Inilah kenapa sebabnya Pertamina rugi melulu. Pendapatannya habis untuk gaji Direkturnya yang terlalu besar. Belum fasilitas rumah AC dan mobil sedan untuk para karyawannya. Oleh sebab itu, Pertamina rugi, tapi Direktur dan karyawan Pertamina kaya raya

Minggu, 20 Juni 2004

Gaji Direksi Pertamina Tak Etis

Lebih Tinggi dari Presiden, Terancam Batal dalam RUPS

Jakarta,- Kenaikan gaji direksi Pertamina yang rata-rata mencapai 50 persen ternyata membuat gerah sejumlah menteri di kabinet pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Beberapa menteri memberikan kritikan tajam. Mereka menilai, gaji tersebut tidak layak diberikan mengingat pemerintah sedang konsentrasi melakukan recovery ekonomi.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie misalnya, mengaku heran dengan usulan komite remunerasi yang memunculkan skema kenakan gaji direksi. Ditengah krisis finansial di tubuh Pertamina, usulan komite remunerasi dinilai tidak wajar.

Menurut Kwik, dengan komposisi gaji baru yang sebesar Rp 150 juta untuk Dirut dan Rp 140 juta untuk direktur, berarti gaji direksi Pertamina lebih tinggi sekitar tiga kali lipat dari gaji presiden. Gaji itu juga delapan kali lipat lebih tinggi dari gaji yang didapatkan oleh menteri setiap bulannya.

Secara netto, lanjut dia, gaji presiden adalah sekitar Rp 50 juta sampai Rp 60 juta. Sedang netto gaji menteri sebesar Rp 19 juta. ''Sebagai perusahaan negara, kenaikan gaji direksi Pertamina itu lucu. Apalagi, pemerintah dan korporasi di Indonesia sedang dalam proses melakukan recovery ekonomi,'' papar menteri jebolan Nederlandsche Economiche Hogeschool, Rotterdam Belanda itu.

Kwik yang juga mantan anggota Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) itu mengakui, kekisruhan ini berawal dari digantinya Dirut Pertamina Baihaki Hakim dengan dirut baru Ariffi Nawawi bersamaan dengan berubahnya status Pertamina BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menjadi BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Sejak dipegang Ariffi, ungkapnya, likuiditas Pertamina menurun dan memunculkan konflik internal. Selain itu DKPP diganti menjadi Dekom (Dewan Komisaris) Pertamina. ''Jadi, sejak pergantian direksi itu, kondisi Pertamina tidak menjadi lebih bagus. Tapi kok malah minta kenaikan gaji,'' tutur Mantan staf Menko Ekonomi Kabinet Persatuan Nasional periode 1999-2000 itu heran.

Yang unik lagi, sebutnya, kenaikan gaji tersebut telah ditandangani Laksamana Sukardi selaku komisaris utama Pertamina pada 24 April 2004. Padahal, Laksamana Sukardi juga yang memberikan persetujuan karena posisinya sebagai Menteri Negara BUMN. ''Laksamana itu memimpin kantor kementrian yang membawahi Pertamina. Jadi posisinya sangat rancu dan bisa menimbulkan konflik interest,'' katanya.

Karenanya, agar tidak menimbulkan kontroversi, ayah tiga putra dan suami dari Dirkje Johanna de Widt itu menyarankan agar kenaikan gaji itu ditinjau ulang. Misalnya, ditinjau kebijakannya melalui mekanisme RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Selain Kwik, salah satu menteri yang cukup gerah dengan naiknya gaji direksi BUMN minyak itu adalah Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) Soenarno. Menteri yang mantan Dirjen Sumber Daya Air Dep Kimpraswil pada 2001 tersebut mengaku heran dengan disetujuinya kenaikan gaji Pertamina.

''Yang benar saja gaji direksi Pertamina naik segitu. (gaji) Menteri saja tidak sebesar itu,'' katanya. Dalam hitungan LSM Masyarakat Profesional Madani (MPM), untuk merealisasikan kenaikan gaji itu, Pertamina perlu mengeluarkan dana ekstra internal sebesar Rp 3 miliar.

Angka Rp 3 miliar didapat setelah melakukan perhitungan jumlah besaran gaji Rp 150 juta itu ditambah dengan jumlah seluruh direksi dan komisaris serta dihitung mundur 10 bulan. Kenaikan gaji tersebut memang dihitung mundur sejak Oktober 2003 yakni saat pelantikan direksi dan komisaris hingga bulan depan.

''Kalau ada tambahan sebesar itu (Rp 3 miliar), kasihkan saja ke Kimpraswil, saya nanti akan bangun rumah buat rakyat,'' cetusnya. Karenanya, Senarno setuju jika publik mengkritisi kenaikan gaji direksi Pertamina. Dia juga mendukung jika kementrian BUMN melakukan review atas keputusan tersebut.

Sementara, dari sumber koran ini di Pertamina, sebelum ada kebijakan menaikkan gaji direksi, gaji lama Dirut Pertamina ketika dijabat Baihaki Hakim adalah sekitar Rp 80 juta sampai Rp 90 juta. Sedang direksi dibawah Baihaki Hakim menerima sekitar Rp 70 juta setiap bulannya.

Formula baru gaji direksi Pertamina itu juga lebih tinggi dari gaji Dewan Gubernur BI. Yang masuk daftar dewan gubernur adalah Gubernur BI, empat deputi gubernur, dan seorang deputi gubernur senior (DGS). Menurut Kepala Divisi Komunikasi Bank Indonesia (BI) Rusli Simanjuntak, gaji Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dengan jajaran dewan gubernur lainnya, tidak boleh lebih dari dua kali gaji pegawai tertinggi di BI.

Pegawai tertinggi di BI adalah pegawai yang menjabat sebagai direktur BI. ''Direktur BI itu gaji tertinggi adalah sebesar Rp 25 juta. Jadi, gaji dewan gubernur tidak boleh lebih dari dua kali Rp 25 juta (Rp 50 juta, Red). Hal itu telah diatur dalam Undang-undang BI,'' papar Rusli.

Sementara, soal kenaikan gaji direksi yang baru, Baihaki Hakim enggan memberi komentar. Menurut dia, posisinya sekarang yang sudah di luar Pertamina tidak dalam posisi memberi tanggapan. ''Tidak etis saya menanggapi hal itu,'' katanya.

Sementara, mantan Sekretaris Dewan Komisaris Pertamina, yang juga menjadi anggota Komite Remunerasi, Maizar Rachman mengatakan, pertimbangan untuk menaikkan gaji direksi itu dilakukan karena status Pertamina sudah berubah menjadi BUMN. ''Jadi, masalah gaji itu mengacu kepada ketentuan BUMN,'' katanya kepada Pontianak Post kemarin. Dia menjelaskan, di dalam ketentuan BUMN, besarnya gaji direksi ditentukan oleh revenue BUMN yang bersangkutan.

Menurut dia, penentuan gaji direksi Pertamina diputuskan melalui mekanisme RUPS. Namun, Maizar mengaku dirinya tidak mengetahui secara pasti, proses persetujuan kenaikan gaji direksi Pertamina tersebut. ''Sebab, saya sudah tidak lagi menjabat sekretaris Dewan Komisaris. Memang dulu saya menjadi anggota komite remunerasi,'' katanya.

Dalam surat yang disampaikan Komite Remunerasi kepada Komisaris Utama Pertamina, yang juga Men BUMN, Laksamana Sukardi, disebutkan bahwa kenaikan gaji direksi Pertamina tersebut dilakukan dengan pertimbangan, Pertamina sebagai salah satu BUMN besar. Sehingga, dari hasil pendataan Komite yang dipimpin oleh Syafruddin A Temenggung (komisaris Pertamina) itu mengusulkan gaji Direktur Utama Pertamina Rp 150 juta, dan gaji Direktur Rp 140 juta.

Di dalam, surat yang disampaikan kepada Laksamana Sukardi tersebut, Komisaris Utama Pertamina itu menyetujui, dan mengeluarkan disposisi yang berbunyi: Setuju dengan usulan, dengan catatan komposisi disesuaikan dengan standar formula Kementrian BUMN. Kebijakan yang sudah diputuskan oleh Komite Remunerasi dan komisaris, disposisi Komisaris Utama agar dilaksanakan.

Ketua Komisi VIII DPR, Irwan Prayitno menganggap kenaikan gaji direksi Pertamina itu sebagai tindakan yang tidak etis. Sebab, sebelumnya direksi Pertamina mengungkapkan kondisi keuangan BUMN perminyakan itu sedang babak belur. Direksi Pertamina bahkan meminta kepada pemerintah untuk tidak lagi membayarkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di akhir tahun. Juga meminta kenaikan fee untuk kegiatan pengolahan BBM dan distribusi BBM dari USD 0,4 per barel menjadi USD 0,8 per barel.

"Jika benar gaji direksi Pertamina naik, sementara mereka mengatakan kondisi keuangan sedang hancur, itu tindakan yang sangat tidak etis," jelas Irwan saat dihubungi kemarin. Dia mengungkapkan, sebaiknya kondisi keuangan Pertamina diperbaiki lebih dulu, baru kemudian gaji direksi dinaikkan. ''Direksi mengaku kondisi keuangan babak belur. Seharusnya diperbaiki dulu, baru gaji dinaikkan,'' papar politisi dari Fraksi Reformasi itu.

Soal lanjutan penjualan tanker, menurut dia, Komisi VIII DPR juga mendesak agar penjualan VLCC Pertamina kepada FrontLine Ltd. Seharga USD 184 juta (Rp 1,71 triliun) dibatalkan. Alasannya, dari data yang dikumpulkan, diketahui penjualan VLCC itu merugikan bagi negara. Selain itu, proses penjualan tanker tersebut dianggap melanggar UU. Namun, Irwan mengaku DPR belum memutuskan apakah direksi Pertamina bisa dijerat hukum atau tidak. "Kita masih dalam tahap mengumpulkan data. Jika dibatalkan Pertamina hanya membayar ganti rugi 2 persen saja. Itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kerugian yang akan ditanggung," papar Irwan. Komisi VIII sendiri akan melakukan koordinasi dengan Komisi IX DPR untuk memanggil Dewan Komisaris dan Direksi Pertamina.(yun/ton)

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=60252

kembali