Sastra
Banjar, Ngalih Banar
(Tanggapan
untuk Jamal T. Suryanata)
Oleh
Sainul Hermawan
Ada
beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik kalau kita sempat
membaca esai Jamal T. Suryanata, “Senyum Nurdin dan Sastra
Banjar,” di Cakrawala (Radar Banjarmasin, 26/06/05).
Sebuah esai bergaya cung parahu, siapa kana kada tahu.
Konon gaya retorika semacam ini bermakna serius sekaligus
main-main. Serius karena isu itu dilemparkan kepada sesuatu
yang berpotensi membentur segala sesuatu di sekitarnya.
Main-main karena ada semacam ignorance, ketakacuhan,
dan tak mau menanggung akibatnya jika yang terkena lemparan
itu “sakit”. Dengan kata lain, esai ini sudah sejak awal
pasang kuda-kuda kultural yang mapan dengan secara tidak
langsung ingin mengatakan: jangan sarik, ini hanya
main-main. Atau, konon, dengan cara demikian, penulisnya
menyadari adanya sesuatu yang mungkin keliru, karenanya sejak
awal dia perlu mengakhiri tulisannya dengan cung..., dalam
pengertian, “maaflah kalau aku salah.”
Pertama,
dia risau, resah, dan gelisah melihat proses alienasi yang
sedang berlangsung di kalangan generasi muda Banjar terhadap
realitas budaya dan kearifan lokal mereka. Alienasi itu antara
lain, menurut Jamal, diakibatkan oleh gempuran dahsyat budaya
Barat dengan beragam variannya yang menggoda hasrat gaya hidup
baru (new life style). Di samping itu budaya selebritis
Jakarta (budaya nasional?) yang menyusup samar-samar masuk ke
rumah-rumah orang Banjar melalui kotak ajaib yang bernama TV
juga, oleh penulis sakindit kisdap Banjar ini, dianggap
sebagai faktor lain yang ikut mengikis identitas
“kebanjaran” orang Banjar (lihat paragraf 2 dan 3).
Mencurigai
atau menyalahkan orang/budaya lain (Barat, Jakarta) semacam
ini adalah sikap klise yang sering didengungkan dengan
menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya rumit. Ada nuansa
sikap pembenaran diri sendiri, penyederhanaan Barat atau
Jakarta secara negatif, dan lupa bahwa potensi sikap kultural
yang buruk sebenarnya juga berakar di sini. Kompleksitas
bagaimana beragam pikiran orang Banjar menyerap, menerjemahkan,
budaya luar agak kurang dihiraukan. Bukankah apa yang ada di
segala sektor kehidupan orang Banjar dulu, kini, dan esok
tidak sepenuhnya berasal dari Banjar? Tidak wajarkah ini
sebagai proses silang budaya? Banjar belajar Barat dan Barat
belajar Banjar.
Kedua,
salah satu pihak yang pantas dituding sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas perlindungan budaya, terutama dalam hal
cagar alam sastranya adalah lembaga pendidikan yang telah
mengikrarkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang
memberikan perhatian terhadap keberadaan bahasa dan sastra
Indonesia dan daerah. Sayangnya, menurut narator imajiner
dalam esai Jamal (yang bisa saya saja dibaca sebagai
representasi suara penulis esai itu sendiri), kajian sastra
Banjar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah (PS PBSID) yang ada di Banjar kurang mendalam dan
terkesan sebagai disiplin tempelan belaka. Secara paradigmatik,
kritik ini sangat jelas diarahkan oleh penulisnya ke
almamaternya, di mana si penulis secara intens pernah mengkaji
sastra Banjar dan menghasilkan tesis yang relatif monumental,
berjudul Cerpen
Banjar 1980-2000, Tinjauan Struktur, Isi dan Konteks Sosialnya.
Menurut narator dalam esai Jamal, skripsi sastra si
perpustakaan PS-nya, masih didominasi oleh kajian sastra
Indonesia. Jamal (atau naratornya?) meninggalkan pertanyaan
bagi kita: ketika sastra Banjar tak diminati mahasiswa, apa
atau siapa yang salah, sastra Banjar, mahasiswa, dosennya atau
pertanyaan yang semacam ini? (lihat paragraf 5).
Tidak
ada yang patut disalahkan. Perkembangan minat dan perhatian
terhadap sastra Banjar akan turut ditentukan waktu. Lagi pula
posisi sastra daerah dalam PS PBSID tidak bermakna lokal
tetapi sangat nasional. Artinya, mahasiswa dari daerah-daerah
lain di Indonesia dapat mempelajari sastra Banjar, sastra
daerahnya sendiri, ataupun sastra daerah lain di Indonesia.
Ketiga,
ada kritik pedas bagi karya sastra yang ditulis oleh mahasiswa
di Banjar. Mungkin dia merespons beberapa cerpen KCPM 2005
yang sempat hadir di Cakrawala setiap Minggu. Mungkin juga
tidak. Menurutnya, cerpen karya mahasiswa itu jelek dan
menggelikan. Tetapi dia harus tetap bersikap apresiatif agar
generasi penerus tradisi sastra Banjar tak berkecil hati dan
berhenti berkreasi (lihat paragraf 7). Tetapi, dalam logika
tulisan cung parahu, kritik seacam itu tidak semata
ditujukan kepada karya mahasiswa yang jelek, tetapi juga
dilempakan kepada karya sastrawan Banjar yang kualitas
tulisannya masih setaraf dengan karya mahasiswa. Anjuran
baiknya, siapapun sastrawan itu, jika ingin karyanya dibaca
dan berbobot, harus banyak membaca karya-karya sastra dunia.
Pendeknya, seniman tak boleh koler dan arogan (puas dengan apa
yang telah dicapainya di situ-situ saja).
Keempat,
dia mengaku punya serangkaian kiat untuk menulis sastra Banjar
yang berbobot. Menurutnya, dalam kiatnya, sastra Banjar yang
baik harus ditulis dalam bahasa Banjar yang baik, dalam
pengertian bahasa Banjar yang kaya, variatif, kontemplatif,
berwawasan, dan sebagainya, dan seterusnya. Dengan kata lain
dia ingin mengatakan, sastrawan Banjar jangan sampai koler
membaca jika karyanya ingin bermakna dalam, bermutu tinggi,
dan akhirnya mampu menstimulasi minat pembaca, dan sekaligus
penelitian sastra Banjar (lihat paragraf 8).
Dari
keempat kesimpulan yang dapat saya catat ini, ada satu
generalisasi utama yang agak gegabah dalam mendefinisikan
sastra Banjar jika yang dimaksud oleh esai itu hanya sastra
yang ditulis dalam bahasa Banjar. Esai Jamal tersebut
tampaknya mampu melepaskan penulisnya dari kegalauan ketika
dia harus mencoba mendefinisikan sastra Banjar untuk
kepentingan akademik yang pernah dilaluinya. Mengapa tiba-tiba
dia berbalik arah dan dengan mantap mengatakan bahwa bahasa
Banjarlah identitas utama sastra Banjar.
Keyakinan
ini jelas mengeksklusi, menyingkirkan, sekelompok karya sastra
yang ditulis oleh sastrawan Banjar dalam bahasa Indonesia.
Asumsi teoretis ini mengingkari pengetahuan penulisnya sendiri
tentang kompleksitas mendefiniskan sastra Banjar seperti
pernah dia tuliskan dalam tesisnya.
Dalam tesisnya dia mengakui bahwa ada tiga kategori
yang dapat digunakan untuk mendefinisikan sastra dalam
hubungannya dengan persoalan hakikat identitasnya (seperti
kategori bahasa, kewarganegaraan, dan orientasi sosiokultural).
Ketiganya
merupakan realitas rumit yang saling terkait dan tidak bisa
berdiri sendiri. Artinya, hakikat sastra Banjar tak semata
dapat ditentukan secara mati dan pasti oleh faktor bahasanya
saja, seperti halnya sinetron atau film yang berbahasa
Indonesia tidak serta merta dapat dianggap sebagai karya
sinema Indonesia. Penonton paling awam pun akan menolak
menyebut film India sebagai film Indonesia meski seluruh tokoh
dalam film itu telah mahir berbahasa Indonesia berkat jasa dubber
(juru sulih suara).
Mengapa
bisa demikian? Karena penonton bukan realitas pasif. Penonton
pun punya pikiran aktif yang mampu mengidentifikasi ciri-ciri
visual yang mereka tangkap sebagai bukan bagian dari realitas
visual lokal mereka. Bahkan masih terbuka bagi
kemungkinan-kemungkinan lain untuk menggagas kategori lain
dalam memahami definisi sastra Banjar demi kepentingan praktis
tertentu.
Demikian
pula dalam mendefiniskan sastra Banjar. Karya sastra berbahasa
Banjar juga memiliki peluang untuk disebut bukan sebagai
sastra Banjar. Seperti halnya Jamal mengatakan bahwa Si Palui
itu bukan sastra Banjar karena ia hanyalah pembanjaran cerita
dalam bahasa Indonesia. Pelajaran tentang bagaimana seharusnya
kita menghadapi definisi sastra yang memang selalu berpotensi
kabur dapat kita baca melalui penelitian George Quinn (1992)
ketika dia meneliti novel berbahasa Jawa dalam disertasinya
yang berjudul The Novel in Javanese.
Dalam
seluruh uraiannya dia sama sekali tidak berani menyebut
novel-novel yang ditelitinya sebagai novel Jawa, tetapi dengan
penuh kehati-hatian dia menyebut novel-novel tersebut dengan
istilah the novel in Javanese atau novel berbahasa Jawa.
Untuk konsumsi pembaca koran, mungkin tidak ada bahaya sama
sekali jika istilah sastra Banjar yang agak semena-mena itu
ditawarkan. Tetapi, untuk penggunaan akademik, Quinn telah
memberikan teladan agar jangan terlalu mudah menyimplifikasi
persoalan yang sebenarnya rumit sebelum segala aspek evaluatif
mengenai sastra Banjar yang sesungguhnya dipaparkan secara
lengkap.
Sebenarnya sudah lama Terry Eagleton (dalam
Literary Theory, An Introduction, 1988: 5-7)
menjelaskan betapa rapuhnya jika kita mendefiniskan sastra
dengan berlandaskan pada faktor bahasa semata. Secara
metaforik, cara mendefiniskan sastra Banjar yang dilandaskan
pada bahasa dapat dianalogikan dengan upaya mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan sastra dan bukan sastra yang ngalih
banar.
Eagleton
menyimpulkan bahwa faktor
bahasa sastra yang khas dan bahasa keseharian yang
biasa adalah konsep yang bermasalah karena bahasa biasa
yang dimaksud di sini diposisikan sebagai entitas homogen
sehingga apa yang dianggap biasa menjadi ilusi. Batas antara
bahasa yang biasa dan yang khas sebenarnya juga kabur karena
bahasa sesungguhnya terdiri atas beragam variasi dan wacana,
mengikuti keberagaman kelas sosial, daerah, dan jenis kelamin
(Eagleton, 5-7).
Kenyataan
semacam ini pun akan dihadapi oleh sastra Banjar. Penghuni
sastra Banjar itu juga tidak sehomogen yang dibayangkan Jamal.
Dalam konstelasi pemahaman sastra sebagai realitas bersama,
pembaca yang aktif juga punya peran otoritatif untuk menyebut
karya sastra yang seperti apa di banua ini yang layak disebut
sebagai sastra Banjar. Dalam esainya Jamal telah memainkan
peran otoritatifnya sebagai penulis yang relatif terkenal dan
ingin mengidentikkan sastra Banjar dengan bahasa Banjar. Jika
dipaksakan demikian, sastra Banjar menjadi rumah yang sangat
eksklusif dan ngalih banar dimasuki oleh karya sastra
berorientasi sosiokultural Banjar dan ditulis oleh warga
Banjar dalam bahasa Indonesia.
|