Rabu Wage, 23 Maret 2005

Artikel

Mayoritas bank penerima dana BLBI, dalam kondisi tidak sehat sebelum krisis ekonomi dan telah melanggar Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK). Pelanggaran BMPK merupakan perbuatan tindak pidana. Pada akhirnya diketahui bahwa program rekapitalisasi perbankan ini gagal total karena salah konsep dan penyelewengan oleh sejumlah konglomerat obligor tersebut. Kebijakan BLBI telah menjerumuskan Indonesia. Negara yang sebelumnya tidak memiliki utang domestik sesen pun -- kepada warga negara dari tabungan atau pensiun -- kemudian terbebani utang obligasi sebesar Rp 640 trilyun (sekitar 72 milyar dolar AS) atau setara total utang luar negeri saat ini.

Pencabutan Subsidi BBM dan Privatisasi

Oleh Ngurah Karyadi

KEBIJAKAN pemerintah untuk mencabut subsidi yang menghasilkan kenaikan harga BBM, dan rencananya menyusul tarif dasar listrik dan tarif telepon telah mendapat perlawanan yang meluas dari masyarakat. Demikian pula dengan kebijakan privatisasi pada beberapa BUMN yang nyata-nyata melanggar mandat UUD 1945 pasal 33 (ayat 2) dan UU Propenas No.25 tahun 2000. Kedua kebijakan yang diambil secara bersamaan tersebut dilakukan dengan alasan untuk menutupi defisit anggaran sejak digulirkanya APBN 2003.

Situasi Politik dan Ekonomi

Dengan dasar pikiran sistem anggaran berimbang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan kebijakan pemerintah difokuskan hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menggerakkan investasi melalui pemberian sejumlah stimulus kepada dunia usaha, seperti tarif, fiskal dan sejenisnya. Alokasi anggaran tersedot untuk pembayaran bunga utang luar negeri dan domestik yang dibuat oleh rezim Soeharto yang korup. Tawaran moratorium utang pascabencana tsunami ditanggapi dengan setengah hati. Dengan asumsi untuk mendapatkan utang baru, seperti mengedepan dalam Indonesia Infrastruktur Summit Januari lalu kebijakan ini sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat karena lebih berpihak pada sejumlah konglomerat hitam dengan adanya pemberian pengampunan (Release and Discharge) pada pengutang BLBI.

Sebagaimana diketahui, negara terancam mengalami kerugian hingga Rp 1.000 trilyun dan telah membebani APBN tiap tahunnya. Besaran pengurangan subsidi, sekitar Rp 25 trilyun, tidak sebanding dengan subsidi yang diberikan pada sejumlah bank rekap hingga Rp 60 trilyun. Bahkan, jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya sosial yang ditimbulkan dan perlambatan fundamental ekonomi yang sempat dibangun. Sementara itu, alokasi dana kompensasi subsidi dapat berkembang menjadi alat politik penguasa, sebagaimana dipraktikkan di masa Orde Baru.

Pada saat yang bersamaan pula aparat penyelenggara negara, eksekutif dan legislatif, menampilkan pola hidup yang menghamburkan uang negara. Bukankah korupsi "gotong royong" di masa pemerintahan Megawati terjadi akibat pola ini? Sebuah bentuk keberpihakan yang sangat kontras dengan keadaan masyarakat, yang sulit mendapatkan pekerjaan, diancam PHK dan kian miskin tentunya. Mudah-mudahan ''pertarungan di DPR'' bukan didasari pertimbangan pragmatis, naik gaji dan tunjangan.

Membuka Topeng para Donor

Mencemati sejumlah kebijakan pemerintah tersebut, tampak nyata bahwa kebijakan pemerintah saat ini mengikuti agenda kreditor internasional (donor) yang diwakili oleh IMF dan CGI, serta berbagai jenis perusahaan transnasional yang rajin membonceng kebijakan tersebut. Pengurangan subsidi bagi rakyat, agenda privatisasi, serta penjualan aset BPPN dalam waktu singkat yang menjadi prasyarat yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) IMF merupakan contoh nyata agenda ini.

Dasar perimbangan yang paralel dapat dilihat dalam program rekapitalisasi perbankan (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang ditujukan untuk menyehatkan perbankan nasional yang kolaps di tengah krisis ekonomi 1998, juga merupakan rekomendasi IMF. Kenyataannya, mayoritas bank penerima dana BLBI, dalam kondisi tidak sehat sebelum krisis ekonomi dan telah melanggar Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK). Pelanggaran BMPK merupakan perbuatan tindak pidana. Pada akhirnya diketahui bahwa program rekapitalisasi perbankan ini gagal total karena salah konsep dan penyelewengan oleh sejumlah konglomerat obligor tersebut.

Kebijakan BLBI telah menjerumuskan Indonesia. Negara yang sebelumnya tidak memiliki utang domestik sesen pun -- kepada warga negara dari tabungan atau pensiun -- kemudian terbebani utang obligasi sebesar Rp 640 trilyun (sekitar 72 milyar dolar AS) atau setara total utang luar negeri saat ini. Jumlah ini kemudian meningkat hingga Rp 1.030 trilyun karena menggelembungnya bunga utang tersebut. IMF juga memberikan dukungan bagi rencana pemerintah untuk mengeluarkan release and discharge (R&D) bagi sejumlah konglomerat bermasalah.

Rekomendasi yang diberikan kreditor internasional (IMF, CGI, ADB) telah memperburuk kondisi ekonomi Indonesia. Tidak ada mekanisme pertanggungjawaban oleh IMF dan CGI untuk ikut menaggung beban kesalahan tersebut. Rakyat menjadi kelompok yang menanggung beban kesalahan tersebut.

Apa agenda besar kreditor internasional (IMF dan CGI) di balik rekomendasi setiap kebijakan pemerintah? Hal ini tidak pernah menjadi perhatian para penguasa atau pemerintah.

Keberadaan IMF dan CGI (di mana World Bank menjadi motornya), yang merupakan lembaga hasil Washingthon Consensus, mengusung agenda liberalisasi total pada sektor perdagangan (pasar bebas) dan sektor keuangan. Sebuah lembaga yang oleh J. Stiglis (Peraih Nobel Ekonomi 2002) dikatakan buruk, baik secara ekonomi ataupun sosial?

Penghapusan segala bentuk tarif, guna memperlancar lalu lintas perdagangan, merupakan bentuk penerapan pasar bebas. Penurunan tarif impor gula dan beras merupakan bagian rekomendasi LoI IMF yang kemudian menyebabkan harga dasar beras dan gula produksi petani lokal jatuh terpuruk. Demikian pula penghapusan tarif ekspor kayu gelondongan (log) yang mendorong meningkatnya pembalakan haram/illegal logging (studi WALHI 2001), yang kini baru mulai tersingkap ekornya. Kepalanya, entah kapan.

Konsep pasar bebas juga diimplementasikan dengan pencabutan subsidi bagi rakyat dan kegiatan ekonomi rakyat (termasuk pada sektor pertanian) membuat keadaan makin parah. Prinsip IMF, tidak boleh ada barang yang disubsidi. Liberalisasi pasar juga menghilangkan peran negara pada penyediaan fasilitas publik. Ini ditampilkan melalui desakan kepada pemerintah untuk melakukan privatisasi sejumlah BUMN yang melayani kepentingan umum dan strategis.

Kasus Indonesia, dan negara-negara berkembang dan terjebak utang lainnya, berada dalam desakan untuk mengadopsi agenda liberalisasi pasar dan keuangan. Yang terjadi kini, agenda liberalisasi yang diusung oleh kekuatan WTO pada level global, didorong untuk diimplementasikan pada level kebijakan nasional melalui mekanisme utang dan peran kreditor (IMF, CGI). Skenario ini bertujuan untuk menempatkan perusahaan multinasional (MNC/TNC) sebagai pengganti peran negara dan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan ekonomi di suatu negara, termasuk Indonesia. Negara dengan pemerintahnya hanya sebagai simbol?

Pemerintah yang berkuasa saat ini, dan seperti pemerintah sebelumnya, telah menjadi alat atas agenda liberalisasi yang dipaksakan oleh IMF dan CGI. Menjadi semacam "penari topeng", di pentas kemiskinan dan kerusakan lingkungan di negeri ini. Hubungan dengan IMF dan keberadaan CGI sebagai aktor di balik kebijakan yang memarginalisasikan rakyat harus segera diakhiri. Penguasa atau pemerintah saat ini harus berubah, pro-rakyat dan tidak tunduk pada agenda kreditor internasional, sehingga lebih bermartabat di mata warganya.

Penulis, aktivis NGO

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/3/23/o1.htm