The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Kamis, 26 Oktober 2006

Solusi untuk Poso

Oleh Thamrin Ely

PELEDAKAN bom dan penembakan misterius di Sulawesi Tengah (Sulteng) masih berlangsung sejak pecah kerusuhan di Kabupaten Poso, 27 Desember 1998. Antara pengawetan konflik kekerasan dan terapi penyelesaian terus saja berlomba tanpa bisa diprediksi kapan berakhir. Belakangan, Senin (16/10), Pendeta Irianto Kongkoli Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) tewas ditembak orang tidak dikenal di Palu.

Menariknya, peristiwa tragis itu terjadi beberapa hari setelah para petinggi intelijen dari pusat yang bertugas ke Sulawesi Tengah kembali ke Jakarta.

Lalu bermunculan beraneka pernyataan. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar di DPR mengatakan informasi tentang kejadian tersebut sudah diketahui sebelumnya (tapi anehnya tak mampu dicegah). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu menginstruksikan Menko Polhukam Widodo AS agar segera mencari dan menyelesaikan secara hukum pelaku-pelaku penembakan maupun teror di Poso.

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri dikerahkan untuk mengendus pelaku, lalu disinyalir Kelompok Basri yang selama ini bermain di Poso diduga sebagai pelaku penembakan. Berbagai pernyataan tokoh agama dan masyarakat yang menyesalkan kejadian itu lantas bermunculan (Sinar Harapan, 17/10). Tiba-tiba ada lagi korban jatuh dari kalangan Islam di sekitar Pesantren milik KH Adnan Arsal yang juga Ketua Forum Silaturahmi Umat Islam (FPUI) Poso.

Bolak-balik komunitas agama menjadi sasaran provokasi. Pernyataan resmi pemerintah berkali-kali mengatakan yang terjadi bukanlah konflik antarkomunitas, tapi teror oleh para pemain lama. Sayangnya, pernyataan itu berhenti sampai di situ saja. Padahal, kita perlu penjelasan lanjutan tentang teror tersebut dilakukan oleh organisasi apa, siapa pemimpinnya, apa tuntutannya sebagaimana lazimnya kerja organisasi teror.

Pertanyaan yang timbul, mengapa konflik kekerasan atau teror masih terus berlangsung dan terapi penyelesaian tak kunjung berhasil? Padahal, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan konflik, kekerasan, dan teror yang telah merenggut begitu banyak nyawa manusia dan menghancurkan hasil-hasil pembangunan.

Mulai dari rekonsiliasi di tingkat akar rumput yang melibatkan masyarakat dua komunitas agama (Islam dan Kristen) hingga pertemuan yang menghasilkan Deklarasi Malino untuk Poso 20 Desember 2001 (S. Sinansari Ecip, 2002). Belum lagi gelar pasukan keamanan dan pertahanan yang menyedot anggaran pusat dan daerah hingga ratusan miliar rupiah. Lalu pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Koopslihkam) dengan Satuan Tugas Penegakan Hukum (Satgas Gakum) sebagai ujung tombak (Lihat juga AC Manullang, 2006).

Ubah Variabel

Tapi semua upaya itu memiliki sisi lemah, karena hanya menempatkan variabel masyarakat semata-mata sebagai objek dalam pengertian seluas-luasnya, sosial, budaya, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Masyarakat juga menjadi objek provokasi, adu domba, kambing hitam, pemerasan, pengeboman dan penembakan misterius. Ketika lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengambil peran dalam program penguatan masyarakat, advokasi, dan perlawanan, maka yang terjadi adalah penghujatan terhadap segala sesuatu yang berbau negara, militer dan modal tanpa sedikit pun empati. Tentu saja pendekatan seperti ini tidak menyelesaikan persoalan, sebaliknya terjadi konsolidasi dan reaksi, yang ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban lagi.

Oleh karena itu, sudah saatnya pola penyelesaian dialihkan dari variabel masyarakat sebagai objek kepada variabel elite nasional dan kinerja institusi terkait. Lazimnya, seperti juga yang dikehendaki LSM ialah diawali dengan membentuk Tim Penyelidik Gabungan Pencari Fakta (TPGPF). Tapi becermin pada pola penyelesaian konflik Maluku, rasanya tim seperti itu biarlah menjadi urusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang masih di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Faktanya Keppres No 38 Tahun 2002 yang membentuk Tim Penyelidik Independen Nasional untuk mengungkap Konflik Maluku, hasilnya tidak pernah dibuka kepada masyarakat oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Mungkin dengan pertimbangan bahwa hasil TPIN itu akan kontra produktif, bahkan bisa memicu konflik baru karena ada yang disudutkan secara terbuka.

Penyelesaian dengan pendekatan elitis dan institusional ini didasarkan pada pengamatan berbagai pihak bahwa konflik yang terjadi di berbagai daerah dimulai pada awal kejatuhan Presiden Soeharto. Peta percaturan politik di tingkat elite nasional ini sudah dibuka secara telanjang oleh Wiranto (2003), Kivlan Zen (2004), Fadli Zon (2005), dan Habibie (2006). Kepemimpinan nasional yang singkat oleh dua kepala negara berikutnya, Habibie dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) serta peralihan kepemimpinan dari Presiden Megawati yang dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang terpilih secara langsung masih menyisakan rigiditas politik.

Situasi dan kondisi seperti ini membuat banyak tokoh, pejabat dan perwira tinggi yang tadinya memiliki hak-hak privilege dan menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik tiba-tiba merasa kehilangan. Sebaliknya secara kharisma mereka masih memiliki akses tradisional dengan berbagai institusi strategis terkait. Bergabung dengan politisi senior, negarawan dan purnawirawan yang berada diluar sistem, (dengan berbagai motif), dan dengan posisi tawar yang cukup kuat membuat jarak politik dengan Presiden Yudhoyono. Di samping itu, pemisahan fungsi keamanan dan pertahanan yang menjadi akibat pemisahan struktural TNI dan Polri adalah salah satu faktor persoalan insitusional.

Karena itu, penyelesaian yang dibutuhkan Poso dan Indonesia secara keseluruhan dan seketika ialah rekonsiliasi elite nasional yang diharapkan berimbas pada masyarakat di aras terbawah. Tidak terelakkan membenahi relasi TNI-Polri terutama dalam pengejawantahan fungsi dan anggaran. Tahap lain bisa menyusul kemudian. Kalau tidak maka perumpamaan "gajah dengan gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah" terbukti. (*)

Penulis adalah Ketua Delegasi Muslim Maluku di Pertemuan Malino 2002, Alumnus Program VSPD University of California Berkeley

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batoemerah
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044