KOMPAS, Jumat, 27 Oktober 2006 - 05:08 wib
Wapres: Tangkap Teroris di Poso
MAKASSAR, KOMPAS - Wakil Presiden Jusuf Kalla mendesak aparat keamanan
segera mencari akar masalah teror di Poso dan menangkap para pelakunya. Apabila
perlu, pemerintah akan memberlakukan Undang-Undang Antiteror untuk para teroris
yang sudah meresahkan warga Poso belakangan ini. Menurut Kalla, apa yang terjadi
di Poso adalah teror dan bukan konflik.
Hal itu dikatakan Jusuf Kalla kepada wartawan di Makassar, Kamis (26/10), di sela
acara open house di rumah kediaman pribadinya di Jalan Haji Bau. Dalam acara itu,
Kalla menerima ratusan warga dan tokoh masyarakat dari berbagai kalangan serta
para pejabat sejak sekitar pukul 10.00 hingga sore hari. Saat ditanya apakah ia akan
berkunjung ke Poso setelah dari Makassar, Kalla mengatakan, itu masih akan
diagendakan sambil melihat perkembangan yang terjadi.
"Apa yang terjadi di Poso bukan konflik, tetapi teror. Karena itu, para pelaku teror
harus ditangkap. Kalau perlu, berlakukan Undang-Undang Antiteror. Para pelaku teror
harus ditangkap dulu," kata Jusuf Kalla.
Wakil Presiden mendesak aparat keamanan lebih intens mencari para pelaku teror di
Poso maupun Palu karena teror yang dilakukan belakangan ini semakin meresahkan
warga. "Soal teror itu harus dicari tahu apa akarnya dan siapa pelakunya, ini yang
paling penting," kata Kalla.
Saat ditanya apakah pemerintah atau aparat keamanan sudah mengantongi
nama-nama atau kelompok-kelompok yang diduga atau dicurigai sebagai pelaku dan
penebar teror, Kalla mengatakan, hal tersebut sudah diketahui aparat. "Kami sudah
tahu, tetapi belum akan diungkapkan siapa-siapa mereka," katanya.
Menyangkut tuntutan tokoh masyarakat setempat agar polisi ditarik dari Poso
menyusul bentrokan antara warga dan aparat kepolisian, Kalla mengatakan, polisi
adalah aparat yang bertugas menjaga keamanan daerah dan warga. Masalah antara
warga setempat dan polisi harus diselesaikan dengan upaya penyelesaian yang lebih
baik.
Ketua Kelompok Kerja Deklarasi Malino Prof Sulaiman Mamar meminta pemerintah
mendengar aspirasi yang diungkapkan masyarakat. Setelah didengarkan lalu
dibicarakan bersama sehingga mendapatkan solusi.
Apalagi, saat ini, ujar Sulaiman Mamar, persoalan yang terjadi di Poso semakin rumit
karena rasa tidak percaya masyarakat terhadap aparat kepolisian sudah
terakumulasi. Masyarakat tidak percaya lagi dengan kemampuan aparat karena
banyak kasus tidak terungkap secara tuntas. Masalah jumlah (kuantitas) aparat tidak
menyelesaikan persoalan, apalagi jumlah personel yang terus ditambah.
"Sebetulnya dulu, saat Deklarasi Malino, berbagai pihak sudah menegaskan, aparat
di Poso bukan masalah jumlah (kuantitas), tetapi kemampuan (kualitas). Pasukan
yang dulu ditarik dan diganti dengan pasukan profesional sehingga banyak kasus
segera teratasi," kata Sulaiman.
Pencari fakta
Ketua Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam Poso Adnan Arsal menuntut
pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Konflik Poso
1998-2000. Pembentukan TGPF juga dimaksudkan untuk mengungkap kasus
bentrokan antara aparat polisi dan warga Kelurahan Gebang Rejo, Minggu.
Adnan mengatakan, TGPF Poso sudah sangat mendesak karena sampai saat ini
konflik Poso dan aksi-aksi kekerasan pascakonflik tidak pernah terungkap. "TGPF
akan mengungkap dan meluruskan berbagai fakta konflik Poso maupun aksi-aksi
kekerasan bersenjata yang selama ini banyak direkayasa," katanya.
Menanggapi tuntutan itu, Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju mengatakan, ia
setuju dengan pembentukan tim independen untuk mengungkap kasus bentrokan
polisi dengan warga Gebang Rejo. Namun, pembentukan TGPF Poso adalah
wewenang pemerintah pusat karena membutuhkan payung hukum setingkat
keputusan presiden. "Pemerintah Sulteng akan membentuk tim independen kasus
Gebang Rejo yang anggotanya terdiri atas tokoh-tokoh di luar Poso, tetapi masih di
wilayah Sulteng," kata Paliudju.
Penyebab bentrokan polisi dengan warga Gebang Rejo sampai saat ini belum
diketahui secara pasti. Versi polisi, bentrokan terjadi karena warga Gebang Rejo lebih
dulu menyerang Pos Polisi Masyarakat dan membakar sebuah truk dan tiga sepeda
motor polisi. Adapun Adnan mengatakan, justru polisi memulai penyerangan dengan
mengepung Tanah Runtuh dari segala penjuru. Tanah Runtuh adalah lokasi Pondok
Pesantren Amanah pimpinan Adnan Arsal yang terletak di tengah-tengah Gebang
Rejo.
Bentrokan polisi dengan warga Gebang Rejo adalah yang kedua kalinya dalam
sebulan terakhir. Akhir September, massa di Kecamatan Pamona Timur, Poso, tiba-
tiba melempari helikopter yang ditumpangi Kepala Polda Sulteng dan kemudian
merusak Markas Kepolisian Sektor Pamona Timur serta membakar sejumlah sepeda
motor dan mobil polisi.
Satu hari setelah bentrokan itu, empat bom meledak di Poso dan diikuti dengan
beredarnya informasi yang provokatif sehingga mengakibatkan sekitar 3.000 warga
Kelurahan Sayo hampir bertikai dengan warga Kelurahan Kawua. Rangkaian peristiwa
kekerasan di Poso merambat ke Palu, ibu kota Sulteng. Tanggal 16 Oktober lalu,
Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah Pendeta Irianto Kongkoli tewas
ditembak ketika berbelanja dengan anak dan istrinya.
Polisi mengidentifikasi pelaku penembakan Kongkoli berasal dari kelompok
terorganisasi yang ahli dalam melakukan tindak kekerasan. Kelompok itu adalah
Kelompok Hasanuddin yang pada Juni lalu ditangkap di Palu dan mengaku sebagai
pelaku sejumlah pembunuhan, penembakan, dan peledakan bom di Poso maupun
Palu. (REI/REN/SSD)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|