PERPECAHAN DI TUBUH BERINGIN


Jakarta, 15 Sep (KdP),-

Namanya juga politik tak ada kawan yang sejati. Hari ini kawan esok bisa saja menjadi lawan. Itulah adagium yang terkenal untuk di gelanggang politik. Bahkan ada anekdot yang cukup miring menggambarkan bagaimana jahatnya para politisi: "Jika orang miskin bertanya besok kita makan apa. Politisi bertanya besok siapa yang akan kita makan."

Kawan menjadi lawan itu sekarang sedang terjadi di tubuh Golkar. Pertarungan memperebutkan jatah kursi di legislatif itu berlangsung di tubuh Pimpinan Pusat Kolektif Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (PPK Kosgoro) -- salah satu Kelompok Induk Organisasi (Kino) Golkar.

Pertarungan itu berawal ketika beberapa kader Kosgoro menghilang namanya dari daftar calon legislatif yang saat ini sedang di godok oleh Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya (DPP Golkar). Keruan saja ini membuat para pengurus PPK Kosgoro berang. Lewat nota protes yang disampaikan pada wartawan Jum'at (13/9), PPK Kosgoro menyebutkan ada praktik politik dari sementara fungsionaris DPP Golkar sehingga jumlah kader Kosgoro menurun di Golkar. Para fungsionaris itu memang sengaja tidak mencalonkan sebagian besar fungsionaris PPK Kosgoro. Orang yang dituduh paling bertanggung jawab dalam soal itu adalah Agung Laksono. Sebab bos ANteve itulah yang ditugasi dalam perekrutan caleg Kosgoro.

Bahkan Ketua Bidang Ekonomi Anton Siliangi mengatakan, "Agung secara sengaja tidak mencalonkan sebagian besar fungsionaris PPK Kosgoro." Yang lebih pahit, orang nomor satu di Kosgoro, Bambang W Soeharto, menempati nomor urut sepatu. Bagaimana tidak Bambang yang juga anggota Komnas HAM berada di nomor urut 90.

Akibat perbuatannya Agung kemungkinan akan dikenakan sanksi organisasi. Tapi sayangnya Anton tidak menyebutkan sanksi apa yang akan dikenakan pada Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar itu.

Soal pembagian kursi legislatif ini memang ibarat percikan api yang suatu saat dapat membesar. Konflik diam-diam itu sekarang sedang merambat ditubuh OPP bernomor dua ini. Kabarnya Jum'at (14/9) malam yang sedianya para pejabat teras Golkar akan rapat di Slipi mendadak batal. Sebab daftar caleg yang sudah disusun oleh DPP belum di-acc oleh Dewan Pembina. Beberapa sumber mengatakan bahwa KSAD Jend. Hartono mencoret beberapa nama dalam susunan caleg.

Memang agak sulit saat ini menjadi caleg di Golkar. Beberapa keputusan seperti tentang pembatasan usia maksimal 65 tahun secara tegas dipakai. Belum lagi sang calon maksimal dua kali duduk di DPR serta ketentuan PD2LT (prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas, dan tanpa tercela) yang menjadi benteng terakhir dalam penyaringan para wakil rakyat dari OPP berwarna kuning ini.

Akibatnya beberapa nama yang dianggap dissident karena bergabung dalam Yayasan Kerukunan Persaudaran Kebangsaan (YKPK) tak masuk dalam daftar. Mereka itu adalah bekas ketua umum KNPI Tjahyo Kumolo, Didiet Haryadi, Awang Faruk, Widjanarko Puspoyo, Postdam Hutasoit, Iskandar Madji dan Tadjudin Noer Said. "Padahal orang seperti Tadjoedin cukup vokal dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Contohnya waktu UU Lalu Lintas, ia termasuk salah satu yang memprotes UU itu," ujar seorang pengamat.

Dibersihkannya beberapa nama orang kritis dengan menggunakan rambu PD2LT sebenarnya hanyalah upaya menutupi de-Wahoni-isasi agar menjadi tidak kentara. Pembersihan ini memang telah mendapat dukungan dari Dewan Pembina. Saat menerima pengurus MKGR, Presiden menegaskan bahwa orang-orang yang bersuara lain dari sewaktu ia menjabat dulu pasti akan tergulung oleh keadaan.

Soal pembatasan usia maksimal 65 tahun bagi para caleg ini cukup merepotkan banyak pihak. Mungkin para elite Golkar mulai percaya pada pepatah Amerika yang mengatakan: "After thirty there is no revolutionary". Tapi desas-desus menyebutkan soal pembatasan usia dilakukan agar para legislator nantinya tidak lebih tua dari Siti Hardiyanti Rukmana dan Bam bang Tri Hatmodjo.

Sebab saat ini orang yang paling berkuasa dalam soal penentuan para caleg adalah Mbak Tutut dan Mas Bambang. Dengan demikian wibawa putra-putri presiden itu akan tetap terjaga dalam mengontrol gerak-gerik politik para anggota dewan. Hal inilah yang membuat bibit konflik hidup subur. Ibarat tanaman perdu yang merambati beringin. Semakin terkena hujan semakin subur perdu itu.

Sebenarnya jika ditilik ke belakang orsospol yang selalu menang dalam pemilihan umum ini tak pernah sepi dirundung konflik. Faksi-faksi selalu muncul dalam setiap periode kepengurusan. Pada tahun 1973 Golkar mengalami perpecahan yang lumayan serius. Kala itu tubuh beringin terbelah menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok Hankam yang diwakili Murtono, Gank Tanah Abang yang terdiri dari Sapardjo, Yusuf Wanandi, Cosmas Batubara, Middian Sirait dan Rahman Tolleng. Serta Rahardjo dan dan Manihuruk dari Korpri.

Mereka saling sikut saat memperebutkan posisi menjelang Munas I pada tahun 1973. Murtono yang mewakili kelompok Hankam berhasil mempecundangi Ali Moertopo yang berasal dari kelompok Tanah Abang. Jabatan ketua umum akhirnya dipegang oleh Murtono, walau beberapa pos penting seperti sekjen dan bendahara dikuasai oleh orang-orang Tanah Abang.

Tahun 74 perpecahan semakin tajam. Beberapa intelektual di Golkar dari Bandung dicurigai terlibat dalam peristiwa Malari. Rahman Tolleng Sekretaris Bidang Petani dan Nelayan di Golkar ditahan oleh militer dan dipecat dari Golkar.

Mahasiswa dan cendikiawan akhirnya terpecah menjadi dua kelompok : Kelompok Bandung dan Kelompok Yogya. Tapi anak-anak dari Bandung dikenal lebih kritis ketimbang rivalnya dari Yogya. Kaum muda Bandung sering mengkritik tentang korupsi dan penyelewengan yang banyak terjadi dalam tubuh pemerintahan.

Menjelang Munas II nya tahun 1978 kembali "perang terbuka" terjadi di tubuh Golkar. Saat itu para sesepuh eks Kino melontarkan kritik pedas bahwa Golkar belum mengakar di masyarakat. Organisasinya pun mirip Departemen dan masih sangat bergantung pada birokrasi dan militer. Akibat kritik tajamnya itu nama ketua Kosgoro Mas Isman dan Ketua Soksi Suhardiman menghilang dari kepengurusan DPP periode 1978-1982.

Menjelang Pemilu 1992 ontran-ontran kembali terjadi. Penyebabnya adalah ketika mantan Menko Kesra Alamsyah Ratu Perwiranegara memobilisir doa politik. Dalam doa bersama yang dilangsungkan di Balai Sidang itu, mereka memohon pada Tuhan agar Pak Harto diberi kekuatan untuk memimpin kembali. Bahkan secara eksplisit mereka sepakat mencalonkan kembali Soeharto sebagai Presiden untuk masa bakti 1993-1998.

Kontan saja kebulatan tekad itu dikecam oleh sesama anggota Golkar sendiri. Pasalnya DPP saat itu belum bersepakat untuk menyebut calon presiden dari Golkar. Bahkan Wahono sendiri yang kala itu Ketua Umum Golkar marah atas tindakan Alamsyah. "Pak Wahono merasa di fait accompli oleh Alamsyah," ujar seorang sumber.

Tapi walau Golkar sering diterpa oleh konflik internalnya, tapi mesin pemilu bentukan Orde baru ini selalu dapat mengatasinya. "Walau airnya keruh tapi ikannya tetap kena," ujar sumber tadi. Ini tak lain berkat kewibawaan Presiden Soeharto sebagai orang yang menduduki posisi Ketua Dewan Pembina.

Dewan Pembina adalah posisi kunci dalam menentukan gerak langkah Golkar. Ia dapat membatalkan semua keputusan DPP. Bahkan Dewan Pembina dapat membekukan organisasi. Andai saja tak ada Soeharto, apa jadinya Golkar?***(mk1)

Kabar dari PIJAR Information Service Published by: PIJAR Indonesia Send your subscription to: kdpnet-admin@usa.net PGP Public Key available on request