Indonesia Mengaku Diskriminatif

Singapura, JP.-

Pemerintah Indonesia, akhirnya, mengaku khilaf atas kebijakan diskriminasi yang selama ini diberlakukan di sektor pendidikan terhadap etnis Cina. Dengan kebijakan masa lalu itu, kata Mendikbud Juwono Sudarsono, beberapa etnis Cina Indonesia lebih suka belajar di luar negeri dan menetap di sana, seperti di Singapura.

Juwono tidak berkomentar atas statemen ‘’rasialis’’ dari Presiden B.J. Habibie buat Singapura, yang ditudingnya tidak memberi hak etnis Melayu menjadi perwira militer. Namun, apa yang dikatakan Juwono ini bisa dipandang sebagai alasan mengapa Habibie melempar statemen rasialis buat Singapura tersebut.

Dalam wawancara yang dimuat The Straits Times kemarin, Mendikbud mengakui bahwa pada dasarnya adalah kesalahan Indonesia yang telah menyia-nyiakan etnis Cina di masa lalu itu.

‘’Saya katakan kepada Presiden Habibie dalam pertemuan bahwa pada dasarnya kesalahan kita menyia-nyiakan warga keturunan Cina itu. Inilah saatnya mengakui kesalahan kami dan tidak menyalahkan etnis Cina atas segala sesuatu yang terjadi,’’ kata Juwono.

Dia kemudian menunjuk wujud diskriminasi itu pada rezim yang telah lewat. Misalnya, pemberlakuan batasan 10 persen bagi etnis Cina untuk bisa belajar di bidang medis, permesinan, sains dan hukum di universitas.

Menurut Juwono, saat itu, bukanlah tugas sulit untuk memprediksi respon minoritas terhadap kebijakan diskriminasi tersebut, yang prinsipnya tidak memberi mereka kesempatan sama. ‘’Beberapa lalu pergi belajar ke luar negeri, kemudian tinggal bersama keluarganya di negara seperti Singapura dan Australia.’’

Di sana, lanjut Juwono, mereka dan anak-anaknya mendapatkan kesempatan yang sama. Untuk mengoreksi langkah keliru itu, Juwono mengatakan bahwa Menteri Kehakiman Muladi telah membuka mata Presiden Habibie atas besarnya warga Indonesia keturunan Cina yang saat ini belajar dan bertempat tinggal di Singapura.

Malah, beberapa di antara mereka telah dipanggil pulang untuk mengabdi di tanah air sendiri. Sebuah undang-undang tahun 1958 yang diberlakukan Indonesia menentukan, etnis Cina yang memegang kewarganegaraan Indonesia akan dicabut statusnya itu bilamana yang bersangkutan terbukti masuk militer negara asing. Kewarganegaraan ganda juga tidak diperkenankan.

Dengan alasan nasionalisme, Desember lalu, Habibie memutuskan melarang warga Indonesia belajar ke luar negeri. Namun, larangan itu kemudian hanya berlaku bagi siswa sekolah dasar, bukan untuk jenjang selanjutnya.

Sebagai jalan tengah mengoreksi kesalahan masa lalu dan seruan nasionalisme itu, Juwono mengatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini lebih mengarah pada pencabutan paspor bagi warganya di Singapura yang terbukti masuk kewajiban bela negara di sana.

Mereka yang tidak ingin paspornya dicabut dan tetap bisa mengikuti kewajiban bela negara di Singapura, maka mereka terlebih dahulu harus memperoleh ijin dari Departemen Kehakiman. ‘’Kami tidak banyak merasa kehilangan bila 50 sampai 60 persen warga kami menjadi warga negara di negara lain. Itu persentase kecil dan kami masih bisa hidup tanpanya,’’ tutur Juwono.

Dubes Indonesia di Singapura, H. Mantiri, pernah menyatakan sudah melakukan pengumpulan data warga Indonesia yang menjalani bela negara di Singapura. Tetapi, sejauh ini Kedubes RI belum bisa mengumumkan temuannya.

Juwono sudah menyarankan Habibie agar menghapus batasan etnis Cina masuk di pendidikan itu. Habibie pun menjanjikannya. Namun, kata analis, sejauh ini larangan berkiprah sosial dan institusional bagi sekitar 8-10 juta etnis Cina itu masih belum dihapus. Sebab, Jakarta sendiri belum mencabut landasan hukum tadi.

DROP OUT DAN DEMO MAHASISWA

Sementara itu, menyinggung soal pendidikan di Indonesia di tengah krisis saat ini, Juwono mengaku sangat prihatin. Dikatakannya, lebih 5 juta anak setiap tahun harus putus sekolah (drop out).

Bila hal itu tidak segera diatasi, pemerintah akan mendapatkan tantangan besar jangka panjang yang mempengaruhi pemulihan ekonomi dan stabilitas politik. Mereka yang drop out itu adalah warga termiskin dari yang miskin.

‘’Kami menghadapi sesuatu yang pernah dialami negara lain, seperti Mesir, India, Nigeria dan, setidaknya, Filipina,’’ kata Juwono.

Soal demo mahasiswa, Juwono menegaskan, prinsipnya pemerintah tidak akan pernah melarangnya. Pemerintah tetap membolehkan demo itu tanpa waktu yang tidak terbatas sampai mahasiswa lelah dan menyerah.

Juwono menyadari saat ini ada kecenderungan pada beberapa mahasiswa yang begitu bangga dengan demo daripada belajar dan berprestasi. ‘’Beberapa mahasiswa itu hanya ingin memperoleh jatah (liputan) 15 detik pada siaran berita jam enam untuk menunjukkan mereka itu kompak menentang pemerintah.’’

‘’Baiklah, kami biarkan mereka terus melakukannya. Kami biarkan saja apa yang mereka ingin katakan sampai mereka capai karena setiap hari protes, lalu pasrah,’’ tutur Juwono.(sol)

IHCC - Indonesian Huaren Crisis Center Back to Witnesses/News