Mendinginkan Uang Panas:
Perlunya Pengawasan Modal

(Bab 11 dari buku Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan Untuk Memperkuat Rakyat oleh Kavaljit Singh, Penerbit Yakoma-PGI, 1998; judul asli A Citizen Guide to the Globalization of Finance, Madhyam Books, 1998)


Krisis Meksiko tahun 1994-1995 dan krisis mata uang Asia Tenggara tahun 1997 menunjukkan bahwa arus finansial global bersifat mudah menguap dan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan WTO, dengan dukungan aktif Amerika Serikat dan negara-negara lainnya, menekan negara-negara sedang berkembang untuk lebih membuka sektor jasa finansial mereka dan bergerak menuju konvertibilitas rekening modal (capital account) yang utuh. Dengan penandatanganan kesepakatan WTO mengenai jasa keuangan pada Desember 1997, maka arus finansial global akan mengalami boom pada tahun-tahun mendatang. Sayangnya negara-negara sedang berkembang mengalah kepada tekanan ini dan menerapkan kebijakan-kebijakan untuk membuka pasar finansial dan menghapus pembatasan-pembatasan terhadap arus masuk dan arus keluar modal.

Krisis yang telah dan sedang terjadi menimbulkan banyak perdebatan serius tentang bagaimana mengendalikan ketidakstabilan perekonomian. Perlunya regulasi arus modal lebih lanjut dikemukakan bahkan oleh George Soros, seorang pemain utama di pasar finansial. Ia telah memperjuangkan mekanisme internasional yang baru untuk mengatur pasar finansial setelah lembaga-lembaga keuangan internasional gagal melakukannya.

Mengapa Regulasi Penting?

Semakin diakui bahwa jika pengawasan peraturan yang tepat tidak dikembangkan, maka kita akan terus menyaksikan kehancuran finansial yang lebih besar di dunia. Pengawasan modal menjadi sangat vital untuk meminimalisir atau menghilangkan kemungkinan timbulnya resiko bagi sistem finansial global secara keseluruhan termasuk bagi para investor individual. Kita tentunya tidak mendukung akibat dari jenis-jenis regulasi yang pernah ada di tahun 1960an dan 1970an; tetapi kita sangat membutuhkan jenis-jenis regulasi yang cocok untuk kebutuhan sistem finansial global tahun 1990an yang secara luas dihasilkan melalui deregulasi.

Pada perekonomian bebas murni dirasakan ada kebutuhan akan peran supervisi ofisial dan regulasi yang lebih besar, sebab bahaya kegagalan bisnis akan jauh lebih tinggi dibandingkan dalam perekonomian yang tertutup. Dan kegagalan-kegagalan ini akan berdampak serius pada lembaga-lembaga keuangan yang meminjamkan uang ke sektor bisnis. Apapun yang menguntungkan dan karenanya diinginkan oleh sektor swasta di pasar finansial tidak akan dapat bertahan dan aktif bagi kebijakan-kebijakan ekonomi makro sebuah negara. Disini, diperlukan peran pemerintah untuk memantau, mengawasi dan mengatur arus modal swasta di dunia global.

Regulasi menjadi benar-benar sangat penting ketika sebuah negara membuka diri terhadap arus masuk modal global. Berdasarkan pengalaman lalu di Meksiko dan Asia Tenggara, apabila arus finansial baru meningkat, maka banyak pemberi dan penerima pinjaman swasta cenderung beranggapan bahwa pemerintah pasti menjamin arus modal mereka karena pemerintah akan melakukan intervensi untuk mem-bailout sektor swasta, dengan biaya dari para pembayar pajak, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada saat-saat terakhir. Karena pasar finansial lebih mudah bereaksi terhadap 'naluri kelompok', maka rakyat dan perekonomian akan sangat dibebani. Untuk menghindari situasi kegagalan pasar seperti ini, perlu dilakukan regulasi dan supervisi.

Kita sudah sering diinformasikan bahwa tidak ada mekanisme yang efektif untuk mengatur dan mengawasi arus modal di era globalisasi dan tugas ini menjadi tanggung jawab pasar untuk mengendalikan dirinya sendiri dengan dasar 'self-discipline'. Pengawasan apapun terhadap pergerakan modal di pasar dianggap bertentangan dengan prinsip globalisasi. Karena pasarlah yang merupakan alat terbaik untuk menentukan bagaimana uang seharusnya diinvestasikan; jika modal dibiarkan bergerak bebas, maka negara-negara yang menerapkan kebijakan ekonomi yang bersih dan selaras akan mendapatkan keuntungan dari pasar, dan pasar akan menekan negara-negara lain agar bertindak serupa. Namun krisis Meksiko dan negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa negara-negara ini telah menerapkan kebijakan-kebijakan yang ramah-pasar, dan ternyata mereka menderita karena kekuatan pasar tersebut. Dalam kata-kata perdana menteri Malaysia, Mahathir Muhammad:

"Sistem perdagangan dunia tidak dapat bergantung seluruhnya pada kekuatan pasar....... sejak awal, kekuatan pasar itu sendiri sudah bersifat eksploitatif."

Sejarah menunjukkan dengan jelas bahwa pasar telah gagal melakukan kontrol atas dirinya sendiri, sementara biaya dari kegagalan pasar dibayar oleh rakyat secara keseluruhan.

Memantau Arus Finansial

Untuk menerapkan pengawasan yang efektif terhadap arus modal global, perlu kiranya dilakukan pemantauan yang teratur, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global. Pengalaman menunjukkan bahwa informasi yang tidak memadai dapat menyebabkan penetapan kebijakan dan pengawasan yang tidak tepat. Sayangnya, hampir tidak ada satu pun sumber informasi yang dapat dipercaya mengenai arus modal ini. Baik negara tuan rumah maupun negara asal tidak mempunyai informasi yang teliti mengenai hakekat dan status arus modal tersebut.

Pertumbuhan investor institusional global belakangan ini memperlihatkan bahwa arus modal ini sama sekali tidak diatur di negara asalnya. Tidak ada pengungkapan yang jujur mengenai arus modal ini. Meskipun Dana Moneter Internasional telah mengusulkan ada pengawasan yang lebih besar dari negara-negara penerima dana, namun sangat sulit menelusuri negara asal arus modal ini. Dengan demikian, kebutuhan yang mendesak adalah pembatasan-pembatasan regulatif terhadap para investor oleh perumus peraturan di negara-negara asal, jika tidak maka pembatasan-pembatasan di negara-negara penerima dana tetap sia-sia.

Meskipun sejumlah negara-negara sedang berkembang telah membuka pasar finansial mereka terhadap modal global, pencatatan dan pelaporan data yang teratur di negara-negara ini sangat lemah. Pada tingkat internasional, orang dapat berharap kepada lembaga-lembaga internasional seperti BIS dan Dana Moneter Internasional untuk memantau secara teliti arus modal ini, secara efektif. Tidak dapat diragukan bahwa pemantauan terhadap arus modal global bukan suatu tugas yang mudah, karena sifatnya global, dan investasi dilakukan melalui berbagai instrumen finansial. Karenanya, sangat sulit memasukkan atau menghilangkan sebuah transaksi tertentu. Disamping itu, ada banyak problem metodologis, seperti menghitung yield obligasi yang efektif atau aktivitas penerbitan data akuntansi luar negeri. Data-data yang tepat waktu dan independen akan membantu para pembuat peraturan dalam mengadopsi rangkaian kebijakan tertentu untuk mengatur jenis arus modal tertentu.

Pertukaran data antara lembaga-lembaga perumus peraturan di sektor perbankan, sekuritas dan sektor-sektor lainnya sangat diperlukan. Informasi ini harus secara reguler dibagikan kepada negara-negara dan lembaga-lembaga internasional agar secara kolektif dapat merespons masalah-masalah yang timbul.

Mekanisme Kebijakan

Selama bertahun-tahun, meskipun untuk mengatur dan mengawasi arus finansial baik di tingkat internasional maupun nasional telah diusulkan, dan banyak yang berhasil diimplementasikan di beberapa negara termasuk Chili dan Kolumbia, namun, karena kurangnya kemauan politik pihak pemerintah dan lembaga finansial internasional, mekanisme-mekanisme ini tidak cukup mendapatkan perhatian. Beberapa langkah yang mengatur arus modal pada tingkat global diringkas di bawah ini.

Pajak Global (Tobin Tax)

Pajak Global terhadap pergerakan mata uang internasional mula-mula dikemukakan oleh Professor James Tobin pada tahun 1972. Karena Pemenang Hadiah Nobel James Tobin merupakan orang pertama yang mengembangkannya, maka pajak ini disebut Pajak Tobin. Tobin mengusulkan ini sebagai cara untuk menekan spekulasi dalam transaksi valuta asing jangka pendek dan dengan demikian dapat meminimalisir shock karena pergerakan mata uang dalam jumlah besar. Ide ini dimaksudkan untuk mengendalikan volatilitas pasar uang internasional dan melindungi otonomi dalam kebijakan-kebijakan mata uang nasional.

Usulan Tobin adalah 1/4 persen pajak atas transaksi mata uang. Dengan usulan ini, arus modal jangka pendek yang bersifat spekulatif dapat diperlambat, karena akan dikenai pajak setiap kali melewati batas negara, namun pengaruhnya terhadap arus modal jangka panjang hanya bersifat marginal. Karena transaksi lain dikenai berbagai bentuk pajak, maka tidak adanya pengenaan pajak pada transaksi spot valuta asing telah menjadi perangsang kuat para spekulan untuk beroperasi di pasar ini. Dengan demikian, cost Pajak Tobin bagi investor jangka panjang dapat diabaikan dan pajak tersebut tidak akan menghambat investasi yang benar.

Usulan Pajak Tobin ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan pajak supra-nasional. Sebaliknya, pemerintah memungut pajak secara nasional. Proposal ini mensyaratkan kesepakatan diantara sedikitnya negara-negara pusat keuangan utama dunia guna mengenakan pajak dengan tarif yang sama terhadap semua transaksi spot dan forward di dalam jurisdiksi mereka, termasuk transaksi-transaksi eurocurrency selain mata uang mereka masing-masing.

Karena cepatnya pergerakan arus modal jangka pendek, Pajak Tobin barangkali merupakan instrumen terbaik untuk memperlambat arus ini. Meskipun masih perlu disempurnakan, dimodifikasi dan diperdebatkan sesuai konteks sekarang ini, ide ini menawarkan usulan yang menarik untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan volatilitas dan ketidakstabilan arus finansial global. Banyak analis berpendapat bahwa ini dapat diintrodusir secara temporer untuk suatu periode tetap, misalnya 5-7 tahun. Ini akan sesuai dengan persepsi umum bahwa kerapuhan finansial dan resiko sistemik khususnya tinggi pada tahap transisi regulasi menuju deregulasi pasar finansial sekarang ini.

Keuntungan lain Pajak Tobin adalah bahwa dia akan meningkatkan otonomi pemerintah nasional dalam merumuskan kebijakan moneter dan makro-ekonomi, serta menciptakan suatu langkah isolasi terhadap pengaruh pasar finansial internasional. Otonomi ini terutama akan sangat bermanfaat bagi negara-negara dunia ketiga karena negara-negara ini lebih rentan terhadap arus modal luar negeri.

Lebih daripada itu, Pajak Tobin juga menguntungkan dari aspek potensi penerimaan. Dengan pajak ini bisa dihasilkan cadangan devisa yang dapat digunakan selama periode pergerakan mata uang keluar, sementara mata uang atau sumber-sumber finansial domestiknya dapat digunakan untuk penghapusan kemiskinan, kelaparan, perusakan alam, buta huruf, dan lain-lain. Potensi penerimaan pajak sebesar 0.25 persen pada tahun 1970an memang relatif rendah; namun dengan volume valuta asing global pada tahun 1975, kenaikan penerimaan tahunan dapata mendekati $300 milyar. Jumlah ini sangat menarik jika kita melihat kenyataan bahwa bantuan ofisial internasional semakin menurun dari tahun ke tahun, dan pemerintah nasional dikonfrontir dengan sumber-sumber finansial untuk pengeluaran di sektor-sektor sosial yang semakin berkurang karena implementasi program-program penyesuaian struktural.

Manfaat lain dari pajak ini adalah bahwa penerapannya akan mempermudah pemantauan arus finansial internasional, yakni melalui penyajian database yang tersentralisasi, dan sangat dibutuhkan. Ini akan sangat bermanfaat bagi negara-negara sedang berkembang di mana terdapat kesenjangan informasi yang sangat besar.

Melihat pajak ini pasti bersifat progresif, karena adanya pengalihan sumber-sumber dana dari para pemain utama di pasar finansial, yang terutama berasal dari negara-negara industri, ke negara-negara sedang berkembang, maka usulan ini tidak mendapat dukungan negara-negara G-7, bank-bank internasional, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Kritik terhadap Pajak Tobin adalah bahwa tidak mungkin semua negara menyetujui suatu bentuk pajak umum (common tax). Akan tetapi, jika memang tidak mungkin dalam waktu dekat, langkah awal bisa dilakukan oleh beberapa negara yang secara bersama-sama mencari dukungan semua negara. Misalnya, Pajak Tobin dikembangkan oleh kesepakatan di antara tujuh pusat perdagangan valuta asing, yakni Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Singapura, Swiss, Hong Kong dan Jerman, di mana 80 persen transaksi valuta asing terjadi di sana. Kesepakatan tujuh negara ini untuk menarik dan melakukan supervisi terhadap pemungutan pajak cukup layak. Namun ini pun masih mengandung ancaman relokasi dana, karena adanya kemudahan pajak di berbagai kepulauan yang hanya sebagai ‘alamat’ dan bisa berfungsi karena pemerintah pusatnya memberikan toleransi bagi taktik seperti itu.

Ide Pajak Tobin ini telah menimbulkan minat besar di kalangan para ekonom, organisasi non pemerintah, serikat dagang, dan kelompok-kelompok politik di seluruh dunia. Ini menjadi sangat jelas dalam World Social Summit tahun 1975, dimana banyak kelompok dan gerakan sosial mendukung penerapan Pajak Tobin, yang dapat meningkatkan sumber-sumber tambahan bagi pembiayaan proyek-proyek pembangunan.

Memang tidak semua problem yang berhubungan dengan keuangan global dapat diselesaikan melalui penerapan Pajak Tobin, akan tetapi pajak ini dapat bermanfaat sebagai langkah awal menuju pengembangan sistem finansial global yang lebih stabil. Pajak ini dapat diikuti dengan langkah-langkah kebijakan lainnya untuk mencapai tujuan tersebut. Barangkali Pajak Tobin merupakan satu-satunya yang atasnya telah banyak dilakukan upaya. Yang kita butuhkan adalah kemauan politik untuk penerapannya.

Pembayaran Pajak Lintas Negara

Mekanisme lain, yang hampir sama dengan proposal Pajak Tobin, dikemukakan oleh Rudi Dornbusch, yang menyarankan bahwa meskipun tidak ada kesepakatan internasional (yang disyaratkan dalam Pajak Tobin), pembayaran pajak lintas negara oleh tiap negara dapat membantu domestikasi arus modal, tanpa mempengaruhi investasi. Di dalam proposal ini, pembayaran pajak lintas negara dapat mengatur irama arus modal lintas negara dan berada dibawah jurisdiksi penuh negara yang hendak memungutnya. Menurut usulan ini, setiap penjualan atau pembelian valuta asing dan setiap pembayaran lintas negara, akan dikenakan pajak sebesar 0.25 persen - baik untuk transaksi barang, jasa, maupun operasi finansial lainnya. Proposal pajak ini lebih banyak berkaitan dengan transaksi berjalan (current account) dari pada transaksi modal (capital account).

Pajak Atas Keuntungan Jangka Pendek

Dua proposal alternatif signifikan di atas dimaksudkan untuk mengurangi spekulasi terhadap mata uang. Baru-baru ini J. Melitz mengusulkan bahwa 100 persen penarikan pajak harus dikenakan atas keuntungan transaksi valuta asing yang dipertahankan kurang dari satu tahun, dan tidak ada tax-deduction yang diberikan atas kerugian. Demikian juga, pada kasus perdagangan saham, Warren Buffet telah mengusulkan semua gain dari penjualan saham atau sekuritas derivatif yang dipertahankan kurang dari setahun harus dikenakan 100 persen pajak.

Penerapan Pengawasan Arus Modal oleh Pemerintah

Problem volatilitas dan ketidakstabilan arus modal dalam jumlah besar telah menimbulkan berbagai respons dalam kebijakan pemerintah. Meskipun trend global mengarah kepada usaha untuk mengurangi pembatasan-pembatasan investasi ke dalam dan ke luar negeri, dan penghapusan pengawasan modal, namun belakangan ini banyak negara telah mengambil langkah-langkah kebijakan untuk memperlambatnya. Hakekat dan dampak pengawasan ini berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya tergantung pada komposisi arus modal masuk dan kondisi lainnya di masing-masing negara.

Usaha yang paling keras dan terus menerus untuk menghambat arus masuk modal dilakukan oleh Chili. Pada kasus lain, banyak negara mempertahankan mekanisme pengawasan yang sudah ada. Lampiran E memberikan daftar berbagai pengawasan yang berhubungan dengan pembatasan terhadap investasi asing atau pergerakan valuta asing di pasar-pasar ekuitas yang sedang berkembang. Dibanding Amerika Latin, pengawasan yang lebih besar adalah di Asia. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa di negara-negara Amerika Latin (misalnya, di Chili dan Kolumbia) pengawasan telah lebih berhasil di banding Asia.

Pengawasan Modal di Chili

Chili adalah negara yang berhasil mengimplementasikan pengawasan modal. Pada tahun 1991 Chili mengintrodusir pengawasan arus masuk modal dalam bentuk persyaratan cadangan minimum sebesar 20 persen dari pinjaman baru luar negeri yang akan jatuh tempo kurang dari satu tahun.

Dalam pengertian yang sederhana, ini berarti bahwa perusahaan lokal di Chili yang meminjam dari luar negeri harus menyisihkan 20 persen jumlah pinjaman tersebut dalam bentuk deposito di bank sentral - tanpa bunga - selama setahun, meskipun pinjaman tersebut berjangka waktu kurang dari satu tahun.

Pada tahun 1992, persyaratan cadangan 20 persen dari pinjaman asing telah diperluas mencakup juga deposito valuta asing. Pada bulan Mei 1992, rasio cadangan minimum itu telah meningkat hingga 30 persen. Pada bulan Juli 1995 persyaratan cadangan tersebut telah diperluas lagi ke semua jenis investasi asing di Chili, termasuk penerbitan depository receipt sekunder Amerika Serikat.

Pengawasan ini telah membantu Chili dalam banyak hal. Pertama persyaratan cadangan minimum telah memperlambat arus masuk modal asing jangka pendek dan spekulatif, karena dengan demikian menjadi mahal. Kedua, arus masuk modal jangka panjang meningkat karena langkah-langkah ini telah mendorong perusahaan-perusahaan meminjam untuk maksud-maksud jangka panjang. Para analis berkesimpulan bahwa pengawasan ini telah menimbulkan perubahan-perubahan pokok dalam komposisi arus masuk modal, yakni dari yang bersifat jangka pendek menjadi jangka panjang tanpa mempengaruhi volume arus masuk modal secara keseluruhan.

Syukurlah karena pengawasan ini, dampak krisis Meksiko tahun 1994 terhadap pasar finansial di Chili hampir dapat diabaikan, padahal negara-negara lain di kawasan sekitarnya terkena dampak hebat. Pada kenyataannya, posisi finansial luar negeri yang stabil ditambah fundamental ekonomi yang kuat memungkinkan Chili menjadi negara pertama di seluruh kawasan Amerika Latin yang memperoleh peringkat mekanisme peraturan lain untuk mengelola arus masuk modal.

Chili juga menerapkan langkah kebijakan signifikan lainnya untuk meningkatkan basis tabungan domestiknya melalui pengembangan sistem tabungan pensiun swasta. Ini membantu Chili dalam dua hal: Pertama, sistem ini membantu pembiayaan sebagian besar kebutuhan domestik dan kedua, dan lebih penting adalah bahwa sistem ini mengurangi kerentanan sistem finansial domestik ketika terjadi arus modal ke luar secara mendadak, seperti yang pernah terjadi dalam kasus Meksiko. Baru-baru ini, Kolumbia juga telah mengikuti langkah kebijaksanaan Chili untuk mengawasi arus masuk modal asing.

Dengan demikian argumentasi bahwa pengawasan dapat menyebabkan kontraksi arus masuk modal hanya memiliki bobot yang kecil saja dalam pengalaman Chili, yang menunjukkan dengan jelas bahwa negara-negara bisa saja menarik jumlah arus masuk modal yang signifikan, sambil menerapkan pengawasan untuk mencegah arus masuk jangka pendek yang bersifat spekulatif.

Pengawasan Arus Masuk Modal di Negara-negara Lain

Pakistan adalah satu-satunya negara di kawasan Asia (dan barangkali di antara negara-negara sedang berkembang) yang tidak menerapkan pengawasan modal. Korea dan Taiwan telah menerapkan pengawasan ketat dalam bentuk prosedur registrasi dan batas maksimum investasi sejak tahun 1996 hingga sekarang.

Di sisi lain, negara-negara Amerika Latin menerapkan pengawasan terutama untuk mencegah arus keluar modal yang mendadak. Karena pernah mengalami arus keluar sekitar $8 milyar tahun 1995, Argentina menetapkan fasilitas pembiayaan untuk berjaga-jaga (stand-by) lebih dari $6 milyar guna mencegah krisis serupa terjadi di masa yang akan datang. Meksiko dan Chili telah mengintrodusir langkah-langkah kebijaksanaan baru, yang memberikan fleksibilitas lebih besar bagi bank sentral untuk melakukan intervensi di pasar finansial. Chili menyesuaikan pita pengambangan (floating) mata uangnya, guna meningkatkan apresiasi peso. Demikian juga, banyak negara Amerika Latin telah mengintrodusir perangkat pajak (misalnya, pajak capital gain) dan mekanisme pengaturan lain untuk mengelola arus masuk modal.

Di sisi lain negara-negara dimana arus modal masuk sebagian besar dalam bentuk investasi portofolio, telah mengintrodusir berbagai pengawasan dalam bentuk pembatasan-pembatasan terhadap akses perusahaan domestik ke pasar internasional, demikian juga terhadap akuisisi perusahaan domestik oleh pihak asing. Misalnya di Brazil, kepemilikan kumulatif kelompok asing dibatasi hingga 49 persen saham dengan hak suara perusahaan yang terdaftar (100 persen saham tanpa hak suara), 49 persen di Indonesia, 20 persen di Korea, 24 persen di India, 40 persen di Filipina, dan 15 hingga 65 persen di Thailand, tergantung pada sektornya. Di negara-negara seperti Chili dan India bentuk lain dari pembatasan yang digunakan adalah dalam penerbitan sekuritas perusahaan domestik di luar negeri. Di Chili hanya sekuritas yang mendapatkan peringkat dari lembaga pemberi peringkat dalam negeri yang boleh melakukan investasi di luar negeri. Di India, perusahaan-perusahaan domestik yang tertarik untuk menghimpun sekuritas di luar negeri dibatasi melalui limit maksimum pinjaman. Di Brazil limit minimum jatuh tempo obligasi disesuaikan dari waktu ke waktu. Di samping itu, di beberapa negara (misalnya India), pemerintah telah mengintrodusir pajak capital gain untuk mengurangi arus modal jangka pendek, sementara banyak negara lainnya telah menerapkan pajak transaksi finansial terhadap pembelian obligasi domestik pada tahun 1993 dan pembelian saham domestik pada tahun 1994.

Pada saat yang bersamaan, banyak negara berkembang telah pula mengintrodusir serangkaian langkah-langkah ekonomi makro untuk mengendalikan arus modal yang meliputi intervensi pasar melalui sistem kurs tukar yang lain (misalnya mengambang penuh, mengambang terkendali dan sistem kurs tetap, dewan kurs dan lain-lain). Meskipun banyak dari langkah-langkah ini belum begitu berhasil seperti pada krisis Asia Tenggara baru-baru ini, namun negara-negara tersebut telah memperlihatkan rentang pengawasan pemerintah yang besar.

Pengalaman dengan instrumen-instrumen kebijakan ini menunjukkan bahwa bukan tidak mungkin menerapkan pengawasan terhadap arus modal swasta. Pada kenyataannya, dengan semakin banyaknya negara yang membuka pasar finansial mereka untuk arus modal swasta, kebutuhan akan jenis pengawasan yang efektif dan tepat yang tergantung pada hakekat arus modal ini, dirasakan semakin mendesak, termasuk pasar finansial negara yang bersangkutan. Terpisah dari pengawasan nasional, kebutuhan akan supervisi dan regulasi regional dan internasional adalah sesuai dengan hakekat arus modal ini. Sayagnya, trend yang ada sekarang ini mengarah pada meningkatnya deregulasi dan penghapusan pengawasan-pengawasan yang telah ada, khususnya di negara-negara sedang berkembang. Tampaknya para perumus kebijakan tidak belajar apapun dari pengalaman Meksiko dan negara-negara Asia Tenggara. Masalah penting yang masih belum terjawab adalah siapa yang harus mengambil inisiatif. Pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah di negara-negara sedang berkembang (misalnya pemerintah Chili) telah mengambil inisiatif kebijakan. Tetapi usaha yang lebih besar masih dibutuhkan pada tingkat regional dan internasional. Dengan kegagalan lembaga-lembaga keuangan internasional, khususnya Dana Moneter Internasional, maka organisasi-organisasi lain seperti BIS dan IOSCO telah mengambil alih tugas untuk mengkoordinasikan regulasi-regulasi pada tingkat global. Namun pada peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini, seperti kolapsnya BCCI dan krisis negara-negara Asia Tenggara, menunjukkan bahwa lembaga-lembaga ini pun sangat tidak efektif dan mekanisme-mekanisme yang lebih baik diperlukan untuk menangani masalah-masalah ini secara spesifik.

Namun, jika tidak ada inisiatif dari warga masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial terhadap modal finansial, maka mekanisme-mekanisme seperti itu akan tetap tidak efektif baik di tingkat nasional maupun internasional.

KEPUSTAKAAN

  1. “Asia Currency Woes Fuel Debate in Controlling Global Capital Flow,” Indian Express, 10 November 1997.
  2. Untuk lebih jelas lihat proposal, M. Haq, I. Kaul, dan I. Grunberg (eds.), The Tobin Tax Coping with Financial Volatility, Oxford University Press, 1996.
  3. Lihat R. Dornbusch, “Cross-Border Payment Taxes and Alternative Capital Account Regimes,” makalah yang dipersiapkan untuk kelompok-24, 1995, UNCTAD, International Monetary and Financial Issues for the 1990s, Research Papers for the Group of Twenty-Four, Vol. VIII, 1997.
  4. J. Melitz, “Comment on the Tobin Tax,” makalah CIDEI, 1994.
  5. Lihat proposal Concerning Buffet, L. Lowenstein, “What’s Wrong with the Wall Street Short-Term Gain and the Absentee Shareholder,” Addison-Wesley, 1998.

HOME         TOP

Reformatted for mugajava website.
For any comments send e-mail to mugajava@oocities.com
Visit   http://www.oocities.org/Eureka/Concourse/8751/
or http://come.to/diskrisek