MENU ARTIKEL



Personal Photos

Halaman Utama

MEKANISME KEMASLAHATAN DAN ILMU KELUASAN

Ilmu berbeda dengan pengetahuan, karena pengetahuan itu adalah paparan-paparan barang jadi yang dirumuskan dan sudah siap menjadi bacaan, atau tinggal didengarkan dan kemudian memakainya. Dan yang diajarkan di seko lah atau perguruan tinggi umumnya 95 % adalah pengetahuan dan bukan ilmu. Sedangkan ilmu atau "ngelmu" tidak hanya mengandung pengetahuan tetapi juga menawarkan metodologi, menawarkan tarikat, dan menawarkan laku. Ungkap Cak Nun sapaan akrab Emha Ainun Nadjib ketika menjawab salah seorang jamaah maiyah di acara Macapat Safaat (17/10/01), acara yang rutin diselenggarakan oleh Cak Nun pribadi, tepatnya di halaman Komplek TKIT Al-Khamdulillah Kasihan Bantul Jogjakarta, yang merupakan Padhang Mbulan-nya masyar akat Jogjakarta dan Jawa Tengah.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap nilai itu memiliki beberapa level atau strata, maka di dalam Islam kita mengenal sunah, wajib, halal, makruh, haram ini dikategorikan dalam norma. Sebelum itu ada level yang lebih tinggi yang sifatnya cair, misalnya kalau haram itu sudah menjadi padat, artinya sudah jelas ini haram atau halal. Waktu hal ini masih cair disebut nilai, dan sewaktu nilai masih berada di langit filosofi. Dan ketika menjadi nilai ia masih berupa azas, misalnya azas kita Pancasila, itu berarti ia cair, artinya pancasila itu cair, dan belum menjadi hukum formal. Kalau sudah jadi hukum formal, maka akan menjadi perda, uu, pp, kepres, dll.-, dan ini semua disbut norma.
Ke-lima padatan diluar Islam, ketika masih cair a tau menjadi azas, memiliki sifat maslahat atau mudlarat. Sehingga ada azas kemaslahatan dan azas kemudlaratan. Maka menjadi pengertian bahwa yang disebut wajib adalah sesuatu yang pasti manfaat. Haram adalah sesuatu yang sifatnya pasti berbahaya bagi pela k unya maupun orang lain, maka secara normatif disebut haram. Sedangkan sunah punya kecenderungan besar untuk bermanfaat, kalau tengah-tengah, artinya mungkin manfaat, atau mungkin mudlarat maka disbut halal, dan kalau punya kecenderungan besar untuk mundla rat maka masuk dalam kategori makruh, maka dianjurkan atau diseyogyakan untuk tidak dilakukan. Sehingga wilayahnya adalah antara yang manfaat dan berbahaya.
Dengan pengertian dua langit ini, yakni ; langit padat dan cair, langit nilai dan langit norma, langit filosofi dan langit ilmu. maka kita baru bisa menjelaskan tentang aklak. Aklakul kharimah adalah sesuatu fokus atau bentuk kemaslahatan yang merupakan pilihan Islam, yang masih cair, karena aklakul kharimah itu aklak yang baik. Dan aklakul kharimah mem iliki kutub lain yang disebut aklakul syai'ah.
Dan aklakul kharimah itu pilihan Islam dan dijadikan idiomatik, symbol, yang memang dipilih oleh Rasulullah SAW, tasa karohmah dan wahyu dari Allah. Maka secara etimologinya dan kosa katanya mengandung huruf kh ok, lam, dan qof. Dan Allah sendiri menyebut dirinya kholiq dan itu hurufnya sama, khok, lam dan qof. Meski dalam posisi subyek ia bernama kholiq, kalau kita ini adalah zat diciptakan, maka kita disebut makhluk. Berarti aklak itu sauatu sistem perilaku ya ng menawarkan kemaslahatan, atau kesehatan.
Kemaslahatan itu kalau di dalam ekonomi ; adil, di dalam politik bisa menjadi; demokrasi, kalau di dalam kebudayaan namanya tolerensi, heterogenitas. Dan di dalam intelektualitas memakai pedoman kemaslahatan namanya adil, pikirannya adil, tidak dikotori oleh kepentingan dan tidak tergantung oleh motif-motif.
Mekanisme kemaslahatan ini mesinnya adalah akhlak, sehingga akhlak ini adalah suatu mesin yang bergerak, berputar dan berperilaku. Sehingga kalau perilaku kema slahatannya maksimal, maka ia mendekati sifat Tuhan atau kholiq. Maka aklakul karimah itu tidak hanya menyangkut kelakuan kita sehari-hari, tetapi juga menyangkut perilaku kita dengan orang tua, guru, masyarakat, dll. tetapi karena ini bersifat cair, maka harus diterjemahkan dalam sistem-sistem norma.
Misalnya perilaku perbankan saat era Soeharto itu banyak mengandung perilaku akhlakul syai'ah. Urusan-urusan terpenting dari rakyat yang meyangkut nasib petani, nasib buruh, kasus Ambon, maluku, Aceh dsb, yang belum menjadi agenda di dalam MPR, itu mencerminkan bahwa para wakil kita itu belum mencerminkan akhlakul karimah, artinya uang atau gaji yang mereka terima itu belum halal betul karena aklakul kharimahnya belum diterjemahkan ke dalam aturan-aturan. Apa lagi saat ini institusi perwakilan rakyat punya kecenderungan untuk menjadi alat pemerasan terhadap kekuasaan eksekutif. Dan untuk mengerti sampai pada perilakunya Allah, terminologinya di dalam Islam sudah jelas yakni memakai Al-Asmaul Khusna. Yang di dalamnya mengandung susunan dan konstelasi watak-watak Allah. kalau kita tidak belajar pada outline Al-Asmaul Khusna maka kita tidak bisa menciptakan perilaku masyarakat yang sering kita sebut "tata-titi, tentrem, karta-raharja". (Jns).