RETROSPEKSI TERHADAP PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA

oleh : R. Priyanto
(Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi - Freie Universitaet Berlin)

1. Pengantar.

Pemilu di Inggris baru saja berlalu dengan hasil pergantian tampuk pemerintahan dari partai konserfatif ke partai buruh. Para pengamat politik dan media massa internasional dengan seksama serta penuh antusias mengikuti jalannya pemilu disana sambil menanti hasil apakah partai buruh akan tampil kembali setelah 18 tahun berfungsi sebagai oposisi. Rakyat Inggris menaruh banyak harapan akan suatu perbaikan yang akan terjadi melalui pergantian partai yang memegang pemerintahan. Pemilu di Indonesia sebentar lagi akan berlangsung tetapi hasilnya tidak perlu dinantikan karena orang sudah lama tahu siapa yang akan jadi pemenang. Pengamat politik dan media internasionalpun tidak begitu antusias mengikutinya. Dengan demikian orang kebanyakanpun tidak menggantungkan harapan akan terjadinya perubahan melalui Pemilu 1997 ini. Lain halnya dengan pembangunan politik yang tidak menunjukkan perubahan substansi (sekalipun "orde" politiknya sudah sejak dahulu berlabelkan "baru", tetapi pembaharuan tidak kunjung tiba), di bidang ekonomi Indonesia banyak mengalami perubahan besar.

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki banyak kekayaan alam. Eksploitasi kekayaan alam Indonesia telah dimulai sejak abad 17 oleh kerajaan kerajaan Portugis, Belanda, dan Jepang pada awal dekade 1940. Eksploitasi sumber alam Indonesia sangat minim pada masa pemerintahan demokrasi parlementer dibawah presiden Sukarno yang pada waktu itu mengutamakan pembangunan demokrasi politik dalam negri dan yang pernah menganut "politik anti imperialis Barat" karena pengalaman pengalaman sangat buruk zaman penjajahan. Setelah proklamasi Presiden Sukarno pada awalnya mengutamakan pembangunan demokrasi politik. Pembangunan ekonomi tidak sempat digalakkan karena infra struktur ekonomi dalam keadaan rusak setelah 2 kali agresi Belanda terhadap Indonesia. Keadaan ekonomi internasionalpun ketika itu tidak sebaik masa pasca Sukarno. Selain itu pula jumlah sarjana ekonomi kita kala itu bisa dihitung dengan jari. Ketika legitimasi demokrasi parlementer mulai di infiltrasi oleh militer pada 17 Oktober 1952 keadaan politik menjadi tidak stabil, sampai ketika Presiden Suharto mengambil alih pimpinan nasional dan menjalankan politik pembangunan ekonomi dengan dukungan penuh negara negara Barat.

2. Perkembangan ekonomi Orde Baru.

Awal pemerintahan Orde Baru pendapatan rata rata per kapita penduduk Indonesia berjumlah sekitar AS $ 70,-. Kini, setelah tigapuluh tahun masa pemerintahan Orde Baru pendapatan rata rata per kapita hampir mencapai AS $ 1000,- dengan rata rata pertumbuhan ekonomi sekitar 7 sampai dengan 9 persen pertahun. Pada waktu banyak negara berkembang berusaha menjalankan reform ekonomi untuk menarik modal asing, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mendatangkan modal asing dan berhasil meningkatkan ekspor komoditi-komoditi industri. Pada awal dekade 1970, penanaman modal asing rata rata pertahun tidak pernah mencapai AS $ 0,5 milyard, tahun tahun terakhir modal asing mencapai jumlah rata rata AS $ 9 milyard pertahunnya. Naiknya harga minyak bumi yang berlipat ganda pada tahun 1974 dan 1979 memungkinkan pengadaan barang barang dari luar negri serta mempererat keterkaitan ekonomi Indonesia dengan luar negri. Pendapatan ekspor hasil bumi ditambah dengan aktifitas modal asing telah memungkin-kan dilaksanakannya strategi substitusi impor secara lebih intensif lagi. Dengan demikian struktur perekonomian Indo-nesia berubah secara drastis, dengan ditandai oleh me-ningkatnya peranan sektor industri pengolahan yang menggantikan peranan sektor pertanian dalam keseluruhan sektor produksi nasional.

Menurut catatan Biro Pusat Statisik Indonesia, indikator indikator pembangunan dibidang sosial seperti: harapan hidup, tingkat pendidikan, kesehatan, infra struktur dan tingkat kemiskinan menunjukan indikasi indikasi yang membaik dibanding pada waktu awal pemerintahan Orde Baru. Prestasi pemerintahan Orde baru dibidang pembangunan ekonomi mendapat sambutan sambutan positif tidak saja dari banyak pemerintah negara industri tetapi juga dari instansi instansi internasional antara lain IMF, World Bank, FAO serta dari banyak mass media internasional lainnya.

3. Permasalahan struktural dalam Pembangunan Orde Baru.

Pertumbuhan pesat ekonomi Indonesia selama masa Orde Baru sekaligus juga membawa problema yang sebelumnya tidak pernah ada. Sisi negatif daripada pembangunan Orde Baru antara lain adalah meningkatnya hutang luar negri yang jauh lebih pesat daripada lajunya pertumbuhan ekonomi. Pada awal Orde Baru hutang luar negri Indonesia berjumlah sekitar AS $ 2 milyard, kini hutang tersebut telah melebihi AS $ 100 milyard,- dengan mata uang Yen sebagai komponen utama . Hal ini menunjukan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia dimasa datang untuk meningkatkan kesejahteraannya semakin menurun karena beban pembayaran hutang dan semakin menipisnya persediaan hasil bumi.

Ketika harga minyak dan gas bumi di pasaran dunia pada awal dekade 1980 merosot, pemerintah Indonesia menjalankan strategi promosi ekspor (outward looking strategy) dengan maksud meningkatkan ekspor komoditi non migas. Selain itu juga pemerintah mengadakan liberalisasi sektor moneter secara besar-besaran dengan maksud memperbesar akses keuangan untuk sektor produksi dan konsumsi. Ekspor non migas ternyata terus meningkat tetapi dibarengi oleh kenaikan impor non migas yang lebih pesat lagi. Besarnya pembayar-an bunga pinjaman luar negri, meningkatnya defisit sektor jasa transportasi dan asuransi serta meningkatnya profit & income transfer dari investor asing ke luar negri menyebabkan peningkatan defisit pada neraca tahun yang berjalan (current account). Neraca tahun yang berjalan selama masa Orde baru selalu dalam keadaan defisit yang menandakan inefisiensi pada perekonomian Indonesia. Tahun yang lalu defisit neraca tahun yang berjalan mencapai rekord tertinggi yaitu sebesar AS $ 9 milyard,- dengan tendensi yang meningkat. Tingginya defisit neraca tahun yang berjalan akan mendorong naiknya hutang luar negri dan menekan nilai kurs rupiah terhadap mata uang dolar AS dan Yen Jepang.

Pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh pesatnya kegiatan investasi yang terkonsentrasi di daerah perkotaan Jawa (lebih dari separuh terkonsentrasi di Jabotabek) oleh lapisan tertentu pada kenyataannya menimbul-kan kesenjangan kota vs. desa, Jawa vs. luar Jawa, industri vs. pertanian dan konglomerat vs. pengusaha kecil yang semakin meningkat. Data BPS menunjukan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan menurun menjadi hanya 27 juta jiwa (14%) di tahun 1993. Akan tetapi garis kemiskinan yang diambil sangat rendah (Rp. 20.000/bulan), bahkan lebih rendah dari upah minimum buruh yang ditetapkan oleh pemerintah untuk tahun 1993, yaitu Rp.80.000,-/bulan. Jika upah minimum tsb. dijadikan batas garis kemiskinan, maka dapat disimpulkan bahwa dengan data yang sama jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan menjadi tidak kurang dari 90% atau sekitar 180 juta jiwa. Hal tsb dapat dimengerti mengingat sangat banyaknya nelayan kecil, buruh tani, petani gurem, buruh kasar, pedagang kaki lima, pedagang asongan dan kaum penganggur yang tingkat konsumsinya rendah.

Memang tenaga kerja di Indonesia produktifitasnya relatif rendah karena 70% dari orang yang bekerja berpendidikan paling tinggi tamat Sekolah Dasar dan hanya 4% berpendidikan universitas atau akademi. Dengan demikian masalah ketrampilan tenaga kerja atau peningkatan produktifitas (Sumber Daya Manusia) merupakan masalah besar terutama dalam menghadapi persaingan internasional di era globalisasi. Tingkat efisiensi birokrasi merupakan tolok ukur daya saing suatu negara. Dalam situasi persaingan dunia ekonomi yang semakin ketat, birokrasi di Indonesia merupakan salah satu titik lemah karena praktek-praktek pungli dan korupsi . Hal ini disebabkan karena fungsi kontrol dari rakyat atas birokrasi tidak berjalan. Pada masa demokrasi parlementer, dimana fungsi kontrol rakyat melalui parlemen (c.q partai) berfungsi, sehingga mentri atau petugas negara yang korup dapat langsung dikenai tindakan hukum atau bahkan dipecat.

Masalah struktural yang juga penting dibahas adalah kebijaksanaan spasial (tata ruang) pemerintah dalam mengalokasikan investasi yang mengakibatkan terkonsentrasinya lokasi industri di kota kota besar sehingga menimbulkan persoalan-persoalan urbanisasi, kriminalitas, pemukiman, penyediaan air bersih, polusi udara, kemacetan lalulintas dan masalah-masalah lingkungan. Kebijaksanaan investasi yang sedemikian menimbulkan masalah-masalah yang multi dimensional. Industrialisasi yang pesat menimbulkan masalah penggunaan tanah terutama tanah pertanian di Jawa dan Bali. Antara tahun 1983-1993 lahan persawahan dan ladang yang diolah petani berkurang sebanyak hampir 1 juta ha dari 6,7 juta ha menjadi 5,8 juta ha. Dilain pihak lajunya pertumbuhan penduduk yang 2,1 % pertahun menuntut penambahan 660.000 ha lahan persawahan tiap tahun agar kebutuhan beras terpenuhi. Hal ini tidak saja menimbulkan masalah-masalah lingkungan tetapi juga ketegangan-ketegangan sosial didalam masyarakat.

4. Tantangan Masa Depan.

Permasalahan-permasalahan struktural diatas merupakan perkembangan yang inheren dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan fakta baik yang positif maupun yang menunjukkan tendens negatif diatas, timbulah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut problema dan prospek pembangunan ekonomi di Indonesia, yakni:

1. Apakah problema yang ada hanya merupakan ekses dari strategi pembangunan ekonomi Orde Baru, sehingga problema tsb. dapat terpecahkan dengan sendirinya jika laju pertum-buhan dapat dipertahankan? Atau sebaliknya yaitu problemanya semakin besar sehingga laju pertumbuhan pembangunan tidak dapat dipertahankan (ditengah dunia yang semakin kompetitif ini)?

2. Mengingat (a) semakin menipisnya persediaan hasil bumi yang merupakan sumber penting dalam pemasukan devisa; (b) semakin gencarnya negara tetangga dalam menarik modal asing dan (c) membesarnya defisit neraca yang berjalan, apakah kegiatan investasi di Indonesia akan terus mengandalkan PMA?

3. Apakah kepadatan penduduk, sempitnya lahan, masalah ekologi dan ketidak puasan sosial di pulau Jawa sudah merupakan batas batas bagi perluasan industri disana?

4. Mengingat hutang luar negri yang meningkat, hasil bumi yang menurun, penduduk yang bertambah, semakin berkurangnya lahan pertanian dan menurunnya jumlah petani, timbulah pertanyaan bagaimanakah pengadaan pangan kita di masa datang?

5. Mengingat masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan masih besarnya kesenjangan kesenjangan lain yang ada apakah program program pemerintah (berbagai program Inpres/Banpres, KIK/KMKP, LIK, IDT) untuk mengatasi problema tsb cukup andal? (Realisasi program program ini sering macet/terhambat oleh sistim birokrasi yang korup!)

6. Apakah kira kira pertimbangan investor asing dan pemerintah pemerintah negara maju untuk terus mendukung lajunya industrialisasi di Indonesia? Apakah permasalahan permasalahan nepotime, korupsi (pungutan liar), rendahnya produktifitas tenaga kerja dan kerusuhan kerusuhan sosial bukan merupakan kendala bagi mereka?

Pertanyaan diatas bagi saya merupakan titik tolak bagi kita semua untuk dapat melihat bagaimana tantangan masa datang perekonomian Indonesia. Tentu saja dari sini diharapkan buah pikiran dari berbagai kalangan agar supaya kita dapat bertukar pikiran secara terbuka guna mempertajam pandangan masing-masing. Permasalahan ekonomi adalah sekaligus juga permasalahan sosial-politik yang menuntut tinjauan multi-disipliner. Demikianlah tinjauan retrospeksi terhadap perekonomian Indonesia ini, semoga karya kecil ini dapat menyumbang khasanah pemikiran pembangunan ekonomi yang kondusif bagi kebaikan semua pihak.

Sekian!


Kembali ke Daftar Isi