Bersyukur Disetiap Tarikan Napas...
|
|
Minggu, 03
Agustus 2003
Soenarto Prawirohardjono
Syukur di Setiap Napas
Soenarto Prawirohardjono tak
muda lagi. Dia lahir di Bobotsari, Banyumas, Jawa Tengah, 20 November
1931. Semangat berkeseniannya yang begitu menggebu-gebu tetap bertahan
hingga masa tuanya kini.
Mencurahkan hidupnya dalam dunia seni secara penuh, Soenarto Pr --sebutan
akrabnya-- lewat beragam karyanya terus berupaya menjembatani jarak seni
dengan masyarakat. Pentolan Sanggar Bambu ini menularkan seni pada
lingkungan terkecil --dalam keluarganya-- hingga lingkungan luas.
Kedekatannya dengan sejumlah tokoh melahirkan gagasan baginya untuk
berkarya yang dapat dinikmati semua orang. Lantaran dekat dengan Jenderal
Ahmad Yani, dia lalu membuat patung Pahlawan Revolusi itu yang kemudian
ditempatkan di Museum Sasmita Loka Jakarta. Jenderal Gatot Subroto pun
dikenalnya sejak kecil. Kini patung sang jenderal di atas kuda, hasil
desainnya, berdiri kokoh di Berkoh, Purwokerto.
Karya lainnya, patung Latuharhari, terdapat di Pulau Haruku, Maluku. Dari
tangannya pulalah 15 patung dada pahlawan mengiasi Gedung Joang Jakarta.
Tak hanya seni patung yang menjadikan Soenarto cukup disegani di kalangan
seniman Indonesia. Ia juga pelukis dengan ciri tersendiri. Ia banyak
melukis dengan cat minyak dan cat air, tapi karyanya dengan medium pastel
juga sangat dikenal.
Kekuatannya, menurut beberapa pengamat seni, terletak pada garis-garisnya
serta kuat pada anatomi. Ia menganut aliran realisme naturalistis.
Salah satu pendiri Sanggarbambu ini memimpin para seniman dalam wadah
tersebut selama 10 tahun. Setelah itu, beberapa orang seperti Soedarmaji,
Mulyadi W, Supono Pr menjadi pemimpin di sanggar yang tersebar di banyak
kota itu. Di tahun ke-40 sanggar tersebut, Soenarto memegang lagi kendali
sanggar dalam memasyarakatkan seni.
''Seniman itu umumnya hidup susah,'' nasihat ayah Soenarto suatu ketika.
Dia pun memahami benar nasihat itu. Toh, Soenarto teguh di jalur seni.
''Bagaimanapun situasi dan kondisi yang saya alami, saya bersyukur di
setiap tarikan napas,'' katanya.
Bagaimana mantan Tentara Pelajar semasa perang kemerdekaan ini justru
memilih dunia seni dan terus lekat di dalamnya hingga kini, wartawan
Republika, Dewi Mardiani, mewawancarainya pekan lalu. Berikut
petikannya:
Karir di militer tak Anda pilih, melainkan terjun ke dunia seni,
kenapa?
Memang, bibit seni tak lepas dari masa kecil saya dulu. Yah, seperti soal
Gus Dur yang selalu lekat dengan NU. Artinya, memang ada kelekatan antara
jalan yang saya pilih dalam seni dengan bakat yang ada di dalam diri dan
lewat Sanggar Bambu.
Bapak saya itu guru dan senang melukis. Di rumah Bapak saya membuat
perpustakaan. Saya senang baca-baca buku. Bahkan, buku yang belum masanya
untuk saya baca, tetap dibaca. Di situ, saya banyak menemukan
gambar-gambar, termasuk reproduksi Borobudurnya Basuki Abdullah. Bapak
menjelaskan bahwa beliau itu salah satu seniman besar Indonesia. Waktu
itu, saya masih kelas lima sekolah rakyat.
Jadi, dari situ langsung menyukai seni?
Itu hanya sebagai tambahan saja. Sebenarnya, karena Bapak suka melukis,
maka lama-lama, saya makin terasah untuk itu. Apalagi, waktu kecil, bapak
sering mengoleh-olehi kapur tulis. Wah, seluruh lantai jadi penuh
coreng-moreng saya gambari. Waktu itu, saya masih di Bobotsari dalam usia
4 tahun.
Makanya, saya paling suka mengajak anak-anak di daerah ini untuk
menggambar. Terserah, mau gambar apa saja di sini. Mereka itu polos-polos,
idenya murni, juga coretannya. Dari mereka, saya ingin tahu bagaimana saya
itu waktu kecil. Mungkin, sama seperti mereka, kali yah.
Di samping itu, saya punya kakak yang bekerja di RRI Purwokerto, Soegito
Prawirohardjono (almarhum). Waktu itu saya masih di SR. Dia suka melukis
dan sayalah yang disuruh untuk mengambil air, catnya, atau lainnya. Di
situ, saya suka perhatikan. Cuma sayangnya, dia tak meneruskan seni
lukisnya tapi malah buat cerita bergambar. Kewartawanannya masih
diteruskan oleh Soegito.
Siapa yang mengarahkan kegiantan Anda melukis di masa anak-anak?
Ya, begitu saja. Saya hanya perhatikan kalau bapak atau kakak saya
melukis. Bapak itu orangnya terbuka. Jadi, apapun selalu diberikan
penjelasan. Buat saya, masa anak-anak itu yang kental mengilhami bakat
saya itu. Sekali pernah saya buat gambar sepatu adik saya. Itu ternyata di
sekolah lukis dinamakan gambar alam benda. Padahal, tak ada yang mengajari
saya.
Ketika bergabung di Tentara Pelajar, apakah bakat itu tetap dipelihara?
Ketika remaja, saat itu ada aksi polisionil, menurut Belanda. Sedangkan,
menurut rakyat, gerakan itu disebut aksi militer, 21 Juli 1947. Para
pemuda yang belum tergabung di kesatuan-kesatuan rakyat ke luar desa dan
lari ke gunung karena digerebeg kolonial. Di gunung itu, badan kotor
sekali sampai bisa digambari pakai lidi. Jadi, badan saya itu penuh
gambar.
Kemudian, orangtua di desa bilang, daripada kabur, mendingan dihadapi saja
dan bergabung dengan lainnya. Wah, pikir saya, orangtua memang hebat
pikirannya.
Nah, di tahun 1948, saya bergabung membantu geriya kota di kesatuan
BI/SUAD/stm/Kdm/Bms di Purwokerto. Tahun 1949, saya bergabung dengan
kesatuan Tentara Pelajar Kompi Entjoeng AS Purwokerto di daerah gerilya
Tegal dan sekitarnya.
Berita kematian penyair Chairil Anwar di Jakarta tahun 1949, sampai juga
ke gunung. Suatu saat, saya membuka-buka album kecil Soetopo Yasamihardja.
Di antaranya terdapat pasfotonya yang di bawahnya tertulis Kuikuti
Jejakmu Chairil.... Untuk pertama kali, saya tahu siapa Chairil Anwar.
Soetopo sendiri sampai hari ini betul-betul masih menulis dan berpuisi.
Di daerah gerilya, sesekali saya menggambar dengan pensil tanpa bimbingan,
misalnya gambar rumah tempat kami tinggal. Ternyata, di kemudian hari,
saya tahu bahwa gambar itu adalah sketsa yang diajarkan juga di ASRI.
Ketika TNI/Tentara Pelajar Det.II Be.17 disentralisasi di Semarang tahun
1950, dalam kesempatan santai di markas Pandean Lamper, saya lihat Yaying
Kalbuadi melukis dengan pensil. Lukisan itu dijuduli Student Army,
yaitu seorang tentara pelajar tengah merangkak, dilihat dari arah depan
yang memang relatif sulit. Di mata saya, itu luar biasa hebat. Di kemudian
hari, Yaying dikenal sebagai arsitek.
Saya semakin bersemangat untuk ke seni lukis ketika tahun 1950 memegang
brosur kesenian yang dikeluarkan Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani. Di
situ tertulis S Sujoyono, Hariyadi S yang Eks Brigade 17, dan lainnya.
Sejak itu pilihan menekuni ditetapkan?
Ya. Memang tak diduga sama sekali, saya lalu masuk Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI). Padahal, sebelumnya, saya belajar di Sekolah Pertanian
Menengah Atas di Malang. Bapak sebenarnya ingin saya memilih jalan hidup
yang benar seperti umumnya. Soalnya, seniman itu hidupnya susah. Tapi,
kemudian bapak menyerahkan keputusannya pada saya.
Apa yang membuat tekad itu semakin kuat?
Ketika diplonco tahun 1951, ada acara untuk mengunjungi tokoh-tokoh
masyarakat. Saya dan beberapa teman mengunjungi Ki Mangun Sarkoro. Beliau
bertanya, ''Untuk apa masuk ASRI.'' Nah, pertanyaan itu saya jawab tanpa
diduga-duga sebelumnya bahwa saya ingin menjadi pelukis dan juga ingin
menjembatani antara seni dan masyarakat.
Rupanya jawaban itu baru saya sadari setelah belakangan ini. Karena
setelah delapan tahun sejak itu, saya dan teman-teman mendirikan wadah
Sanggar Bambu. Barangkali saja, Sanggar Bambu terkait dengan jawaban
terhadap pertanyaan Ki Mangun tersebut.
Bagaimana dengan keluarga, apakah mereka mendukung?
Sebenarnya, saya terhitung terlambat soal berkeluarga. Waktu di Bali tahun
1958, saya tinggal di rumah Antonio Blanco. Di situ, saya sering
menghindar terhadap perempuan, apalagi cara berpakaian mereka seringkali
tak menggunakan penutup dada.
Tapi, tahun 1960-an saya sering teriak-teriak, kepingin punya anak.
Akhirnya, saya pun nikah dan punya anak perempuan, Irah Banuboro atau
Ibor. Saya menemukan ibu sejati karena meski sudah berpisah sejak anak
saya bayi, ia tetap memperhatikan anak saya sampai beliau wafat. Ibor
waktu kecil saya titipkan pada ibu saya karena saya sering berkeliling
dengan teman-teman sanggar. Sanggar di Yogyakarta malah diurusi ibu saya.
Adik-adik saya pun juga jadi ikut berkecimpung dalam kegiatan seni di
sanggar hingga sekarang.
Setelah itu, saya nikah lagi pada 27 Desember 1970 dengan Moorsekardinah.
Namanya hasil gabungan dari putri-putri Sri Ratu (Solo) yaitu Mooryati
Soedibyo, Sekar Kedaton, dan Soedinah. Darinya, saya mendapatkan Bima
Batutama dan Mirah Maharani. Beliau pun wafat pada 31 Desembar 1994. Saya
berkesimpulan bahwa istri saya itu sebagai seorang trahing kusumo
sejati. Ia mendukung kesenimanan saya. Ketika ia wafat, sebagian hidup
saya ikut mati. Sebagian hidup istri saya ada pada saya. Yah, kalau orang
Jawa bilang, seperti sigaraning nyowo. Keluarga dan anak-anak saya
sering mengilhami saya dalam melukis.
Dunia seni merupakan gambaran hidup yang menurut Soenarto Pr adalah
jalan yang paling tepat dipilihnya. Tanpa disadarinya, pilihan hidup dan
berbagai upaya yang dijalaninya itu merupakan tekad kuatnya untuk terus
memperkaya khasanah seni dan pemahaman kesenian di Indonesia.
Lewat Sanggar Bambu, sekali lagi, tanpa disadarinya, merupakan upaya
memenuhi ucapannya kepada Ki Mangun Sarkoro di awal masuk ASRI. Sanggar
Bambu menjadi wadah menjembatani seni dengan masyarakat. Bahkan, pelukis
ternama Indonesia, Affandi, mengeluarkan istilah, ''Sanggar yang
benar-benar sanggar di Indonesia adalah Sanggar Bambu.''
Apa yang metarbelakangi pendirian Sanggar Bambu waktu itu?
Kami mendirikan Sanggar Bambu pada 1 April 1959 di Yogyakarta. Kami tak
merencanakan bentuknya akan seperti apa. Pokoknya, wadah buat kami
berkarya dan memasyarakatkan pemahaman seni ke berbagai daerah. Kami
berkumpul sesama seniman, sepertinya menjalani enam sa dalam ajaran
Ki Ageng Suryo Mataram yaitu sabutuhe, sacukupe, saperlune, sabenere,
samestine, sakepenake. Kalau di sanggar, ada satu sa lagi,
yaitu saketemune. Jadi, ya itu, di sanggar itu seketemunya, apapun
itu.
Saat itu, banyak sanggar yang beraliran atau beraliansi ke partai politik.
Sanggar kami non-politik, tanpa biaya dari manapun juga. Kita mandiri dan
berusaha sendiri sekuat tenaga, termasuk waktu keliling ke daerah-daerah.
Gambaran suasana di Sanggar Bambu itu seperti apa?
Kita ini seperti keluarga yang tak ada keharusan atau apa-apa yang diatur.
Sakepenake saja. Kita ini bohemian. Ada seorang pematung wanita
Indonesia bernama Wasilah. Anaknya sekolah di Jerman dan menetap di sana.
Anaknya itu mengadu kepada ibunya, ''kok ada satu komunitas yang sama
seperti Sanggar Bambu di sana,'' katanya sambil terheran-heran.
Saya berkesimpulan, dalam kurun waktu yang berbeda, ternyata ada komunitas
seperti itu. Jadi, menurut saya, hal itu universal dan bisa saja dibentuk
komunitas yang saling mengenakkan.
Sekitar tahun 1961, kita pameran di Pekalongan. Di situ ketemu Suyono
Wardoyo, seorang petani yang sudah berkeliling dunia. Dia mengatakan, misi
Sanggar Bambu adalah suci. Kita mengadakan pameran dan kegiatan seni di
berbagai daerah itu dinilainya suci.
Sekarang saya berpikir, sebobot itukah misi sanggar ini?. Ya, kita memang
tanpa pamrih, lebih banyak pengorbanan daripada cari untung. Kadang, kita
jual pakaian untuk biaya pameran. Di manapun orang meminta kita pameran
atau berceramah soal seni, kita datangi tanpa dibayar. Jangan-jangan,
inilah yang dimaksud misi suci itu.
Berapa anggota yang terlibat dalam kegiatan sanggar?
Awalnya sepuluh orang, termasuk saya, Kirjomulyo yang berkecimpung di
dunia teater dan sastra. Namun, kemudian dia tak aktif tapi tetap dekat
dengan kami. Selain itu ada Mulyadi W, lalu ada Danarto. Sekarang ini,
anggotanya ada sekitar 150-an. Banyak juga yang tak tercatat. Maklumlah,
sakepenake, tak terlalu organisatoris. Ada pula pendukung paling
kuat seperti Kusnadi, Toto SUdarto Bachtiar, Nasyah Djamin, Arifin C Noer,
Putu Wijaya, dan lainnya.
Sanggar ini bergerak dalam bidang apa saja?
Semuanya. Ada seni rupa, seni drama-teater, seni sastra, dan seni musik.
Banyak yang turut mencurahkan perhatian terhadap kesenian ini dan mereka
turut pula memasyarakatkannya. Banyak pula yang turut mengembangkannya
seperti Hardiyono, Indros, Muryotoharloyo, Mulyadi W, Danarto, Handogo,
Wardoyo, Soeharto PR, Mien Brojo, Wasilah, FX Sutopo, Adi Kurdi, Emha
Ainun Najib, Ebit G Ade, Dedet, dan Untung Basuki.
Apa saja upaya yang ditempuh untuk menjembatani seni dan masyarakatnya?
Pada masa awal berdirinya sanggar, kita menyebar ke berbagai daerah di
Jawa-Madura, yaitu sekitar 40 daerah. Waktu itu, kita mengadakan pameran
keliling tanpa dibayar. Kita datang sesuai permintaan daerah. Kita dikasih
akomodasi dan makan. Itu sudah cukup. Bahkan, kita pun sempat pula menjual
pakaian untuk sekadar ongkos. Ya, memang seperti itu.
Selain pameran hasil karya anggota, kita juga mengadakan ceramah, lomba
lukis, demo lukis, lomba penulisan naskah dan sastra, pentas drama arena,
serta lainnya. Semua dijalankan seperti itu saja. Bahkan, kita pernah
melakukan demo melukis di pinggir lumbung padi. Ternyata, setiap kegiatan
kita, banyak warga yang memperhatikan, bahkan ikut berpartisipasi dalam
setiap lomba. Itu sudah cukup buat kami.
Setelah 40 tahun kita ada, pemikiran seperti ini, rasanya perlu
dikembangkan dan diingat kembali. Di saat itu, semangat untuk menjembatani
seni ke masyarakat benar-benar kuat. Karena itu, kami berniat membuat
perjalanan sanggar ini dalam sebuah buku. Saat ini, hal itu masih dalam
proses.
Bagaimana kondisi sanggar saat ini?
Kita ini saketemune. Jadi, kita ini seperti ada dan tiada.
Sebenarnya, Sanggar Bambu masih terus melakukan kaderisasi. Itu dilakukan
tanpa biaya. Kita ini seperti pendamping pemerintah tapi tak dibiayai
pemerintah. Kita semua sebagai seniman berpikir dan berbuat untuk kemajuan
seni Indonesia, tanpa ada istilah dibayar atau pensiun. Pokoknya, selama
kita masih hidup, hidup dan seni tak terpisahkan.
Bagaimana pula dengan kondisi senimannya?
Saat ini, seniman dipengaruhi oleh pribadi dan lingkungan. Kita sering
berubah tergantung kepada dua hal itu. Kalau saya, jelas tetap di
realisme. Banyak seniman yang memilih dan cocok ke surealis seperti Lucia
Hartini dan Iwan Sagito. Sekarang ini, jenis seperti yang acak-acakan
lebih diangkat.
Dulu, dan sekarang, masih orientasi atau kiblat kesenian itu ke arah
Paris, Prancis. Rupanya, sekarang ini, Cina bikin gencar dengan
naturalisnya. Rupanya ada upaya untuk beralih orientasi ke Beijing. Itu
sih, sekadar pendapat saya.
Masing-masing seniman punya idealisme sendiri. Itu bagus, asalkan tidak
saling ganggu. Seperti halnya ucapan Ir Soekarno (Presiden I RI),
''Biarkan semua bunga berkembang bersama di taman sari Indonesia.''
Jadi, semua hal yang berbeda itu berarti, termasuk yang seenaknya pun
punya arti. Kita perlu menghargai itu.
Soal era globalisasi, apa pengaruhnya bagi dunia seni Indonesia?
Mungkin, karena berbaur dengan globalisasi, kita harus tetap waspada
penuh. Kita bisa diobrak-abrik dan digilas. Nasionalisme bisa lenyap kalau
terjadi globalisasi penuh. Karena itu, kita harus pegang kuat akar budaya
kita. Yang datang harus disaring, mana yang bagus atau tidak. Untuk itu,
mentalitasnya yang perlu diperkuat. Saat ini, mentalitas kleyar-kleyor,
gampang pindah-pindah pendirian.
Di Sanggar Bambu itu adalah individu sekaligus sebagai bangsa. Kita itu
miskin yang berada di tengah degradasi mental juga. Kita ikut
merasakannya. Bagaimanapun situasi dan kondisi yang saya alami, saya
bersyukur di setiap tarikan napas.
Artikel terkait
|
|