salam, dari pengalaman nonton ataupun membaca wayang selama ini (wayang kulit, golek, maupun pagelaran wayang wong) akhirnya tanpa sadar sudah terbentuk sebentuk pola di benak saya yang pertama adalah mengenai 'konsep' wayang itu sendiri : semua kisah, dan tokoh di dalamnya, seolah menggambarkan segala hal yang bisa dan mungkin saya alami sendiri bahwa dalam beraktifitas sehari-hari saya mungkin menjadi seorang dursasana yang manja, yang sulit mengendalikan diri dari nafsu, yang berpenampilan sangar namun berhati pengecut. namun kadang saya bisa juga menjadi seorang parta, yang mampu mematikan segala nafsu dan keinginan atau bisa pula, dalam keadaan lain, menjadi bima yang hanya mau bertindak lurus sesuai penugasan atau tuntutan keadaan' atau malah jadi sukasrana, yang mau memberikan apa saja sekedar untuk mendapat perhatian sang kakak. dalam konteks ini, di benak saya, cerita wayang dan semua tokoh-tokohnya adalah diri saya sendiri jadi mungkin saja seorang dewa serong, karena dia adalah saya sendiri, yang pada situasi yang sangat spesifik bisa saja tergiur oleh iming-iming kekuasaan, keindahan, ataupun kemudahan yang memang senantiasa ada di sekitar kita pemahaman berikutnya adalah tentang konsep 'jaman', yang, bagi saya, me-relasi-kan antara 'kisah' (lakon) dan 'titi mangsa' (saat,waktu yang tepat) (bagai 'time-motion study' versi 'kehidupan nyata' :-) ) saat ini saya belum bisa menyusun rumusan soal 'pemahaman' yang kedua ini namun hanya bisa menunjukkan, seperti batara endra, misalnya, yang digambarkan sebagai dewa paling tangguh namun pernah dipecundangi oleh boma, raksasa yang menyerbu kahyangan, dia yang memilih tetap duduk di kaendran, tak hendak memimpin pasukan dewa sehingga para dewa kalah. dia lebih memilih menyerahkan seorang bidadari pada lawan agar tidak usah berperang melawan si boma hal itu kembali terjadi pada saat indrajit (megananda) menyerbu kahyangan hingga sang endra terpaksa memberikan seorang bidadari sebagai tanda 'panungkul' (pengertian 'bidadari' di sini bisa saja berbentuk kekuasaan, keindahan, atau kemudahan jadi para feminist wayang@ers tak perlu gemas duluan . . . :-):- ) ) namun sang endra) mulai bersikap lain saat kahyangan diserbu niwatakawaca (dalam lakon 'gancaran mintaraga') dengan meminta bantuan arjuna, untuk melawan niwatakawaca dan dia berhasil menang. dalam konteks ini, tokoh yang sama, bisa bertindak lain pada sikon yang lain, dan hasilnya sama: yaitu ketenteraman dunia yang mencakup triloka (kaendran, kamanungsan, kajiman/ka-raseksan) kuncinya adalah pada pemilihan saat yang tepat untuk bertindak apa pada saat kita berperan sebagai apa sebagai batara endra, dewa yang mewakili kekuatan akal dan batin, atau sebagai raksasa, yang mewakili kekuatan fisik, atau sebagai arjuna, manusia, yang mewakili kekuatan pikir. semua tokoh itu ada di dalam diri kita semua cerita itu bisa kita alami sendiri setiap saat itulah 'wayang' yang ada di benak saya. nuwun, harmiel m soekardjo
harmiel@indo.net.id
Telepon: (62)(21) 7404790