The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Senin, 16 Oktober 2006

Masa Berseminya Persaudaraan di Latta

MZ Wahyudi

Ramadhan kali ini terasa berbeda bagi masyarakat Desa Latta, Ambon. Masjid di desa itu, yang hancur saat konflik sosial (1999-2004), kini berdiri kembali.

Keberadaan masjid itu tidak hanya menjadi pertanda keberadaan Muslim di desa yang identik dengan permukiman warga Kristen, tetapi juga menjadi simbol bersatunya kembali dua komunitas itu untuk menat! a kembali kehidupan mereka pascakonflik.

Selepas shalat ashar, Senin pekan lalu, beberapa pemuda tampak berkumpul bersama di Masjid Nurul Hidayah di Desa Latta. Beberapa pemuda bermain catur untuk mengisi waktu senggang menunggu waktu berbuka puasa tiba, sementara warga lain tampak memperbaiki pagar masjid.

Keberadaan masjid di tengah permukiman Kristen itu seolah menjadi oase sejuk bagi kehidupan beragama di Maluku. Kembalinya umat Islam di Latta memberikan harapan masih ada peluang untuk mempersatukan kembali kedua komunitas dalam sebuah kampung yang heterogen tanpa sekat agama dan suku.

Konflik sosial di Ambon membuat pola permukiman masyarakat pascakonflik umumnya terpecah berdasarkan keyakinan masing-masing. Dengan menyebutkan nama daerah atau desa tempat tinggal, agama orang tersebut sudah dapat diterka.

Namun, yang terjadi di Latta merupakan sebuah perkecualian. Dengan tekad kembali ke tempat asal mereka, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan serta tempat jasad orangtua-orangtua mereka dimakamkan, sekitar 70 keluarga Muslim asal Latta berani pulang ke tempat asal mereka itu sejak Oktober 2005.

Muslim yang mengungsi ke Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IX Ambon sejak Juli 1999 itu sempat kembali ke Latta pada Desember 2003. Namun, konflik kedua yang meletus saat Hari Ulang Tahun Republik Maluku Selatan pada 25 April 2004 membuat mereka kembali mengungsi untuk kedua kalinya.

Semula, jumlah warga Muslim di sekitar Masjid Nurul Hidayah lebih dari 300 keluarga atau hampir mendekati 2.000 jiwa. Namun, konflik membuat warga tercerai-berai dan tinggal secara terpisah di sejumlah daerah. Bahkan, warga yang umumnya keturunan Sulawesi Ten! ggara itu banyak yang memilih kembali ke kampung nenek moyang mereka walau harus merasa asing karena orangtua-orangtua mereka memang sudah menetap lama di Ambon. "Kami lahir dan besar di sini, demikian juga orangtua kami," kata Zaman (44), pemuka masyarakat Muslim Latta.

Menurut Zaman, keengganan keluarga lainnya untuk kembali ke desa asal mereka lebih disebabkan kekhawatiran dan ketakutan akan terulangnya konflik. Mereka lebih memilih menjual rumah mereka di Latta dengan harga murah dan membeli rumah di perkampungan lain yang homogen dan berada dalam satu komunitas masyarakat yang seagama dengan mereka. "Memang kita perlu berikhtiar untuk menjaga keselamatan kita dan waspada, tetapi yang penting komunikasi dengan warga sekitar (yang berbeda agama) tetap harus dijaga," kata Tasdun (39), warga Muslim Latta lainnya.

Toleransi

Zaman dan Tasdun mengakui bahwa sikap toleransi antara warga Muslim dan Kristen di Latta pascakepulangan mereka dari lokasi pengungsian justru lebih baik dibandingkan dengan masa sebelum konflik.

Tegur sapa ramah juga terucap saat bertemu dengan sejumlah anggota jemaat Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Jemaat Halong yang akan melaksanakan ibadah sore. Gereja tersebut hanya berjarak sekitar 50 meter dari masjid.

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoemerah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044