The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Balagu.Com


Balagu.Com, 16/10/2006

Politisasi Preman dan Premanisasi Politisi

oleh: Dominggus. N. Kaya (Pemerhati Politik Lokal dan Otonomi Daerah)

Dalam teori politik manapun juga dimuka bumi ini, persoalan substansial yang selalu menjadi titik fokus pembahasan adalah kekuas! an. Kekuasaan merupakan konsep sentral dalam ilmu politik. Defenisi umum kekuasaan menurut Laswell dan Kaplan yang banyak dipedomani menyatakan bahwa kekuasaan ialah "kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir sesuai dengan keinginan pelaku yang mempunyai kekuasaan". Kalau oleh Van Doorn (1957) melihat kekuasaan : "kemampuan pelaku untuk menetapkan secara mutlak alternatif-alternatif bertindak atau alternatif-alternatif memilih pelaku lain". Dari kedua konsep ini dapat disimpulkan bahwa kekuasaan bisa dilihat sebagai hubungan (relationship) antar dua atau lebih kesatuan, dimana suatu hubungan kekuasaan biasanya bersifat tidak seimbang, dalam arti bahwa satu pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari pelaku lain. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan suatu ketergantungan (dependence); lebih timpang hubungan ini, akan lebih bes! ar ketergantungan. Akan tetapi sangat jarang ada bentuk kekuasaan yang mutlak dan absolute. Artinya setiap kekuasaan itu, betapapun besar kekuasaan yang dimilikinya, akan tetap membutuhkan kekuasaan yang lain juga. Adapun isu-isu strategis yang berada diseputar konsep kekuasaan adalah : sumber-sumber kekuasaan, siapa yang memilikinya, bagaimana menjalankan serta pendistribusian kekuasaan.

Konsep dan isu-isu strategis mengenai kekuasaan ini sengaja disajikan terlebih dahulu untuk menunjukkan bahwa posisi konsep politisi dan preman yang akan menjadi pokok pembahasan disini, adalah bagian-bagian integral dari konsep tentang kekuasaan seperti gambaran diatas.

Politisasi Preman.

Preman adalah salah satu konsep kepemilikan kekuasaan dengan sumber kekuasaan berdasarkan pada kekuatan, keberanian dan kemampuan fisik yang lebih. Yakni bahwa seorang preman akan mampu mempengaruhi, menekan, memerintah, mengintimidasi atau bahkan melakukan tindakan fisik yang menyebabkan orang lain tunduk atau takut serta bersedia mengikuti apa kehendaknya. Yang membedakan eksistensi preman dari kepemilikan kekuasaan lain adalah bahwa konsep preman sangat identik dengan kekuasaan yang illegal, oportunis, anarkhis dan cenderung destruktif.

Kelebihan yang dimiliki antara lain, bersifat informal s! ehingga memiliki ruang lingkup yang "bebas", tidak terbatas pada aturan formal tetapi punya aturam main tersendiri dan memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik terhadap perubahan lingkungan sekitar. Bersifat tertutup tetapi rentan terhadap anarkhisme serta tidak mudah terdeteksi karena metode operandi mereka cenderung bersifat "gerakan bawah tanah". Berdasarkan kelebihan inilah seringkali para preman ini dipergunakan oleh kelompok-kelompok penguasa/elit lainnya untuk mendapatkan target-target kekuasaan. Preman dijadikan alat untuk mencapai kepentingan tertentu. Dengan kata lain, terjadi proses politisasi preman. Aktivitas politisasi preman ini sesungguhnya sudah berlangsung lama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa disekeliling anak-cucu "Keluarga Cendana" terdapat sejumlah kelompok preman yang menggantungkan hidupnya mencari sesuap nasi, dengan menawarkan 'jasa-jasa' tertentu. Atau juga contoh konkrit yang bisa ditemui sehari-hari, dimana pada lokasi-lokasi perekonomian semisal pasar, pertokoan, plaza, swalayan atau semacamnya, akan ada kelompok-kelompok tertentu yang memungut biaya keamanan yang lebih dikenal dengan 'Japre' (Jatah Preman), padahal dibalik itu sering kali ada 'sindikat mafia' tertentu yang mengkoordinir aktivitas para preman tersebut.

Dalam konteks yang lebih "formal", tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat sejumlah partai politik yang sering memakai jasa preman untuk menggolkan kepentingan mereka. Disinyalir kuat aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang membawa tuntutan kepentingan politik tertentu serta didalamnya melibatkan massa, sering dikomandani oleh kelompok-kelompok preman. Apalagi bentuk demonstrasi yang membutuhkan kesan sedikit "kasar" dan shock therapy, sehingga memberi image kuat bahwa ada situasi urgensi yang sangat mendesak, dan memerlukan penanganan darurat! . Disinilah peran dan fungsi preman dipolitisasi secara sempurna oleh kelompok lain. Inilah juga bukti empiris dari konsep yang dijelaskan semula bahwa adalah sangat jarang untuk menemukan bentuk kekuasaan yang mutlak dan absolute, tanpa kehadiran bentuk kekuasaan yang lain.

Premanisasi Politisi

Serupa tapi tak sama, atau bisa juga dikatakan bahwa kalau tadi yang dibahas adalah preman sebagai obyek yang dimanfaatkan, maka konsep premanisasi politisi justru menunjukkan sebuah fenomena yang lebih menarik untuk disimak. Dikatakan menarik karena yang namanya politisi itu akan menempati posisi dalam struktur masyarakat sebagai elit atau pemil! ik kekuasaan atau penguasa yang berpengaruh terhadap proses-proses pembuatan keputusan atau kebijakan bersifat formal atau regulatif. Kontribusi seorang politisi sangat jelas dalam setiap pengambilan keputusan politik, karena disitulah sesungguhnya peran dan fungsi seorang politisi. Justru politisi yang tidak mampu memberi warna atas sebuah keputusan politik, maka eksistensinya sebagai politisi patut dipertanyakan. Sisi menariknya, tatkala keberadaan politisi yang sebegitu strategis dan krusial cenderung mulai mentransformasikan dirinya menuju kearah sisi "buruk"nya premanisme yang kental dengan pola perilaku menyimpang. Contoh paling mutahir yang terjadi di depan mata kita adalah perbuatan Anggota DPRD Provinsi yang melakukan tindakan kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap seorang wanita berprofesi pramusaji, yang notabene adalah komponen rakyat yang semestinya diwakili suara dan aspirasinya di arena politik. Hal ini semakin menjadi isu krusial dan sensitif tatkala berbagai pihak tengah memperjuangkan upaya pengarusutamaan gender, termasuk lembaga legislatif sendiri, yang diwujudkan lewat penetapan sejumlah peraturan perundangan sensitif gender seperti Undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dan yang lebih celaka lagi, tindakan "bias gender" ini dilakukan oleh seorang kader partai politik yang notabene Ketua Umumnya adalah seorang wanita juga. Sesuatu yang sangat ironis memang.

Contoh yang tidak kalah serunya adalah peristiwa adu jotos antara dua Anggota DPRD Malteng, Talaohu dan Basalamah, sebagai buntut perbedaan persepsi dalam mekanisme kerja dan pengambilan keputusan. Atau lebih tepatnya ketidakadilan dalam proses bagi-bagi 'Japre'. Serunya lagi, ternyata kedua orang ini berasal dari satu 'pabrik', yakni Partai Golkar.

Hipotesa sementara yang coba saya bangun menyikapi fenomena ini bahwa, politisi (wakil rakyat) kita kini cenderung bertindak seperti preman, disebabkan kebanyakan dari mereka saat ini merasa dirinya lebih legitimate, kuat secara politis sebagai pilihan langsung rakyat, sehingga tidak mutlak bergantung pada siapapun, termasuk parpol. Kondisi ini menciptakan kecenderungan lahirnya perilaku arogan, sulit diatur dan 'semau gue'. Mereka merasa lebih bertanggung jawab kepada konsituen daripada institusi politik semacam parpol sekalipun. Padahal disisi lain, realitas memperlihatkan bahwa massa konstituen pendukung setiap figur itu sangat kabur dan tidak terdeteksi. Apalagi sistem pemilihan yang dipakai adalah Proportional Representation dengan variannya adalah proportional yang open list, memungkinkan calon yang terpilih bukan harus siapa yang mendapatkan suara terbanyak saja, tetapi masih lebih terikat pada mekanisme nomor urut. Dengan kata lain, wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga terhormat itu mungkin saja adalah salah satu figur yang sebenarnya tidak dipercaya oleh rakyat. Ini salah satu ekses 'balik' dari mekanisme pemilihan langsung yang berlaku saat ini sehingga mesti disikapi dengan lebih baik.

Celakanya, dalam konsep premanisasi politisi, seseorang yang semestinya menjadi model, panutan, contoh dan teladan, justru berpola tingkah sedemikian rupa sehingga masyarakat sendiri menjadi sulit untuk membedakan apakah yang bersangkutan adalah figur wakil rakyat atau malah seorang tukang pukul (body guard) yang tidak segan-segan bertindak dan berbuat anarkhis.

Implikasi Bagi Partai Politik

Tindakan kader parpol sekelas PDIP, jika dicermati secara lebih jeli sesungguhnya tidaklah sedemikian adanya. Hal ini mengingat paradigma dan ideologi partai yang bercorakkan partai kader, yang mana menjelaskan bahwa partai ini memiliki basis massa yang patuh, loyal dan sangat "tradisional" terhadap kepemimpinan elitnya. Sebaliknya, elit partai memiliki keterikatan secara emosional maupun kultural yang sama kuatnya dengan massa di tataran grass root. Dalam ungkapan lain mau disampaikan bahwa sesungguhnya PDIP telah "kecolongan" dalam proses rekrutmen kadernya. Apa yang telah dilakukan oleh Polnaya tersebut dan juga tindakan Resmol terhadap isterinya beberapa wakt! u lalu menunjukkan indikasi kuat ke arah itu. Partai telah salah menerima begitu saja kader-kader yang berkarakter anarkhis, oportunis dan destruktif, laksana cerminan jati diri seorang preman pada konsep premanisme tadi. Dan hampir bisa dipastikan kekecewaan di kalangan masyarakat awam maupun grass root PDIP sendiri semakin mengemuka terhadap kader maupun partai secara keseluruhan. Realitas ini semakin menjadi ancaman, tatkala ada kader-kader terbaik partai yang justru tidak dimanfaatkan ataupun diperlakukan secara baik, dan terpaksa meninggalkan partai. Tanpa punya tendensi apapun, kenyataan memperlihatkan (sebagaimana pengakuan Mailoa sendiri) bahwa keputusan yang ditunjukkan oleh Herman Hattu untuk meninggalkan partai tanpa dikenai sanksi adalah tindakan seorang politisi sejati, dan bukan cara-cara politisi gadungan. Singkat kata, PDIP Maluku telah ditinggalkan oleh politisi sejati, dan dimasuki oleh preman murni.

Fenomena pada kejadian perkelahian antar Anggota DPRD Malteng juga sulit dipahami, mengingat Partai Golkar selama ini dikenal sebagai satu-satunya partai yang memiliki relasi antar elit yang sangat solid. Banyak partai politik yang elitnya saling gontok-gontokan, saling sikut, 'kudeta', bahkan sampai membentuk aliansi mendirikan partai baru. Lain dengan Golkar yang dikenal sangat mudah dalam penyelesaian konflik antar elit. Juga bila dicermati dari aspek ideologi sebagai partai elit yang berkarakter catch-all party, dimana didalam partai sangat memungkinkan arus komunikasi antar komponen partai sangat terbuka, komunikatif dan bersifat akomodir banyak kepentingan. Akan tetapi apa yang dipertontonkan ini semakin memperkuat hipotesa saya diatas bahwa konsep premanisasi politisi sementara mengemuka dalam beberapa waktu belakangan ini, akibat dari 'euphoria' kekuasaan yang sementara dialami, dinikmati, dan dimonopoli serta disalahartikan, sehingga terlena lalu melupakan begitu saja peran dan fungsi sejatinya sebagai seorang politisi.

Untuk bisa menunjuk bahwa partai politik (politisi) pernah melakukan "Politisasi Preman" memang agak sulit karena tidak tersedia alat bukti yang kuat, namun yang pasti kini telah ditemui bukti-bukti empiris yang mempertegas bahwa telah terjadi "Premanisasi Politisi" dalam tubuh sejumlah partai politik. Sangat jelas ini sebuah langkah mundur dalam proses pembelajaran politik masyarakat maupun upaya menegakkan prinsip-prinsip demokrasi di negeri tercinta. Sangat disayangkan sekali…!!!***

Copyright © 2006 by BALAGU DOT COM
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoemerah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044