Logika Dialektik
Dan
Gerakan Mahasiswa

Oleh: Luthfie Kamil

Hukum materialisme dialektik mengajarkan bahwa sebab kemajuan dan perkembangan dalam masyarakat didasarkan atas interaksi antara tiga kekuatan berikut: tesa, antitesa dan sintesa. Secara sangat sederhana dapat diterangkan, konflik atau ketegangan dialektik antara kekuatan penguasa dan rakyat dalam suatu masyarakat akan membentuk tesa dan antitesa dari masyarakat tersebut. Ini juga berlaku dalam artian luas, antara kekuatan pembela status quo dengan kekuatan pro-reformasi atau sikap konservatif dengan kaum progressif , kaum tertindas dengan pemeras yang menindas dll. Logika dialektik ini menganggap prinsip kontradiksi sebagai penyebab semua kejadian.

Konon di Amerika, orang Afrika hitam mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif dari penduduk lokal yang berkulit putih. Karena sering merasa terhina dengan penghinaan dibawah martabat kemanusiaannya, terjadi kebangkitan dari mereka untuk menentangnya. Konflik yang berbau rasialisme ini sempat menggoreskan darah yang pedih bagi lembaran sejarah kemanusiaan. Namun konflik dan ketegangan ini berakhir dengan munculnya syntesa kesadaran untuk menegakkan hukum bagi persamaan hak-hak semua orang di masa selanjutnya. Inilah salah satu contoh kecil proses dialektika antara tesa dan antitesa yang menghasilkan sintesa dalam kisah diskriminasi yang terjadi di Amerika 30 tahun yang lalu. Dan sekarang ini, sebuah fenomena mirip terjadi di masyarakat kita, bukan lagi antara orang berkulit putih dengan orang berkulit hitam, melainkan gerakan mahasiswa yang seolah-olah mewakili suara proreformasi dengan penguasa yang terlihat mempertahankan status quo. Hingga kejadian terakhir ini, kekuatan keduanya telah mengakibatkan korban berjatuhan. Sesuatu yang sangat kita sesalkan, sebab alih-alih kekuatan dengan menggunakan peralatan pemusnah nyawa manusia adalah perlambang dipancungnya makna kemanusiaan yang luhur dan yang muncul hanya gaya kaum barbar yang primitif.

Adalah awalnya merupakan pergolakan melawan musuh tunggal mahasiswa dan rakyat pro-reformasi, yakni kediktatoran Suharto. Gerakan mahasiswa ini merupakan cermin dari antitesa terhadap tesa yang ada, kekuasaan Suharto yang absolut. Kekuatan mahasiswa pro-reformasi ini akhirnya telah melahirkan sebuah syntesa awal dengan jatuhnya Suharto dalam mabuk kekuasaannya. Namun harapan baru dari sebuah langkah awal ini terhambat dengan adanya keraguan dari pihak penguasa baru dalam menggolkan agenda aspirasi masyarakat. Ini bisa terlihat dengan adanya penanganan KKN yang terlihat sangat lamban, Militerisme dengan dwi fungsinya yang masih ada dan kuat serta agenda-agenda lainnya yang tampak mengambang penanganannya. Sikap ragu-ragu yang melahirkan kebijakan semu ini merupakan bahaya sebenarnya yang akan menimbulkan konflik yang lebih besar, sebab bukan lagi dua sisi yang berlawanan, antara penguasa dengan rakyat namun juga bisa melebar pada terpecahnya kekuatan rakyat seperti yang terjadi saat ini, antara yang mendukung Habibie dengan yang kontra Habibie. Hal yang krusial ini semakin problematis dengan munculnya kepentingan politik yang bermunculan, hingga kadang-kadang untuk memaksakan kepentingan individunya, symbol-symbol agama dan etnik yang digunakan telah melahirkan permasalahan baru. Bahkan seringkali hipotesa semacam Umat Islam pendukung Habibie dan non-muslim penentangnya sudah menyeret pada opini mayarakat. Ini adalah akibat kebijakan bermata dua dalam menggolkan agenda reformasi. Dan gerakan Mahasiswa akan semakin menarik untuk kita telusuri sebagai penyandang aksi aspirasi pro-reformasi untuk benar-benar mendukung terciptanya sebuah kehidupan masyarakat yang demokratis.

Syntesa awal dengan jatuhnya Suharto ternyata bukanlah tujuan akhir gerakan reformasi. Untuk itu, gerakan mahasiswa yang muncul akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena kuat, dengan pandangan yang netral, untuk terus mengibarkan pesan demokratisasi yang memang tidak dapat sesaat tercipta. Sebuah kontradiksi yang masih ada dengan pesan aspirasi reformasi saat ini telah menimbulkan gerakan antitesa kedua oleh Mahasiswa. Dalam logika dialektika, kontradiksi melahirkan sebuah gerak. Gerak akan mengakibatkan munculnya beberapa perubahan yang bertahap. Dan gerakan mahasiswa sudah seharusnya tetap eksis untuk menimbulkan pula perubahan. Sebab seringkali menjadi sebuah kenyataan, tanpa adanya antitesa terhadap keberadaan penguasa dan kebijakannya, akan semakin melanturkan kebijakan yang jelas berseberangan dengan nafas reformasi. Untuk itu, kebijakan-kebijakan penguasa benar-benar perlu dikontrol sehingga benar-benar memberikan perubahan bagi terciptanya agenda reformasi yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Pesan dari logika ini tak lain adalah adanya eksistensi gerakan Mahasiswa merupakan tulang punggung bagi terciptanya perubahan yang berkelanjutan. Untuk itu, gerakan Mahasiswa tidak bisa berhenti pada titik-titik perubahan kuantitas, namun benar-benar bisa melahirkan perubahan kualitas. Perubahan kualitas ini merupakan sintesa yang akan menciptakan hukum-hukum dan kebijakan baru yang sesuai dengan semangat reformasi.

Hegel pernah memberikan contoh seperti ini: Jika kita memanaskan air, maka secara gradual air itu akan menjadi panas. Dari nol derajat ke satu derajat. Dari satu ke sepuluh hingga seratus derajat. Manakala derajat Celcius sudah sampai pada seratus derajat, tiba-tiba saja air itu berubah menjadi uap. Itulah kira- kira makna ungkapan" dari perubahan kuantitas menjadi perubahan kualitas". Ketika sampai pada seratus derajat atau lebih,sifat air akan berubah. Artinya, sesuatu yang sebelumnya adalah zat cair, kini berubah menjadi gas. Akibat perubahan ini, hukum yang sebelumnya mendominasi air, kini tidak dapat lagi menguasainya. Sebagai gantinya, datanglah hukum-hukum baru.Begitu pula perjuangan Mahasiswa, mungkin sementara ini baru menimbulkan perubahan-perubahan kuantitatif yang bersifat temporal, namun perjuangan ini tidak bisa putus selama proses menuju perubahan kualitas ini belum terwujud. Penghapusan KKN, dwifungsi ABRI dan sekaligus pelurusan kembali penafsiran Pancasila, hukum dan kebijakan-kebijakan lain yang selama ini keluar dari jalurnya merupakan proses perubahan kuantitatif. Jika perubahan ini telah mencapai hasil maksimalnya, maka akan muncul perubahan kualitatif dalam menciptakan masyarakat madani (civil society).

Maka, hukum-hukum baru akan tercipta untuk mendukung proses yang lebih sempurna bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Dan masyarakat akan dihadapkan dengan problem-problem baru sesuai dengan dinamika dan alur tuntutan masyarakatnya. Semua uraian diatas yang bersifat idealis ini hanya bisa dilakukan oleh semua pihak sebagai zoon politikon. Dan gerakan Mahasiswa tak lepas darinya sebagai wakil rakyat yang saat ini sangat relevan untuk terus meningkatkan derajat perubahan. Sikap mereka ini akan membuahkan pula pada kesadaran-diri dalam masyarakat luas dan kesadaran diri akan melahirkan gerakan dan kemajuan yang lebih besar dalam masyarakat. Sehingga akhirnya mimpi kita terwujud, sebuah kehidupan yang demokratis dan berkeadilan sosial. Wallahua`lam Bishawab.

Penulis adalah anggota API Indonesia, berdomisili di Berlin


Kembali ke Daftar Isi