Galian
Singset Sastra Banjar
Oleh Sainul Hermawan
Tulisan “Mendiskusikan Lagi Sastra
Banjar” (Radar Banjarmasin, 10-17/07/2005),
selanjutnya disingkat “MLSB”, semakin memperjelas bahwa
tulisan tersebut belum mendudukkan posisi sastra Banjar secara
jelas karena definisi normatif sastra Banjar yang menjadi
pijakan uraiannya sangat rentan untuk dipersoalkan oleh
unsur-unsur uraian bersambung itu sendiri. Maksud tidak jelas
di sini adalah, penggunaan parameter bahasa sebagai penentu
identitas dalam uraiannya sangat tidak stabil: di satu sisi
bahasa dipandang mampu jadi pembeda, tetapi di sisi lain
bahasa dipandang tak kuasa jadi pembeda karena ada
pertimbangan-pertimbangan di luar bahasa yang menjadikan
sesuatu sebagai sastra ini atau sastra itu.
Jadi sangat tepat jika penulisnya
menyatakan, pada kalimat awal paragraf ke-10, bahwa dengan
menggunakan bahasa Banjar sebagai identitas utama sastra
Banjar, sastra ini dapat dibedakan secara relatif tegas
dengan sastra Jawa, Sunda, dan sebagainya. Kata relatif
yang mengawali frase relatif tegas tersebut juga
mengisyaratkan makna oposisionalnya, yaitu relatif tidak
tegas, jika kita kaitan paragraf tersebut dengan paragraf
ke-12.
Paragraf 10 dan 12 memperlihatkan
secara kasat mata betapa tidak tegasnya menjadikan faktor
bahasa sebagai penentu identitas sastra (baik lokal maupun
nasional). Jika di paragraf 10 penulis sangat yakin bahwa
bahasalah yang membedakan antara sastra yang satu dengan
sastra yang lain. Sastra Banjar beda dengan sastra Bali karena,
menurut penulis, sastra Banjar ditulis dalam bahasa Banjar,
sementara sastra Bali ditulis dalam bahasa Bali. Perbedaan itu
terjadi karena faktor Bahasa.
Tetapi pada paragraf 12 penulis juga
membenarkan adanya kenyataan bahwa bahasa tak mampu menyamakan
sastra yang satu dengan sastra yang lain. Pernyataan itu oleh
penulis ditunjukkan dengan mencontohkan kasus Max Havelaar
dan beberapa karya terjemahan lainnya yang telah tertulis
dalam bahasa Indonesia, namun karya-karya tersebut tetap tidak
digolongkan sebagai sastra Indonesia. Dalam hal ini parameter
pembedanya bukan bahasa tetapi faktor non-bahasa.
Dari dua kasus kontradiktif ini dapat
kita tarik kesimpulan bahwa karya sastra yang tertulis atau
ditulis dalam bahasa Indonesia belum tentu dapat disebut
sebagai sastra Indonesia (misalnya karya sastra terjemahan)
karena penulisnya tidak lahir, tinggal, bekerja, pendeknya
hidup di Indonesia dan karya awalnya tidak ditulis dalam
bahasa Indonesia.
Bahkan selayaknya para sastrawan Banjar
yang menulis dalam bahasa Indonesia tidak serta merasa bahwa
mereka telah menjadi sastrawan Indonesia hanya karena mereka
telah menulis dengan bahasa Indonesia, karena sastra Indonesia
sebagai institusi sosial belum tentu ikhlas memasukkan mereka
dalam lingkarannya. Sastra Indonesia, oleh institusi sosial
itu, adalah sastra yang bersirkulasi di media-media yang
berbasis di Jakarta. Seringkali parameter bahasa
dikesampingkan dan ia lebih mengedepankan parameter kualitatif
yang juga absurd.
Jadi, bukan bahasalah pemberi identitas
utama terhadap sastra yang ingin dihubungkan dengan entitas
etnis tertentu. Di luar bahasa ada indikator-indikator
fiksional di luar teks yang bersifat situasional yang ikut
menentukan identitas sastra, yaitu aparat-aparat non-bahasa
seperti otoritas kritik, penerbit, politik sastra, dan
sebagainya.
Jadi, kalau kita tergesa-gesa
mengeksklusi, menyingkirkan, sastra karya sastrawan Banjar
yang ditulis dalam bahasa Indonesia dari lingkaran sastra
Banjar hanya karena pertimbangan membela definisi normatif,
dalam hemat saya, sangat kurang tepat. Definisi sastra Banjar
yang agak anarkis itu tidak perlu ditempatkan sebagai
identitas utama. Cukup ia ditempatkan sebagai identitas pheriperal,
semacam salah satu spare part identitas yang setara
dengan elemen-elemen identitas sastra Banjar yang lain. Dengan
demikian, sastra Banjar bukan hanya sastra yang ditulis dalam
bahasa Banjar. Dengan pengertian ini dialog antara keduanya
bisa lebih terbuka.
Dalam kecenderungan pergaulan sastra
yang semakin terdesentralisasi, kini orang semakin tak musim
mempersoalkan sastra daerah dan nasional dalam pengertian
hierarkis yang timpang, di mana sastra nasional dipandang
lebih prestisius daripada sastra lokal. Dalam konteks otonomi
lokal, sastra Banjar harus jadi pusat di Banjar sendiri,
tetapi bukan dalam rangka menutup diri bagi kemungkinan
membuka cakrawala sastra yang lebih luas.
Dalam era desentralisasi sastra, sudah
kurang layak jika memfantasikan bahwa sastra Horison,
Kompas, Republika, dan semacamnya adalah sastra nasional
karena status media bukan satu-satu penentu identitas
kewibawaan sastra. Sastra tetap jadi minoritas di mana-mana,
namun bukan mustahil ada kemampuan lokal yang dapat membuatnya
menjadi mayoritas (meski ini mimpi). Jadi, media lokal di
Banjar memiliki peluang membesarkan sastra lokal melebihi
kebesaran sastra nasional asalkan ada keinginan dari semua
pihak untuk memajukan dinamika sastra Banjar.
Kemungkinan ini pun semakin
memperjelas bahwa identitas sastra Banjar ke depan tidak
semata ditentukan terutama oleh faktor bahasa. Jadi, bahasa
bukan identitas utama sastra Banjar. Karena semua pihak yang
mau ikut meramaikan khasanah sastra Banjar juga menganggap
bahwa bahasa Indonesia juga bahasa Banjar karena bahasa
Indonesia bukan entitas homogen. Meskipun orang Banjar dan
Jawa sama-sama bisa berinteraksi dalam bahasa yang sama, kita
masih dapat mengidentifikasi identitas pembedanya dari
intonasi, diksi, sintaksis, bahkan semantiknya. Orang Banjar,
sebagai hakikat penutur yang hidup, tetap berbahasa Indonesia
dengan “rasa” dan “logika” kebanjaran
yang kental.
Jadi, memasukkan sastra karya
sastrawan Banjar yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam
kelompok sastra Indonesia yang ada di Kalimantan Selatan (Kalsel) adalah klasifikasi yang rapuh secara filosofis karena sastra
Banjar semacam ini berada dalam kemungkinan yang sama untuk
menempati dua dunia (baca: genre) sastra yang berbeda:
Sastra Banjar dan Sastra Indonesia. Sebab, status bahasa
Indonesia sebagai lingua franca sangat menisbikan
identitas, tetapi lebih mengedepankan pengembangan komunitas
tutur.
Bisa atau tidaknya sastra Banjar
masuk ke dalam salah satu atau kedua dunia sastra tersebut
sekaligus sangat tergantung kepada kepentingan politik orang
yang ingin menyatakannya. Di definisi identitas sastralah
politik sastra bekerja secara samar. Tentu sangat disayangkan
jika aset lokal sastra Banjar yang ditulis dalam bahasa
Indonesia hendak diusir secara konseptual dari lokalnya
sendiri, sementara karya-karya itu secara sosiologis belum
terterima sebagai sastra Indonesia yang dibayangkan dalam
kerangka ideal.
Definisi eksklusif yang
menyandarkan pengertian sastranya hanya kepada bahasa Banjar
hanya akan mempersempit wilayah sastra Banjar. Sebaliknya,
definisi yang lebih longgar akan menyamankan para sastrawan
Banjar untuk keluar-masuk, pulang-pergi, dari bahasa Indonesia
ke bahasa Banjar atau sebaliknya.
Marilah kita tengok beberapa
definisi sastra dari tempat lain yang sempat saya baca di Wikipedia free encyclopedia pada 12 Juli 2005. Sastra Amerika-Afrika adalah
sastra yang ditulis oleh, mengenai, dan kadang-kadang
ditujukan bagi orang Amerika yang berasal dari Afrika. Genre
sastra ini berawal pada abad ke-18 dan ke-19 dengan para
penulisnya yang cukup terkenal seperti Phillis Wheatley dan Frederick Douglass. Genre ini mencapai puncaknya mada
masa Harlem Renaissance, dan kini diteruskan oleh para
penulis seperti Toni Morrison dan Maya Angelou. Mereka kini
menduduki peringkat atas dalam jajaran penulis di Amerika.
Identitas sastra tidak diperoleh karena faktor bahasanya
tetapi orientasi kulturalnya yang condong menjelajahi peranan
Negro Amerika dalam masyarakat Amerika yang luas,
mengeksplorasi persoalan-persolan perbudakan, persamaan,
rasisme, dan budaya negro Amerika.
Wikipedia free encyclopedia juga mencatat definisi sastra Arab yang tidak bertumpu
semata-mata pada parameter bahasa yang digunakan penulisnya.
Menurut encyclopedia ini, sastra Arab mengacu pada
semua bentuk sastra yang ditulis oleh orang Arab atau sastra
yang terkait dengan budaya Arab. Definisi sastra semacam ini
juga membuka peluang bagi kemungkinan karya non-Arab yang
ditulis dalam bahasa Arab. Jadi bahasa Arab bukan identitas
utama yang menentukan kearaban genre sastra Arab.
Masih merujuk pada ensiklopedi
yang sama, definisi sastra Inggris pun tak hanya didasarkan
pada kategori bahasa sebagai identitas utamanya. Sastra
Inggris (British literature bukan Britanian
literature) didefiniskan sebagai sastra yang berasal dari
Inggris dan daerah di sekitarnya. Sebagian besar memang
ditulis dalam bahasa Inggris tetapi ada beberapa sastra yang
ditulis dalam bahasa Wales, Scottish Gaelic, Scots dan bahasa
lain juga dimasukkan dalam sastra Inggris. Jika kita
beranalogi pada kenyataan ini, sebenarnya sastra Banjar dalam
bahasa Banjar juga dapat kita sebut sebagai sastra Indonesia
jika kita sudi dan rela memahami Indonesia tidak sekedar pada
persoalan bahasa.
Sastra Inggris dalam konsep English
literature agak beda dengan sastra Inggris dalam
konsep British literature. Dalam bingkai definisi ini
sastra Inggris didefinisikan sebagai sastra yang ditulis dalam
bahasa Inggris tanpa menghiraukan asal penulisnya. Maka sastra
Inggris dalam konsep ini mencakup warga yang sangat luas dan
mendunia. Warga sastra ini sangat beragam, seperti Joseph
Conrad adalah orang Polandia, Robert Burns adalah orang
Skotlandia, James Joyce dari Irlandia, Edgar Allan Poe dari
Amerika, dan Salman Rushdie dari India.
Jadi, agak janggal jika dikatakan,
pada bagian awal paragraf ke-13 tulisan “MLSB bagian 1”,
bahwa karya sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh
pengarang berkewarganegaraan Amerika dan diterbitkan di
Amerika tidak pernah disebut sebagai sastra Inggris, tetapi
selalu dimasukkan dalam sejarah sastra Amerika. Pernyataan
ini tidak janggal jika yang dimaksud sastra Inggris dalam
tulisan tersebut adalah British Literature, namun
janggal jika kerangka yang diacunya juga termasuk English
Literature.
Pertanyaan kritis yang harus
dijawab oleh warga sastra Banjar adalah apakah sastrawan
Banjar memang ingin mempersempit wilayah sastra Banjar dengan
menjadikan identitas utama sastranya adalah bahasa? Kalau
sastra Inggris menjadikan identitas bahasa untuk memperluas,
sebaliknya kalau sastra Banjar menjadikan bahasa sebagai
identitas utama justru mempersempit: singset tuh pang.
Sapardi Djoko Damono yang
dikabarkan dalam bukunya, Politik, ideologi, dan Sastra
Hibrida (1999: 236), pernah memimpin penelitian dan
penulisan sejarah sastra Indonesia yang diharapkan selesai
pada 2003, sampai sekarang hasilnya belum dapat kita lihat
karena dia juga harus menghadapi kesulitan yang luar biasa
sulitnya ketika harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
sastra Indonesia. Sebab, konsekuensi holistik dari definisi
yang mencakup seluruh dinamika sastra Indonesia harus dapat
memayungi semua genre yang ada mulai dari Sabang sampai
Merauke. Jadi, definisi bukan sesuatu yang sepele bagi upaya
yang serius.
Apalagi kalau kita lihat definisi
sastra Kanada, bahasa sama sekali tak masuk sebagai ciri
dominan. Menurut ensiklopedi tersebut, ini terjadi akibat
situasi sejarah dan geografi Kanada yang unik. Karena itu,
identitas sastra Kanada lebih ditentukan oleh ciri-ciri
intrinsiknya seperti humor Kanada, ironi dan satir khas Kanada,
wira sastra yang underdog, tema anti-Amerikanisme.
Uraian lebih lengkapnya bisa diperiksa sendiri di http://en.wikipedia.org/wiki/Canadian_literature.
Demikian juga dengan definisi
sastra Perancis yang tidak hanya mengacu kepada sastra yang
hanya ditulis dalam bahasa Perancis, tetapi juga mencakup
sastra yang ditulis oleh warga Perancis dalam bahasa lain
selain bahasa Perancis. Bahkan sastra yang ditulis dalam
bahasa Perancis oleh warga dari bangsa lain disebut sebagai
sastra Francophone.
Dengan tidak mengabaikan sastra
Banjar yang ditulis dalam bahasa Indonesia justru akan
memperkuat jajaran sastra lokal di banua ini. Berpegang pada
definisi yang ideal agaknya lebih nyaman dan lebih
menentramkan karena definisi ideal lebih mampu membuka peluang
bagi beragam kemungkinan. Definisi sastra Banjar yang terlalu singset,
atau terlalu ketat, dalam hemat saya justru merugikan sastra
Banjar sendiri dan definisi semacam itu tidak akan pernah
terlepas dari ilusi, ironi, dan kontradiksi sebagaimana telah
diperlihatkankan oleh paragraf 10 dan 12 di tulisan bersambung
itu. Bagi saya, identitas Banjar dalam sastra Banjar sebaiknya
diletakkan dalam bingkai orientasi kultural dan kewargaan
tanpa terlalu meributkan identitas bahasanya sehingga
identitas kebanjaran bisa lebih berpeluang mendunia.
Demikianlah tulisan ini menggali ilusi, ironi, dan kontradiksi
sastra Banjar yang singset tersebut, yang hanya
disandarkan terutama pada bahasa Banjar.
Saya bukan sama sekali alergi
jika sastra diberi identitas bahasa asalkan kepentingannya
jelas. Beberapa penelitian yang sempat memuat definisi sastra
dan disitir oleh “MLSB” bagian 2, memang telah tepat
mendefinisikan sastra untuk kepentingan penelitiannya yang
telah dibatasi oleh konteks yang ditujunya. Tetapi ingat,
definisi yang telah dikemukakan oleh pakar-pakar sastra yang
tenar itu tidak pernah lepas dari kebimbangan. Hanya saja
mereka harus menepis kebimbangan itu demi kepraktisan
penelitian. Karenanya, definisi yang mereka tawarkan harus
tetap dibaca dengan lebih teliti. Artinya, kebenaran hakiki
definisi-definisi itu mungkin juga tidak tampil utuh karena
ada atribut-atribut lain yang sebenarnya layak tampil tetapi
dengan sengaja dikesampingkan.
Jadi, persoalan mendefinisikan
sastra Banjar yang telah dicoba dihubungkan dengan cara
pendefinisian sastra dunia dan sastra lokal lainnya bukan
semata persoalan kuantitatif. Persoalan kualitatif
pendefinisian itu penting pula dikedepankan. Dalam paradigma
kualitatif, kita tak perlu latah dengan definisi serupa yang
telah dinyatakan oleh banyak orang. Sebab, benar atau salah
dalam paradigma kualitatif bukan sekedar banyak atau sedikit
pernyataan yang serupa. Dalam paradigma kualitatif, yang
banyak itu bisa saja terjebak pada kesalahan bersama dan yang
sedikit belum tentu sepenuhnya keliru.
Dalam konteks kekinian, menjadikan bahasa Banjar sebagai
identitas utama sastra Banjar yang pada hakikatnya polisemik (hakikat
yang saya tangkap setelah membaca beberapa penelitian yang
pernah dilakukan Jamal, Sofyan, dan Sunarti) adalah sangat
tidak prospektif, kurang inklusif, dan mempersempit ranah.
Dalam diskusi di ranah publik ini, yang batasnya cenderung
belum jelas, saya lebih suka mengedepankan perspektif yang
lebih terbuka bagi kemungkinan perbedaan gagasan untuk
mendefinisikan sastra Banjar. Kesimpulan akhirnya mungkin baru
dapat kita peroleh jika kita telah mendengar suara-suara lain.
Ini sebenarnya kesempatan untuk
membuktikan apakah sastra Banjar itu memang ada atau hanya
dibayangkan ada? Jika memang ada seberapa besar komunitasnya?
Seberapa banyak koleksi pustakanya? Berapa banyak jumlah
pembacanya? Ini adalah parameter non-bahasa yang juga
potensial untuk membuktikan eksistensi identitas sastra Banjar.
Identitas sastra Banjar harus digali secara induktif
dan kolektif agar galian kita tentangnya tidak terlalu singset
(baca: ketat, sempit, dan terbatas).
|