Home | Resensi Film

Raging Bull

Banteng Ketaton Menapaki Via Dolorosa

Raging BullRaging Bull punya padanan pas dalam bahasa Jawa: banteng ketaton. Bahasa Inggris melukiskan akibatnya (mengamuk); bahasa Jawa menyoroti penyebabnya (terluka).

Si banteng ketaton itu adalah Jake La Motta, petinju kelas menengah kontroversial tahun 1940-an dan 1950-an. Ia bertarung dan mengamuk bukan hanya di tengah ring tinju, namun juga di tengah arena kehidupan dan keluarganya. Hantu-hantu yang mencengkeram jiwanya adalah kegundahan seksual, amarah, kecemburuan, beraduk dengan ketakberdayaan. Korbannya adalah lawan-lawannya (Jake tidak puas hanya mengalahkan, namun mesti menghajar mereka habis-habisan), saudaranya, pernikahannya, dan akhirnya dirinya sendiri. Sampai ia kehilangan gelar, kehilangan saudara, kehilangan isteri dan anak-anak, lantas terpuruk sebagai komedian carut bersosok gembrot menyedihkan.

Di ajang Oscar, film berdasarkan kisah nyata ini tergusur oleh Ordinary People. Namun, sejarah berbicara lain. Dalam polling yang diadakan majalah bergengsi Sight & Sound pada tahun 2002, Raging Bull nangkring di posisi kedua film terbaik selama 25 tahun terakhir.

Sepanjang film 129 menit ini, menurut hitungan Tim Dirks, ada delapan adegan tinju, dengan total waktu tak lebih dari 10 menit. Namun, adegan-adegan itu terasa dominan dan terus terbayang-bayang. Editing yang memadukan adegan pertarungan serba cepat dengan slow-motion, berbagai efek suara ("ledakan" lampu blitz, suara binatang, degup jantung), pencahayaan dan sudut pengambilan gambar yang unik, termasuk dari dalam ring, berfokus pada intensitas pertarungan. Pertandingan tinju serta-merta menjelma jadi sebentuk ritual ibadah, lengkap dengan korban berdarahnya. Roger Ebert menganalogikan adegan-adegan pertarungan itu dengan pengakuan dosa dalam tradisi Gereja Katholik. Kalau Rocky memakai sarung tinju sebagai sepatu kaca Cinderella, Raging Bull menjadikan arena tinju sebagai via dolorosa. Melaluinya, si banteng ketaton yang "buta" itu akhirnya "melihat" sosok dirinya, sebagaimana tercantum pada title card penutup -- sebuah tafsir brutal atas Injil Yohanes 9:24-26.

Keputusan Scorsese untuk menggarap film ini dalam format hitam-putih (hanya judul berhuruf merah dan beberapa cuplikan video keluarga yang berwarna) sangat efektif. Muncratan cairan tubuh tak lagi bisa dibedakan, mana air mana darah. Kalau disajikan berwarna jelas akan sangat vulgar dan membuyarkan perhatian. (Terpikir, The Passion of the Christ bisa jadi akan jauh lebih reflektif bila Gibson juga memaparkannya dalam format hitam-putih.)

Akting De Niro cukup dilukiskan dengan satu kata: menggelegak. Perubahan sosok tubuhnya saja sudah mengesankan. Pada awal karirnya, Jake La Motta tampil ramping tegap, lalu perutnya sedikit buncit setelah menjadi juara, dan akhirnya membengkak sekitar 25 kg setelah pensiun (syuting sempat rehat untuk menunggu De Niro menaikkan berat badan). La Motta betul-betul hadir sebagai personifikasi seekor banteng, seorang pria tanpa kedalaman, dan hanya bergerak oleh naluri dan hawa nafsu. Dikungkung oleh kecurigaan, ia menjadi pribadi yang tak mampu menerima cinta. Kecemburuannya terhadap Vickie, isterinya, dibesut dalam slow-motion mencekam. (Dengan bandingan ini, penampilannya di This Boy's Life jadi terkesan sebagai pengulangan murahan dari seorang aktor yang telah luruh vitalitas aktingnya.)

Film tidak berakhir dengan kekalahan Jake di ring tinju. Scorsese masih meluangkan waktu untuk memotret kemerosotannya sesudah itu, dan upayanya untuk meraih kembali serpih-serpih kehidupannya. Ia berusaha berdamai dengan masa lalunya, merangkul Joey, dan bermonolog perih di depan cermin. Raging Bull, dengan demikian, bukan sekadar film tinju, melainkan sebuah kajian karakter yang menukik tajam. *** (05/02/2005)

RAGING BULL. Sutradara: Martin Scorsese. Skenario: Paul Schrader dan Mardik Martin, berdasarkan buku Jake La Motta dengan Joseph Carter dan Peter Savage. Pemain: Robert De Niro, Joe Pesci, Cathy Moriarty, Frank Vincent, Nicholas Colasanto. Asal/Tahun: AS, 1980.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto