The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SUARA PEMBARUAN DAILY


SUARA PEMBARUAN DAILY, 10/4/2003

Masih Adakah Supremasi Hukum?

JE Sahetapy

There is enough for everybody's need but not for everybody's greed.

- Mahatma Gandhi

Tidaklah mengherankan kalau orang suka melakukan perbandingan untuk mencapai suatu kesimpulan. Socrates pernah berucap bahwa You never know a line is crooked unless you have a straight one next to it. Perbandingan bukanlah suatu hal yang jelek atau tidak objektif, apalagi kalau tersedia suatu ukuran baku, yang objektif dan yang dapat disepakati secara bersama.

Dengan melakukan perbandingan, orang selain dapat menarik kesimpulan, setidak-tidaknya orang dapat menentukan sikap, kendatipun dapat saja dikatakan subjektif, namun ia telah melakukan suatu perbandingan sebelum sampai pada suatu pendapat akhir. Boleh dikatakan dalam setiap disiplin ilmu selalu ada apa yang dinamakan "perbandingan" bertalian dengan paradigma, sejarah, atau sesuatu proses perkembangan.

Tentu saja dapat dipersoalkan patokan apa yang dipakai, mengapa, dan untuk apa, serta apakah hal-hal yang dipercakapkan atau dideskripsikan itu bisa dikritisi atau tidak. Kemungkinan ada sanggahan, umpan balik, bahkan dapat saja timbul hal-hal yang kontroversial atau yang antagonistik. Semua itu adalah bagian dari suatu usaha untuk mencari pencerahan dari bagian proses sejarah dengan dialektika yang inheren pada disiplin ilmu yang bersangkutan atau yang menyangkut apa yang menjadi objek perbandingan.

Sudah menjadi suatu anggapan umum, terutama di kalangan rakyat kecil yang menggeneralisasi bahwa di zaman Orde Baru, di era Soeharto, meskipun ada riak-riak dan atau konflik yang muncul, kecuali pada akhir era Soeharto menjelang kejatuhannya, dapatlah dikatakan tampak ada semacam "supremasi hukum", meskipun harus dikatakan itu bersifat semu. Dikatakan demikian, sebab melalui tangan-tangan terselubung yang bersifat keras, kejam dan acapkali tidak manusiawi, rakyat meskipun diliputi rasa ketakutan, merasakan dan melihat bahwa paling tidak di permukaan kehidupan berbangsa dan bernegara ada semacam ketenangan semu yang bertalian dengan "supremasi hukum".

Tentu saja observasi yang demikian dapat saja dibantah, apalagi di era reformasi ini di mana ada kebebasan berpendapat melalui berbagai media informasi.

Di atas Meja

Supremasi hukum memang ada di permukaan, sebab terlepas dari di bawah permukaan ada KKN, ada pemerasan (Belanda: chantage), ada pengkhianatan dengan "tuduhan PKI", ada pembunuhan politik, ada pelecehan karakter, ada fitnahan, ada pelbagai ancaman dan pelanggaran HAM, tampak sekali di permukaan ada "supremasi hukum" yang notabene semu dan menakutkan. Tidak ada pada waktu itu, sepanjang yang dapat diingat, orang mencuri, mencopet, merampok, dikejar, dipukul babak belur dan kemudian dibakar hidup-hidup.

Kalau ada putusan pengadilan yang kontroversial, orang sudah dapat menduga begitulah akhirnya tanpa ribut-ribut karena takut, apakah ada KKN atau tidak. Kalaupun ada KKN, dilakukan di bawah meja, tidak seperti sekarang di atas meja tanpa rasa "sungkan" atau merasa bersalah. Bahkan sekarang dilakukan dengan cara tawar-menawar atau siapa yang dapat membayar paling tinggi.

Zaman itu orang tidak berani berbicara tentang pelanggaran HAM dan kalau ada dugaan KKN, diselesaikan dengan "baik-baik" di bawah meja atau melalui pemanggilan aparat, apakah itu berupa pemanggilan institusi atau oknum. Ancaman terselubung adalah bagian utama dari suatu penyelesaian. Secara mutatis mutandis sekarang pun masih ada, meskipun sudah langka. Koran-koran pada waktu itu tiarap dan tidak bermulut besar; namanya sensor diri sendiri, sebab bila ada pemanggilan telepon, urusannya menjadi berkepanjangan. LSM-LSM dikebiri dan semua seperti menanti kapan datang Ratu Adil. Konglomerat-konglomerat hitam merajalela apalagi kalau diundang ke Tapos. Pertemuan-pertemuan sosial secara genit dengan upaya mencari dana melalui undian sapu tangan atau mendendangkan suara entah merdu atau tidak. Jadi setiap pejabat sudah siap dengan lagu-lagu wajib yang dilatih di kamar mandi pada waktu mandi.

Tentara menganggap polisi sebagai hansip dan mereka bertindak karena mereka merasa seperti negara ini miliknya. Mau menjadi gubernur atau bupati masuklah Akabri, jadilah komandan dengan ranking pangkat tertentu. Semua jabatan sipil diborong baik di dalam negeri maupun di luar negeri. KKN merajalela secara sahih di antara sekelompok konco-konco dan boneka-boneka politik bermain wayang dan poppenkast (pertunjukan boneka) tanpa rasa malu, tanpa perasaan bersalah, tanpa mempertimbangkan moral dan etika.

Pemimpin-pemimpin agama seperti melacurkan diri dan terus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Soeharto sekeluarga. Semacam Kerajaan Majapahit dan Mataram ingin ditransformasikan di abad pencerahan ini. Tidak ada yang berani buka mulut dan memperlihatkan kepalan tangan sampai Yang Maha-Kuasa tampaknya sebal dan pada akhirnya menggunakan mahasiswa dengan memberikan roh keberanian untuk maju tak gentar membela yang benar yang seperti tak kunjung datang. Brutus-brutus politik berlari pontang-panting. Prajurit-prajurit berbintang seperti kehilangan kompas tetapi tetap perkasa sebab masih tetap bersenjata.

Para politisi berwajah rai-gedek mengganti baju dan memulai adegan baru terutama di Senayan. Para mahasiswa ketika era Reformasi membuka pintu, mereka kembali ke kampus. Kalaupun di era Reformasi muncul demonstrasi, dapat dipertanyakan apakah itu para mahasiswa atau bukan, sebab gosip demonstran dibayar dan yang muncul dipimpin secara partisan, dapat merusak citra mahasiswa. Di era Reformasi bajingan-bajingan tengik mulai menggadai hukum dan melacurkan diri mereka melalui politicking. LSM-LSM mulai siuman sementara rakyat kehilangan kesabaran dan bertindak main hakim sendiri. KKN makin bergairah dan tokoh-tokoh politisi senang berfungsi seperti Dr Jekyll dan Mr Hyde, artinya pagi tempe, sore tahu.

Mulai Sebal

Rakyat seperti mulai sebal melihat para pemimpin tidak menghiraukan moral dan etik, sementara di Senayan orang terus berdebat soal prosedur. Ungkapan-ungkapan hukum yang keliru digunakan tanpa tahu makna proses hukum yang sesungguhnya seperti praduga tak bersalah.

Saksi-saksi ahli dari kampus bergentayangan tanpa merasa risih kalau melacurkan ilmunya. Di mana-mana ada KKN; di lapisan bawah dan terutama di lapisan atas. Bukan reformasi namanya kalau tanpa KKN. Bidang ekonomi terus menggeliat, seperti terbelenggu karena KKN. Reformasi tanpa kemauan politik untuk memberantas KKN, ibarat hanya tunggu "vonis" kematian.

Semua sudah serba rusak dan rusak terutama karena KKN. Semua berteriak Reformasi dan semua bertanya-tanya di manakah supremasi hukum itu. Senayan terus berdinamika membicarakan moral dan etika tanpa menyadari apakah mereka sesungguhnya mempraktikkan moral politik dan etika politik.

Pemerintah seperti kehilangan akal, tidak bersemangat dan seperti lesu darah. Dan KKN terus bergolak: pencurian pasir laut, pembabatan hutan, pencurian log-log kayu dan alam menjadi marah dengan segala akibatnya yang dirasakan rakyat desa. Daerah terus bergolak dan KKN mulai berpindah tempat ke daerah-daerah "Otda" dengan wakil-wakil rakyat yang lupa akan sumpah jabatannya. Dan meskipun bom Bali untuk sementara menyadarkan bangsa ini, orang kemudian mulai lupa sebab pemilu sudah menanti untuk di-politicking, baik antara pelbagai kelompok politik maupun mereka yang berteriak dan menghujat sebab tidak mendapat kesempatan.

Orang lupa akan supremasi hukum, orang lupa akan moral politik dan etika politik. Agama mulai dijadikan semacam komoditas. Orang-orang yang berpretensi beragama ternyata terlibat dalam berbagai perbuatan yang tidak terpuji. Dan KKN berjalan terus sebab supremasi hukum sudah diperdagangkan, digadai dan sudah bang-krut. Orang Indonesia sangat "impulsif", cepat naik darah, pendendam, suka memfitnah, seperti tidak mengenal kata maaf dan rekonsiliasi, tidak pernah lupa akan musuh bebuyutan, apalagi sampai lupa KKN, suka menerabas dan potong kompas, pada hal agama tidak memberi petunjuk demikian.

Moh. Hatta, salah satu Founding Father yang bersih KKN memang benar. KKN seperti sudah inheren dalam kultur bangsa ini dari Sabang sampai Merauke/Jayapura. Bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin seperti pada permulaan Proklamasi, bukan seperti yang sekarang. Apakah melalui Reformasi dan supremasi hukum masih dapat diharapkan akan ditemukan pemimpin-pemimpin yang berkualitas seperti di masa lalu? Apakah melalui Pemilu 2004 masih ada kemungkinan ditemukan dan terpilih pemimpin-pemimpin yang bermoral dan beretika yang bersih KKN? Sayang, agama telah dijadikan komoditas politik, agama dijadikan wacana pelbagai rekayasa, tanpa mereka takut akan Tuhan Yang Maha-Kuasa.

Orang-orang ribut instan-temporer tentang Inul yang goyang ngebor, padahal di daerah tertentu menurut sebuah koran di Jakarta, orang menikmati Inul lain dengan goyang ngebor. Tiba-tiba orang seperti terkesima dan lupa akan KKN dan supremasi hukum. Padahal yang sedang terus terjadi seperti kata orang Belanda: De regering is radeloos, het volk is redeloss, het land is reddeloos. Artinya, pemerintah sudah kehilangan akal, rakyat sudah bingung, negara ini sudah tak tertolong lagi. Apakah memang begitu? Semoga tidak demikian!

Kesimpulan: pada tahun 1978, jadi 25 tahun yang lampau, saya sudah proposisikan apa yang saya namakan Sobural, suatu akronim dari "skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural masyarakat", untuk menjelaskan dan menganalisis kejahatan.

Singkat kata, memberantas KKN dan menghidupkan supremasi hukum secara struktural tidaklah terlalu sulit. Tetapi hal ini kurang terlihat dari kebijakan pemerintah dewasa ini.

Mengatasi/memberantas KKN secara struktural yuridis juga tidak terlalu sulit, tetapi bergantung dari mentalitas para aparat hukum dan birokrasi pemerintah. Tetapi yang paling sulit dan membutuhkan waktu beberapa dekade atau setidak-tidaknya satu generasi, yaitu bagaimana memperbaiki kultur (budaya) bangsa ini yang sudah tercemar KKN serta amat sulit menegakkan skala nilai sosial yang bukan saja sudah rancu, tetapi yang juga diperparah oleh dampak globalisasi serta arus informasi.

Memakai agama sebagai suatu panacea, sejarah agama di pelbagai belahan dunia membuktikan cuma suatu wacana bumbung kosong. Itu bukan berarti agama gagal, tetapi para pemimpin agama kata pepatah, ibarat guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

* Penulis adalah Guru Besar Emeritus, Anggota DPR-RI, Ketua Komisi Hukum Nasional RI.

----------
Last modified: 10/4/2003

 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/batu_capeu
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044