Islam versus Demokrasi ?
Oleh: I Gusti Nyoman Aryana


Islam sudah lenyap dari peredaran sejarah – kata Hegel (1770 – 1831). Ternyata sebaliknya. Islam malah makin ‘in’. Buktinya, seperempat penduduk dunia (kira-kira 1,4 miliar) adalah muslim. Namun anehnya, tatkala Islam makin populer disatu pihak, lantas dipihak lain muncul ketakutan terhadap Islam politik. Mungkinkah Islam-fobia terjadi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam? (tanya Nasir Tamara lih. Adam Schwarz 1994:162). Memang nyatanya demikian. Sepertinya ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam. Sumber fobia tersebut memang sulit dilacak. Kendati demikian, ...’bahaya Islam’ datang pertama justru dari orang-orang yang selalu mengingatkannya kepada orang lain – kata politolog perancis Xavier Bougarel. Lalu cara untuk mengatasinya? Yang bisa dilakukan barangkali adalah ya... mengurangi ketakutan tersebut. Itulah maksud serta tujuan artikel ini.

Maksud artikel ini bukan hendak menyebar ketakutan. Bukan menganggap (bahaya) Islam enteng. Tetapi mencoba menyoroti hubungan dialektis antara gerakan sosial dan kekuasaan. Tepatnya perlawanan rakyat versus kekuasaan otoriter dalam Islam. Dengan mengambil contoh beberapa negara Timur Tengah – sebagai perbandingan.

Ringkasan sejarah politik Islam

Sejarah kebangkitan Islam memiliki dua faktor penting, pertama kejeniusan Muhammad SAW (570 – 632), kedua kondisi sosial sejarah Arab waktu itu. Keberhasilan Nabi konon, berkat keahlian dia memadukan agama, tehnik perang dan politik. Sedangkan tatanan masyarakat waktu itu juga membutuhkan kehadiran seorang pemimpin revolusioner. Pemimpin yang bisa menjadi panutan masyarakat luas.

Seperti halnya Nabi, seorang Imam memiliki fungsi ganda. Selain sebagai pemimpin religius – juga politis. Lantas timbul pertanyaan. Kalau demikian siapakah imam sejati – yang patut menjadi pemimpin? Dan ini bukanlah sekedar pertanyaan filosofis. Melainkan menyangkut masalah politik praktis. Sejarah telah membuktikan, sering terjadi pertumpahan darah, hanya untuk mendapatkan jawaban, siapa Imam sejati?

Zaman kepemimpinan Nabi – sampai saat ini – masih dianggap bentuk pemerintahan ideal. Beberapa clan berusaha memilih Imam mereka. Bahwasanya Islam melewati batas-batas kesukuan, untuk kali ini, dikesampingkan. Apakah kembali ke prinsip semula, atau, keadilan bagi semua muslim? Sampai sekarang merupakan masalah peka. Namun, sejarah Islam mengenal empat Imam kesohor sebagai kalifah penerus Nabi. Kalifah Umar sebagai Imam terbunuh tahun 644. Yang lain menyusul. Kemudian tatkala pemberontakan tahun 656 kalifah Usman pun terbunuh juga. Menurut Al Quran, sebagai muslim tak boleh membunuh muslim. Dan juga yang lebih kontroversial konflik antara Ali dengan Siti Aisyah, seakan-akan terjadi perang muslim lawan muslim. Kemudian sejak terjadinya konflik kubu Ali dengan Mu´awiah timbul benih-benih perpecahan dalam Islam antara Sunni dan Syi’ah. Syi’ah memiliki konsep Imamah, yang berpegang pada Ahlul-Bait, yakni para keturunan Nabi. Sedangkan Sunni berpegang teguh pada konsep Khalifah. Terutama empat Khalifah awal sepeninggal Nabi.

Tradisi filosofi politik dalam Islam – menurut Bassam Tibi – lemah. Alasan; karena Agama dipakai alat politik. Artinya politik bukan merupakan domain tersendiri – untuk berfikir dan bertindak. Apakah percarian seorang Imam hanya berdasarkan Al Quran atau lewat akal manusia sebagai sumber juga dapat diakui? Sementara filosofi rasional memutuskan untuk memilih akal, Islam konervatif memilih Al Quran – sebagal satu-satunya sumber. Filosofi buat kaum konservatif sama dengan bid’ah.

Filosof Islam cemerlang pada zamannya yakni Al Farabi (870 – 950), Ibn Sina (980 – 1035), Ibn Rushdy (1126 – 1198), yang di Eropa cuma dianggap sebagai penerjemah atau komentator filosofi Yunani. Al Farabi mengajarkan cara berfikir rasional. Yang dengan kata lain filosofi politik dalam Islam. Seorang Imam sebagai kepala negara haruslah seorang filosof yang brilian, kata Farabi (Al Madina Al Fadila), sebuah konsep negara ideal. Ketiga filosof diatas mencoba memperkenalkan cara befikir rasional kedalam Islam. Sedangkan pemikiran kaum konservatif diwakili antara lain Al Mawardi (974 – 1058) dan Ibn Taymiah (1263–1328). Keduanya mencari jawaban untuk menyesuaikan bentuk negara yang ada berdasarkan norma-norma Qur’an dan Syari’ah. Mereka ini melayani kepentingan penguasa. Sembari memberikan pembenaran atas prilaku imam berdasarkan interpretasi yang sesuai dengan yang ada di Kitab suci. Seandainya realitas berbeda dengan norma-norma dasar yang tertera di kitab suci – lantas bagaimana? Maka dipakailah pedoman dari hukum Islam Darurat. Sebagai contoh, Ibn Taymiah me ninjau kembali doktrin Islam se suai dengan fakta sejarah. Sehingga beberapa imam dalam kurun waktu bersamaan dapat memerintah dan memimpin umat. Untuk menentukan seorang pemimpin (penguasa) pemilihan umum tak diperlukan.

Sesuai perkembangan sejarah, muncul pemikir Islam, Ibn Khaldun (1332–1406) yang mencoba, menerangkan dunia real secara rasional. Dia berusaha membedakan antara otoritas religius dan politis. Kesimpulannya; Khalifah bukanlah seorang Imam religius. Melainkan hanya aktor politik, Selain itu Ibn Khaldun – menurut Bassam Tibi – termasuk pencetus teori sosiologi historis bagi peradaban manusia.

Peralihan dari Abad Pertengahan ke Modern terdapat beberapa aliran pemikiran politik Islam. Islam reformis, Rifa Al-Tahtawi (1826–1883), yang mengatakan bahwa seorang Imam hendaknya belajar di Eropa – untuk mengembangkan dunia Islam. Berbeda dengan itu Al Afghani (1839–1897), menganjurkan seorang Imam harus berjihad untuk melawan kolonialis Eropa. Pembaharuan Islam kemudian dilanjutkan dengan orientasi sekuler abad 20. Ali Abdul Raziq – yang menulis buku Islam dan dasar-dasar kekuasaan – memisahkan politik dan agama. Terutama dengan maksud untuk menyelamatkan Islam dari perilaku buruk para penguasa.

Sementara debat tentang Islam dan Demokrasi saat ini dibayang-bayangi Fundamentalisme ...ternyata masih ada jalan lain. Pembahasan dibawah ini ditujukan untuk menerangkan alternatif tersebut.

Demokrasi Islam?
Kasus Timur Tengah

Apakah demokrasi identik kemenangan Islam? Apakah demokrasi berlawanan dengan ajaran Islam? Bukanlah persoalan enteng. Namun yang jelas, aksi-aksi kekerasan kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam, kini semakin berkurang – kecuali GIA di Aljazair. Sebaliknya, gerakan Islam – tanpa kekerasan – makin populer. Demikian menurut kalangan pengamat politik Timur Tengah (NZZ: Neue Züricher Zeitung)

Masih menurut NZZ. Seandainya di Maroko atau Pakistan diadakan pemilu fair, kemungkinan besar partai-partai Islam bakal menang. Pendapat ini didukung berdasarkan realitas sosial di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bagaimana hubungan dialektis antara penguasa dan gerakan rakyat revolusioner, tidak banyak yang (mau) tahu.

Akan tetapi kalau terjadi kekacauan (jika penguasa merasa terancam), maka media massa otomatis memberitakan secara berlebihan. Kalau menghadapi perlawanan rakyat, semua penguasa (Aljazair/Turki/Mesir/Jordania/Maroko/Tunesia/Syria/otonomi Palestina) sama saja. Represif. Penguasa menggunakan berbagai macam cara. Untuk menindas gerakan rakyat Islam. Yang legal serta mendapat simpati masyarakat luas. Dari kondisi sosial revolusioner seperti ini kemudian muncul slogan singkat. Demokrasi berarti kemenangan politik Islam! Ini kalau menurut kalangan islamis timur tengah. Namun hingga saat ini ternyata baru Iran dan Sudan yang mengklaim sebagai pemerintahan Islam revolusioner. Revolusi Iran dipelopori mahasiswa, pemuka agama serta kelompok sosial lain, dua puluh tahun yang lalu. Sedangkan Sudan lebih banyak merupakan hasil rekayasa militer.

Penguasa otoriter vs. Rakyat revolusioner

Pengalaman Islam berdemokrasi justru dihambat cara-cara yang sama sekali tidak demokratis. Contoh: Aljazair. Yang celakanya, justru selalu dengan alasan untuk ‘melindungi’ demokrasi. Akhir 1991 rezim militer menganulir pemilu. Kenapa? Karena FIS (Front Islamique du salut) diperkirakan pasti menang. Contoh lain: Mesir. Mubarak yang didukung militer menolak eksistensi Moslem Brotherhood, walaupun mereka telah menyatakan diri antikekerasan, menghargai prinsip-prinsip demokrasi. Contoh lain lagi: Hamas. Gerakan rakyat Palestina selama Intifada. Terdiri dari murid/mahasiswa, pengangguran dll. (setelah perjanjian Oslo) dinyatakan sebagai GPK – kemudian dilarang. Setelah terjadi aksi peledakan bom dibadan, lantas Amerika (apalagi Israel) malah pura-pura bingung – menggunakan alasan tersebut untuk mengultimatum Arafat agar menangkapi aktivis Hamas. Kalau di Turki lain lagi. Militer secara bertahap mendongkel Erbakan (ketua partai Refah=kesejahteraan) dari kursi kekuasaan. Kendati insinyur tamatan Jerman ini tak menolak kerjasama militer Turki-Israel serta menyanggupi menutup sekolah-sekolah Islam yang didirikannya. Kini nasib Refah – sejak 16 Januari 1998 dinyatakan bubar – tak menentu. Dikabarkan pula, di Jordania, Front Pekerja Islam – wadah 12 partai oposisi – digeser terus dari parlemen. Kendati demikian FKI tetap menggunakan cara-cara demokratis. Singkat: para pemimpin gerakan revolusioner rakyat Islam timur-tengah, kalau mereka tidak dipenjara, biasanya hidup di pengasingan.

Kriminalisasi oposisi

Kebanyakan rezim otoriter timur-tengah menganggap gerakan oposisi rakyat Islam sebagai bahaya laten utama. Karena gerakan Islam menelanjangi rezim yang tidak demokratis. Melanggar HAM. Korup. Kurang kompeten menangani masalah. Dan.... selalu mendukung kepentingan politik USA. Itulah sebabnya kenapa rezim-rezim tersebut memusuhi kelompok-kelompok Islam radikal (radikal = mengakar). Kelompok islamis revolusioner disebut rezim sebagai teroris. Memang penggunaan kekerasan terjadi. Namun harus diakui pula bahwa politik kekerasan, kelas penguasa, cepat atau lambat bakal mengakibatkan eskalasi kekerasan pula. Kaum ekstremis – demikian penguasa menyebutnya – menggunakan kekerasan – kerena itu kita hajar. Penguasa otoriter secara sadar dan sistematis membuat mereka menjadi teroris. Karena rezim lebih senang menghadapi teroris – ketimbang berdialog baik-baik dengan pemimpin oposisi.

Saat ini banyak warga muslim yang tidak memiliki pilihan lain. Kecuali, disatu pihak hidup dibawah penguasa otoriter. Dipihak lain menyaksikan pembantaian yang dilakukan kelompok ekstremis (ekstrem = berada diluar jalur hukum). Oleh karena itu, kita tak boleh sembarangan menilai gerakan (sosial/politik/kultural) rakyat Islam. Kenapa? Karena, salah menilai – secara tak langsung – berarti kita memberi dukungan moral terhadap rezim otoriter. Hingga saat ini, negara-negara barat tak mau terlalu ambil pusing, Amerika Serikat dan Uni Eropa selalu mendukung rezim-rezim otoriter dengan stabilitas semu yang ditopang kekuatan militer – dan bukan mendukung gerakan rakyat pro demokrasi. Moral politik barat bermuka dua. Dapat dilihat tatkala konflik/perang teluk (1991) meledak. AS mendukung penuh penguasa ultra konservatif Saudi, Kuwait dll. Dalam waktu yang relatif bersamaan AS juga memusuhi Iran. Namun dengan terpilihnya Mohammad Khatami sebagai presiden yang pro demokrasi menyebabkan AS kebingungan.

Partner koalisi

Buat borjuis kecil, tak terbayangkan kalau dimasa mendatang kita akan berurusan dengan Islam politik. Terutama dalam konteks sistem pemerintahan. Namun dalam jangka waktu pendek, Islam belum memperlihatkan tanda-tanda bakal mengambilalih kekuasaan – model revolusi Iran. Karena belum memiliki kemampuan untuk itu. Disamping itu, islamisme (interpretasi ajaran-ajaran Islam dalam wacana sistem politik moderen) boleh dibilang relatif baru. Kalau dihitung sejak 1989. Tatkala konflik ideologi barat-timur berakhir. Sambil menunggu proses pendewasaan – bagaimana jika para islamis dijadikan partner koalisi dalam pemerintahan? Dua hal penting yang patut diamati. Pertama yakni Iran tampil semakin moderat. Yang kedua munculnya pemikiran-pemikiran baru (nasionalisme Islam, humanisme Islam atau konsep masyarakat Islam madani dan lain sebagainya). Bukankah ini berarti bahwa elemen-elemen Islam telah berintegrasi, baik nasional maupun internasional? Bukankah Islam tidak bertentangan (100%) dengan ide demokrasi liberal? Lantas sebaliknya kasus Aljazair, selama 5 tahun, telah menelan kurban jiwa – paling sedikit 26.000 (kalau menurut DIE ZEIT) hingga 80.000 (kalau percaya FAZ: Frankfurter Allgemeine Zeitung). ‘Cara Aljazair’ telah menjadi bukti: buntu! Apa yang dilakukan jenderal-jenderal reaksioner terhadap kaum islamis (begitu juga sebaliknya) terbukti cara yang paling kotor, kontra produktif, merugikan semua pihak. Terutama rakyat kecil tak berdosa. Kalau begitu – masih soal Aljazair – seandainya kaum islamis yang berkuasa? Apa yang kira-kira dilakukan terhadap lawan politik mereka? Kalau FIS yang menang pemilu yang fair dan demokratis, kemungkinan besar tak ‘kan ada penjarahan, pembantaian, pemerkosaan dll. Lantas kalau ternyata itu dilakukan juga? Pertanyaan ialah: Siapa pelakunya dan apa motivasi mereka?

Selama kita memprioritaskan stabilitas semu diatas demokrasi – dan mempercayai omongan rezim otoriter, kleptokrat korup, maka tidak akan ada komunikasi. Tanpa komunikasi, demokrasi tak mungkin terwujud (Habermas). Maka jangan heran kalau dimasa depan kita akan melihat HAM, emansipasi wanita, modernitas dan lain sebagainya makin kehilangan makna dan pengaruh. Yang menjadi faktor penghalang ialah elemen-elemen ultra konservatif masyarakat Islam itu sendiri – terutama di timur tengah. Sebaliknya, baru-baru ini dikabarkan pula kelompok wanita Iran tengah berhasil memperjuangkan hak-hak mereka justru berdasarkan Al Quran, Disamping itu perlu juga diketahui bahwa sebagian besar kekacauan (baca: kalau penguasa terancam) yang selalu dikurbankan pasti kepentingan rakyat banyak. Dan, ini dilakukan, sekedar untuk memelihara hubungan mesra penguasa dengan negara-negara donor/barat.

Pemikiran demokratis Islam Indonesia
Apa yang harus ditakuti?

Menurut William Liddle pemikiran Islam Indonesia dapat dibagi kedalam tiga kelompok. Pertama indigenist yaitu kelompok yang percaya bahwa Islam universal. Namun prakteknya Islam tak dapat dilepaskan dari budaya setempat. Kelompok ini mengakomodasi kepentingan umat Islam dengan pemerintah (Cak Nur dan Gus Dur). Yang kedua, kelompok sosial reformist yaitu gerakan yang menitikberatkan pada pemikiran dan aksi guna mengatasi berbagai kemiskinan dan ketimpangan sosial, yang masih melanda umat Islam sebagai akibat proses pembangunan yang bersifat top-down. Aliran ini bergabung dalam NGO. Mereka ini mencari alternatif yang bisa dijadikan model pembangunan. Aliran yang diwakili Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Moeslim Abdurrachman, sedikit banyak menggunakan teori ketergantungan (dependencia). Atau teori kritis dari mazhab Frankfurt (Marcuse cs.) Lalu yang ketiga universalisme yakni kelompok pemikiran yang percaya bahwa Quran dan Hadist, yang dibawa Nabi Muhammad Saw. sudah sangat sempurna. Dapat diterapkan langsung kepada masyarakat apapun. Jejak pemikiran ini dapat dilacak hingga sejak munculnya Muhammadiyah dan Masyumi. Sejak 1990an kelompok yang terwakili Amin Rais, AM Saefuddin, Jalaluddin Rakhmat dll. ini cukup kuat mewarnai arus pemikiran keislaman di berbagai kampus utama di Jawa. (Malik/Ibrahim 1997:56)

Ideologi ada tiga: liberalisme, sosialisme konservatisme. Namun faktor pengaruh budaya lokal terhadap ideologi hendaknya diperhitungkan juga. Ideologi, tak pernah melayang di udara. Ideologi, selamanya mengakar kuat dimasyarakatnya (Hobsbawn). Termasuk ‘ideologi’ Islam kaum mustadzafin, sebagai sebuah alternatif menuju demokrasi.

Penulis adalah seorang politolog, berdomisili di Berlin


Kembali ke Daftar Isi