Tengok Negeri Reformasi

Oleh: kang bondet

Tulisan ini saya tujukan terutama kepada rekan-rekan yang sedang nyangkot di luar negeri, sehingga hanya bisa dengar situasi "negeri reformasi" dari media cetak, internet atau TV. Dengan mudik liburan, sekaligus bisa melihat langsung "feeling" saudara-saudara kita yang hidupnya serba susah dan tak menentu.

Setelah saya tinggal di Switzerland, tiba-tiba negeriku yang elok nan damai mendapat julukan "negeri reformasi" yang dibidani oleh para mahasiswa dalam aksi berbagai demo, dan berhasil melorotkan raja serakah Soeharto. Arus reformasi bagaikan badai liar menerjang ke segala tatanan birokrasi dan lembaga pemerintahan. Soeharto dan konco-konconya mulai ditelanjangi dari lorong-lorong birokrasi yang selama ini bercokol, dengan kekuasaannya dia membetot moral suci kita diganti dengan moral KKN. ABRI pun mulai digoyang dan dihujat, karena kebiadabannya menembaki bangsanya sendiri. Dibawah komando Wiranto, permasalahan makin menjadi kabur dan tak pernah tuntas, bahkan ada kesatuan-kesatuan tertentu yang sengaja membuat babak baru penderitaan bangsa miskin ini. Sementara partai-partai bermunculan, dan bangkit dari kejenuhan lama yang dimonopoli GOLKAR (Golongan Karbitan). Juga munculnya orang kerdil Habibie, yang lebih cocok memimpin bengkel pesawat terbang, dari pada memimpin bangsa yang multi ras, agama dan kultur ini. Saya dan istri merencanakan mudik Liburan selama sebulan. Sebelum mudik libur, istri yang keturunannya Wilhelm Tell, legenda klasik Swiss itu sempat ketar-ketir, apakah dikemudian hari saya akan diperiksa yang maha penguasa, mengingat sebelum Soeharto longsor saya sering aktif- aktifan di internet dalam nguber harta Soeharto di Swiss, bersama Bang Aditjondro, Ibu Eva Philipps dan Mr.Peter Bosshard, juga Lik Iwan dari APII Berlin. Ah... saya sih hanya orang kecil yang punya keprihatinan besar akan nasib bangsa sendiri. Berangkatlah kami tgl 21 Oktober 1998 ke tanah air. Dengan tujuan utama Bali, terus ke Ujung Pandang dan mampir kampong halaman di Semarang. Ketika tiba di airport Ngurahrai Denpasar, kopor kami disilang dengan kapur putih oleh petugas X-ray. Selanjutnya petugas bea cukai, suruh bongkar kopor kami, melihat ada beberapa jam tangan terselip disela-sela pakaian, untuk oleh-oleh,dia bilang;...kok banyak... minta satu ah....? Dengan ketus saya jawab;...lho katanya sudah reformasi....... akhirnya, petugas itu ngacir pergi. Tampak petugas garuda dan Imigrasi lebih sopan dari tahun2 sebelumnya. Hanya pegawai money changer yang lebih liar manggil2 turis untuk tukarkan dolarnya. Saat itu kursnya 1 dolar adalah Rp6.500.

Bali Merah dan Marah

Untuk menghangatkan badan, dari dinginnya udara Swiss, kami cukup bersepeda motor keliling Bali. Di Denpasar saya lihat banyak mobil berstiker Megawati dengan PDI Perjuangannya. Juga sekali-sekali masih terlihat konvoi sepeda motor pendukung Mega, beberapa turispun ikut bergabung. Yang menarik lagi, ada seorang polisi berangkat kerja berkaos Megawati. Kiranya bisa dimengerti karena Kongres PDI Perjuangan baru saja selesai. Disebuah warung makan dekat pasar burung, bocah penjaja koran menyodori saya buku stensilan kecil berjudul: "10 dosa besar Soeharto", "30 bohong besar Soeharto", "Soeharto gembong PKI" oleh Wimanjaya, penulis Primadosa. Serta "Bisnis kel.Cendana dan kroninya" oleh Aditjondro. Buku-buku itu dijual dengan harga Rp6000. Di warung itu kebetulan ada beberapa polisi yang sedang istirahat makan dan membaca buku2 tsb, namun ketika saya akan bayar buku itu, penjualnya menarik buku-buku yang sedang dibaca polisi, mereka hanya bengong. Saya tanya penjual koran :... dik nggak takut........ jualan buku-buku ini ?dijawab : nggak mas... biasa bebas jualan, tapi 2 bulan lalu, buku-buku ini dirampas polisi. Kami hampir keliling seantero bali, kesannya, dimana2 di pinggir jalan, desa, kampong, banyak berdiri pos2 gotong royong bercat merah, dihiasi berbagai gambar Mega dan Soekarno. Sementara anak-anak mudanya duduk-duduk bergerombol. Yang tak kalah seru adalah spanduk-spanduk panjang melintang di jalan-jalan, yang menghujat AM Saifuddin, anggota kabinet Habibie, karena omongannya yang keterlaluan tempo hari, untuk mengganjal Mega yang lagi sukses dengan konggresnya. Saat itu AM Saifuddin mengatakan : Mega itu khan hindu, karena sering sembahyang di pura. Relakah bangsa indonesia dipimpin oleh seorang hindu...? Ucapan yang menohok umat hindu itu tidak pantas keluar dari mulut anggota kabinet reformasi. Sehingga berbagai spanduk berbahasa Indonesia, Bali bahkan bahasa inggris pun bertebaran di Bali. Antara lain bertuliskan:... "pecat dan gantung AM Saifuddin", "Otak babi plus tahi babi sama dengan otak Saifuddin", "Sudah lama kami terluka, sekarang saatnya bangkit, kalau tidak kapan lagi ? kami akan tetap ditindas". Rakyat Bali yang hidupnya sehari-hari biasa menjaga harmoni dan ketenangan, mendadak merah dan marah. Berbagai organisasi pemuda, adat protes keras, bahkan KNPI mengancam akan memisahkan diri dengan RI, dengan istilah "Bali Merdeka". Para intelektual hindu berang, juga pemerintah daerah, para guide tak ketinggalan, mereka unjuk rasa dengan berpakaian adat menghadang turis-turis yang datang di airport dan membagi selebaran berbahasa Inggris :... tenanglah libur di Bali, rakyat Bali sedang terluka hatinya dengan omongan AM Saifuddin. Kemarahan rakyat Bali itu bisa dimengerti, karena kebiasaan pemerintah yang tak becus mengurus masalah agama dan ras yang sensitif dengan tuntas. Sehingga sakit lama yang terpendam itu kini berhamburan di era reformasi ini. Sedang menurut tokoh hindu di Bali :...bila masuk agama hindu itu tidaklah sederhana, perlu persyaratan rumit dengan berbagai upacara. Jadi kalau Mega sembahyang di pura itu khan mungkin neneknya dia orang Bali, jadi untuk memberi doa bagi neneknya yang telah tiada. Pura hindu adalah tempat sembahyang yang terbuka, turis-turis juga banyak yang sembahyang dengan pakaian adat Bali,...tapi apakah turis-turis itu beragama hindu...? tidak. Setelah cukup di pulau dewata itu, kami melanjutkan perjalanan ke Tanah Toraja, Sulawesi.

Jalan Reformasi

Tiba di ujung pandang siang hari, sorenya kami becak-becakan, keliling kota, tukang becaknya aktif cerita tentang kota Ujungpandang yang sempat menggegerkan karena super marketnya yang terbakar, jauh sebelum era reformasi. Mas...itu toko cina yang hangus dibakar..... kata tukang becak sambil tangannya ngacung-ngacung bangunan kuno besar dipinggir jalan, lha... itu kantornya PAN, ada spanduk "tempat pendaftaran anggota PAN" terpampang di depan kantor advokasi. Dekat pelabuhan Ujungpandang, tukang becak mendekatkan becaknya ke plang jalan bertuliskan " Jalan Reformasi", begini mas,.... kata dia lagi, waktu proyek jalan tol ini selesai, pas reformasi rame-ramenya, dan mahasiswa nuntut agar jalan tol ini diberi nama jalan reformasi. Karena capek, kami turun di pinggir pantai, terlihat 3 bocah kecil berbaju kotor dan robek besar, rasanya 3 bocah ini anak gelandangan. Mereka sedang asyik menari riang dengan iringan musik ndangdut disela-sela pedagang kaki lima. Seorang yang terkecil masih pegang gelas berisi susu sisa-sisa minuman, lalu kami dekati dan ditawari makan sama-sama. Mereka mengangguk dan kita duduk bersama-sama, tampaknya umur mereka antara 4-6 tahun. Ada yang pesan nasi goreng, bakmi goreng dan jeruk panas. Kami seperti sahabat lama saja, saling pandang dan senyum, sementara orang lalu lalang tak nggubris suasana indah itu. Namun ketenangan kami, makin terusik setelah teman-temannya yang jualan rokok ikut nimbrung, minta ditraktir. Akhirnya kami semua ada 13 anak, yang rata-rata masih sekolah SD/SMP, mereka mengaku sejak krismon, terpaksa harus jualan rokok untuk tambah biaya sekolah, kalau nasib mujur kadang sehari bisa ngantongi Rp5000 bersih. Sedang asyik-asyiknya ngobrol, datanglah 3 pemuda membawa gitar, salah seorang bilang :... mas sejak tadi saya perhatikan kok akrab dengan anak-anak, bagaimana kalau kami nyanyikan lagu reformasi....? Setuju...sahut anak-anak itu. Kami bergoyang pinggul bersama, suasana menjadi sangat hidup, bocah-bocah ini mungkin terhibur dan sedikit melupakan getirnya di alam Indonesia, mereka adalah manusia yang tak berdosa, hanya korban sistem belaka. Ada seorang yang mencoba berbahasa inggris dengan istri saya, istri sangat terharu, mungkin selama hidupnya di Swiss tak pernah dekat dengan anak-anak trotoar/jalanan yang ganas dan kejam. Istri membagi-bagikan uang masing-masing Rp10.000, jadilah keadaan kacau... sulit dibedakan mana yang sudah dapat dan yang belum, istri panik, karena anak-anak berubah jadi agresif, tukang parkir, satpam juga minta bagian, kami pun pergi jauh,...istri minta maaf berkali-kali, tak menyangka suasana yang harmonis tadi menjadi rusak. Oh anak-anak yang tak bersalah dalam hidup ini. Paginya kami meluncur ke tanah toraja, dengan bus umum, melalui jalan berkelok2 dengan pemandangan aduhai. Di sebuah kota kecil dipinggir pantai yang sepi, tertulis di tembok "kota pare pare", segera rombongan turis belanda disampingku ku senggol,... di kota ini, Soeharto melahirkan anaknya, yang bernama Habibie,...turis itu saling membisikkan ke yang lain. Juga sebelum masuk kota rante pao, berdiri megah hotel sahid berarsitek khas toraja, milik Sukamdani Gito Sarjono, saudara Nyonya Tien. Mungkin masih luput dari incaran demo. Kami di Toraja 2 hari sudah cukup, dilanjutkan tengok kampong halaman di Semarang.

Ikut Reformasi

Tiba di Semarang, kota panas itu, saya lihat kantor-kantor pemerintah, swasta, juga BRI bertuliskan "Ikut reformasi, hidup reformasi, setuju reformasi" dll, tak jelas maksud tulisan itu, mungkin hanya menghindarkan dari amukan masa, demo atau benar-benar melaksanakan reformasi. Tujuan kami yang lain adalah tengok kampong halaman di lereng gunung Ungaran, Semarang. Setelah ketemu keluarga dan teman-teman lama, iseng-iseng tanya nenekku yang sudah umur 92 tahun, plus tak pernah sekolah. Nek nek....presidennya sekarang siapa ? Jawab nenek ringan,...mboh/nggak tahu wong nggak pernah ketemu..... Kemudian pertanyaan saya arahkan ke sahabat nenek yang duduk disampingnya,...Apa tahu siapa presidennya sekarang...? Dijawab :...pak Habibie,.Benar, bagus, kataku memuji, namun pujian belum selesai, sahabat nenek tadi balik bertanya saya :...apa di Swiss juga presidennya pak Habibie...?Putuslah semangatku, istriku bilang :...danke schon Habibie. Begitulah orang desa yang tak pernah dapat pendidikan politik, bagaimana nanti dengan multi partai, bisakah mereka menentukan hati nurani sendiri, wong sudah terbiasa dimonopoli mayoritas tunggal, alias tak diajari berpikir, nderek mawon. Di desa itu kami tak terlalu lama, karena akan terus mendaki gunung Bromo di Probolinggo.

Perjalanan dengan bus dari Semarang ke Probolinggo, dapat tontonan gratis, yaitu anak-anak muda sedang sibuk mendirikan pos-pos siskamling berwarna merah untuk PDI Perjuangan, di Salatiga, Solo, ada beberapa spanduk PAN dan PKB, tapi tak sebanyak PDI Perjuangan, bahkan bendera Golkar muncul di pinggir sawah, tak berani mendirikan di depan kantor camat atau desa. Jadi hampir sepanjang jalan di Jateng, pos-pos merah banyak, yang dimotori anak-anak muda, sedang di Jatim tidak tampak pos merah lagi, karena bus sampai di Jatim sudah malam, khan gelap. Setelah tiba di Bromo, pagi jam 04.00 naik kuda untuk ngintip matahari terbit,...persis di mulut gunung Bromo, matahari tidak seindah yang diharapkan, yang terbaik di bulan juli-agustus, matahari tepat mekar di pantai. Pak Soetardji pemilik kuda saya tanya :... pak enak mana antara presiden Soeharto dan habibie...? Jawab dia :... wah yo enak pak Harto,... alasannya ? kataku. Lha dulu itu Rp1000, dapat satu kilo beras, kok sekarang Rp10.000 baru dapat 3 kilo. Begitulah pandangan orang-orang desa yang tak terlalu berbelit-belit berpikirnya. Sementara Sidang Istimewa akan dimulai, kami segera bergegas menuju ke Bali lagi. Orang-orang di daerah-daerah seperti di Denpasar mengikuti SI lewat siaran langsung TV dan koran-koran. Jalannya sidang dan para demonstran yang merangsek akan masuk gedung DPR, bisa dimonitor dari TV dan koran tiap hari. Namun di beberapa kota besar mahasiswa berdemo turun jalan. Di Denpasar rombongan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menguasai airport, dan tiap kelompok memberikan orasi berbahasa Indonesia dan Inggris, terhadap tiap turis yang datang, namun tak sampai mengganggu penerbangan. Saya nonton tayangan TVRI, yang menyiarkan hingga jam 02.00 bersama RCTV; RCTI, dalam sidang tampak dengan jelas Harmoko membuka sidang dengan serius, tapi dalam sesion selanjutnya, dia cekikian, tertawa, dan senyum simpul, juga anggota dewan yang lain ada yang ngantuk, tertidur, juga banyak yang tak serius, hanya memangku tangan, jadi sebuah pemandangan yang kontras dengan di luar gedung. Dimana mahasiswa adu jotos dengan aparat, kena pukul, bahkan sudah berjatuhan nyawa mahasiswa. Saya nonton dengan beberapa ibu yang tekun melihat demonstran di luar gedung DPR, ibu-ibu disebelah saya sempat teriak nangis, dan menjerit-jerit, lantaran dalam tayangan TV itu,... seorang demonstran sudah jatuh di tanah dan berkata :... ampun pak... ampun pak... tapi tetap di pukuli dengan tongkat, bahkan terus bergantian dengan aparat lain berbaju hijau loreng, menginjak-injak dengan sepatu mereka. Akhirnya demonstran tersebut menghembuskan nafas yang terakhir. Koran-koran lokal memberitakan bila Harmoko masih main tenis sorenya seperti biasa. Begitulah mentalitas wakil rakyat yang tak ada "rasa" kemanusiaanya sedikitpun. Apakah mentalitas beginian akan bisa menyuarakan hati rakyat yang di desa-desa, mana mungkin?, sedang mahasiswa yang demo di luar gedung saja, nggak digubris, padahal jaraknya beberapa meter saja, apa lagi yang ratusan kilometer, terpisah dari pulau ke pulau yang lain. Nonsense.

Sekian,

Selamat bertempur, pantang mundur.

kang bondet - Switzerland


Kembali ke Daftar Isi