Bukan angkat tangan, tapi angkat kepala

Kemelutnya keadaan politik Indonesia telah juga memaksa Abdurrahman Wahid untuk menduga bahwa "pada tahun 1999 ini akan terjadi kerusuhan sosial yang mengarah chaos, bila dialog nasional yang digagasnya gagal dilakukan". Ia menunjukkan jalan keluar bahwa "revolusi sosial harus dicegah" dan "salah satu upaya adalah dengan mengembalikan kewibawaan aparat". Sebagai penabuh bedug, ia mendesak Jendral Wiranto untuk "melaksanakan aturan yang telah dibuat ABRI sendiri, seperti tembak ditempat"(Gus Dur didalam dialog nasional di Jakarta tgl 10.2 yang bertemakan "Menangkal Revolusi Sosial").Apa yang disampaikan Gus Dur ini merupakan setengah kebenaran.

Akar persoalan

Bangsa Indonesia setelah berhasil merebut kekuasaan politik dan memerdekakan diri dari kolonialisme Belanda mewarisi struktur ekonomi kolonial yang parah. Keparahan struktur ekonomi ini ditandai antara lain oleh terbelakangnya cara produksi, rendahnya tingkat pengetahuan penduduk, sangat sedikitnya kekayaan alam yang digali kecuali penggalian beberapa pertambangan yang diabdikan untuk memenuhi kepentingan kaum kapital monopol penjajah Belanda, serta ekonomi dalam negeri yang tidak menyerasikan perkembangan industri dan pertanian melainkan perekonomian yang diorientasikan pada kebutuhan kaum kapital monopol international.

Bertitik tolak dari hal tersebut. maka tugas utama negara adalah membangun basis ekonomi secepat mungkin, karena berhasil atau tidaknya pembangunan basis ekonomi nasional yang disesuaikan dengan kekuatan rakyat sendiri menentukan hidup atau matinya republik.

Berdiri diatas kaki sendiri atau mengandalkan bantuan negeri-negeri industri maju.

Dari sekian banyak konsepsi pembangunan basis ekonomi, yang ujudnya mengambil bentuk kongkrit terutama pada waktu-waktu menjelang tahun 1965 pada pokoknya berkisar pada dua konsepsi dasar ialah konsepsi pembangunan ekonomi atas prinsip berdikari atau atas dasar mengandalkan pada bantuan negeri-negeri industri maju , kata lain dari import kapital.

Perselisihan antara dua konsepsi dasar yang berjalan lama diatas jalan damai itu telah berakhir untuk sementara dengan menangnya konsepsi pembangunan basis ekonomi yang mengandalkan bantuan luar negeri, suatu kemenangan yang dicapai lewat kekerasan senjata ABRI dibawah Soeharto pada kwartal terakhir tahun 1965 diatas bergelimpangannya jutaan mayat rakyat Indonesia.yang tak bersenjata.

Dibawah dikte kaum imperialis, Soeharto memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh negeri-negeri maju industri demi peluncuran kredit. Pengembalian perusahaan-perusahaan asing Belanda dan Amerika yang telah dinasionalisasi kepada pemiliknya secara cuma-cuma, dibentuknya konsursium international (IGGI,CGI), diberlakukannya undang-undang penanaman modal yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal asing, diambrukannya pengusaha-pengusaha nasional dan dijualnya dengan murah tenaga buruh serta kekayaan alam kepada perusahaan-perusahaan raksasa asing, adalah tonggak-tonggak zaman orde baru yang mengawali tegaknya kembali kolonialisme di Indonesia.

Dengan kesempatan seluas-luasnya, konsepsi pembangunan basis ekonomi neokolonial diterapkan sepenuhnya dengan bantuan tokoh-tokoh PSI, antara lain Profesor Dr. Soemitro Jojohadikusumo, Profesor Emil Salim, Sadli dan tokoh-tokoh ekonom PSI lainnya. Dengan dalih untuk menjaga kestabilan nasional, yang tak lain menjaga kepentingan kaum kapital monopol negeri-negeri maju untuk merampok kekayaan rakyat Indonesia, orde baru menggilas habis setiap kekuatan oposisi yang berani menetang kebijaksanaan orde baru dibawah 5 perangkat undang-undang serta ancaman senjata ABRI.

Bantuan kredit yang pengembalian hutang dan bunganya diharapkan dari devisen sebagai hasil eksport mengalir dari bank-bank swasta dan negara dari negara-negara industri maju dengan amat derasnya walau semenjak tegaknya sistem orba anggaran pendapatan dan belanja negara tampak mengalami defisit yang sangat jomplang. 32 tahun lamanya, orba sebagai "sistem" telah memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk membuktikan kebenaran konsepnya yang katanya akan mempercepat pengubahan Indonesia yang terbelakang menjadi negeri industri kuat, negeri modern. Si Macan Asia. Namun hasilnya?

Krisis moneter, gejala awal yang mengiringi akan datangnya krisis umum dunia ekonomi kapitalis menyerempet bangunan ordebaru dan mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi ekonominya. "Modernisasi" Indonesia yang oleh negeri-negeri industri maju dibangga-banggakan sebagai proyek yang berhasil dan menuju negara industri besar macan Asia tersingkap sebagai proyek pembangunan macan kertas atau raksasa berkaki tanah liat belaka.

Dan alhasil, setelah 32 tahun, terbuktilah dengan sangat cemerlangnya kebenaran konsepsi berdikarinya Bung Karno bahwa jalan pembangunan yang menyandarkan atas kaki orang lain adalah jalan pembangunan neokolonialisme ,jalan menuju malapetaka. Dampak peluru berlapis madu yang berujud bantuan kredit baik privat atau negara dari negeri-negeri industri maju terbuktilah kebenarannya. Rasanya manis tapi mematikan !

Disaat dimana pembangunan atas jalan neokolonialisme menunjukan kebangkrutan totalnya,pemuda-pelajar Indonesia telah menfaatkan sebaik2nya momentum, bangkit dan berjuang dibarisan paling depan ikut bergerak untuk menggulingkan rezim Soeharto. Dan Soeharto akhirnya turun panggung, sistem yang ditinggalkan remuk redam dan beban hutang 140 milyard USD dari bantuan luar negeri "tak berpamrih" ditimpakan kepada rakyat yang selama ini dihinakan, ditindas dan dirampoknya. Perjuangan klas semakin meruncing dari hari kehari. Setiap orang dituntut untuk memberikan sikap ialah membiarkan diri tenggelam dalam barbar orde baru atau bangun berjuang bersama untuk menghancurkan orde baru, sumber malapetaka.

Bisakah reformasi berlangsung kalau masalah kekuasaan negara belum terpecahkan?

Kita menyadari, kemelutnya situasi politik yang tak kunjung akhir ini adalah disebabkan bahwa perjuangan kekuatan-kekuatan demokrasi yang dibaris terdepannya adalah kekuatan pemuda pelajar yang telah berhasil mengenyahkan Soeharto tidak berhasil memecahkan masalah vital dalam suatu perubahan ialah masalah kekuasaan negara, yah kekuasaan politik negara. Kekuasaan politik negara tidak berhasil direbut dan apalagi dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pro demokrasi. Kekuasaan negara hanya mengalami pemindahan dari tangan Soeharto ketangan Habibie. Soeharto enyah tapi Soehartoisme tetap tegak. Tiang utama kekuasaan negara orde baru ialah militer, polisi, penjara dan aparat birokrasinya sama sekali tidak berubah.

UU Pemilu, terjaminnya kursi ABRI baik di MPR dan DPR, konspirasi jahat antara Habibie dan Jaksa Agungnya Ghalib yang terbongkar lewat pembicaran teleponnya yang tersadap, menunjukkan dengan se-nyata-nyatanya, bahwa orba tetap tegak dan sekaligus menelanjangi ilusi kaum reformator orba.

Masalah terpokok dari setiap perubahan radikal adalah masalah kekuasaan. Begitu vitalnya masalah kekuasaan negara ini, Gus Dur-lah orang pertama yang membawakan kebenaran masalah ini kehadapan kaum pro demokrasi. Disaat, dimana Megawati melabrak dan menuntut pengusutan terhadap penguasa atas tindakannya yang menyerbu gedung PDI sekitar dua tahun yang lalu, Gus Dur disamping memperingatkan juga menganjurkan Megawati untuk mengurungkan niatnya, karena tindakan ini sangat berbahaya karena menyentuh kekuasaan negara. Yang dengan demikian Gus Dur hanya menunjukkan setengah kebenaran tentang arti penting kekuasaan negara, karena konsekuensi logis darinya ialahbahwa tugas utama kaum pro demokrasi yang pertama-tama ialah merebut kekuasaan negara, yang diatas puing-puing kekuasaan negara yang telah direbut dan dihancurkan itu akan ditegakkan kekuasaan negara yang sama sekali baru yang mengabdikan pada kepentingan terbanyak rakyat Indonesia. Oleh Gus Dur, diharapkan gerakan perlawanan mahasiswa tetap tinggal sebagai gerakan yang tidak mempunyai strategi politk apalagi bestrategi merebut kekuasaan politk negara.

Pelajaran yang ditarik oleh rakyat Indonesia semenjak 65 sampai sekarang ialah bahwa Soeharto untuk berhasil mengubah Indonesia menjadi negara neokolonial, maka masalah pertama dan utama yang lebih dahulu dipecahkan adalah masalah kekuasaan negara. Karena itulah Soeharto , dengan tidak memperdulikan moral, pada bulan Oktober 65 merebut kekuasaan negara dari tangan Bung Karno dengan cara yang kebiadabannya tak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Alat utama yang dipakai Soeharto ialah ABRI serta metode yang dipakai ialah perang kilat terhadap rakyat yang tak bersenjata. Baru setelah kekuasaan negara berhasil direbutnya, Soeharto baru memiliki kemungkinan-kemungkinan sangat luas untuk merealisasi segala idenya untuk membangun Indonesia yang sesuai dengan konsepnya. Dengan kekuasaan negara ditangannya, Soeharto mempunyai kemungkinan seluas-luasnya untuk melakukan reformasi-reformasi yang disesuaikan dengan kepentingannya ialah mengabdi pada kepentingan kaum modal raksasa negeri-negeri industri maju. Inilah kebenaran dalam kenyataan yang oleh Soeharto maupun Gus Dur tidak boleh dipahami oleh Rakyat. Karena sekali rakyat menyadari akan arti pentingnya kekuasaan negara maka berdengunglah sudah lonceng kematian orba. Selain dari itu Gus Dur telah melompati pagar pekarangannya terlalu jauh, ialah meminta kepada Jendral Wiranto untuk menepati perintah tembak tempatnya, suatu perintah untuk menembak kaum pro demokrasi yang berani meneruskan perjuangannya. Gus Dur bukan seorang dungu, karenanya tidaklah mungkin bilamana Gus Dur pura-pura tidak tahu(?) bahwa peluru yang menembus dada rakyat di tahun 65, kaum muslim di Tanjung Priok serta pejuang-pejuang demokrasi tak bersenjata sampai sekarang keluar dari laras senapan ABRI?.

Gus Dur tidak berkepentingan untuk menunjukkan kebenaran kepada masyarakat, bahwa ABRI adalah alat paling utama kekuasaan negara Orba selain kepolisian, penjara dan aparat birokrasi pemerintah. Dia tidak berkepentingan menujukkan kebenaran, bahwa ABRI adalah alat represif yang tangannya berlumuran darah. Kebenaran ini diusahakan hanya untuk menjadi milik pribadinya saja, sedangkan kepada rakyat ia berkotbah sesat, bahwa ABRI katanya adalah anak rakyat yang tugasnya melindungi negara dan bangsa, dan karena itu ia ikut menyokong serta menuntut dilaksanakannya seruan jendral Wiranto, agar ABRI menembak tempat bagi para perusuh, yang tak lain ialah kaum pejuang-pejuang demokrasi yang sekarang bergerak dimana-mana. Karena itulah dalam menghadapi situasi yang semakin gawat ini, Gus Dur bukannya berseru kepada ibu-ibu untuk memanggil pulang anaknya yang menjadi prajurit ABRI agar melihat kehidupan menyedihkan tetangga-tetangga dikampung halaman .Bukan seruan semacam itu yang dia keluarkan dan bukan juga seruan yang memerintahkan anak-anaknya untuk menanggalkan senjata apalagi membalikkan laras senapan kearah jendral-jendral yang memberi perintah tembak. Bukan, oh bukan itu yang diucapkannya... melainkan cegah revolusi dan tembak tempat bagi pelanggar, perintah yang selama ini hanya keluar dari jendral-jendral fasis ABRI.

Sedia payung sebelum hujan

Kalau disini pelajaran-pelajaran yang ditarik dari sejarah Indonesia, terutama semenjak tahun 65 disegarkan kembali pada ingatan apakah berarti bahwa sekarang juga dan dimanapun juga perjuangan merebut kekuasaan negara dengan laras senapan harus dilakukan?

Manusia berbuat sesuatu akan berhasil kalau sesuai dengan syarat-syarat obyektif yang ada. Bentuk kemelaratan hidup serta kemarahan meluap-luap rakyat atas kemelutnya situasi politik dan ekonomi negeri belum tentu pasti berkembang kebentuk tertinggi nya. Karena untuk tiba pada bentuk perlawanan tertinggi, rakyat harus mepunyai kesadaran untuk apa mereka berbuat dan rela berkorban kalau perlu merelakan jiwa dan raganya. Untuk tiba pada kesadaran ini, kesadaran pada pentingnya menempuh jalan yang paling nyeri, orang yang sudah begitu menderitanya akan berfikir sepuluh kali lebih dahulu, karena orang berjuang justru untuk hidup dan bukannya untuk mati.

Namun pengalaman yang ditarik dari semenjak peristiwa 65 sampai sekarang mengajarkan, bahwa perjuangan rakyat untuk hidup yang terlalu mendambakan jalan damai dengan tidak diiringi persiapan untuk menghadapi jalan tidak damai yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi dengan ABRI-nya adalah jalan sangat berbahaya, jalan yang menuju malapetaka.

Situasi akhir-akhir ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Soeharto masih mampu menguasai alat-alat kekerasan dan sedang mengerahkan tukang-tukang centengnya, disamping masih bercokolnya ABRI di MPR sebanyak 38 kursi, jaminan bagi keselamatan kekuasaan orba. Dilain fihak, situasi terus berkembang dan menunjukkan gejala bahwa perjuangan klas akan berkembang ke bentuknya yang tertinggi. Adalah mudah untuk memahami, bahwa dalam situasi seperti saat ini kekuatan2 gelap disekeliling Soeharto pasti siap , kalau perlu untuk melakukan peristiwa 65 edisi kedua demi kekuasaan yang dipegangnya. Disaat dimana pada perkembangannya nanti kekuasaan orba baru sudah measa tersentuh apalagi dibahayakan oleh hasil-hasil perjuangan kaum pecinta demokrasi sejati, naiflah kalau kita tidak mengetahui, bahwa kekuatan-kekuatan gelap ini akan mengerahkan semua kekuatan terakhirnya Dari sini timbullah masalah pokok yang kita hadapi pada saat sekarang ialah perlunya mengadakan usaha-usaha serta melakukan persiapan-persiapan tertentu untuk menghadapi bahaya yang bisa datang pada setiap saat.

Ditengah-tengah hiruk pikuknya persiapan menuju pemilu yang tidak demokratis, kekuatan-kekuatan demokrasi pada saat ini mendapatkan kesempatan-kesempatan tertentu untuk bisa menyampaikan kepada massa rakyat yang luas kebenaran-kebenaran sejati. Bukannya berproganda akan pentingnya pemilu pada saat sekarang, melainkan dengan berani dan pandai menelanjangi Soeharto beserta orbanya, yang selama 32 tahun terakhir menjungkirbalikkan sejarah, serta berproganda pentingnya rakyat melakukan persiapan untuk menangkal bahaya yang setiap saat bisa tiba.

Dalam artian inilah kami menyokong seruan Bintang Pamungkas dari PUDI untuk membentuk people power, suatu bangunan yang ujud kongkritnya hanya bisa direalisasi lewat pembangunan dewan-dewan rakyat di-seluruh negeri sebagaimana diserukan dan dilakukan oleh PRD. (Partai Rakyat Demokratik.red) Hanya People Power yang dibangun dan dibela mati-matian oleh kekuatan rakyat, maka kita akan berhasil memaksa ABRI untuk tidak menggunakan kekerasan senjatanya, karena pemuda-pelajar dalam tradisinya pernah memiliki tentara pelajar dan rakyat pernah memiliki laskar-laskar rakyatnya sendiri.

Marilah kita buat jadi kenyataan proyek people power. Burung berkicau diseluruh negeri menunggu sahutan kawan!

(Adi Dewantoro)


Kembali ke Daftar Isi