Sastrawan
dan Dunia Serba Jiplakan
(Membaca
Indikasi Penjiplakan dalam Cerpen Aliman Syahrani)
Oleh
Sainul Hermawan
Dunia
kita penuh dengan jiplakan. Di rumah, di sekolah, dan di
masyarakat kita senantiasa diajarkan untuk meniru bagaimana
berperilaku tertentu. Peluang untuk tampil beda secara khas
dan individual hampir mustahil. Kita cenderung beradaptasi
pada perilaku komunitas kita yang terkecil.
Kenyataan
ini mungkin telah jadi inspirasi bagi terjadinya penjiplakan
di segala sektor kehidupan. Dalam beragama kita menjiplak,
sistem pendidikan kita menjiplak, hukum kita menjiplak,
jurnalisme pun menjiplak, bahkan dunia seni dan hiburan tak
luput dari penjiplakan. Menjiplak memang memudahkan,
menyenangkan, dan bahkan kadang-kadang diperlukan.
Meskipun
demikian bukan berarti sama sekali tak tersisa ruang untuk
menegaskan diferensiasi, untuk membedakan diri dari yang
kaprah, atau untuk menunjukkan pencapaian yang “orisinal”,
“asli” dan “murni”. Pencapaian seseorang menemukan
keaslian tak dapat dioposisikan secara mutlak dengan
ketakberdayaan untuk terus terlelap dalam kekaprahan, dalam
dunia jiplakan. Keaslian dan jiplakan senantiasa beroposisi
secara gradatif.
Dalam
bahasa Saut Sitomorang (Cybersastra.net, 26 Agustus
2002), ketika merespons gagasan Faruk dan Jakob Sumardjo
tentang lenyapnya orisinalitas dalam sastra cyber, sebuah
teks adalah orisinalitas itu sendiri. Orisinalitas yang tidak
orisinal. Sebuah teks adalah anak kawin silang teks-teks lain.
Teks-teks lain adalah anak kawin silang teks-teks lain, dan
seterusnya. Mempertanyakan orisinalitas adalah seperti
mempertanyakan silsilah "ayam/telur dan telur/ayam".
Kedalaman tak ada hubungannya dengan orisinalitas. Kedalaman
pun adalah anak kawin silang kedalaman-kedalaman lain.
Konsep
penting tentang orisinalitas yang tak lagi orisinal dalam
pandangan Saut Situmorang yang perlu digarisbawahi adalah
“anak kawin silang”. Teks adalah mozaik kutipan-kutipan.
Ia sesuatu yang hibrida. Teks lain digunakan untuk menciptakan
teks yang unggul, punya ciri-ciri yang relatif baru.
Idealnya,
sebuah teks baru seharusnya merupakan sintesis dari teks-teks
yang diserapnya. Teks baru selayaknya bukan “anak cloning”
yang lahir dari proses genetika yang sejauh ini masih dianggap
“haram”.
Respons
terhadap keaslian dan jiplakan di kalangan seniman sastra,
penikmat, dan kritikus sastra pun beragam. Mereka yang tetap
berpegang pada prinsip formalis yang terkenal dengan konsep
defamiliarisasinya, akan senantiasa mengukur keberhasilan
karya sastra melalui kemampuannya menegaskan perbedaan dirinya
dengan genre dan gaya yang telah ada.
Bagi
mereka, menjiplak adalah sesuatu yang haram. Karena sastra
yang baik harus selalu tampil baru, tampil beda. Tetapi bagi
mereka yang memuliakan kaidah-kaidah posmodernisme dalam
meresepsi sastra akan senantiasa bersikap permisif terhadap
masuknya unsur-unsur teks lain dalam sebuah karya sastra. Kaum
posmodernis memiliki parameter khas dalam menilai orisinalitas
yang tidak orisinal lagi. Kebaruan tetap merupakan sesuatu
yang dicari di dalamnya.
Menyikapi
cerpen “Calon Gubernur” karya Aliman Syahrani (Radar
Banjarmasin, 27/03/2005) yang serupa tapi tak sama dengan
cerpen “Idealisme” karya Putu Wijaya dalam kumpulan
cerpennya, Ngeh (1997: 81-84, diterbitkan oleh Pustaka
Firdaus), dapat diletakkan dalam kerangka teori pemahaman di
atas. Secara formalistik cerpen Aliman dapat dianggap sebagai
cerpen yang sama sekali basi bagi mereka yang telah membaca
cerpen Putu sebelumnya, atau setelah membaca dan kemudian tahu
bahwa Putu telah menuliskan cerita yang nyaris persis dengan
karya Aliman. Kasus ini ditemukan oleh kawan-kawan seniman
Banjarbaru. Penulis diminta mereka memberikan komentar. Inilah
yang dapat saya lakukan.
Cerpen
“Idealisme” menceritakan pengusaha muda yang ingin merebut
peluang bisnis yang ditawarkan investor asing. Taipan asing
itu terkesan dengan idealisme pemuda yang datang menemunya.
Namun, bagi Si Taipan idealisme pengusaha muda tersebut kurang
praktis untuk cepat kaya. Karena Taipan punya kesan semacam
itu, pemuda pengusaha merasa pendekatannya gagal. Pada
pertemuan kedua, pemuda itu mengaku tak idealis lagi. Karena
pengakuannya, Taipan memilihnya sebagai partner.
Cerpen
“Calon Gubernur” menceritakan seorang akademisi yang
mencoba peluangnya menjadi calon gubernur dalam Pilkada Kalsel
2005-2009. Dia menemuai ketua parpol. Percakapan antara dia
dan ketua parpol nyaris serupa dengan dialog antartokoh dalam
cerpen “Idealisme”. Sebagai ilustrasi, bandingkanlah dua
cuplikan paragraf berikut ini.
Cuplikan
dari cerpen “Idealisme”:
“Saya tahu saya ini nekat,” kata pengusaha muda itu.
“Saya tahu Anda akan mengatakan tak punya referensi tentang
diri saya. Saya tahu Anda akan melemparkan proposal yang saya
bawa ini ke keranjang sampah, sebelum Anda memeriksanya. Saya
tahu ini semuanya akan sia-sia. Sebab Anda sebelum datang ke
Indonesia pasti sudah punya pilihan. Ini semuanya, seperti
biasanya, hanya sebuah sandiwara. Tapi tak apa. Tak ada
salahnya untuk mencoba” ( “Idealisme”, 1997, paragraf
ke-2).
Cuplikan
dari cerpen “Calon Gubernur”:
“Saya tahu saya ini nekad,” kata akademisi muda itu
blak-blakan. “Saya tahu Anda akan mengatakan tak punya
referensi tentang diri saya. Saya tahu Anda akan melemparkan curiculum
vitae yang saya bawa ini ke keranjang sampah, sebelum Anda
memeriksanya. Saya tahu ini semuanya akan sia-sia. Sebab Anda sebelumnya
pasti sudah punya banyak pilihan. Ini semua,
seperti biasanya, seperti semua orang mafhum, hanya sebuah
formalitas, hanya sandiwara. Tapi tidak apa-apa.
Tak ada salahnya untuk mencoba” (“Calon Gubernur”, 2005,
paragraf ke-3).
Nuansa
perbedaan kedua dialog ini hanya terletak pada bagian yang
telah saya miringkan. Perbedaan itu pun sangat tipis pada
frase-frase tertentu. Persamaan dan perbedaan tipis semacam
itu dapat dengan mudah ditemukan jika kita membandingkan,
misalnya, dialog dalam paragraf ke-5, ke-6, dan seterusnya
(dalam cerpen Putu) dengan dialog dalam paragraf ke-7,
ke-8, ke-9, dan seterusnya (dalam cerpen Aliman).
Yang
orisinal dari cerpen Aliman hanya pada aspek latar, tokoh,
judul, dan sedikit variasi komposisi. Plot dan tema berasal
dari cerpen Putu. Untuk beberapa hal keduanya tidak simetris
secara mutlak. Gelagat orisinalitas yang tidak orisinal ini
dapat memiliki tiga makna, bahkan mungkin juga lebih. Pertama,
persepsi pembaca berperspektif formalis akan menganggap ini
sebagai penjiplakan yang dapat menggerogoti kredibilitas
penulisnya sebagai seniman. Kedua, persepsi pembaca
berperspektif posmodernis bisa menganggap cerpen Aliman
sebagai fenomena main-main belaka sebagai realitas
tekstualitas dunia. Ketiga, mungkin ada sejumlah pembaca yang
sedang mensuspendir interpretasinya sebelum Aliman
menyampaikan pertanggugjawaban proses kreatifnya dalam
menyikapi kasus ini.
Di
sinilah Aliman punya kesempatan untuk menjelaskan kredo
prosanya kepada publik pembacanya yang masih percaya bahwa
pengarang punya hak jawab atas temuan ini. Marilah kita
tunggu bersama pembelaan Aliman untuk melengkapi multitafsir
yang dapat menghiasi medan pemaknaan teks cerpen “Calon
Gubernur”.
Banjarmasin,
28 April 2005
|