Wawancara dengan Sunarto

”Membela Bintang Sama Dengan Membela Diri Saya Sendiri”

Berjuang itu tak kenal kata menyerah. Nampaknya kalimat ini sudah menjadi prinsip hidup dari lelaki kelahiran Solo, 1 Januari 1940 ini. Salah satu dari empat saksi meringankan yang didatangkan dari Berlin oleh Sri Bintang Pamungkas ini tak henti bersuara keras, faktor usia dan lamanya tinggal di luar negeri tak mampu membuat susut rasa kepeduliannya terhadap tanah air. Ia tetap seperti masa mudanya dulu, tetap cinta, kangen dan mampu bersikap kritis terhadap tanah air. Bicaranya lugas, tanpa tedeng aling aling, kadang diselipi dengan ketawa yang amat keras hingga cepat mebuat suasana menjadi akrab dan teman bicaranya menjadi betah berjam-jam ngobrol dengan dia.

Kendati kini usianya sudah menginjak angka 56 tahun, wajahnya masih kental terpancar optimisme, baby face, dan tak satu-pun uban mampu memutihkan rambutnya. Sikap moral politiknya sering membuat pejabat konsulat berang. Kecaman balik, bahkan tak jarang berbau fitnah dan ancaman, sering menghampirinya. Kini, pemegang gelar Dipl. Ing. bidang Teknik Textil dari Dresden ini, sehari-hari disamping aktif mengikuti perkembangan tanah air juga sibuk mengelola toko dan restoran yang khusus menyajikan menu-menu khas Indonesia. Letaknya di tepi Sungai Spree, Kaiserin Augusta Alle No.1, namanya Restoran Bengawan Solo. Bahkan tak jarang, jika tenaga masih memungkinkan, pada malam hari ia menjalankan taxi Mercedesnya, berkeliling Berlin mencari tambahan penghasilan.

Saya siap setiap saat meninggalkan kesibukan kerja jika ada urusan yang berkaitan dengan tanah air, ujarnya bapak dua anak ini. Dalam kesejukan cuaca menjelang musim semi di Berlin, ia menerima Gugun dan Antony dari Majalah Suara Demokrasi. Diiringi sayup sayup irama gamelan Jawa dan dengan suguhan nasi soto, ia dengan logat Jawa Tengah yang masih kental, menuturkan banyak hal, mulai dari persoalan Bintang, demokratisasi, sampai dengan romantisme dia tentang jaman rejim Sukarno dan suasana dunia kemahasiswaan saat itu. Untuk lengkapnya sebagai berikut:

Tanya (T) : Bagaimana perasaan dan kesan kesan anda setelah lebih kurang 36 tahun tidak menginjak tanah air?

Jawab (J) : Wah, kalau ditanya perasaan ya kacau balau (diselingi ketawa keras). Dalam perjalanan, didalam pesawat, perasaan senang dan cemas berbaur menjadi satu. Yah, tapi semua itu akhirnya teratasi. Perasaan menjadi tenang kembali manakala saya teringat akan misi yang saya bawa. Semua ini demi kepentingan yang lebih luas, artinya saya bukan lagi punya kapasitas sebagai pribadi. Jadi, resiko apapun harus siap saya hadapi.

(T) : Bagaimana tentang persiapan keberangkatan?

(J) : Saya harus jujur mengakui bahwa dalam hal keberangkatan saya ini benar benar membutuhkan ekstra energi. Sampai menjelang harinya, masih belum jelas apakah visa dari konsulat RI di Berlin diberikan apa tidak. Saya dipingpong kesana kemari. Akhirnya dua jam menjelang keberangkatan pesawat saya, visa baru dikeluarkan. Saya langsung tancap gas ke bandara Tegel, eh..ternyata tiket saya ketinggalan di Konsulat (ketawa keras) Saya langsung balik lagi ke Konsulat dan jelas saya ketinggalan British Airways. Akhirnya saya harus beli tiket lagi, naik KLM. Kalau sport jantung itu udah jelas (ketawa keras lagi), apalagi ada teman saya di sini tidak setuju atas keberangkatan saya karena resikonya terlalu besar. Tapi sekali lagi, tekad saya wis madhep mantep (Red: sudah bertekad bulat) bahwa semua ini demi kepentingan yang lebih besar. Kepulangan saya ini bukan sekedar masalah kerinduan seorang Sunarto terhadap tanah air, bukankah begitu!

(T) : Mengapa teman teman anda banyak yang tidak setuju?

(J) : Mereka sudah tak ada kepercayaan terhadap penguasa sekarang ini. Anda tahu khan, orang seperti saya ini khan korban dari keadaan. Saya dan teman teman sengaja dikambing hitamkan, dijadikan tumbal oleh penguasa yang sekarang ini. Kami tidak boleh pulang, dicabut paspornya, dikejar kejar, tidak diakui lagi sebagai warganegara....apa haknya negara mencabut kewarganegaraan seseorang? Jadi, tidak salah kalau ada yang memperingatkan jangan percaya sama penguasa Orde Baru.

(T) : Bagaimana dengan jalannya persidangan, apakah anda diberi kebebasan untuk mengungkapkan fakta?

(J) : Saya rasa jalannya persidangan lancar lancar saja. Saya mencoba untuk mengingat serta mengungkapkan kembali fakta yang sebenarnya dari jalannya diskusi bersama Sri Bintang di Berlin dulu. Cuman yo kuwi (cat.yaitu), fisik saya sebenarnya capek. Malam sebelumnya saya tidak bisa tidur gara gara perbedaan waktu antara Jakarta dengan Berlin, apalagi didalam ruang persidangan saya merasa kepanasan. Syukurlah, kendala kendala itu teratasi semua. Yang amat membuat saya kagum adalah banyaknya anak anak muda yang hadir memenuhi ruang persidangan, bahkan sampai sampai ruang sidang tidak mampu menampungnya. Padahal mereka khan lahir dalam situasi depolitisasi, ya..itu tandanya slogan slogan yang didengungkan ORBA sudah tidak mempan lagi. Melihat greget kaum muda seperti itu saya menjadi semakin optimis sekaligus kagum. Gerakan menuntut demokratisasi di tanah air, cepat atau lambat pasti menang. Keadaan sekarang benar benar seperti api dalam sekam. Keliatannya sudah mati padahal tidak, sewaktu waktu siap menyala lagi dan membakar apa saja. Ada satu lagi yang amat berkesan bagi saya dan waktu itu rasanya ingin sekali menangis. Bayangkan saja, orang macam saya ini khan sudah di cap jelek kayak penyakit menular yang harus dijauhi oleh semua orang ternyata malahan mendapat sambutan hangat dari para pengunjung sidang. Bahkan seusai persidangan ada beberapa orang bersorban yang langsung memeluk saya sambil memekikkan Allhu Akbar, mengejar para demonstran anti Bintanhg diluar..benar benar mengharukan.

(T) : Untuk sosok Sri Bintang sendiri bagaimana menurut pandangan anda jika dikaitkan dengan keadaan sekarang ?

(J) : Terlepas dari perbedaan cara pandang saya dengan Bintang mengenai ide partai independen, saya amat salut dan kagum sama dia. Pokoknya demi gerakan demokratisasi di tanah air, resiko apapun dia siap. Jelas Indonesia membutuhkan orang seperti Bintang dan semoga segera akan bermunculan Bintang Bintang yang lain. Ada kesamaan yang menarik antara saya dengan Bintang. Kami ini sama sama sengaja dijadikan korban. Korban dari holocous, yang apinya dinyalakan sejak tahun 1965 dan yang sekarang ini menyengat Bintang. Cuman ada bedanya, kalau kami dulu itu diliputi oleh perasaan takut dan berusaha keras untuk tetap bisa hidup sedangkan Bintang tidak, nampaknya dia tidak mengenal kata takut (ketawa keras), dia pantang angkat tangan malah angkat kepala, tegakkan kepala memaksa penguasa agar segera angkat tangan. Jadi, menurut saya, membela Sri Bintang Pamungkas itu sama dengan membela diri saya sendiri. Saya juga harus berani tampil tanpa tedeng aling aling (cat. Tampil apa adanya) meski di pusat kekuasaan Orde Baru.

(T) : Keadaan Indonesia sekarang ini jelas sudah berbeda dengan jaman anda masih mahasiswa dulu. Bandara Sukarno-Hatta yang megah, jalan jalan tol, gedung bertingkat, pabrik pesawat terbang Nurtanio, anda sudah dengar khan ´ tentang pesawat CN.235? dan masih banyak lagi contoh contoh yang mungkin perlu dilihat untuk perbandingan. Bagaimana pendapat anda setelah menyaksikan sendiri keadaan tanah air sekarang ini?

(J) : Ah, siapa se yang tidak tahu kalau Habibie itu Doktor sayap pesawat. Dia dulu khan lulusan sini. Saya malahan baru saja membaca koran sini tentang dipanggilnya Habibie oleh Pengadilan, dia digugat oleh para aktifis Jerman yang tersinggung gara gara omongannya dia yang mengatakan para demonstran Dresden dibayar dengan sebotol bir. Masalah teknologi itu komplek, tidak sesederhana omongannya Habibie. Sekarang bagaimana tentang pertanggung jawaban keuangan Nurtanio, dana reboisasi, penggunaan banyak tenaga asing? Mengenai Bandara Sukarno-Hatta, saya dengar sebelum saya datang katanya macet digenangi banjir (?) Ah, Bung Karno (mendesah sambil mengisap Gudang Garamnya dalam dalam).. penguasa sekarang ini benar benar munafik. Dulu waktu beliau masih hidup dikuyo kuyo (dibikin sengsara) bahkan sampai menjelang meninggalnyapun beliau masih dalam perlakuan yang tidak adil.. Menghargai pemimpin bangsa itu caranya bukan seperti itu, bukan sekedar membuat monumen. Kayak orang nggak tahu kenyataan yang sesungguhnya saja!

Pembangunan bangsa itu tidak bisa dilihat dari segi fisiknya saja, kalau gedung gedung bertingkat sih saya tiap hari sudah lihat dan tidak tertarik. Saya khan sempat jalan jalan, yang heran campur haru, di setiap perempatan jalan di Jakarta selalu ada dan banyak pengemis, anak anak kecil kerempeng jualan koran, gelandangan,...padahal Indonesia itu kaya kog bagaimana bisa seperti itu keadaan rakyatnya? Jelas pasti ada kesalahan dalam mengurus negara ini. Apa yang saya lihat di Jakarta adalah refleksi dari pergulatan tidak imbang antara kekuatan hitam yang berpesta pora, aji mumpung, sewenang wenang, melawan rakyat yang tidak berdaya.

(T) : Koran koran di Tanah Air, hampir semua memberitakan acara persidangan yang menghadirkan anda sebagai saksi. Waktu itu sempat disinggung tentang pertanyaan Hakim kepada anda mengenai Sukarnoisme dan anda menjawab dengan tegas mengiyakan. Menurut pandangan anda, sebenarnya siapa, apa dan bagaimana sosok Sukarno itu?

(J) : Pertama tama saya tetap puya beban berat kalau pernyataan terima kasih saya kepada saudara Hakim Ketua S.Sumantri belum saya sampaikan, karena dari beliaulah permintaan agar saya dihadirkan di sidang PN Jakarta Pusat itu menjadi kenyataan. Waktu di sidang pengadilan saya tak sempat menyampaikan terima kasih, akhirnya saya titip sama Bintang agar disampaikan ucapan terima kasih saya ini pada beliau. ........Mengenai Bung Karno, terlepas dari kesalahan yang beliau pernah lakukan, beliau adalah manusia besar kaliber dunia yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini. Siapa di dunia ini yang tidak kenal dengan nama Sukarno! manusia yang begitu tergila gila dengan terwujudnya persatuan diantara bangsa bangsa yang baru merdeka, persatuan Indonesia, yang berdikari, anti imperialis, pendek kata beliau ingin menampilkan sosok Indonesia yang tidak mau tergantung atau diperalat oleh neo kolonialis (cat.penjajahan dalam bentuk baru, penjajahan ekonomi). Dari Sukarno-lah kita kenal akan harga diri sebuah bangsa. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Kita juga telah memperoleh ilmu berharga dalam kaitan dengan sikap anti penghisapan manusia oleh manusia lain. Jadi menurut saya, suatu tindakan yang sia sia jika masih ada upaya untuk menghapuskan jejak langkah seorang Sukarno. Beliau ini benar benar telah tertancap dengan kuat dalam benak masing masing kepala manusia Indonesia. Seandainya ada yang memitoskan itu-pun berangkatnya dari naluri dia sebagai rakyat. Tidak seperti suasana saat ini, semuanya serba direkayasa. Semuanya serba terbalik.

(T) : Apakah masih sesuai jika ide ide Sukarno diterapkan dalam keadaan Indonesia kekinian?

(J) : Lho saudara ini bagaimana (?), Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik ini khan berkat andil beliau, dan tentunya juga beliau beliau yang lain. Terus mengenai konsepsi tentang nekolim, kenyataan sekarang benar benar terjadi khan! penguasa lebih mengabdi pada kepentingan modal asing daripada membela kepentingan rakyat. Mana wujud pelaksanaan amanat dari pasal 33 UUD 1945? yah, seandainya para pendiri republik tahu keadaan sekarang pasti sudah menangis.

(T) : Bisakah anda menceritakan keadaan dunia kemahasiswaan jaman anda dulu? bagaimana apakah juga sama seperti keadaan sekarang atau berbeda?

(J) : Begini, saya akan bercerita dulu tentang sejarah diri saya kenapa sampai terdampar di Jerman sampai sekarang ini. Kami, 30 orang, waktu itu tahun 1961 adalah orang yang direkomendasi oleh Kementerian Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan untuk berangkat sekolah teknik ke Jerman Timur. Saya sendiri akhirnya mengambil jurusan teknik tekstil di Universitas Teknik Dresden. Waktu jaman mahasiswa, saya juga aktif di organisasi PPI (cat. Perhimpunan Pelajar Indonesia) Jerman Timur bahkan sempat jadi pengurus bidang sosial. Pada konggres PPI se Eropa pada tahun 1962 di Moskow dan 1965 di Jugoslavia saya juga ikut hadir. Dalam PPI, kami banyak bergaul dan berdiskusi antar teman yang berlainan latar belakang organisasi. Ada HMI, GMNI, CGMI, GEMSOS, Mahasiswa PMKRI. Namun setelah kejadian 65, kami semua dipanggil oleh Kedutaan di Praha untuk di screening dan disuruh tanda tangan surat pernyataan kesetiaan terhadap pemerintahan yang baru. Barangsiapa menolak tanda tangan pastilah paspornya ditahan oleh kedutaan. kami menolak kesewenang wenangan itu, dan akhirnya kami dipecat dari anggota PPI. PPI dikuasai oleh anak anak KAMI/KAPPI. Sejak saat itulah, dan terus berlanjut sampai hari ini, situasi dunia kemahasiswaan mengalami tekanan dan terus dikontrol oleh pemerintah. Pada tahun 1968, setelah lulus dan saya adalah orang yang paling dulu lulus diantara ke 30 orang yanng sama sama dikirim belajhar ke DDR, saya sempat bekerja di pabrik tekstil Glauchau. Namun pada tahun 1972 ada masalah, saya dipanggil polisi DDR (Jerman Timur) dengan alasan sudah lulus sekolah saya diharuskan keluar dari DDR. Akhirnya pada tahun itu juga saya pindah ke barat, Berlin Barat. Yah, waktu itu benar benar saat yang paling berat dalam hidup saya. Saya harus bekerja keras membanting tulang, kerja kuli, agar bisa bertahan hidup. Yah, syukurlah semuanya sekarang sudah lewat, hari ini tinggal menatap kedepan dengan optimis dan mencoba berbuat sesuatu bagi tanah air. Yang pasti, saya tidak akan pernah menghianati nenek moyang ! Saya sangat berharap pada teman teman mahasiswa sekarang ini untuk jangan ragu ragu mengambil sikap moral politik sebab masa depan bangsa ini ada di pundak kalian. Tanggung jawab kalian besar.

Sedang hangat hangatnya perbincangan, wawancara dengan terpaksa dihentikan karena hari sudah larut malam dan Restoran akan ditutup. Selamat berjuang Mas Narto, entah kapan lagi anda bisa pulang menengok Ibu Pertiwi (?)


Kembali ke Daftar Isi