EDITORIAL

" Tidak ada paralelitas antara Islam dan Demokrasi.....". Artinya, Islam secara inheren tidak sesuai dengan demokrasi, disamping juga tidak memiliki pengalaman demokrasi yang memadai. Demikian sebagian pendapat para pemikir demokrasi ( Barat ) - Huntington, Francis Fukuyama, dan Seymour Martin. Tesis mereka tentu diperkuat dengan kenyataan negara-negara Arab yang dianggap representatif mewakili model " negara Islam" ke dalam penelitiannya tentang perkembangan demokrasi. Benarkah demikian?.... Max I Dimont, seorang sejarawan Barat memandang bahwa selama 500 tahun dibawah pemerintah Islam, Spanyol ibarat tiga agama dan " satu tempat tidur". Islam, Kristen, dan Yahudi, hidup rukun dan sama-sama menyertai peradapan yang gemilang. Menurut Cak Nur, disinilah letak keberhasilan Islam dalam menjalankan prinsip pluralitas Islam di bumi Andalusia (Spanyol). Bukankah prinsip pluralitas memiliki nilai kuat ke arah demokrasi?... Jadi dimanakah letak perbedaan dalam memandang konsep demokrasi itu sendiri satu sisi dan Islam di lain sisi ? Karena ini kami turunkan edisi penerbitan SUARA DEMOKRASI kali ini dengan thema" Islam dan Demokratisasi".

Islam memang perlu diakui memiliki kandungan ajaran-ajaran yang meliputi berbagai bidang. Salah satu bidang yang tidak lepas dari sejarah Islam adalah Politik dan Kekuasaan. Menurut Donald Eugene Smith (1985), yang melakukan analisis perbandingan terhadap ajaran dan sejarah politik semua agama besar dunia, berkesimpulan bahwa diantara agama-agama tersebut Islam merupakan agama yang paling tinggi intensitas hubungannya dengan masalah kekuasaan politik. Karena itu, tidak aneh issue Islam menyangkut Politik dan Kekuasaan selalu terjadi diberbagai negara. Sejak munculnya issue demokrasi yang dimulai setelah Revolusi Amerika, banyak pemikir Islam yang mulai berbicara bahwa Islam itu demokratis. Kalau diruntut sejarahnya, istilah demokrasi baru masuk dalam khazanah pemikiran Islam akhir abad ke-19. Nilai ini diterima juga karena memiliki muatan makna positif, sehingga banyak pemikir Islam yang kemudian mencari benang merahnya. Menurut Kang Jalal, menyebut Islam itu demokratis sebenarnya hanya untuk menyederhanakan perjuangan Islam yang terlalu panjang kalau disebut satu persatu seperti Islam itu memperjuangkan keadilan, menuntut perdamaian, dan seterusnya. Untuk menyederhanakannya maka dikatakan bahwa Islam itu demokratis (Catatan Kang Jalal /9/97).

Di awal kemerdekaan sempat terjadi apa yang disebut politik aliran. Demikian pula keberadaan Umat Islam waktu itu yang diwakili oleh Partai Masyumi, NU dll. Meskipun terjadi pergulatan antara berbagai paham ideologi dari Partai bersangkutan, tak ada masalah ketika pemimpin Islam duduk bersama dengan Partai lainnya. Seperti yang terjadi pada kabinet ARI- Ali (Nasionalis) , Roem (Masyumi), Idham (NU). Dan demikian pula ketika Natsir menang juga merangkul nasionalis semisal Wilopo. Tentu ketakutan Islam disatu sisi dapat diminimalisasikan dan sikap demokrat para pemimpin Islam diatas dalam menerima perbedaan sangat kita hargai. Demikian pula keadaan sekarang, tokoh semacam Gus Dur dengan Fordem dan PKB-nya, Amien Rais dengan PAN-nya, Cak Nur dengan Paramadina-nya sangat diharapkan bisa menampilkan Islam yang sejuk dan demokratis. Gus Dur dengan concern-nya selama ini terhadap issue demokrasi , Amien Rais dengan partai pluralisnya, dan Cak Nur sendiri yang berjuang dalam konteks kultural dengan keterbukaan Islam dan pluralitasnya sangat diharapkan dapat menciptakan ruang demokrasi bagi masa depan Umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Memang silang pendapat tentang issue-issue demokrasi dengan Islam masih berlangsung. Secara ringkas, meneropong segala kejadian yang berbau Terorisme, Fundamentalisme, Ekstremisme dll akan menyimpulkan Islam berseberangan dengan Demokrasi. Namun ternyata istilah ini sendiri, katanya, lebih banyak dibuat untuk kepentingan politik dunia. Media Barat yang lebih memiliki kepentingan terlalu sering menimbulkan istilah Islamphobia dengan berbagai macam gambaran yang menakutkan. Dan karena Barat secara historis-empiris menjadi pioneer dalam penegakkan nilai demokrasi, maka serta merta lukisan ini mendapat pembenaran secara tidak langsung. Dimana lukisan nilai Islam sejati sebenarnya?.. Dalam pembahasan dengan judul Islam dan Nilai Demokrasi mungkin anda dapat menelusurinya. Dan bagaimana dengan realita gerakan Hammas, Intifadha, Bin Ladin, Taliban dan gerakan teroris Timur Tengah selama ini yang selalu menggunakan istilah jihad dalam terminologi Islam? Bukankah jelas-jelas hal itu sangat bertentangan dengan proses demokratisasi?.. Tulisan yang diangkat dengan judul Islam versus Demokrasi ? mungkin berusaha menengahkan permasalahan tersebut. Dalam The Third Wave, Huntington tidak memasukkan Iran sebagai negara yang demokratis. Belakangan ini, bersama munculnya figur Khatami yang moderat,di Iran mulai terjadi pergeseran kebijakan menuju

Demokratisasi seperti apa yang dikupas di dalam Demokrasi Dibawah Bayang-Bayang Theokrasi. Beberapa wacana diskursus diatas kami angkat untuk mencari format yang lebih baik dalam memandang realita saat ini, khususnya yang bersinggungan dengan masalah Demokrasi. Sedangkan wacana Islam sendiri kami pilih beranjak dari pemikiran situasi dan kondisi Indonesia yang mayoritas pemeluk agama Islam. Tentu sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi sepak terjang dunia politik bagi masa depan Indonesia.

Selain pembahasan thema diatas, kami tampilkan pula beberapa artikel menyangkut PEMILU yang tentu sebentar lagi akan kita alami. Dan juga berita panas tentang kontroversi keputusan Presiden Habibie mengenai Timor-Timor, dengan menampilkan wawancara khusus dengan Xanana Gusmao yang diangkat dari koran " Tages Zeitung " . Akhir Kalam, kami menyadari bahwa sajian ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu kami tunggu tanggapan dan kritiknya. Selamat Menikmati Sajian Kami! ( L.K ).


Kembali ke Daftar Isi