Seakan terjaga dari tidur yang melenakan, sekonyong-konyong kita dibangungkan oleh ribut-ribut masalah hak cipta software komputer. Juga seakan hendak menegaskan Undang-undang hak cipta yang diterbitkan pemerintah tahun 2002, terjadi penertiban secara random oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan dan dilecehkan hak inteletualnya. Alih-alih kita pun dibuat keder dan terdiam menghadapinya.
Tak banyak yang dapat diperbuat saat kita dituding melanggar aturan main, dan pada akhirnya secara materi kita porak poranda kalau tak bisa dibilang habis. Bisnis jasa yang banyak menggunakan perangkat komputer yang notabene pelaku UKM gigit jari setelah menghitung ulang angka-angka yang harus dikeluarkan untuk menggunakan perangkat lunak secara sah di mata hukum. Rakyat pun, yang masih mayoritas dibawah garis kemiskinan, siap-siap masuk wilayah “papa teknologi”. Alternatif lainnya, piracy, cyber crime menjadi solusi orientasi. Kita pun terbata-bata menerjemahkan kreativitas yang tengah mewabah. Cita-cita semakin jauh meninggalkan bumi jelata. Tempat mengadu tak menghibur saat tubuh rebah mengadu, meski pertiwi yang menina bobokan.
90 persen bajakanBerdasar data yang berhasil di data oleh Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI), hampir seluruh Warnet di Indonesia menggunakan software tak berlisensi. Demikian dikemukakan oleh Ketua Presidium Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI), Judith MS, saat menggelar konferensi pers soal lisensi untuk warnet di Gedung Bursa Efek Jakarta, seperti diulang dari HukumOnline.com pada Minggu, 08 Mei, 2005. Judith mengatakan, dari ribuan warnet yang ada di seluruh Indonesia, hanya sekitar sepuluh persen saja yang menggunakan produk piranti lunak legal. Sisanya, menurut Judith, masih menggunakan produk bajakan. Sebagian di antaranya adalah juga anggota AWARI (perkumpulan yang terdiri dari para pengusaha warnet di seluruh Indonesia yang di lansir meiliki 2.500 anggota meski belum meiliki badan hukum resmi). Indonesia sendiri tercatat sebagai peringkat keempat negara-negara pemakai software bajakan di dunia. Angkanya mencapai 88 persen.
Permasalah dan hambatan di Indonesia sendiri adalah : (1)Kurangnya penghargaan di masyarakat. Masyarakat di Indonesia masih menganggap belum perlu membeli program asli. Hal ini disebabkan begitu mudahnya mengkopi serta belum tingginya penghargaan terhadap karya cipta. (2)Masyarakat sulit mencoba suatu program. Banyak orang dan perusahaan sebenarnya ingin membeli software asli, tetapi menghadapi permasalahan dalam upaya meyakinkan bahwa program tersebut adalah program yang benar-benar dibutuhkan. Hal ini disebabkan belum banyaknya perusahaan software di Indonesia yang memberikan trial version bagi pengguna di Indonesia. Sehingga timbul suatu fenomena pada perusahaan, mereka akan mencoba software dengan cara mencari versi bajakan, dan bila memang cocok barulah mereka membeli software yang asli. (3)Tidak mendapatkan pelayanan tambahan seperti BBS, technical support User Group (4)Harga yang telalu tinggi untuk ukuran Indonesia (sistem harga harus berbeda untuk institusi, personal, bisnis). (http://wiryana.pandu.org/)."Usaha warnet itu modalnya besar. Peralatannya mahal-mahal mulai dari komputernya, listriknya, bandwidth-nya, dan lain-lain. Satu-satunya yang murah adalah harga sewanya kepada konsumen," tukas Judith.
Software asli menjanjikan adanya kualitas yang baik dibanding software bajakan. Belum lagi kalau hasil bajakannya buruk, kinerjanya tentu tidak maksimal. Selain itu, memakai software asli berarti tidak melanggar hukum. Keuntungan-keuntungan semacam itu menjadi pemikat yang kerap dilontarkan para produsen software. Tapi kenyataannya, keuntungan tersebut tidak cukup menggiurkan bagi 'konsumen' yang lebih suka software bajakan. Apa pasal? Selain perbedaan harga yang cukup signifikan, beberapa konsumen mengaku kesulitan menemukan penjual software asli. Dan kalau pun software asli didapatkan, mereka menanyakan dari mana mereka bisa memperoleh yang dijanjikan "Kami memiliki kantor perwakilan di Indonesia, dan memiliki banyak partner untuk memasarkan produk kami dan memberi support," kata Tony Chen. Itu untuk Microsoft, bagaimana halnya dengan software lain seperti Adobe atau software anti-virus? Mereka tidak memiliki kantor perwakilan dan banyak konsumen yang tidak tahu kemana harus membeli yang asli. "Saya kerap dikontak perusahaan software lain, menanyakan bagaimana kondisi di Indonesia jika mereka ingin membuat kantor perwakilan disini. Tapi mereka menarik diri begitu tahu kondisi pembajakan di negara ini," kata Tony. Sutiono Gunadi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) mengatakan, hal tersebut hanya masalah hukum dagang. "Penjual software asli sulit ditemui karena mereka merasa tidak punya konsumen. Sebaliknya, jika pembajakan tidak semarak ini, penjual software bajakan juga tidak akan banyak. Pusat-pusat perbelanjaan tentunya akan dipenuhi para penjual software asli," katanya. Sosialisasi lemahUU Perlindungan Hak Cipta No.19 Tahun 2002 diterapkan dengan tegas oleh kepolisian sejak Business Software Alliance (BSA) mengumumkan akan memberi hadiah Rp 50 juta bagi yang melaporkan adanya pembajakan software. Pengamat berpendapat penertiban peranti lunak bajakan pada warnet dan rental komputer harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan berbagai dampak yang merugikan.
Rapin Mudiarjo sebagai Direktur Bidang Hukum ICT (Information and Communication Technology) Watch, mengatakan penertiban terhadap warnet pengguna software bajakan memang harus dilakukan karena telah diatur dalam UU Hak Cipta No.19/2002. .( cybertech.cbn.net.id: Senin, 16 May 2005) Namun, bukan berarti dengan diberlakukannya UU ini, Microsoft akan membabi-buta menuntut secara hukum perusahaan-perusahaan atau pihak-pihak yang menggunakan produknya secara ilegal. “Ada atau tidak ada UU tersebut, berlaku atau tidak berlakunya, efektif atau tidak efektif perlindungannya, kami akan tetap jualan software. Kami akan tetap jualan teknologi,” ujar Diana Soedardi Ardian, Business Development Manager PT. Microsoft Indonesia kepada eBizzAsia belum lama ini. Menurut Diana, meski perusahannya tidak melakukan tindakan, namun jika aparat penegak hukum melihat adanya pelanggaran mereka berhak melakukan penegakan hukum yang sudah seharusnya dijalankan. “Kami sendiri memiliki mekanisme, baik secara pidana maupun perdata,” tegasnya. Melalui program reward yang juga digelar di Singapura dan Malaysia, BSA (Bussiness Software Alliance) menjanjikan imbalan uang-di Indonesia senilai Rp 50 juta-kepada individu pelapor dugaan penggunaan peranti lunak ilegal di kalangan bisnis. Pengertian peranti lunak ilegal tidak hanya memakai produk bajakan (tidak berlisensi), tetapi juga menyalahgunakan lisensi (illegal licensing) atau jumlah lisensi tidak sesuai dengan yang terinstalasi pada komputer (under licensing). Aparat penegak hukum memakai definisi peranti lunak ilegal itu ketika menggelar razia penegakkan hak cipta, termasuk kepada warnet. Razia kepada bisnis yang termasuk usaha kecil dan menengah itu semakin marak selama dua bulan terakhir. Menurut data Asosiasi Warnet Indonesia (Awari), beberapa kota yang menjadi sasaran razia antara lain Jakarta dan sekitarnya, Surabaya, Cilacap, Semarang, Bandung, Yogyakarta, Bali dan Padang. (awari.com, Jumat, 06 Mei, 2005). Tindakan main sweeping aparat ternyata juga membuat gerah pengusaha warnet yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Warnet Komunitas Telematika (APWKomitel). Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pengaduan dan pertanyaan yang dialamatkan pada pengurus lembaga tersebut. Ketua APWKomitel, Rudi Rusdiah, dalam komentar tertulisnya menyarankan agar pengusaha warnet tetap tenang menghadapi aksi sweeping ini. "Minta surat tugas, tanya tujuan razia itu, tanya nama petugas. Mereka juga harus didampingi PPNS (Pejabat Penyidik Negeri Sipil, red) yang ahli di bidang itu. Lalu segera hubungi asosiasi anda," Rudi menekankan. Senada dengan Rudi, Menristek Kusmayanto Kadiman meminta Kepolisian menahan diri dalam melakukan "sweeping" dan penangkapan pemilik warung-warung internet (Warnet) yang menggunakan aplikasi tidak berlisensi. "Daripada melakukan "sweeping" dan menangkapi pelaku bisnis warnet di seluruh Indonesia yang mencapai 4.000 warnet, lalu semua warnet tutup dan pekerjanya yang diperkirakan mencapai belasan ribu menganggur, lebih baik pemerintah melakukan pemutihan," kata Menristek Kusmayanto Kadiman ketika ditanya wartawan di Jakarta, Jumat (3/6). "Kami tidak pernah melakukan sweeping ke warnet ataupun laporan penyimpangan seperti denda 'damai' di lapangan," tangkis Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Kombes Andi Chairudin. Dia menegaskan pemakaian peranti lunak ilegal oleh pengguna akhir termasuk delik formal yang mensyaratkan laporan kepada polisi dari pemegang Hak Cipta sehingga tidak dibenarkan langsung merazia ke konsumen.( cybertech.cbn.net.id: Senin, 16 May 2005) Berangkat dari laporan Business Software Alliance (BSA), awal pekan lalu Mabes Polri menyita 63 komputer di PT EPT Bogor dan menangkap direkturnya berinisial BS karena menggunakan peranti lunak ilegal. Sementara keesokan harinya seperti yang diwartakan detikinet, Selasa (17/5/2005). aparat Kepolisian Pekalongan melakukan sweeping software bajakan ke sebauh warnet yang diikuti dengan penutupan warnet lainnya milik si pemilik di tempat lain. SolusiPemerintah sendiri memang mengakui harga software yang relatif mahal itu. Seperti dikatakan I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Industri Teknologi Informasi dan Elektronik Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, software apapun itu, kalau harganya lebih dari 100 US dollar itu mahal. 100 US dollar buat kita itu sudah hampir sejuta. Itu pun sudah tidak kuat untuk membelinya.
Seharusnya, masih kata Putu, Pemerintah bisa mengajukan keberatan, namun yang menjadi masalah di Indonesia itu tidak pernah ada one give policy. Artinya, setiap departemen itu bisa melakukan semacam group sendiri. Misalnya, pajak sendiri, perhubungan sendiri. Padahal, kalau ada one give policy, kita bisa mengatakan kepada produsen bahwa minimal setiap tahun mereka (produsen) akan mendapatkan pasar sebesar ini. “Dengan begitu, saya pikir, orang malas untuk membajak. Karena apa? Bisa dijual jauh lebih murah, bisa di bawah 50 dollar, misalnya, orang pasti malas membajaknya,” tutur Putu kepada eBizzAsia. (www.ebizzasia.com, Volume I Nomor 09 - Juli 2003) Pemerinah memang tetap berusaha untuk mengurangi gap harga tersebut. Pasalnya, makin tinggi harga, maka makin banyak orang yang membajaknya. Namun demikian, pemerintah juga berharap, dengan semakin banyaknya peredaran software yang berlisensi, perusahaan itu mau mengembangkan Research and Development (R&D) produknya di Indonesia. Salah satu solusi yang digagas Kemenristek adalah memfasilitasi penyediaan aplikasi berbasis open source untuk internet. Para pengusaha warnet kelak tidak harus menggunakan aplikasi berlisensi seperti Microsoft. Tak kalah penting, mereka bisa mengadopsi aplikasi ini gratis. Kata Kusmayanto, ide ini disepakati pada Senin (27/5) lalu. Sebuah komunitas teknologi informasi yang menyebut dirinya 'The Evangelis' bersedia untuk menciptakan aplikasi open source software tersebut dan membagikannya gratis kepada pengusaha warnet. ''Beri kami waktu satu bulan,'' kata juru bicara 'The Evangelis' seperti ditirukan Kusmayanto. Yang jelas, lanjut Menristek, pada 15 Juli mendatang di aula BPPT akan menggelar demo aplikasi open source untuk warnet. 'The Evangelis' turut hadir. Di samping itu, pemerintah juga berencana menggagas upaya negosiasi dengan BSA. Yakni, meminta waktu (grace periode) selama maksmimal tiga bulan agar pengusaha warnet ini mencicil biaya aplikasi orisinil tanpa harus terlebih dahulu di-sweeping atau dihukum. Selain itu, Kusmayanto menengarai terjadinya pelanggaran-pelanggaran saat razia oleh BSA dan kepolisian. Perangkat komputer diangkut dengan tidak mengindahkan standar prosedur sehingga berpotensi rusak. Barang-barang yang disimpan di kantor polisi juga tak sedikit yang raib. ''Kalau sudah begitu, ya bisa tutup usahanya,''. (Sabtu, 04 Juni 2005- www.republika.co.id) Kabar terakhir dari Buletin Malam, Berita malam RCTI : pk. 24.20 Microsoft berencana akan mendirikan pusat risetnya yang kelima di Indonesia setelah AS, India, Cina. Sevagai imbalannya, Microsoft tidak akan menindak pengguna software ilegal hingga Undang-undang Hak cipta selesai dibuat.Apa iya ?