| J.R.R. TolkienPenulis The Lord of the
        Rings
 Para pakar
        sastra kebakaran jenggot. Bagaimana mungkin sebuah cerita fantasi menang?
        Mereka kembali menggelar jajak pendapat, dan karya Tolkien kembali
        unggul. Ketika jajak pendapat diulang untuk ketiga kalinya, untuk ketiga
        kalinya pula publik menegaskan pendapat mereka: Tolkien adalah favorit
        mereka. New Line
        mengangkat buku itu ke layar perak. Desember 2001 lalu, bagian pertama
        film LOTR, The Fellowship of the Ring, diluncurkan. Dua bagian
        lanjutannya akan diedarkan berturut-turut pada Natal tahun ini dan tahun
        depan. Sampai April 2002, The Fellowship telah menduduki
        peringkat kelima dalam daftar film terlaris sepanjang sejarah untuk
        peredarannya di seluruh dunia. Nah, tahukah
        Anda kalau penulis LOTR adalah seorang Katholik yang saleh? Cinta BahasaJohn Ronald
        Reuel Tolkien lahir di Afrika Selatan tahun 1892. Ayahnya meninggal
        tidak lama setelah adiknya lahir. Beberapa tahun kemudian, setelah
        mereka pindah ke Birmingham, sang ibu meninggal, dan kakak-beradik itu
        pun dibesarkan oleh imam Gereja Katholik. Prestasi belajar
        Tolkien biasa-biasa saja, namun bakat kebahasaannya sangat menonjol.
        Berkat didikan dan disiplin ibunya, Tolkien sudah fasih membaca dan
        menulis sebelum berumur empat tahun. Ia memahami cara kerja bahasa, dan
        bahkan menyusun suatu bahasa tersendiri. Ia menekuni kecintaan pada
        bahasa ini dengan belajar di Oxford dan kemudian mengajar filologi di
        kampus itu. Ia termasuk salah satu profesor yang paling terhormat di
        Oxford. Dari kecintaannya akan bahasa itulah ia menjelajahi berbagai
        mitologi dunia. Ia menulis LOTR, katanya, untuk memberi Inggris
        mitosnya sendiri. Latar mitos ini adalah Dunia Tengah, sebuah dunia yang direka olehnya, lengkap dengan peta dan bahasanya. LOTR adalah kisah epik tentang cincin bertuah yang diwariskan kepada Frodo Baggins, seorang hobbit muda, dan bagaimana peranannya dalam sejarah Dunia Tengah. (Hobbit adalah makhluk seperti manusia, tingginya sekitar setengah tinggi manusia normal. Mereka biasa tinggal dalam lubang, suka makan, suka berkebun dan suka hadiah.) Mitos dan KebenaranMengapa menulis
        mitos? Meskipun kebanyakan orang melihat mitos sebagai kisah tentang
        sesuatu yang tidak benar atau tidak nyata, Tolkien beranggapan
        sebaliknya. Menurutnya, ada kebenaran yang melampaui diri kita,
        kebenaran transenden, tentang keindahan, kebenaran, kasih, dsb. Meskipun
        kebenaran itu tidak terlihat, bukan berarti ia tidak nyata. Melalui
        bahasa mitoslah kita dapat mengungkapkan kebenaran ini. Pandangan
        Tolkien tentang mitos ini sangat menolong C.S. Lewis untuk kembali
        mempercayai Kekristenan. Semua mitos lain di dunia, kata Tolkien, adalah
        campuran antara kebenaran dan kesalahan. Kebenaran – karena mitos itu
        ditulis oleh orang-orang yang diciptakan oleh dan bagi Allah; kesalahan
        – karena mitos itu ditulis oleh mereka yang telah kehilangan kemuliaan
        Allah. Namun, Alkitab adalah satu-satunya mitos yang benar. Alkitablah
        catatan kebenaran yang sejati, sedangkan semua mitos lain hanya
        menyalinnya. PersahabatanTolkien juga
        sangat menghargai persahabatan. Hal ini tampak jelas baik dalam karyanya
        maupun dalam kehidupannya. Dalam LOTR, kita dapat melihat
        persahabatan antara Frodo dan Sam serta Frodo dan Aragorn. Dalam
        kehidupannya, ia bersahabat erat dengan C.S. Lewis. Persahabatan
        adalah karunia. Persahabatan berlangsung sewaktu dua orang bertemu dan
        memiliki perspektif, pengalaman, pengertian, “kekayaan” atau beban
        yang sama. Dan persahabatan seperti ini patut dihargai. Tolkien dan
        Lewis jelas menghargai persahabatan mereka. Tolkien menulis, “Saya
        banyak mendapatkan berkat dari persahabatan dengan Lewis. Selain
        mendatangkan kegembiraan dan penghiburan, saya juga dikuatkan karena
        berhubungan dengan seorang pria yang jujur, berani, cerdas – seorang
        sarjana, penyair dan sekaligus filsuf – dan yang akhirnya, setelah
        bergumul sekian lama, menjadi orang yang mengasihi Tuhan kita.” Seperti HobbitTolkien melihat
        dirinya seperti hobbit, kecuali tinggi badanya. Ia suka makan,
        suka berkebun dan berjalan-jalan di desa. Ia juga suka mengisap pipa,
        suka cerita, suka berteman. Ia mencintai keluarganya, dan lebih senang
        tinggal di rumah daripada bepergian. Ia suka bercanda, ramah dan murah
        hati. Ia tidak bertekad untuk mengubah dunia, namun ia bertekad untuk
        menjalani kehidupan yang telah Tuhan berikan ini dalam ketaatan. Ia percaya bahwa
        keluarga, rumah dan pekerjaan adalah jantung kehidupan kita. Pekerjaan
        berarti semua yang dilakukannya, bukan hanya yang mendatangkan
        penghasilan. Ia biasa makan tiga kali sehari dan minum teh bersama
        keluarganya. Baginya, keluarga, rumah dan pekerjaan adalah hal-hal saleh
        yang lebih menyenangkan hati Allah daripada “perbuatan baik” lainnya. Menikah dengan
        Edith Bratt, ia dikaruniai empat anak – John, Michael, Christopher,
        and Priscilla. Joseph Pearce dalam bukunya, Tolkien: Man and Myth,
        menulis, "Cukup beralasan untuk menduga bahwa seandainya Tolkien
        tidak dikaruniai anak, ia tidak akan menulis The Hobbit atau LOTR."
        Selama menulis LOTR, Tolkien biasa mengirimkan bab-bab yang telah
        rampung kepada anaknya, Christopher. LOTR berakhir
        di rumah hobbit. Sebagian orang menganggapnya sebagai antiklimaks
        mengingat luasnya cakupan epik tersebut. Namun hal ini hanya menegaskan
        bahwa, bagi Tolkien, semua peperangan, heroisme dan perbuatan yang penuh
        keberanian tidaklah seberharga apa yang berlangsung dalam keseharian
        kita yang bersahaja. Sesuatu yang Lebih BaikHidup Tolkien
        juga penuh akan visi masa depan. Bukan visi tentang apa yang akan
        dilakukannya bagi Tuhan, melainkan visi tentang apa yang Tuhan sediakan
        baginya. Pikirannya terarah pada apa yang oleh Calvin disebut sebagai
        “meditasi tentang kehidupan yang akan datang”. Ia sadar dan yakin
        sepenuhnya bahwa “Semua penderitaan yang kita alami sekarang... tidak
        dapat dibandingkan sama sekali dengan kemuliaan yang akan dinyatakan
        kepada kita.” Fakta bahwa kita merindukan sesuatu yang lebih baik, menurutnya, membuktikan bahwa memang ada hal yang lebih baik yang disediakan bagi kita. Ia menulis pada seorang teman: “Kita lahir pada zaman kegelapan yang tidak ramah pada kita. Namun inilah penghiburan kita: kalau tidak demikian kita tidak akan tahu... apa yang kita kasihi. Saya bayangkan, ikan yang di luar air adalah satu-satunya ikan yang mendapatkan firasat tentang air.” Orang Kristen adalah ikan yang di luar air, hidup di luar lingkungan yang semestinya bagi dia. Kita adalah pengembara, orang asing, orang buangan, yang akan segera pulang. Tolkien sendiri
        pulang ke rumah Bapanya pada 2 September 1973. *** © 2003 Denmas Marto |