Home | Artikel | My Books

Gagal Menjadi GaramArtikel di bawah ini dikutip dari Gagal Menjadi Garam: Gereja di Tengah Gejolak Budaya (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2002), dengan kata pengantar oleh Xavier Quentin Pranata. Dapat diperoleh di toko buku terdekat atau secara online. Harga Rp. 12.5000,oo.

"Saat ini adalah 'zaman gereja'. Saat inilah waktu bagi gereja untuk memenuhi peran dan panggilannya dalam menjadi saluran berkat Allah bagi seluruh umat manusia. Peran dan panggilan gereja ini mungkin bisa dirangkum dalam singkatan 3R: revival, reformasi, dan restorasi.

Revival atau kebangunan rohani berbicara tentang keselamatan banyak orang. Reformasi adalah efek luas dari kebangunan rohani, yang dapat juga disebut sebagai pengudusan sosial. Adapun restorasi adalah pemulihan dan pembaruan gereja dalam segala bentuk dan fungsinya sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab.

Gagal Menjadi Garam merupakan kumpulan artikel yang dikemas bagi Anda untuk menggugah gereja agar menyadari betapa vital peran dan panggilannya, serta betapa besar tantangan yang dihadapinya."

Resensi atas buku ini dapat Anda baca di Suara Pembaruan.


Gagal Menjadi Garam

Sorang pakar hukum, sebagai kritiknya terhadap pemerintahan Orde Baru, mengibaratkan bangsa Indonesia sebagai seekor ikan berkepala busuk. Kalau kepalanya busuk, maka seluruh tubuh pun akan busuk. Yang diibaratkan sebagai kepala tidak lain adalah pemerintah Orde Baru pada umumnya, atau mantan kepala negara kita pada khususnya.

Perumpamaan tersebut konklusinya benar, namun aplikasinya keliru. Benar, kalau kepala busuk, maka seluruh tubuh akan busuk pula. Namun, kepala bangsa ini bukanlah pemerintahan sipil.

Tersekap oleh sindroma kroco jiwa (inferiority complex), kita tidak menyadari, bahwa kepala tersebut – yang menentukan segar-busuknya bangsa ini – tidak lain adalah orang-orang percaya. Kitab Suci menyebut orang percaya, antara lain, sebagai garam dunia (Matius 5:13). Bercakupan dunia – dengan kata lain, orang percaya tidak boleh puas hanya dengan berkutat dalam habitat rohaninya, namun mesti berani melangkah ke luar dan memberi dampak pada dunia sekitarnya.

Garam memiliki sejumlah karakteristik yang menggambarkan bagaimana seharusnya pengaruh umat percaya terhadap kehidupan dunia sekitarnya. Garam biasanya digunakan sebagai penyedap rasa. Orang percaya seharusnya menegakkan kesadaran moral suatu bangsa, sehingga dalam setiap aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan, dapat dirasakan adanya pengaruh dari cara-cara Allah. Misalnya, bila digunakan untuk menggarami buah anggur, garam membuat buah itu terasa manis. Orang percaya seharusnya dapat pula memaniskan kepahitan hati orang-orang yang merasa tertindas dan tersingkir. Garam dapat digunakan untuk mematikan rumput-rumput liar yang tumbuh pada retakan jalan setapak. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di bangsa ini seharusnya dapat dilenyapkan oleh pengaruh umat Tuhan. Garam dapat melembutkan es. Kita seharusnya dapat “mencairkan” kebekuan hati orang-orang yang mengeraskan diri dan menentang kebenaran Allah. Dan garam dapat mengawetkan makanan atau membuatnya tidak segera membusuk. Orang-orang Kristen seharusnya juga mempunyai pengaruh yang melindungi bangsa ini dari kemerosotan dan kebejatan moral.

Pada zaman nabi Elisa, berlangsung sebuah peristiwa menarik di kota Yerikho. “Berkatalah penduduk kota itu kepada Elisa: ‘Cobalah lihat! Letaknya kota ini baik, seperti tuanku lihat, tetapi airnya tidak baik dan di negeri ini sering ada keguguran bayi.’ Jawabnya: ‘Ambillah sebuah pinggan baru bagiku dan taruhlah garam ke dalamnya.’ Maka mereka membawa pinggan itu kepadanya. Kemudian pergilah ia ke mata air mereka dan melemparkan garam itu ke dalamnya serta berkata: ‘Beginilah firman Tuhan: Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi.’ Demikianlah air itu menjadi sehat sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa.” (2 Raja-raja 2:19-22).

Kita dapat menarik sejumlah kesejajaran dengan apa yang tengah berlangsung di negara kita. Bahwa “letak negeri ini baik”, meminjam kalimat sebuah iklan, dunia pun mengakuinya. Letak geografis kepulauan Indonesia sangat strategis, baik dalam percaturan politik maupun ekonomi internasional, serta kaya pula akan berbagai sumber daya alam. Namun, kita juga menyadari, there is something wrong, bahwa kekayaan itu tidak termanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat banyak, namun hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Kita dapat segera melihat penyebabnya: “Air” di negeri ini tidak beres. Air berbicara tentang sistem kehidupan, yang bersumber pada nilai-nilai moral yang kita anut. Air inilah yang telah membunuh “bayi-bayi” kita. Sistem pendidikan, misalnya. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, indoktrinasi yang berlangsung di ruang kelas telah memandulkan kreativitas dan daya nalar anak didik. Sistem hukum kita juga dipermainkan dan dilumpuhkan begitu rupa, sehingga mereka yang jelas-jelas berkubang dalam KKN pun dapat terus bermain api dan tetap untouchable.

Tentunya tidak cukup kita hanya meratapi ketidakberesan ini. Seperti disebutkan tadi, ketidakberesan ini berlangsung sekian lama sebenarnya tidak lain karena keengganan dan kelalaian kita sendiri. Kita  gagap dalam menjadi suara profetis yang menyampaikan kebenaran dan keadilan bagi bangsa ini. Kita gagal menaati firman Tuhan yang menyatakan: “Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: ‘Engkau pasti dihukum mati’ dan engkau tidak memperingatkan dia dan tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu dari hidupnya yang jahat, supaya ia tetap hidup, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya daripadamu” (Yehezkiel 3:18).

Kalau kita sungguh-sungguh menghendaki suatu perubahan ke arah kebaikan, kita memerlukan sebuah pinggan baru. Kita harus menaruh garam di dalamnya. Dan kemudian kita lemparkan garam itu ke arah mata air atau sumber permasalahannya.

Di sini Kitab Suci tidak sedang menawarkan sebuah agenda revolusi sosial. Revolusi mendesakkan perubahan melalui kekerasan. Berdasarkan dalil, bahwa suatu jenis hanya akan melahirkan jenisnya sendiri, kekerasan pun hanya akan melahirkan kekerasan. Revolusi, dengan demikian, tak ayal akan memakan korban. Padahal, paling jauh, ia hanya sanggup mengubah struktur luar tatanan sosial, sedangkan borok-borok moral di dalamnya masih tetap merajalela.

Revolusi bukanlah pilihan yang patut diambil, karena sumber permasalahan kita berkenaan dengan nilai-nilai moral, yang tidak bisa dicerabut dengan revolusi. Berbagai lembaga sosial, ekonomi dan pemerintahan yang ada dijalankan oleh orang-orang yang dikendalikan oleh kondisi hatinya, nilai-nilai moral yang dianutnya. Hati yang memberontak dan mengabaikan kebenaran dan keadilan melahirkan orang-orang yang tidak disiplin dan tidak terkendali. Akibatnya, lembaga yang diembannya pun menjadi keropos dan korup.

Dalam kondisi inilah peran sebagai garam menjadi sangat vital dan menentukan. Orang-orang percaya seharusnya terlebih dahulu berusaha untuk mendisiplinkan dirinya sesuai dengan standar kebenaran Allah (self-government). Ia selanjutnya akan menyebarkan kabar baik dan berusaha secara damai untuk menerapkan hukum-hukum Allah ke dalam kehidupan budaya sekitarnya, dengan bersandar sepenuhnya kepada Roh Kudus bagi keberhasilan usahanya. Ia menyadari, bahwa tidak ada, dan tidak akan pernah ada, masyarakat yang sempurna dalam dunia sekarang ini. Ia juga menyadari, Kerajaan Allah itu menyebar seperti ragi pada adonan roti – bukan melalui ledakan besar-besaran yang menimbulkan kerusakan, melainkan melalui peresapan secara bertahap. Ia mengakui, bahwa keadilan, kebenaran dan kedamaian merupakan buah dari pencurahan Roh Kudus di dalam hati manusia. ***

© 2003 Denmas Marto