CATATAN PERJALANAN KE TIMTIM

Catatan Redaksi:

Pada akhir November hingga awal Desember 1998, koresponden MateBEAN (dari Jakarta) melakukan kunjungan ke Timor Timur untuk membuat sejumlah kontak sekaligus memantau keadaan. Selain membuat sejumlah liputan jurnalistik (lihat: sejumlah laporan dan wawancara MateBEAN pada Desember lalu) ia juga membuat semacam catatan perjalanan yang ditulis dalam gaya feature. Berikut adalah catatan tersebut.

Redaksi MateBEAN.-

Siapa pernah menduga krisis eknomi dan penembakan mahasiswa Trisakti akan berdampak sedemikian dahsyat hingga Soeharto yang bertahta selama 32 tahun terpaksa mengundurkan diri dan memilih penasehatnya di bidang teknologi selama ini, Habibie sebagai penggantinya. Kemustahilan ini ternyata juga memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan penduduk di Timor Timur.

Ya, kata "reformasi" sepertinya merupakan sebuah kata ajaib bagi sebuah kawasan yang dianeksasi oleh para jendral Soeharto pada 7 Desember 1975. Memasuki Bandara Komoro dengan pesawat Merpati dari Jakarta, gambaran tentang Dili, yang pernah saya kunjungi beberapa kali sebelumnya, sungguh berbeda. Suasana bandara tampak lengang. Para intel berpakaian preman yang biasanya berjubel mengawasi setiap pendatang tak tampak lagi. Kecuali para pengemudi taxi dengan tampang kuyu sibuk mencari "muatan".

Penerbangan ke Dili yang dulunya 3 kali sehari, kini sejak krisis moneter menciut jadi 1 kali sehari. Itu pun tak pasti. Tepatnya dalam seminggu cuma ada 5 penerbangan ke dan dari Dili, ibukota Propinsi termuda Timor Timor yang dinyatakan terbuka sejak 1986. Situasi krisis ekonomi memang membuat penerbangan Jakarta - Dili yang tadinya nyaman, menurun drastis. Jadwal penerbangan kerap ditunda, karena pesawat baru bisa berangkat bila tempat duduknya terisi penuh. Pihak maskapai tampaknya takut memikul kerugian yang terlalu besar. Dalam soal makanan juga begitu. Kualitas dan kuantitas menyurut drastis. Makanan yang disodorkan pramugari sesaat setelah lepas landas dari Kupang adalah makanan yang keras dan agak berbau tengik. Jangan heran, menunya hanya dua jenis jajanan yaitu kue wajik dan kue mangkok yang rasanya lebih mirip irisan sandal jepit ketimbang kue. Barangkali gambaran tentang reformasi dan dampak krisis ekonomi mulai tampak dari sini.

Maskapai penerbangan Sempati yang merupakan hasil KKN Tommy Soeharto dan pengusaha Bob Hasan telah rontok pada akhir 1997, ketika krisis rupiah baru saja mulai. Maskapai ini tadinya sempat punya "base camp" di Hotel Turismo di Dili, menyaingi "markas" Merpati Airlines yang berkantor di Hotel Lesende. Maskapai ini kabarnya juga menangguk beban utang milyaran rupiah pada sejumlah perusahaan pendukung layanan jasa penerbangan.

Naik taksi dari bandara jangan membayangkan hal yang sama dengan bandara di kota-kota di Jawa, sebab taksi yang kita naiki tak lain adalah sebuah mobil Chevrolet tua warna biru muda. Taksi jenis ini, sebetulnya tergolong mobil apkiran, beroperasi sejak 1990. Jangan heran, kadang Anda bisa masuk tapi tak bisa ke luar, sebab pintunya macet dan hanya bisa dibuka dari luar. Itu pun harus menggunakan sedikit kekerasan. Kendaraan tersebut adalah kendaraan mewah di Dili. Taripnya, jauh-dekat Rp 1.500,-. Itu untuk turis domestik yang tahu suasana Timor Timur. Untuk turis luar negeri, jangan harap bisa membayar dengan harga yang sama. Diminta membayar Rp 3.000 saja sudah untung. Rupanya warga Dili juga tahu bahwa orang kulit putih sedang kebanjiran uang akibat nilai rupiah yang terpuruk drastis, terendah di kawasan Asia.

Dengan ongkos Rp 6.000 termasuk pajak bandara, pengemudi asli Timor Timur tanpa banyak bicara akan langsung mengantar Anda dari bandara ke hotel tujuan. "Ke mana kah? Ke Turismo kah?" begitu biasanya pertanyaan pengemudi. Bila kita jawab ia akan langsung terdiam. Apalagi bila tampang kita berbeda dengan tampang kebanyakan orang Timor Timur yang berkulit hitam dan berambut kriting. Sepertinya, mereka masih mencurigai orang-orang yang bertampang "Jawa". Perlu diketahui, kebanyakan orang Timor Timor tak bisa membedakan mana orang Jawa, mana Madura, mana Batak, mana Bugis, mana Toraja, mana Sunda. Bagi mereka semua yang berambut lurus, berkulit lebih terang, tak mahir berbahasa Tetun adalah "Jawa", penjajah, penindas, orang jahat atau "mauhu". Barangkali hingga saat ini mereka masih mencoba mencari definisi tentang arti persaudaraan mereka dengan saudara mereka, orang "Jawa". Menyebut Katolik, kadang bisa mengikat tali persaudaraan. Meski banyak diantara mereka juga tak menaruh kepercayaan pada orang Katolik yang jadi tentara.

Namun, wajah mereka akan berubah drastis bila kita mulai melontarkan sejumlah pertanyaan seperti "Bagaimana keamanan di sini?", "Apa kah ABRI masih kejam?", "Apa kah sudah tak ada pasukan ninja lagi?", "Apa kah penduduk telah berani ke luar malam hari?" dan seterusnya. Mereka akan langsung bercerita sambung-menyambung. Sepertinya dada mereka penuh berisi bom, lapili dan lava yang siap ditumpahkan mirip seperti gunung meletus. Ia agak heran ketika saya mengajak berbincang tentang Timor Timur. "Bapa kok tahu keadaan sini?" tanyanya.

Secara perlahan ia mulai menangkap isyarat bahwa saya bukan musuh yangperlu ia curigai. Kepada sopir yang mengantar saya, saya tanyakan keadaan anakmuda di Timor Timur saat ini, "Apa yang dilakukan anak muda sekarang, bukan kah Presiden Habibie sudah memberikan lampu hijau bagi pemberiran otonomi khusus untuk Timor Timur?"

"Ah, rakyat sini ingin merdeka bapa," jawabnya pendek. Ia bercerita panjang lebar tentang ketidakpercayaan orang Timor Timur pada pemerintah Jakarta, kepada ABRI dan juga orang Timor Timur yang menggadaikan bangsanya kepada Indonesia hanya demi duit dan kedudukan. "Kami ingin orang semacam Xanana atau Uskup Belo," katanya.

Perbincangan begitu hangat, tak terasa jalanan aspal serta panas matahari yang kering dan menyengat wajah begitu singkat dilalui taksi bobrok yang saya tumpangi. Saya tiba di hotel di pinggir pantai yang penuh sesak oleh peserta seminar. Saya sengaja memilih hotel ini setiap kali datang ke Dili, meski sekali-kali ingin juga menginap di hotel milik tentara, HotelMahkota, yang konon jadi tempat rendevouz para "mauhu" dan tentara.

Di depan hotel saya mendapat sambutan mengagetkan. Beberapa anak kecil mengemis meminta uang. Baru kali ini saya lihat ada pengemis di Timor Timur. Berkali-kali saya berkunjung dan menjelajah sejumlah wilayah Timor Timur tak sekali pun pernah saya jumpai ada pengemis. Memang ada banyak orang miskin di Timor Timur, tapi tak satu pun ada yang jadi pengemis seperti saudara-saudara mereka di Jawa yang pada putus harapan. Si anak kecilmerajuk dan mencoba mendekati saya, tapi dengan ragu-ragu. Saya menangkap kekikukannya akibat tak biasa mengemis.

Akhirnya saaya di antar memasuki kamar hotel saya. Jangan kaget, yang disebut hotel bintang dua, tempat saya menginap, lebih mirip kamar asrama mahasiswa meski berkategori "deluxe" dan ber-ac. Saya memang kali ini bernasib sial, kamar depan yang berpemandangan pantai telah "fully-booked" dan saya dapat di ruangan pojok di belakang. Tak ada lemari es sebagaimana tertera dalam kategori 'de luxe". Jendelanya tak bisa dibuka karena memang dipaku mati akibat salah satu engselnya telah rontok dimakan karat. Jadi kalau ingin mendapat udara segar, satu-satunya jalan adalah membuka pintunya lebar-lebar dan mengundang nyamuk masuk. Saya coba amat-amati sejumlah sudut hotel yang saya tinggali, ternyata hotel ini belum pernah mengalami renovasi sama sekali. Masih persis ketika saya datang pertama kali pada 1993.

Menikmati ketidak-nyamanan hotel dan membayangkan wajah pengemis cilik di halaman hotel, saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan ini semua akibat krisis moneter "Jakarta". Apa kah semua ini juga akibat Pak Harto dan para kroninya salah urus dalam mengelola negara yang disenandungkan grup Koes Plus sebagai "tanah surga", tempat di mana penuh dengan kolam susu dan tongkat yang ditancap niscaya jadi tanaman?

Malam saya tak bisa tidur akibat ac hotel ngadat, sementara oparator teknis sudah pulang. Teman saya tidur ngorok kelelahan. Mungkin akibat sengatan "jet lag" Jakarta-Dili, mungkin juga akibat kue mangkok bantat yang disantapnya di pesawat siang tadi. Ditemani suara nyamuk, saya jadi ingat pada lagu anak-anak "Nyamuk" yang diplesetkan seniman Harry Roesli dan mencoba menyenandungkannya kembali. "Banyak nyamuk di kamarku, gara-gara kamu (maksud saya: Soeharto!)," begitu kata-kata itu saya ulang berkali-kali. Tak terasa akhinya saya tertidur juga. Rasa penat menggulung semua rasa penasaran dan keingintahuan saya tentang detil keadaan Timor Timur.

Para mahasiswa di Dili tenyata juga tak mau kalah dengan rekan-rekannya di Jakarta. Mereka menduduki Kantor DPRD dan Kantor Gubernuran. Berbeda dengan mahasiswa Jakarta yang menuntut Soeharto diadili dan pencabutan Dwifungsi, mahasiswa di Dili menuntut penarikan semua pasukan ABRI dari bumi Loro Sae. Apa pasalnya? Sebelum berangkat menuju Dili, lewat E-mail dan internet saya mengetahui bahwa pasukan ABRI telah melakukan penyerbuan terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Alas, Kabupaten Manufahi, sebuah wilayah terpencil di selatan Timor Timur. Serangan tersebut merupakan aksi balas dendam yang dilakukan pasukan ABRI akibat serangan sekitar 100 pemuda Timor Timur yang tergabung dalam Forcas Armadas Libertacao de Timor Leste (Falintil) atas markas Koramil pada 9 November 1998 yang menewaskan 3 prajurit ABRI dan belasan anggota Koramil Alas disandera. Serangan ABRI yang membabi buta terhadap warga sipil tersebut menewaskan 11 penduduk, termasuk kepala desa Desa Taituduh. Puluhan penduduk lainnya, termasuk sejumlah perempuan, ditangkapi dan ganti disandera ABRI sebagai bahan tawar-menawar dengan Falintil untuk membebaskan rekan-rekan mereka.

Alhasil, tindakan keji ABRI terhadap penduduk sipil yang tak berdosa itu mengundang berbagai gelombang protes. Termasuk dari dunia internasional. Di Dili sendiri pada 23 November 1998, lebih seribu mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi demo. Dengan mengambil start di Kampus Untim para mahasiswa beriringan menuju Kantor DPRD yang berdekatan dengan Kantor Gubernur Abilio. Mereka melancarkan sejumlah tuntutan antara lain agar semua pasukan ABRI ditarik dari Timor Timur dan dibentuk sebuah Tim Pencari Fakta atas Kasus Alas. Para mahasiswa menginap semalaman di Kantor DPRD dan keesokannya bergerak menuju Kantor Gubernuran.

Saya tak akan bercerita banyak soal aksi dan dialog antara mahasiswa dan penguasa di Timor Timur (telah ditampilkan dalam rangkaian posting MateBEAN-red.), sebab yang lebih menarik bagi saya saat menyaksikan demo tersebut adalah karakteristik aksinya. Tak seperti diceritakan orang sebelumnya bahwa demo di Timor Timur selalu mengundang perusakan pada harta benda orang "Jawa", demo yang saya saksikan kali ini betul-betul sebuah "peaceful demonstration". Saya melihat demo di depan mata saya sebagai sebuah tontonan baru. Puluhan mahasiswa mengenakan seragam kaos berwarna kuning, merah dan hitam (warna bendera Fretilin) yang disablon ala kadarnya, bertugas sebagai satuan pengaman. Tak tampak satu pun tentara berseragam hijau. Demikian juga para "mauhu" dan anggota Kopassus yang biasanya menyamar dengan pakaian preman atau menyamar sebagai satuan polisi.

Di seputar Gedung DPRD, yang tampak hanyalah wajah orang Timor Timor. Dan dari gerak-geriknya mereka tampaknya adalah kelompok yang menuntut agar ABRI segera pergi jauh-jauh dari wilayah mereka. Kelompok Gadapaksi binaan mantan Danjen Kopassus, Letjen (purn) Prabowo, atau pun satuan "vigilante" lainnya tak tampak satu "ekor" pun.

Dan yang lebih penting, adalah tak terjadi serangan satu pun pada warga pendatang atau pun harta benda mereka. Memang beberapa di antara satuan pengaman sempat mencurigai saya yang berwajah lain dengan mereka, tapi setelah mereka diberitahu oleh seorang kenalan saya bahwa saya adalah sahabat mereka ketegangan di wajah mereka menghilang digantikan rekahan senyum. "Silakan dekat sini, jangan jauh-jauh agar kami juga bisa mengawasi keselamatan Mas!" ujar salah seorang di antara mereka.

Gaya, orasi dan cara penuntutan yang dilakukan para pendemo mengingatkan saya pada para mahasiwa di Jakarta. Persis, "plek" sama. Hanya saja di Jakarta ABRI bertindak represif dan unjuk kesangaran. Yang saya saksikan di Dili selama 3 hari demonstrasi soal Alas tersebut, hanya ada satu-dua orang polisi yang bekerja mengatur kelancaran lalulintas. Ke mana 15 ribu pasukan ABRI yang ada di Timor Timur?

Sejumlah sumber yang saya temui mengatakan, kebanyakan anggota militer di Timor Timur mengalami demoralisasi akibat gerakan reformasi yang terjadi seluruh wilayah Indonesia. Apalagi gerakan reformasi yang digelindingan mahasiswa salah satunya adalah menuntut dicabutnya Dwifungsi ABRI. "Sejak reformasi ABRI di sini jadi jinak. Dalam kasus Alas saja mereka jadi beringas lagi," ujar sebuah sumber. Sumber yang lain mengatakan bahwa ribuan pasukan ABRI dikerahkan untuk mengepung posisi pasukan Falintil pimpinan Taur Matan Ruak yang bertahan dengan para sandera ABRI di Alas. Pasukan ABRI itu termasuk sejumlah pasukan Kopassus yang pada Agustus 1998 lalu pura-pura ditarik dari Dili, tapi sebenarnya masuk lagi melalui Ambeno. Mereka membantu gabungan pasukan Batalyon 744, Batalyon 745 (sebagian lagi anggotanya melakukan desersi; (baca: MateBEAN (2/12/98): BATALYON 745 DI TIMTIM DESERSI), BTT 604/Kapuas dan Kodim 1634/Manufahi yang sebelumnya telah menjepit posisi Falintil.

Selama saya di Dili, sejumlah demo dilancarkan masyarakat. Salah satu yang menarik adalah demo anti-kekerasan yang dilancarkan kaum perempuan Timor Timur yang dikoordinir Forum Komunikasi Untuk Perempuan Loro Sae (Fokupers). Demo pada 25 November 1998 itu betul-betul menarik. Selain menampilkan gugatan kaum ibu atas serentetan tindak perkosaan prajurit ABRI terhadap perempuan Timor Timur, sejumlah anak-anak juga memamerkan berbagai karya lukis mereka yang menggambarkan kekejaman tentara terhadap ibu-ibu mereka.

Demo dengan isu yang terfokus, tertib dan penuh kedamaian tersebut betul-betul berbeda dan semua gambaran yang ada di kepala saya tentang berbagai kerusuhan di Timor Timur yang selalu menyertai setiap aksi demo.

Dengan berjalan kaki, usai melihat demo penuh damai itu, saya menyempatkan diri berkeliling kota Dili. Saya tak menemukan lagi pasar senggol yang dulunya dihuni orang-orang Jawa pendatang dari Lamongan dan Banyuwangi, Jawa Timur. Beberapa bangunan di bekas kawasan Pasar Senggol tampak sebagai puing-puing. Saya juga tak menemukan kompleks pelacuran di kawasan dekat Pantai Pasir Putih. Rupanya aksi massa sebelumnya, yang disertai kekerasan, telah membuat ketakutan kaum pendatang. Dalam gelombang aksi anti-Indonesia dan kaum pendatang pada Agustus 1998 lalu, ribuan "orang Jawa" dari Lamongan dan Makassar mengungsi ke luar dari Timor Timur. Dan hanya sebagian yang bertahan. Mereka kini banyak yang memilih berdagang atau buka warung di kawasan Komoro, kawasan pantai di bagian barat Dili.

Gedung bioskop satu-satunya di Dili dan juga di Timor Timur yang terletak di Jl Americo Thomas juga telah lama jadi "rumah hantu". Sekitar 2 tahun lalu bioskop yang selalu memutar film propaganda pemerintah Indonesia ini dihancurkan para pemuda saat ada demonstrasi anti-integrasi.

Dari sejumlah sumber, saya dengar bahwa lokasi pelacuran satu-satunya, Aspal Goreng, yang sebenarnya telah ditutup oleh Pemda ternyata masih beroperasisecara diam-diam. "Bagaimana bisa tutup. Kan di tempat tersebut prajurit ABRI menyalurkan hajatnya!" ujar sebuah sumber sembari menuturkan bahwa perempuan Timor Timur pantang menjadi pelacur meski kehidupan ekonomi sangat sulit. Arus reformasi di Jakarta, ternyata mendatangkan akibat demoralisasi dan dekadensi berkepanjangan bagi anggota militer yang bertugas di wilayah Timor Timur.

Perang tanpa motivasi barangkali adalah gambaran yang lebih tepat, seperti halnya saat para pemuda belia prajurit AS harus melancarkan perang suci "demi negara" di wilayah milik bangsa lain, Vietnam. Gerakan reformasi di Jakarta tenyata menghasilkan krisis legitimasi bagi kehadiran pasukan ABRI di tanah milik sebuah "bangsa" yang terus menuntut kemerdekaannya.

Sejak awal 90-an sumber resmi pemerintah Indonesia selalu memberitakan bahwa ratusan anggota GPK telah turun gunung dan menyerah. "Mereka telah sadar bahwa perbuatan mereka salah dan tak ada gunanya, apalagi di hutan tak ada makanan. Mereka menyerah dan menyatakan bersedia dibina," begitu tulis kantor berita pemerintah "Antara" berulang-ulang. Pemberitaan intensif tentang gelombang "pertobatan" kelompok anti-integrasi ini tentu saja mengganggu akal sehat orang yang mengikuti pemberitaan tentang Timor Timur. Yaitu berapa anggora Fretilin yang masih bertahan di gunung, karena pada awal 1992, sesaat setelah Peristiwa Santa Cruz pejabat militer mengatakan bahwa anggota GPK yang masih bertahan tinggal puluhan orang saja.

Benar kah kelompok anti-integrasi tinggal puluhan saja? Atau bahkan kalau dihitung antara pemberitaan "Antara" tentang aksi pertobatan anggota GPK dan pernyataan pejabat militer justru menunjukkan bahwa jumlah mereka yang masih bertahan di gunung mencapai angka minus?

Saya sendiri tak heran dengan keajaiban angka-angka pemberitaan tentang "aksi pertobatan" versi pejabat militer. Bagi saya hal itu tak lebih dari sebuah perang propaganda dan urat syaraf. Pejabat militer dan kantor berita resmi pemerintah Indonesia, khususnya dalam soal Timor Timur memang tak lain adalah pabrik kebohongan. Fakta tentang masih masifnya perlawanan rakyat di Timor Timur selalu direduksi sebagai "hanya segelintir oknum". Dan sebaliknya, demo mendukung integrasi yang sebetulnya merupakan perekayasaan pemerintah Indonesia (belakangan melibatkan dukungan dari kelompok di wilayah enclave Atambua), selalu diberitakan besar-besar oleh media massa Indonesia.

Dalam serangan ke Koramil Alas pada 9 November 1998, pendukung Falintil berhasil merebut 36 pucuk senjata M-16, FNC, granat dan sekitar 40 ribu butir peluru. Serangan ini tentu saja menimbulkan keseimbangan baru bagi kekuatan Falintil melawan ABRI.

Berjalan menelusuri pinggiran kota Dili, Same, Baucau, Los Palos hingga Tutuala yang ada di kawasan ujung paling timur Pulau Timor, kita akan menangkap fenomena adanya perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pendudukan Timor Timur.

Seorang pemuda yang baru tamat SLTA (anggota klandestin) kenalan saya, menawari saya untuk bertemu dengan panglima sektor timur. Namun karena jadwal saya sudah "padat" maka rencana tersebut saya tolak, apalagi saya tahu bahwa semua basis Falintil sedang konsentrasi di front pertempuran Alas.

Namun demikian, bukan saya melewatkan kesempatan untuk menemui sejumlah tokoh perlawanan. Saya bertemu dengan sejumlah pemuda anggota Falintil yang keluar-masuk hutan. Saya juga berhasil menemui Lalaura (nama di hutan), adik Panglima Falintil Matan Ruak. Di pinggiran Los Palos saya juga mengunjungi rumah seorang mantan menteri sekretaris negara Fretilin. Saat keluar dari kawasan Los Palos menuju timur, pengantar saya yang baru turun gunung 6 bulan lalu dan tinggal di Los Palos menyapa sejumlah penduduk yang tinggal di perkampungan di Foitoro dan sebuah desa dekat Danau Iralalaro dengan teriakan, "Kamerada! Kamerada!" yang dibalas dengan teriakan yang sama. Padanya saya tanyakan siapa yang ia teriaki sebagai "kawan" tersebut.

"Mereka adalah anggota Falintil," ujar sang pemuda dengan senyum mengembang dari wajahnya. Dahi pemuda teman baru saya ini cacat ada bekas luka di kening dekat alis matanya. Ketika saya bertanya soal cacatnya itu, ia menjelaskan bahwa luka tersebut akibat bacokan anggota Gadapaksi di Dili 3 tahun lalu yang hampir saja menewaskan dirinya.

Ia juga bercerita bahwa beberapa waktu lalu ia turut menerima kedatangan aktivis Indonesia, Yenny Rosa Damayanti dan Anas yang berkunjung ke markas Komandan Sektor Timur. "Hanya saja mereka tak bisa bertemu dengan panglima kami, sebab mereka hanya membawa sepucuk pengantar dari Ir Sri Bintang Pamungkas," ujarnya. Rupanya nama Bintang belum menjamin kepercayaan jaringan klandestin di Timor Timur.

Dari penuturan Lalaura saya mendapatkan gambaran konkret tentang kekuatan riil Falintil yang sesungguhnya. Begitu solidnya kekuatan Falintil sebagai sebuah pasukan komando hingga mereka bisa menempel sedekat mungkin di semua pos militer Indonesia tanpa diketahui pasukan ABRI. "Paling tidak dari jarak sekitar 500 meter ada pasukan kami yang memantaunya," jelas Lalaura. Artinya, kalau mereka mau membunuh pasukan ABRI tinggal memilih saat yang tepat. Apalagi musuh yang dipantaunya tak tahu posisi Falintil yang memang menerapkan taktik gerilya yang paling elementer, yaitu membaur dengan penduduk.

Kalau pun tak ada serangan terhadap posisi ABRI, kecuali faktor "kecelakaan" di Alas, adalah dikarenakan memang ada imbauan untuk tak melakukan semua bentuk penyerangan dari pimpinan tertinggi Xanana Gusmao yang ditahan di LP Cipinang, Jakarta. Kebijakan ini, konon dalam rangka menghormati dan menunggu hasil perundingan pemerintah Indonesia (hasil reformasi) dengan pemerintah Portugal yang melibatkan PBB. Versi yang lain mengatakan, krisis membuat pimpinan Falintil memutuskan untuk menghemat amunisi disamping tetap memegang kebijakan "satu peluru untuk satu kepala". Sebelum krisis moneter, sebuah peluru bisa dibeli dengan harga Rp 700 per butir. Tapi kini harganya melonjak luar biasa.

Dengan keberhasilan merebut amunisi dari Koramil Alas, pasukan Falintil kini tak kekurangan amunisi dan senjata lagi. Semuanya cukup untuk melawan pasukan ABRI dalam jangka panjang. Dalam soal perlengkapan dan seragam tempur, pasukan induk Falintil dikabarkan baru saja memperoleh seragam tempur (battle dress) loreng buatan Amerika dalam jumlah banyak. Motif loreng ini konon cocok untuk penyamaran dalam hutan tropis seperti yang ada di Timor Timur.

Untuk menemui pasukan Falintil sesungguhnya juga tak terlalu susah. Asal kita dipercaya dan ada anggota jaringan Clandestine yang bersedia mengantar semuanya akan lancar. Kita akan disambut dengan pesta bir dan daging kambing. Persyaratannya cuma satu jangan sekali-kali mengunakan mobil sewaan dari hotel. Sebab mobil yang kebanyakan "ngetem" di depan setiap hotel kebanyakan adalah milik aparat keamanan. Banyak juga di antara sopirnya yang merupakan "mauhu". Pengantar kita biasanya akan dengan senang hati menjemput dengan sepeda motor dan di tengah jalan kita akan dioper dengan jenis kendaraan yang sama beberapa kali.

Hal ini untuk menghindari pencatatan plat nomer kendaraan oleh aparat keamanan. Setelah itu, tentu saja kita harus rela berjalan kaki cukup jauh. Ketika saya tanyakan pada mantan Mensesneg Fretilin soal daya tahan kelompok perlawanan anti-Indonesia yang begitu tinggi dalam menghadapi represi ABRI dan pemerintah Indoneia, jawaban yang muncul adalah kemampuan untuk memperoleh dukungan dari rakyat Timor Timur. "Rakyat Timor Timur sendiri yang bisa membandingkan mana yang lebih baik, kami atau pasukan ABRI," tokoh yang belakangan lebih banyak melakukan gerakan tutup mulut.

Tokoh ini juga bercerita bahwa ia lah yang mengonsep upaya kontak damai yang baru terealisir pada 1984. "Kami juga merawat, menyelamatkan dan kemudian membina seorang mayor Angkatan Laut Indonesia yang tertembak kakinya. Selama 5 tahun ia ikut kami di hutan. Ia melihat bagaimana kami bertempur dan berjuang melawan kesewenang-wenangan bangsanya sampai ia akhirnya bersimpati pada kami," ujarnya.

Para gerilyawan di hutan juga didukung oleh sejumlah tim dapur umum yang terdiri atas kaum ibu. Malah ada sejumlah anggota Falintil yang membawa serta istri mereka. Hanya anak-anak yang dititipkan pada keluarga atau pastor yang bisa dipercaya di kota guna memperkecil risiko.

Untuk menguatkan strategi dan ilmu militer, pasukan Falintil ternyata juga memiliki perpustakaan keliling. Apa saya yang dibaca? Jangan kaget, semua teknik perang, terutama teknik perang gerilya. Mulai dari buku "Perang Gerilya" nya Che Guevara, teori Mao Tse Tung, Paman Ho Chi Minh hingga buku "Teknik Perang Gerilya" Jendral (purn) AH Nasution adalah bacaan wajib anggota Falintil.

Pulang kembali ke hotel di Dili, saya merenung angan-jangan tempat yang saya kunjungi kali ini adalah sebuah bangsa yang tengah menyongsong kemerdekaannya. Artinya, tak tertutup kemungkinan bila saya datang kembali ke tempat ini, saya terlebih dulu harus mengurus permohonan visa ke kedutaan "negeri tetangga" baru.

Reformasi di Jakarta berjalan setengah hati, begitu juga di Dili. Ada banyak sisa "kejayaan" Orde Baru yang bisa disaksikan di mana-mana. Pejabat produk KKN yang memiliki kedekatan dengan mantan Danjen Kopassus Letjen (purn) Prabowo Subianto dan keluarga Cendana masih bercokol kuat dengan kawalan kelompok "vigilante" semacam satuan Gadapaksi.

Berkeliling kota Dili kita akan menemukan slogan dan "ideologi" Adipura bertebaran di mana-mana. Mengikuti "mainstream" ideologi Adipura, kota Dili dinamakan sebagai kota "bertaiss". Tentu saja sebutan ini tak ada hubungannya dengan tenunan rakyat yang disebut kain tais. Dili "bertaiss" adalah singkatan dari kota Dili yang "bersih, tertib, aman, indah, sehat dan sopan" sebuah yang merupakan cerminan ideologi pembangunan a la Orde Baru. Yaitu perlombaan "menertibkan" dan "memperindah" wilayah masing-masing, bila perlu dengan cara menggusur perkampungan kumuh serta menyingkirkan kaum marginal dan sektor informal dari kawasan perkotaan.Pembangunan diidentikkan dengan kerapian, keindahan dan ketertiban semata.

Di masa lalu, Presiden Soeharto setiap tahun selalu membagikan piala Adipura kepada setiap kepala daerah yang berhasil mewujudkan cita-cita pembangunan yang "rapi", "indah" dan "tertib" tersebut. Para kepala daerah diperlakukan seperti layaknya anak SD yang harus rajin mengunting kuku dan cuci tangan, tanpa perlu memperhatikan sejumlah prolematika sosial yang sangat kompleks. Untuk itu lah setiap kota, seperti halnya Dili berlomba-lomba menamai kotanya masing-masing dengan memadukan sejumlah kata-kata "ajaib" yang tampaknya jadi kunci seperti "sehat", "tertib", "indah", "bersih", "nyaman", "ramah", "sopan" dan seterusnya. Alhasil munculah nama kota-kota baru semacam "Solo Berseri", "Salatiga Hatti Beriman", "Jakarta BMW", "Bandung Berhiber", "Boyolali Tersenyum" dan sebagainya.

Tak pelak lagi, melihat kota Dili kita akan melihat replika kecil kebijakan pembangunan a la Orde Baru yang lebih banyak memproduksi jargon ketimbang membenahi manusianya. Melihat beberapa kantor kelurahan di Dili, kita akan melihat pameran plang papan nama. Orang tak bisa membayangan bahwa sebuah kantor kelurahan yang kelihatan tak ada aktivitasnya, punya banyak organisasi itu, kok kemiskinan dan kesulitan hidup di Timor Timur masih begitu parah.

Melihat ideologi pembangunan di kota Dili rasanya tak lengkap bila kita tak berkunjung ke Patung Kristus Raja di Bukit Fatucama sekitar 7 km di sebelah barat laut Dili. Patung setinggi 17 meter (angka ini diambil karena Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945) yang diresmikan Presiden Soeharto pada 24 November 1996 ini barangkali adalah puncak dari prestasi Orde Baru dalam memproduksi simbol-simbol penaklukan Indonesia atas Timor-Timur.

Patung yang mencoba menyaingi patung terkenal "Christo Redentor" yang dibangun di Puncak Gunung Corcovado pada ketinggian 710 m dpl di dekat kota Rio de Janeiro, Brasil, ini sungguh tak ada apa-apanya. Meski disebut-sebut sebagai patung Kristus tertinggi setelah patung Kristus karya Ir Heitor da Silva Costa yang berketinggian 38 m lebar dengan bentangan tangan 28 m serta berat 1.145 ton di Brasil itu, kalau orang jeli mengamati patung di Dili ini akan menemukan sejumlah kejangggalan. Dan antara keduanya sama sekali tak bisa saling diperbandingan.

Patung Kristus di Bukit Fatucama yang gagal didanai Garuda Indonesia Airways dan rancangan seorang pematung tak ternama asal Bandung ini ternyata cuma merupakan sebuah bola beton dengan lempengan perunggu yang tenik sambungannya sangat kasar. Yang paling menimbulkan tanda tanya adalah tangannya yang menadah ke atas. Tak biasanya Kristus digambarkan seperti ini. Adegan orang "bersembahyang" dalam semua cerita tentang Yesus Kristus dalam terminologi Kristen hanya dikenal saat menjelang balada penyaliban. Tepatnya saat Yesus berdoa di Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kenapa? Karena orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Allah. Ia lebih kerap memberkati manusia, umatnya. "Tangan tengadah patung Kristus di Tanjung Fatucama lebih mirip dengan cara "orang Jawa" bersembahyang," ujar sebuah sumber yang memprotes keanehan patung tersebut.

Selain itu patung juga menghadap ke arah barat, di mana laut lepas membentang. Teman saya berkata, "Jangan-jangan Yesus sengaja diletakkan seperti ini dengan maksud untuk mengundang ikan-ikan di laut berdatangan ke daratan."

Banyak orang yang saya temui, menyatakan kecurigaan mereka atas ide pembangunan patung tersebut. "Jangan-jangan itu merupakan cara rejim Soeharto untuk menaklukkan hati orang Timor Timur yang begitu tinggi sikap religiusitasnya," ujar sumber tersebut.

Pemda sepertinya ingin menjadikan patung tersebut sebagai obyek wisata. Apalagi setiap hari selalu saja ada orang yang mendakinya hanya untuk keperluan bersembayang dan menyalakan lilin di kaki Yesus. Pemda membangun tempat parkir yang sangat luas, sejumlah kios dan warung juga didirikan. Tapi jangan heran bila semuanya kosong melompong. Beberapa bagian dari jalan menuju ke puncak bukit yang tadinya dibangun dengan cara mendinamit batu padas perbukitan Fatucama itu kini mulai longsor. Selama sekitar 1 jam menyelusuri jalan beton menuju puncak bukit yang dibangun Pemda Timor Timur kita juga akan menemukan bahwa beberapa bagian pagar pengaman hilang diambil orang. Tentu saja ini sangat berbahaya.

Lampu di 14 titik gua peristiwa penyaliban, juga pada dicopot. Saya menduganya ada tangan jahil yang mencurinya. Kabel lampu sorot patung juga terputus. Sinyalemen saya tentang pencurianm patah, ketika ada seorang mengatakan pada saya bahwa lampu-lampu sengaja dicopoti dan kabel diputusi oleh pihak militer untuk menghindari orang berkumpul di malam hari. Keadaan betul-betul menyedihkan. Di beberapa bagian batu konblok yang harusnya jadi jalan air di puncak bukit mengalami pergeseran dan terancam longsor. Pemda tampaknya tidak peduli dengan keadaan ini. Saya sulit membayangkan bahwa situs tempat ritual yang baru berusia 2 tahun ini sudah berantakan seperti itu.

Di jaman Orde Baru, kata "pembangunan" memang kerap berarti sebagai "penyeragaman", "pembabatan" atau "pembuldozeran". Itu yang juga tampak di Timor Timur. Pulau yang tadinya kaya dengan pohon cendana ini kini tak memiliki sisa secuil pun pohon cendana. Semua bibit cendana, pohon yang membuat pedagang Portugal datang ke Timor Timur berabad-abad lalu, telah diambil oleh perusahan tentara, PT Denok, yang bukan hanya menebangi tapi melakukan penjarahan total terhadap semua pohon cendana di Timor Timur.

Aksi penjarahan kayu cendana kian masif setelah Robby Sumampouw yang mendirikan PT Scent Indonesia dan PT Kerta Timorindo yang memegang lisensi atas ekspor cendana. Ribuan ton kayu cendana dan minyak wangi dijual dari Timor Timur oleh perusahanan yang berdiri dengan dukungan militer ini. Sungguh sebuah skandal lingkungan yang menggemparkan. Apalagi mengingat pemerintah Portugal telah melarang penebangan pohon cendana di Timor Timur sejak 1926 dengan maksud untuk melindunginya dari ancaman kepunahan.

Menyaksikan sisa kejayaan cendana Timor Timur saat ini hanya bisa kita lakukan dengan mengunjungi sejumlah toko cenderamata di Dili, seperti Toko Dili di Jl Bispo de Madeiros dan Toko Karya Seni Timor di Jl Jacinto Candido. Atau berkunjung ke kios-kios pedagang pinggir jalan di dekat Jl Albuquerque. Namun ada perbedaan yang mencolok, bila di toko suvenir kita masih menjumpai sejumlah cenderamata cendana dalam ukuran besar, maka di kios pinggir jalan kita hanya menjumpai potongan cendana kecil-kecil yang telah dikemas jadi rosario atau tasbih. Namun hati-hati, kalau kurang awas pembeli bisa tertipu sebab ada banyak "cendana muda" yang sebelum ditawarkan digosok terlebih dulu dengan minyak cendana hingga seolah-olah barang tersebut adalah cendana asli.

Di bawah politik pembangunan Orde Baru, wajah Dili dan Timor Timur ternyata tersembunyi di balik sejumlah slogan dan jargon. Keadaan sosial-ekonomi rakyat jauh dari baik. Barangkali itu lah kenyataan Timor Timur, apalagi di jaman krisis moneter, meski sejumlah penduduk seperti menghibur diri dengan mengatakan,

"Kami di sini sama sekali tak terpengaruh krisis ekonomi seperti halnya mereka yang di Jakarta. Dari dulu kehidupan di sini sudah sulit."

(BERSAMBUNG)


Kembali ke Daftar Isi