The Cross
Under the Cross

English
Indonesian
Search
Archives
Photos
Pattimura
Maps
Ambon Info
Help Ambon
Statistics
Links
References
Referral

HTML pages
designed &
maintained by
Alifuru67

Copyright ©
1999/2000 -
1364283024
& 1367286044


Ambon Island 

 

AMBON Berdarah On-Line
About Us

 

 

  Ambon Island

  Ambon City

 

 

   Latupatti

  Want to Help?

Segala sesuatu bisa terjadi sekarang
Mattheus D. Suitela

Suharto, setelah melepaskan kedudukan dan peranannya sebagai presiden RI, berkata "saya bukan apa-apa lagi". Dan "apa-apa" inilah yang menjadi perlambang dari penampilan watak, kepribadian, dan pembawaan dirinya sebagai sosok yang berkembang dari letkol sampai presiden, tokoh wahid negara kesatuan Republik Indonesia. Sayang bahwa ketika melepaskan kedudukan dan peranannya, beliau tidak disempatkan mempertanggungjawabkan "apa-apa"-nya itu. Dalam pergaulan politik juga berlaku rumus bahwa "semakin sedikit keluar informasi asli dari diri seorang yang populer atau penting mengenai segala sesuatu tentang dirinya, maka semakin mengembung opini dan gunjingan tentang dirinya, dan akhirnya opini dan gunjingan inilah yang akan diresmikan sebagai bahan sejarah".

Kebencian dan dendam kesumat terhadap komunisme dan marxisme yang dikembangkan olehnya bersama dengan "Orde Baru" merupakan aksi pembasmian yang luarbiasa terhadap baik paham komunisme maupun terhadap seluruh partai dan massa yang menganut paham ini. Larangan terhadap anutan, ajaran dan bacaan tentang komunisme diperkuat dengan pasal baru dalam undang-undang negara, bahkan berbuntut pada "politik bersih lingkungan", yang mengebiri hak-hak warga-negara mereka yang mempunyai hubungan keluarga atau simpati dengan yang dicap komunis.

Henry Kissinger (bekas sekertaris negara Amerika Serikat) mungkin akan menamakan cara ini "Realpolitik" dalam negeri, yaitu "demi ketahanan nasional bertindak menurut perhitungan kekuasaan yang jitu serta melumpuhkan atau mematikan musuh-musuh dan segala unsur, kutu dan virusnya. Joseph Stalin, pemimpin partai komunis dan negara Uni Soviet, telah berbuat demikian dan berhasil mengedepankan negaranya sebagai salah satu kuasa dunia terbesar. Dan Suharto pun berhasil memimpin negara kesatuan Republik Indonesia memasuki era pembangunan dengan hasil-hasil yang boleh dikatakan benar gemilang. Beliau disebut Bapak Pembangunan.

Di sekitar tahun 1500 TM, ketika di benua Eropa pengaruh ruh abad pertengahan yang mengekang manusia dengan terlalu banyak pasal larangan moral dan agamani, semakin dikalahkan oleh ruh kebebasan berpikir dan berkarya, yaitu, ruh "Renaissance" (kelahiran ulang) yang meluaskan manusia untuk bebas mengembangkan wawasannya, bebas dari kekangan abad pertengahan, ketika itu semenanjung Apenina atau Italia merupakan ajang perpecahan dan peperangan di antara kerajaan-kerajaan dan negara-negara besar dan kecil yang mendudukinya. Seorang sekertaris negara Florence, yang dikucilkan dari kedudukannya, setelah kehilangan segala kehormatan kedudukan dan peranannya, tidak kehilangan impiannya. Ia mengimpikan Italia sebagai satu negara yang besar. Ia mempelajari sosok penguasa demi sosok penguasa yang pernah dialami dan dikenalnya serta berusaha menemukan tipe-teladan penguasa yang dapat mempersatukan kerajaan-kerajaan dan negara-negara seItalia. Ia berpikir, seandainya Cesare Borgia alias Valentino, putera kandung sri paus Alexander VI, berkedudukan sebagai kardinal ketika berumur 17 tahun, panglima tentara bertaraf genius, seandainya ia bukan penguasa gantungan (kekuasaannya bergantung pada kedudukan ayahandanya), maka dia inilah tipe teladan penguasa yang dicari, yang bisa mendirikan negara Italia.

Cesare Borgia alias Valentino, sebagai penguasa adalah sosok panglima tentara berbakat, terkadang bak diktator bengis, atau despot, yang memusatkan kekuasaan pada kehendak diri sendiri, tak jarang dengan paksaan tentunya, terkadang tiada mengenal ampun atau kasihan, lihai menyelingi sikap dan tindakan berhati-hati dengan sikap dan tindakan berani pada waktu dan kondisi yang tepat, kapan tersenyum manis, kapan bermulut ramah, kapan bertindak kejam, kapan cuek merekayasakan khianat di belakang kepuraan munafik, kapan bak barbar, terselubung oleh selimut keadilan, merekayasakan hamburan teror demi ketahanan kuasa pribadinya, yang diselimuti oleh alasan ketahanan negara. Bila "ketahanan negara" diobah menjadi "ketahanan nasional", maka penulis melihat hampir mirip Suharto dengan Cesare Borgia alias Valentino.

Suharto bukanlah komunis, terselubung pun tidak. Tapi rekayasa "coup d'état" kuasa politik untuk menumbang pemerintah dan mengambil alih pemerintah itu, "coup d'état" yang dituduhkan kepada aliran, partai, dan gerakan komunis, sebenarnya secara terselubung telah dilakukan oleh Suharto sendiri dan dengan kelihaian berpolitik yang luarbiasa. Proses dari letkol menuju pengangkatan beliau sebagai Presiden ke II dari negara kesatuan Republik Indonesia boleh menempatkan beliau sebagai negarawan yang berkinerja gemilang. Proses ini memperlihatkan ketepatan waktu, keluangan, situasi dan kondisi, faktor-faktor keuntungan, umur dan kesehatan, semuanya terpadu dengan sifat-sifat beliau sebagai pemimpin strategi politik, ialah, memiliki inteligensia, energi, kemampuan untuk membaca dan menafsir dengan tepat seluruh keadaan, dan kemudian dengan cepat dan kemampuan siasat jitu bertindak demi keuntungan pribadi dan negara.

Penulis tidak akan heran bila kelak buku sejarah mengenai Indonesia akan muncul dengan mengutip begitu saja ucapan beliau ini, (setelah meletakkan jabatan sebagai presiden RI), bahwa beliau bukan lagi "apa-apa", yang mungkin berarti bahwa beliau bukan lagi "Bapak Pembangunan", "penguasa politik", dengan segala watak dan gelagat tersebut di atas, diangkat dan disanjung bagai yang memang jelas dan nyata gemilang kinerjanya, yang memang berhasil mempertahankan kesatuan negara RI selama 32 tahun masa kepemimpinannya bagai kepala negara.

Dengan penalaran cuek kita melihat sembul serta tumbangnya seorang kepala negara. Ia tumbang, karena nasib kuasanya menjelang akhir masanya, dipandang terutama dari segi ketahanan ekonomi nasional, berada di luar kontrolenya. Faktor kesempatan, situasi dan kondisi, keuntungan, yang pada awal kuasanya diciptakan oleh kelihaian strateginya sendiri, kemudian makin lama makin bergantung pada kuasa mancanegara, dikasibkan oleh dambaan kekayaan materi yang meluangkan KKN merajalela di sekitar beliau, di antara orang-orang dan pendukung-pendukung kesayangannya, dan dibatasi oleh kelapukan kesehatan manulanya. Krisis ekonomi yang paling parah, yang pernah dialami oleh negara RI, menampakkan ketergantungan kuasanya itu. Ketika para penyumbang luarnegeri menutup keran sumbangannya, Suharto, dari segala pihak dihojat dan dinista, serta dituntut untuk meletakkan jabatan, langsung tumbang begitu saja dengan ucapan terakhir, bak seorang yang akan meninggal dunia, "saya bukan apa-apa lagi".

Tindakan beliau pada masa awal kedudukan dan peranannya, mempadukan ketepatan waktu, keluangan, situasi dan kondisi, faktor-faktor keuntungan, umur dan kesehatan, dengan sifat-sifat beliau sebagai pemimpin strategi politik, ialah, memiliki inteligensia, energi, kemampuan untuk membaca dan menafsir dengan tepat seluruh keadaan, dan kemudian dengan cepat dan kemampuan siasat jitu bertindak demi keuntungan pribadi dan negara, MERUPAKAN BAHAN PELAJARAN YANG AMAT BERNILAI bagi para petinggi dan elite yang kini, melalui reformasi, dan dalam bentuk demokrasi yang belum jelas bentuk, pangkal dan ujungnya, telah mengambil alih kekuasaan negara dari regim Suharto.

Kita memperingatkan Bung Karno. Banyak ucapannya bisa disimak sebagai pacuan pendewasaan kepemimpinan negara dan bangsa, a.l.,

"Masyarakat adil dan makmur bukanlah embun di waktu malam, tetapi hasil perjuangan, hasil pemerasan tenaga, hasil pemerasan keringat, hasil membanting tulang, hasil pengerahan segenap potensi daripada bangsa Indonesia."

"Jikalau suatu bangsa tidak kuat dia akan hancur-lebur sama sekali, hancur-lebur sebagai mentimun di antara dua durian. KITA HARUS DINAMIS, KITA HARUS BERGERAK, KITA HARUS BERANI. Het moderne leven eist beweging, activiteit en wie dit niet eerbiedigt wordt verpletterd in het gedrang van mensen en volken die vechten om het bestaan. De hemel verwerpt het gesjacher met meer en minder."

Kalimat bahasa Belanda yang terakhir ini, "De hemel verwerpt het gesjacher met meer en minder," "Langit menolak tawar-menawar", jelas berarti bahwa akal sehat orang, yang harus bertindak cepat berdasarkan keputusan tepat dan mendadak, menolak kebiasaan tawar menawar seperti di pasar-pasar, di mana waktu bisa diulur-ulur, dan semua orang mempunyai banyak waktu untuk itu, tidak merasa dipaksa oleh urgensi strategi keputusan mati-hidup nasib negara dan bangsa berdasarkan ketepatan waktu serba singkat, "alon-alon asal kelakon".

Di masa krisis pada tahun 1965 Suharto telah menjalankan nasehat Bung Karno tadi. Apapun segi tafsiran moral-etis mengenai tindakan-tindakan Suharto di kala itu, mengenai pengorbanan-pengorbanan yang tidak kecil dari sebagian rakyat, yang hingga kini masih terus dipermasalahkan, ditinjau dengan cuek, dari segi teknis, pragmatis, strategis, dan operasional, berdasarkan "raisond'état" atau yang menjamin keamanan dan ketahanan nasional, atau ketahanan kesatuan negara RI, maka hasil rekayasa "Realpolitik" beliau boleh dikatakan genius dan gemilang. Memang segi ironi dari keberhasilan beliau adalah bahwa Bung Karno pun dikorbankan.

Pula kita semua teringat akan istilah "diamankan", yang merupakan euphemisme atau pembagus atau pelunak istilah bagi "dipenjarakan", "dikucilkan" dsb. Dan mau tidak mau orang menyimpulkan "negara aman" adalah semacam "negara penjara", di mana kebebasan dibatasi oleh larangan-larangan. Di pelbagai negara lazim berlaku kontrak sosial, yang a.l. mengakui beberapa keterbatasan hak-hak asasi manusia dalam undang-undang dan peraturan-peraturan masyarakat atau negara. Hanya sekali-sekali orang ramai-ramai berlomba dalam permainan tanpa peraturan atau larangan. Tapi di situ pun tampak larangan dan peraturan. Dalam setiap masyarakat madani berlaku bagi setiap manusia bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban saling membatasi. Setiap negara adalah semacam "penjara keamanan". Kebebasan di dalamnya dibatasi oleh tanggungjawab.

Kini tokoh-tokoh reformasi dan redemokrasi didesak oleh urgensi, yang bukan sepele ketimbang yang dulu-dulu, untuk mempertimbangkan sekali lagi nasehat Bung Karno yang telah dijalankan oleh Suharto. Mungkin manusia zaman sekarang, mentalitasnya dan sikapnya terhadap perjuangan hidup sudah berobah. Pada awal perjuangan kemerdekaan orang berpikir berjuang, berjuang, berjuang, dan sangat kurang menikmati hidup. Kemudian orang berpikir berjuang dan menikmati hidup secara berimbang. Kemudian orang berpikir lebih menikmati hidup daripada berjuang. Dan mungkin kini setengah orang sudah bermimpi menikmati, menikmati, menikmati hidup tok. Dan mungkin pula kini sedang terjadi "tawar-menawar" pembagian kenikmatan kekuasaan di antara para petinggi politik.

Kearifan berpikir, berpenalaran, bergumul dan bergulat bersama sebagai sebuah kesatuan untuk mengatasi segala krisis bangsa dan negara, mempadukan ketepatan waktu, keluangan, situasi dan kondisi, faktor-faktor keuntungan, umur dan kesehatan, dengan sifat-sifat pemimpin strategi politik, ialah, memiliki inteligensia, energi, kemampuan untuk membaca dan menafsir dengan tepat seluruh keadaan, dan kemudian dengan cepat dan kemampuan siasat jitu bertindak BERSAMA demi keuntungan bersama, negara dan bangsa, adalah salah satu cara untuk dipertimbangkan. Cara-cara lain yang lebih baik daripada itu bukan tidak mungkin ditemukan juga.

Segala sesuatu bisa terjadi sekarang.

Received via email from: Alifuru67@yahoogroups.com

Copyright © 1999-2001  - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML pages designed and maintained by Alifuru67 * http://www.oocities.org/maluku67
Send your comments to alifuru67@egroups.com