Selasa, 22 Maret 2005

Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Untung

BULAN Februari lalu, saat musim hujan turun di Jawa Barat, setiap hari sepulang sekolah, Irman Maulana (16), siswa Kelas II SMP Negeri Cibatu I, Kabupaten Garut, Jawa Barat, harus menaiki Gunung Kancil dalam keadaan lapar. Guyuran hujan dan sambaran petir tak mematahkan usahanya mendaki.

Anak kelima dari enam bersaudara ini sudah yatim. Ibunya bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan dia tinggal bersama keluarga kakaknya di rumah panggung milik orangtuanya di Kampung Kancil, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Kampung ini berada di puncak Gunung Kancil. Jarak antara rumah dan sekolahnya sekitar enam kilometer.

Kampung tersebut sebetulnya hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Ketika menuju kampung itu, Kompas harus menggunakan ojek motor. Namun, untuk bisa sampai ke rumah Irman, Kompas harus berjalan kaki lebih dari setengah perjalanan karena bongkahan batunya cukup besar dan sulit dilalui kendaraan roda dua, apalagi berboncengan.

Bongkahan batu ini sudah disusun masyarakat Kampung Kancil. Mereka berharap pemerintah bisa segera menutupinya dengan batu-batu tajam sekaligus mengaspalnya. Namun, sampai sekarang harapan itu masih tinggal harapan. Di beberapa bagian jalan setapak selebar satu meter tersebut masih terdapat jalan-jalan yang hanya bertanah merah. Di jalan inilah biasanya Irman tergelincir.

TIBA di rumah, dengan tubuh menggigil, Irman langsung mencuci seragamnya agar bisa digunakan kembali ke sekolah esok harinya. Ia hanya memiliki dua kemeja dan satu celana seragam sekolah.

Jika keluarganya memiliki makanan, Irman bisa langsung makan. Namun, dia lebih sering melupakan rasa lapar dengan tidur siang atau mencari kayu bakar ke hutan karena kakaknya tidak memiliki makanan.

Meski hidup begitu sulit, Irman yang hobi membuat puisi dan menggambar itu tidak pernah berniat berhenti sekolah. Bahkan, meski dia tahu bahwa dirinya tidak pernah mengantongi uang sepeser pun.

Impitan ekonomi tidak hanya membuat Irman harus belajar dalam keadaan lapar, tetapi membuatnya minder kalau harus bergaul dengan teman-teman sebayanya di sekolah. Ia sering diledek sebagai anak gunung. Irman kini duduk sendiri di kelas karena merasa tidak nyaman berada bersama teman- temannya yang berkehidupan lebih baik. Kondisi psikologi yang tertekan sebetulnya membuatnya semakin sulit memecahkan masalah.

Ketika guru mengadakan ulangan mendadak, misalnya, Irman beberapa kali tidak bisa mengikutinya. "Kalau pinjam ke teman, sering kali tidak dikasih," kata Irman. Akibatnya, dia hanya duduk melamun di kelas sambil menahan kesedihan karena tidak bisa ikut ulangan dan mendapat kesempatan memiliki nilai seperti teman- temannya.

Hal yang sama sering menimpa Ade Sutrisna (14), teman sekelas Irman.

ADE kerap tidak ikut ulangan karena tidak mempunyai uang. Kehidupan keluarga Ade semakin sulit sebab ayah tirinya, yang bekerja sebagai pedagang asongan di Jakarta, sudah dua bulan tidak pulang atau mengirimkan uang.

Ayah kandungnya meninggal sejak Ade berusia dua tahun. Ibunya, Sunengsih, menikah lagi dan melahirkan dua anak. Salah seorang sudah sekolah di sekolah dasar.

Sebelum harga BBM naik, ayah tiri Ade mengirimkan uang sebesar Rp 50.000 per bulan. Kini setelah harga BBM naik, diikuti dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan lainnya, keluarga ini tidak bisa membeli barang apa pun.

Melihat kesulitan keluarga, anak lelaki bertubuh kurus ini sering membantu ibunya, yang buruh tani, merontokkan padi atau mencari kayu bakar untuk tetangganya. Dari menjual tenaga itu, Ade bisa menerima upah sebanyak Rp 1.000 atau sepiring nasi dan lauk. Tak jarang ia bekerja sampai malam.

Sebulan lalu ibunya meminta Ade berhenti sekolah karena tidak punya uang untuk mengongkosi pergi pulang ke sekolah, membelikan bahan-bahan untuk pelajaran keterampilan dan olahraga, serta membayar fotokopian soal ulangan. Ibunya pun mengirim surat pengunduran diri anaknya sebagai siswa di SMP Negeri Cibatu I.

Sejak itu, selama dua minggu, Ade tinggal di rumah. "Saya sering melihatnya bengong sambil mengasuh adiknya. Saya merasa berdosa menyuruhnya berhenti sekolah. Tapi, saya tidak punya jalan lain," ujar Sunengsih.

>small 2small 0< mengirim surat pengunduran diri, pihak sekolah mencoba mencarikan solusi dengan membentuk teman asuh. Sejak dua minggu lalu teman-teman sekelasnya menyumbang agar Ade bisa tetap sekolah. Tiap hari, sepulang sekolah, melalui bendahara kelas, Ade diberi ongkos Rp 1.500.

"Tapi, saya malu juga setiap hari merepotkan teman-teman," ujar Ade yang bercita-cita jadi insinyur elektro untuk membahagiakan keluarganya.

Ade dan keluarganya kini menumpang di rumah keluarga ayahnya di Desa Mekarsari, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Rumah panggung berdinding dan berlantai bambu itu hanya memiliki satu kamar, ruang tengah, dan dapur kecil. Mereka menumpang karena gubuk mereka sudah roboh.

Agar tidak membebani ibunya, Ade yang tidak memiliki buku Lembar Kerja Siswa (LKS) lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya dengan menyalin soal-soal dalam LKS. Dalam hati kecilnya, saat istirahat, Ade ingin juga jajan seperti teman-temannya. Sudah lama Ade ingin membeli roti seharga Rp 1.000 yang dijual di koperasi sekolah.

KISAH Euis Nurhayati (13) pun miris. Anak yatim yang ditinggal ibunya bekerja di Arab Saudi ini hanya tinggal dengan neneknya, Murbaisih (64). Sejak bekerja di Arab Saudi, bulan November 2004, ibunya tidak pernah mengirimkan uang ataupun memberi kabar.

Karena tidak punya uang, neneknya memutuskan agar Euis berhenti sekolah. Euis langsung menangis menjerit-jerit. Tiap hari ia mengurung diri karena sedih melihat teman-temannya bisa berangkat ke sekolah. Melihat perilaku Euis, Murbaisih diam-diam sering menangis.

Seminggu setelah berhenti, guru-gurunya datang dan memintanya melanjutkan sekolah dengan bantuan biaya dari para guru. Saat neneknya bercerita, Euis hanya mendengarkan sambil menengadahkan kepala dan menelan ludah. Ia berusaha menahan tangis.

Peristiwa putus sekolah yang sempat dialaminya sangat mengguncang jiwa Euis. Saat Kompas mengajaknya berbincang, bibir Euis bergerak-gerak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Rumah Euis terletak di Desa Sukaluyu, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Garut. Setiap hari, selama sebulan, Euis pergi ke sekolah yang berjarak dua kilometer dari rumahnya. Adakalanya ia berjalan sambil menangis karena tidak punya uang sepeser pun untuk ongkos, apalagi untuk jajan seperti anak yang lain. "Saya malu, tidak pernah ikut menyumbang iuran di sekolah," ujarnya tercekat, berusaha untuk bicara.

Sekolah merupakan kebutuhan mewah buat anak-anak dari keluarga miskin. Di Jawa Barat masih ada ratusan ribu anak yang terancam putus sekolah. Yang mereka butuhkan bukan cuma kebijakan pemerintah, tetapi tindakan yang bisa menyelamatkan mereka secepatnya. (Y09)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/22/utama/1633640.htm