng


Kembali ke Daftar Isi