Mari kita coba meneliti kembali catatan-catatan, membolak-balik kwitansi, serta mengingat-ingat petuah-petuah yang dulu pernah di wejangkan sesepuh-sesepuh yang telah mengajari kita apa itu teknologi dan informasi. Weladalah………
Saudaraku (seperguruan), ingatkah dulu saat kita adalah dua bocah ingusan yang sama sekali tak memiliki ilmu seperti sekarang ini? Kita bahkan dulu merengek kepada Tuhan untuk berbelas kasihan menurunkan rezekinya kepada kita. Mengangkat wawasan kita yang miskin. Untuk dapat paling tidak mencicipi cita rasa teknologi yang aromanya tercium kemana-mana.
Ingatkah saat kita dengan gigih dan susah payah mencari sejangkal tanah tempat para sesepuh mandraguna itu tinggal untuk dapat memberikan secuil ilmunya? Ingatkah juga perjuangan saudara kita yang berdiam di bumi yang tak tertera di peta Indonesia untuk menempuh hadangan alam hanya untuk mendengarkan semilir angin yang mengabarkan revolusi digital multimedia telah masuk Indonesia? Bermimpi pun kita tidak untuk dapat menerima semua ini.
Ah, saudaraku, kita memang miskin. Tak punya apa-apa. Apalagi sejumput uang untuk memboyong seperangkat teknologi ajaib itu serta meletakannya di atas meja kerja kita. Tidak. Semuanya terlalu mahal untuk kita kenal dan pelajari. Tak pernahkah kau bertanya, mengapa Tuhan mengirim semuanya. Ujian apalagi yang kini mesti kita jalani? (Ujian? Mungkin hujan barangkali maksudnya.
Bukankah hujan itu adalah rezeki, maaf, saya memang agak tuli).Saudaraku, aku tahu kini engkau telah mampu mengayunkan langkah, berkelana dengan bebas di luas serta kerasnya bumi jelata tak bertepi dengan ilmu yang telah engkau kuasai. Tapi masihkah engkau ingat akan petuah yang pernah di bisikkan di telinga kita dulu? Saat kita sama-sama menempa diri kita? Entah engkau merasakannya atau tidak. Atau malah pura-pura tak ingat?Aku sendiri tak tahu tempat dimana engkau tinggal. Pijakan langkahmu. Atau tarikan nafasmu. Tapi, untuk sekedar mengingatkanmu, baiklah akan kuberitahu mengenai wejangan yang dulu pernah dipesankan sesepuh kepada kita dulu itu.
Masih ingatkah engkau akan celana jeans yang sering ku banggakan kepadamu dulu? Ya, celana bermerk yang harganya lumayan keringat diperas untuk mendapatkannya. Yang selalu ku pakai cuci karena begitu berartinya celana itu bagiku? (maklum cuma satu-satunya,bo!) Ngomong-ngomong masalah jeans, ingatkah engkau tentang kasus beberapa belas tahun yang lalu tentang merajelalanya merk celana jeans palsu yang dijual bebas dimana-mana. Atau mungkin yang paling baru dan paling sering menyita perhatian kita adalah mengenai penggandaan vcd serta cd yang dilakukan bukan saja di kota raja namun juga di seluruh jengkal tanah palapa mukti.. Nah, saat sebuah merk jeans dibajak serta dijual bebas, atau sebuah kaset vcd (dalam negeri, apalagi) digandakan, ada kepedulian sebagian kecil dari kita untuk mengatakan dengan suara keras, say no piracy. Protesnya pun berlanjut hingga ke meja pembesar istana. Namun (maaf, aku bukan tengah dipromosikan jabatan oleh sebuah perusahaan software) saat sebuah piranti lunak bernama sistem operasi disebarluaskan secara ilegal, kita lantas bingung menentukan sikap. Apalagi saat menyinggung kata komputer yang telah menjadi backbone rumah tangga kita untuk bertahan hidup.Apa yang tengah aku bicarakan? Moralitas, heh…..? Bukan kawan. Tapi, mungkin benar bila menurutmu memang demikian.
Tapi kalau aku boleh mendefinisikan hal ini, “Aku”, dan sekali lagi kalau boleh mewakili dengan “kita”, tengah membela diri. Membela kejujuran.Mungkin engkau terkejut. Mungkin saudara-saudara kita lainnya yang selama ini berniat baik seperti kita pun harus duduk sebagai pesakitan di ruang pengadilan moralitas. Dan memang saat semua informasi begitu mudah kita peroleh melalui akses Internet seharusnya kita terkejut. Angka-angka yang tertera di atas kwitansi yang mungkin kita sendiri tak menyimpannya lagi menorehkan keganjilan yang mestinya menimbulkan tanda tanya besar. Ada yang tidak tercantum dalam surat pembayaran yang kita tanda tangani. Berati ada pihak yang dirugikan yang telah terambil miliknya secara tidak sah.Maaf kawan, sebagai end user yang kerap stand alone tanpa pernah menentukan suatu arah kebijaksanaan sebuah keputusan kita pun terhenyak. Kita ikut-ikutan pusing atas semua masalah ini. Kita yang tadinya berniat baik, tanpa ada prasangka macam-macam, hanya benar-benar untuk “belajar dan nguli” dalam bidang yang bernama teknologi informasi itu, kini harus menjadi tersangka sebagai peserta kontes plagiator software sedunia.
Itulah yang disebut sesepuh kita sebagai HAKI. Idiom terbesar abad teknologi. Kata halus untuk menyebut P-E-N-C-U-R-I. Apakah kini engkau ingat kawan?Aku mengerti kawan, kita memang sering lupa. Seterusnya kita pun jadi terlena. Apalagi tidak ada yang ribut. Apalagi banyak orang lain yang menggunakannya yang tidak pernah mengulas-ulas masalah ini. Seandainya ada pun kita masih bisa berdalih, toh jasa yang diberikan oleh penggunaan teknologi ini jauh lebih besar dibanding kerugian yang di derita. Tapi sampai kapan kita dapat mempertahankan semua ini? Semua ketidak jujuran yang sebenarnya kita tak inginkan ini? Apakah kita tidak terusik? Apakah kita akan terus berpura-pura tidak jujur pada diri sendiri? Apakah kita belum sadar dengan pembodohan ini? Tidakkah kau tahu saudaraku, nyaris seluruh ilmu yang kau miliki berasal dari……….(maaf). Ah, mungkin aku terlalu sok moralis. Apalagi aku hanya seorang penjaja sarana informasi kecil, yang tak terdaftar namanya di kitab ensiklopedia. Yang sebenarnya tak berkompeten mengurusi masalah ini. Entah setan apa yang tiba-tiba merasuki jiwaku. Baiklah, aku akan nun sewu. Namun, sebelumnya ijinkan aku menitipkan sebuah pesan terakhir, yang ku dapat dari sumber informasi yang layak dipercaya.
Bila suatu saat nanti engkau berpapasan dengan mahluk yang bernama HAKI, dapat kupastikan bahwa sebagian hakmu akan terampas olehnya. Bahkan sedikit harga dirimu akan jatuh saat ia membuka sedikit saja mulutnya.Oleh karena itu, kawan, sebelum hal itu terjadi waspada serta berhati-hatilah dalam mengolah diri. Ketahuilah kau akan berpapasan dengan HAKI karena dua hal, yakni, kurang informasi serta terlalu cuek, kalau bisa dibilang angkuh untuk mengakui hak orang lain. Seandainya engkau banyak membaca dan santun untuk peduli. Aku menjamin bahwa engkau akan menempuh arah lain dari banyaknya jalan untuk menuju pencapaianmu (semoga kita bertemu disana).Rudi Kawasts...berjuang di pojok jakarta
kawasts@gmail.com Dimuat di www.awari.or.id