Home | Resensi Film

Finding Neverland (2004)

Imajinasi yang Terfokus

Menurut ideal kaum Romantis, karya cipta terbesar dalam hidup -- hal ini bukan hanya terbatas pada karya seni, namun mencakup seluruh "buah" kehidupan kita -- adalah yang terlahir melalui imajinasi yang terfokus. Dengan kata lain, imajinasi yang disertai dengan ketekunan, kegigihan, dan perjuangan penuh jerih payah untuk mewujudkannya. Finding Neverland memaparkannya melalui proses kreatif J.M. Barrie dalam melahirkan naskah dramanya yang paling mashyur, Peter Pan.

Film garapan Marc Foster ini menggambarkan bagaimana Barrie (Johnny Depp) menemukan inspirasi untuk drama itu melalui hubungannya dengan Sylvia Llewelyn Davies (Kate Winslet), seorang janda dengan empat bocah laki-laki. Sepanjang proses itu, ia mesti bergulat dengan kekangan isterinya, keprihatinan produsernya, dan pandangan mencemooh masyarakat London pada zaman itu terhadap hubungannya dengan Sylvia (film ini menyajikannya lebih sebagai hubungan platonis). Sampai akhirnya ia menemukan Neverland, dan merampungkan sebuah karya yang, menurut Peter Davies, "ajaib".

Sebuah adegan manis memperlihatkan Barrie dan isterinya bergantian membuka pintu kamar (kamar mereka terpisah). Kamar sang isteri terlihat seperti kamar biasa dengan cahaya yang redup. Kamar Barrie berkilauan bagaikan sebuah taman bermain fantastis. Menjelang akhir, diperlihatkan sekilas keelokan Neverland -- barangkali dapat dibaca sebagai simbol negeri impian yang jauh di kedalaman hati kita rindukan, kita nanti-nantikan.

Finding Neverland mengajak kita untuk merayakan imajinasi -- menyimak, melatih, menumbuhkembangkan, dan mendayagunakannya saat kita menghadapi kesulitan dan ketumpulan hidup. Ia juga berbicara tentang kematian, kedewasan, dan kearifan dalam menyikapi penderitaan. Sebuah film yang diakhiri dengan bisikan yang membuat kita merenung lebih jauh. *** (09/06/2005)

-- Dimuat di Bahana.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto